LOGINPintu tertutup kembali. Keheningan menyelimuti ruangan. Ratu Elean menatap ke arah jendela, ke halaman yang gelap. Di sana, langkah Jagatra mungkin masih terngiang,langkah seorang pewaris yang dipatahkan bukan oleh kesalahan, melainkan oleh kebenaran yang ia pegang.“Anak bodoh,Kau terlalu jujur untuk duduk di singgasana.”Ia meletakkan cangkir, lalu membuka sebuah laci rahasia. Di dalamnya, tersimpan beberapa surat tersegel dan janji-janji yang tak pernah ditulis atas nama. Salah satunya bertanda lambang Kaesar.Ratu Elean menutup laci itu kembali."Belum waktunya rahasia ini aku ungkapkan.Di koridor luar, Kaesar berdiri dengan sabar. Wajahnya datar, nyaris hormat. Namun di balik matanya, ada bara yang berkobar ambisi yang kini semakin dekat pada tujuannya.“Ayah murka,” ucap Kaesar pelan pada bayangannya sendiri.“Dan Ibu… diam.”Ia tahu arti diam itu. Diam Ratu Elean bukan keraguan.Diam itu persetu
Istana Aethelgard Silvanus terguncang oleh kabar yang menyebar lebih cepat.Pangeran Cristian Bahrasta diserang.Di dalam wilayah istana.Di Balai Kecil Kerajaan, Raja William berdiri di depan meja panjang dengan tangan mengepal. Wajahnya merah, napasnya berat.“Apa arti semua ini?!” suaranya menggelegar, membuat para pengawal menunduk serentak.“Seorang pangeran tamu diserang di istanaku sendiri?!”Ratu Elean berdiri di sampingnya, wajahnya tampak cemas terlalu cemas untuk seseorang yang pandai menyembunyikan niat.“Ini memalukan, Yang mulia,” ucap Ratu Elean. “Kerajaan tetangga bisa menganggap kita tak mampu menjaga keamanan.”Raja William membanting telapak tangannya ke meja.“Benar! Dan semua ini terjadi setelah kekacauan yang dibuat Jagatra!”Seorang menteri memberanikan diri bicara, “Yang mulia, penyerangan ini belum tentu berkaitan dengan Pangeran Mahkota..”“Cukup!” potong Raja William.“
Di kamarnya yang luas namun terasa hampa, Ellisha menatap cermin panjang di depannya. Mata cokelatnya menyala dengan kebencian bukan kepada orang lain, tapi kepada dirinya sendiri.“Aku...kenapa aku merasa semua ini salah?” gumamnya, suara nyaris tersedak.Sejak kabar tentang Audina dan pertarungan di Balai Agung sampai padanya, perasaan bersalah menguasai hatinya. Ia tahu Jagatra memihak kebenaran. Ia tahu Kaesar dan Ratu Elean selalu merencanakan ambisi mereka dengan licik. Namun Ellisha ia hanya bisa menatap dirinyanya sendiri dengan kecewa.“Kenapa aku tidak bisa membantu dia? Kenapa aku terlalu takut untuk berbicara?” air matanya jatuh.Ia menutup wajahnya dengan tangannya, menekan suara tangis yang hampir meledak. Ia membenci rasa takutnya sendiri ketakutan yang membuatnya diam saat yang lain menderita.“Jagatra dia terluka karena aku tidak berani, Karena aku membiarkan Kaesar dan Ratu Elean bermain di belakangnya karena aku tidak c
Keheningan menyelimuti Balai Agung setelah kata bebas itu terucap.Audina menghela napas panjang. Dadanya naik turun, bukan karena ketakutan lagi, melainkan karena kelegaan yang datang terlalu tiba-tiba. Lututnya sempat melemah, namun ia bertahan menolak terlihat rapuh di hadapan mereka yang ingin menjatuhkannya.Raja William memandang Kaesar dengan sorot mata yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya dingin, kecewa.“Kaesar, kau memanfaatkan hukum untuk ambisi pribadi. Kau menciptakan kebohongan, menekan saksi, dan menjadikan seorang gadis rakyat jelata sebagai alat.”Kaesar menelan ludah.“Yang mulia saya hanya.."“Cukup,” potong Raja William. “Mulai hari ini, kau dicabut dari seluruh urusan kenegaraan. Hingga penyelidikan selesai, kau berada dalam pengawasan langsung istana.”Bisik-bisik kembali pecah kali ini bukan penuh hasrat menjatuhkan, melainkan terkejut dan ngeri.Jema memalingkan wajah. Lucas mengepalkan tangan
Di kamar pribadinya, Jagatra berdiri di depan cermin tinggi berbingkai emas. Pantulan wajahnya tampak lebih dewasa dari usia sebenarnya bukan karena waktu, melainkan karena beban. Luka di punggungnya masih dibalut, namun yang membuatnya sesak adalah luka yang tak terlihat.Ia menatap dirinya sendiri lama.“Beginikah wajah seorang pewaris yang hampir kalah?” gumamnya pelan.Ia teringat masa kecilnya saat Raja William pertama kali menaruh tangan di pundaknya dan berkata, “Suatu hari kau akan memikul kerajaan ini.”Tak pernah disebutkan bahwa yang paling menyakitkan bukan musuh dari luar, melainkan saudara yang tumbuh bersamanya.Jagatra memejamkan matanya.Kaesar. Jema. Lucas. Michael. Justin. Rafka. Rionaldo.Darah yang sama. Tapi Ambisi yang berbeda.“Jika aku jatuh hari ini, bukan karena aku lemah tapi karena aku memilih tidak mengorbankan yang tak bersalah.”Pintu diketuk pelan.Ravel masuk s
Di sisi lain istana, Kaesar berdiri di depan jendela ruangannya sendiri. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat menerima laporan bisikan.“Pangeran Mahkota tidak keluar kamar sejak pagi,” ujar seorang pelayan dengan suara rendah.Kaesar mengangguk puas. “Bagus. Tekanan mulai bekerja.”Ia menoleh pada bayangannya di kaca. “Terpuruklah sedikit lagi, Kakandaku,” bisiknya. “Supaya semua orang melihat, kalau kau tidak setangguh yang mereka kira.”Sementara itu, jauh di bawah istana, Audina duduk bersandar di dinding sel. Cahaya pagi menyelinap lewat celah kecil jeruji. Wajahnya pucat, tubuhnya lelah.Ia memejamkan matanya seolah bisa merasakan kegelisahan seseorang di atas sana.“Jagatra Jangan jatuh karena aku.”gumam Audina.~~~Angin pagi berdesir pelan, membawa suara lonceng kecil dari menara kota. Jagatra kembali menatap langit yang mulai memucat. Matahari belum sepenuhnya muncul, namun rasa lelah di dadanya terasa sepe







