Luis menggenggam tangan Anggi semakin erat. Seberapa dalam luka yang pernah dialami Anggi, sampai-sampai tidak bisa percaya padanya, bahkan mengucapkan kata-kata sesuram itu?Tangan Luis sempat sedikit bergetar, lalu dia menenangkan diri dan berkata, "Jangan pernah berkata seperti itu lagi. Kamu akan selalu menjadi istriku."Anggi tersenyum tipis, "Saya berterima kasih pada Pangeran."Dilihat dari mata pria itu, mungkin untuk saat ini dia memang bersungguh-sungguh.Di kehidupan ini, Anggi hanya ingin dirinya dan Luis hidup dengan baik. Dia ingin membalas budi karena Luis telah menguburkan jasadnya di kehidupan sebelumnya. Selain itu, dia tidak akan berharap yang lebih.Anggi selesai mengoleskan obat untuk Luis.Keduanya lalu bermain catur dua ronde di dalam kamar. Tak lama kemudian, Torus datang membawa surat dari Dimas yang dikirim langsung oleh orangnya.Luis menoleh ke Anggi, lalu meletakkan bidak caturnya dan berkata, "Gigi pasti dulunya orang yang sangat mudah diajak bicara. Sampa
"Putri tenang saja, hamba pasti akan menjelaskannya." Dimas memberi hormat dengan sikap yang sangat sopan."Bagus kalau begitu. Jangan sampai niat baikku malah diberikan pada orang yang nggak tahu berterima kasih." Usai bicara, Anggi menyuruh Mina menyerahkan botol obat itu kepada Dimas. Setelah itu, dia pun berbalik dan kembali masuk ke dalam kediaman.Dimas menatap punggung Anggi yang perlahan menjauh, lalu menunduk melihat botol obat di tangannya. Rasa curiganya kini makin jelas.Jika benar dupa penenang itu dibuat oleh Wulan, mengapa sudah didesak sekian lama tapi tak kunjung bisa dia keluarkan? Sedangkan Anggi bisa langsung memberikannya dengan mudah?Jika semua dugaannya benar, berarti Wulan hanyalah seorang pembohong besar selama ini .... Dia bahkan merasa takut untuk membayangkannya.Setelah Anggi kembali ke kediaman utama, dia menerima lagi sebuah surat penghinaan dari Yohan. Kali ini, Torus bahkan tidak selesai membacakannya dan langsung berhenti di tengah jalan.Anggi tertaw
Emosi yang tidak stabil seperti ini, sebenarnya sudah lama tidak kambuh sejak Luis menikah dengan Anggi."Pangeram, saat ini Putri sedang sendirian di kamar." Apakah Pangeran ingin menenangkannya?Luis tersenyum pahit, "Dia sekarang justru butuh waktu sendiri." Waktu dan ruang yang sepenuhnya jadi miliknya.Setelah berpikir sejenak, Luis berkata, "Suruh bagian dapur untuk menyiapkan dua jenis makanan penutup tambahan hari ini. Waktu makan malam nanti, mungkin Putri akan menyukainya.""Baik." Torus pun keluar dari ruang kerja, sambil menutup pintunya dengan pelan.Sementara itu, Luis mencoba mengambil buku strategi militer yang ada di atas meja, tapi tak satu pun kalimat bisa dia cerna. Yang muncul dalam benaknya, hanyalah bayangan saat gadis itu diam-diam menangis. Penampilannya terlihat begitu menyentuh dan membuat orang iba.Hanya membayangkan pemandangan itu saja ... Luis sudah merasa tubuhnya tidak nyaman. Tadi dia memang berbicara dengan sangat tenang dan rasional, mengatakan bahw
Dengan adanya penghiburan dari Luis, rasa kesal dalam hati Anggi perlahan-lahan mereda. Dia mengangguk, lalu berkata dengan lembut, "Mau." Mana mungkin dia sanggup mengecewakan ketulusan hati pria itu?Seperti apa Luis sebenarnya?Melihat senyum tipis yang terangkat di sudut bibirnya, hati Luis yang tadinya sempat sedikit cemas pun langsung merasa lega.Tanggal 27.Anggi mengunjungi Balai Pengobatan Afiat langsung untuk menangani pasien. Begitu melihat bahwa tabib yang bertugas adalah seorang wanita, banyak orang yang langsung ragu dan berhenti melangkah masuk.Untuk menangani pasien, Anggi meminta Faisal untuk datang empat jam lebih lambat dari biasanya ke toko obat.Mina pun berdeham, lalu berdiri dan berseru ke arah kerumunan, "Hadirin sekalian, ini adalah istri dari Pangeran Selatan, Anggi, yang telah belajar ilmu pengobatan sejak kecil. Nggak perlu meragukan kemampuannya. Bahkan Pangeran sendiri juga dirawat langsung oleh Putri saat ini!""Hari ini pengobatan gratis dan harga obat
Tangan pria itu sempat sedikit ditarik, tapi langsung ditekan oleh Anggi. "Jangan bergerak."Melihat sikapnya yang begitu serius, pria itu pun tidak berani banyak bertingkah. Namun, dalam hatinya muncul keraguan. Bagaimanapun, Putri memeriksa nadi langsung dengan tangan telanjang. Apakah Pangeran Selatan benar-benar akan mendukung hal ini?Saat pikirannya mulai melayang-layang, Anggi bertanya, "Pagi ini makan apa?"Pria itu berpikir sejenak, "Ubi rambat.""Cuma ubi rambat saja?""Iya.""Anggota keluarga lain makan juga?""Nggak, itu sisa dari yang dikukus waktu tahun baru. Diletakkan dekat tungku sudah terlalu lama, jadi saya sendiri yang makan. Saya nggak membiarkan keluarga ikut makan."Mendengar hal itu, Anggi bertanya lagi, "Apa kamu muntah dan buang air terus-menerus?"Wajah pria itu langsung pucat pasi, "Iya ...."Sampai di sini, Anggi sudah bisa memastikan bahwa pria itu mengalami diare akibat makanan basi. Dia segera menuliskan resep, lalu menyuruh seorang murid dari Balai Peng
Kediaman Jenderal Musafir.Hidayat kembali dan menyampaikan informasi yang berhasil dia kumpulkan kepada Dimas, "Hari ini Nona Anggi mengadakan pengobatan gratis. Banyak pasien yang memuji keahlian medisnya tanpa henti.""Memuji tanpa henti ...," gumam Dimas dengan nada tak percaya."Benar, dan Pangeran Selatan pun mengizinkan Nona untuk mengadakan pengobatan gratis. Mulai sekarang, setiap tanggal yang ada tujuhnya akan ada kegiatan yang sama."Dimas mengusap dagunya, menimbang-nimbang setiap kata sebelum bertanya, "Jadi maksudmu, Anggi akan mengadakan pengobatan gratis setiap tanggal 7, 17, dan 27?""Benar," Hidayat menjawab dengan pasti, meskipun wajahnya tetap bingung. "Tuan, tapi sejak kapan Nona Anggi bisa mengobati orang? Bukankah yang selama ini dikenal ahli pengobatan adalah Nona Wulan?"Dimas menarik napas panjang, lalu menatap ke arah langit cerah di luar jendela dan bergumam, "Mungkin ini adalah rahasia besar yang selama ini disembunyikan."Hidayat pun mulai merasa ada sesua
"Kalau begitu ... mungkin benar kata Wulan bahwa dia membuatkan dupa penenang untukku. Karena itu, dia sempat memberikan sebotol kecil kepada Dimas untuk dibawa pulang," ujar Ambar sambil memegangi kepalanya. Suaranya terdengar lemah dan letih."Tapi, hanya sebotol kecil ... sekarang sudah habis dan aku kembali nggak bisa tidur nyenyak di malam hari. Sakit kepala ini semakin menjadi-jadi. Benar-benar anak perempuan yang nggak tahu berbakti!"Pratama pun ikut geram, "Anggi benar-benar menyebalkan dan Wulan juga keterlaluan. Aku sendiri sudah kirimkan undangan secara langsung, bahkan ibunya juga sudah mengirimkan surat resmi. Tapi sampai sekarang, tak satu pun dari mereka kembali ke rumah. Bahkan surat balasan pun nggak ada!"Ambar masih memegangi kepalanya dengan kesal, "Apa-apaan semua ini. Ini karena kalian berdua nggak bisa mendidik anak-anak dengan baik! Sekarang, aib keluarga sampai mencoreng nama leluhur!""Benar, Ibu. Teguran Ibu sangat tepat.""Cepat pergi! Bagaimanapun caranya,
"Sudah pergi?" Begitu kepala pelayan mendekat, Parlin langsung bertanya dengan cepat."Sudah, sudah pergi," jawab kepala pelayan segera.Parlin tersenyum santai, lalu berjalan melewati lorong panjang menuju bangunan utama. Para pelayan silih berganti membawakan air masuk ke kamar utama. Wulan sedang mandi. Sambil menyiram tubuh, dia menggosok kulitnya dengan penuh tenaga.Parlin masuk dengan dahi berkerut, "Wah, kulit Putri selembut ini, jangan digosok terlalu keras. Nanti rusak, lho."Mendengar suara pria itu, seluruh tubuh Wulan seketika menegang, "Ke ... kenapa Pangeran kembali lagi?""Bukannya aku harus repot-repot mengusir si tua bangka itu demi kamu?" jawab Parlin santai.Wulan tersenyum kaku. Parlin ini usianya hampir setara dengan ayahnya, tapi pria segemuk, sebejat, dan semenyebalkan ini benar-benar langka di dunia!"Jadi, ayahku sudah pulang? Apa dia bilang sesuatu?" tanyanya dengan hati-hati.Parlin menjawab, "Dia minta kamu pulang ke rumah sebentar, nggak ada yang lain. Lag
"Benar, kali ini berbeda dari biasanya. Dia berpakaian mewah, membawa banyak pelayan dan penjaga. Jelas sekali, dia datang dengan persiapan," ujar Mina dengan tenang.Anggi mengernyit, lalu bangkit dengan anggun. "Aku penasaran, apa yang ingin dia lakukan hari ini."Begitu Anggi keluar, semua orang langsung menyambutnya dengan hangat, memanggilnya dengan hormat, "Salam sejahtera, Putri!"Sekilas, Anggi langsung melihat Wulan, yang saat itu menatapnya dengan tatapan cerah dan bibir menyunggingkan senyuman tipis. Alis yang sedikit terangkat pun membuatnya terlihat angkuh.Anggi membisikkan beberapa instruksi kepada Mina, lalu kembali masuk ke ruangan.Mina merapikan ekspresinya, lalu berjalan ke depan Wulan. Dia membungkuk sedikit dan berkata, "Silakan masuk, Putri."Anggi secara langsung mengizinkan Wulan memotong antrean. Siapa yang berani protes? Namun, hari itu tanggal 7. Waktu pengobatan gratis sangat berharga dan antreannya sangat panjang.Dengan senyuman di wajah, Wulan memutar me
"Tapi, Fani sekarang bahkan nggak bisa bicara lagi ....""Nggak apa-apa, yang penting dia masih hidup."Wulan pun berpura-pura menunjukkan empati yang dalam. "Benar, untung dia masih hidup."Sunaryo terdiam sejenak, lalu menatap Wulan dan bertanya dengan serius, "Kali ini setelah kamu berhasil lolos, sebenarnya kamu bisa saja pergi mencari Satya, 'kan?" Dia sedang menguji.Mendengar pertanyaan itu, hati Wulan tetap goyah. Namun, dia mengenal Satya dengan baik dan tahu Burhan pasti tidak akan mengizinkan Satya menikahi wanita yang sudah ternodai.Dia menggeleng pelan. "Nggak. Seumur hidupku ini, aku hanya akan ikut denganmu.""Aku?" Mata Sunaryo langsung berbinar. Takdir Wulan itu bisa membantunya mencapai semua ambisinya dengan cepat! Setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya peluang datang juga!"Hanya kamu," jawab Wulan dengan mantap."Kamu tahu kenapa aku selalu menahan diri dan nggak berani melangkah lebih jauh, padahal aku begitu mencintaimu?""Aku ... nggak tahu.""Selain karena
"Ada apa?" tanya Sunaryo.Wulan menggeleng. Di benaknya, perasaan terhadap Satya hampir tak tersisa sedikit pun. Dia masih mengingat jelas hari dia menikah dan masuk ke Kediaman Pangeran Pradipta.Anggi mengobrol dengan Parlin, menyiratkan bahwa dia dan Satya punya hubungan yang tak biasa. Tak lama setelah itu, Satya memberikan uang dalam jumlah besar kepada Parlin agar memperlakukannya dengan baik.Hah, memperlakukannya dengan baik? Tidak peduli bagaimana dia menjelaskan, tak pernah cukup untuk menghapus kecurigaan Parlin.Jadi, di hari kedua setelah pernikahan, dia dipaksa melayani Parlin dan dua tamunya. Kini jika diingat kembali, semuanya terasa menjijikkan.Untungnya, Parlin sekarat sekarang.Wulan memandang Sunaryo. "Apa kamu ... jijik padaku?"Sunaryo merapikan helaian rambut di dahinya. "Bagaimana mungkin?"Dengan berani, Wulan memeluk pinggang pria itu. "Benarkah?""Benar.""Kalau begitu, kita ....""Jangan terburu-buru, pria tua itu belum mati."Wulan terlihat agak kecewa. Pa
Reputasi? Dengan pasangan selingkuh keji ini di Kediaman Pangeran, Parlin sudah tidak memiliki harga diri. Reputasi apa lagi yang tersisa?Meski begitu, Parlin masih tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Dia menatap Sunaryo dan bertanya, "Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?"Selama ini, Parlin tidak mengerti mengapa putra satu-satunya bertindak sekejam ini padanya.Sunaryo terdiam sejenak. Melihat ini, Wulan langsung waswas. Khawatir Sunaryo akan menyesal, dia segera berkata, "Jangan tanya lagi. Dia malu karena kamu begitu bermuka tembok.""Benarkah?" tanya Parlin lagi. Mungkin karena kondisinya terlalu lemah, dia tidak sanggup menopang dirinya terlalu lama dan kembali ambruk ke tempat tidur. "Benarkah begitu?"Kali ini, Sunaryo tidak hanya diam. Dia mengangguk dan berkata, "Ya.""Kenapa?" tanya Parlin."Karena kamu terlalu bejat, karena kamu membunuh ibundaku. Kalau bukan karena kamu, ibundaku nggak mungkin bunuh diri!" balas Sunaryo.Parlin berkata, "Dia bunuh diri ka
Setelah melihat Luis mengangguk, Dika berkata pada Torus, "Kamu tahu kalau Putri juga merawat kaki Pangeran, 'kan?""Semua orang di Kediaman Pangeran juga tahu." Torus berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "Semua orang di ibu kota tahu kalau Putri merawat kaki Pangeran, tapi orang-orang di Balai Pengobatan Kekaisaran saja nggak berdaya. Apa ... apa jangan-jangan Putri juga sudah membuat kemajuan dengan perawatan kaki Pangeran?""Akhirnya kamu mengerti," ucap Dika.Torus merasa dirinya dianaktirikan. Bagaimana dia bisa jadi orang terakhir yang mengetahui hal sebesar itu?Luis tiba-tiba berdiri. Sambil menumpukan kedua tangannya di meja, dia berkata pada kedua bawahannya, "Hari ini aku juga baru sadar bisa berjalan dua hingga tiga langkah tanpa kruk."Sambil bicara, Luis berjalan beberapa langkah mengitari meja.Dika dan Torus membungkuk dalam-dalam sambil berkata, "Selamat, Pangeran. Selamat, Pangeran!""Putri belum mengetahui hal ini, jadi tutup mulut kalian," pesan Luis."Siap, Pangeran
"Aku hampir nggak bisa bernapas," ucap Anggi dengan lirih.Luis terkekeh-kekeh, lalu menempelkan dahinya ke dahi gadis itu. Sambil bertatapan, dia berkata, "Nggak akan, aku akan hati-hati supaya nggak membahayakan Gigi." Siapa yang akan mati hanya karena berciuman?"Aku sudah mencicipinya, rasanya manis, manis sekali. Suapi aku dengan cara seperti ini lagi, oke?" pinta Luis dengan penuh harap.Luis ingin perlahan-lahan menggantikan posisi Satya di hati Anggi. Mungkin obsesinya dalam hidup ini bukanlah tahta, tetapi cinta tulus dari gadis di depannya.Anggi tidak menjawab. Namun, ketika Luis membawakan ceri baru, gadis itu membuka mulutnya dan menatapnya dengan sorot menggoda, menunggu Luis mengambil buah itu lagi.Luis melepas topengnya sambil tersenyum. Masih ada beberapa bekas luka di wajah pria yang berada tepat di depan Anggi. Namun, mata, hidung mancung, dan kontur wajahnya sangat sempurna.Anggi tahu, wajah pria ini akhirnya akan pulih 80% hingga 90% dari keadaan semula.Wajah Lu
Anggi membuka mulutnya, tetapi tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Setelah beberapa saat, dia berujar, "Aku mana berani mengontrol Pangeran?""Harus berani. Kalau nggak, hari-hari mendatang akan sangat membosankan," bujuk Luis.Anggi menatap pria itu. Apa dia serius? Bagaimana Luis bisa sebaik itu, begitu memanjakannya?Bak sedang sakit, jantung Anggi berdetak kencang. Begitu kencang hingga rasanya seperti hendak melompat keluar dari dadanya."Ya?" desak Luis.Anggi menjawab dengan wajah tersipu, "Aku hanya ingin melayani Pangeran dengan baik. Aku nggak berani melewati batas.""Baiklah, baiklah," kata Luis. Dia merasa mungkin sebaiknya dia tidak mendesak. Akan lebih baik jika Gigi melakukannya secara alami.Pada akhir bulan Maret, Luis pulang dari pengadilan dengan membawa hadiah.Melihat sekeranjang ceri merah yang tumbuh dua-tiga butir dalam satu tangkai, Anggi berucap kaget, "Nggak terasa, ceri-ceri ini sudah masak.""Ya, ceri merah ini segar, lembut, enak, dan manis. Kupikir
"Baik. Biar aku antar, Pangeran," ujar Jelita sambil mengantar Parlin ke pintu.Jelita berdiri di dekat pagar. Setelah melihat Parlin sudah pergi jauh, dia baru menghela napas lega. Begitu berbalik, dia melihat Sunaryo berdiri di dalam kamar."Kapan Putra Bangsawan datang?" tanya Jelita sambil berjalan mendekat. Matanya bersinar lembut. Dia ingin menyerbu ke pelukan Sunaryo, tetapi akhirnya menahan diri.Sunaryo menarik Jelita ke dalam dekapannya dan berkata, "Waktu kamu mengantar dia dengan penuh cinta.""Siapa yang penuh cinta?" bantah Jelita."Aku sampai cemburu," ujar Sunaryo."Omong kosong, aku hanya berpura-pura," kata Jelita.Sunaryo bertanya sambil melingkarkan lengannya di pinggang gadis cantik itu, "Apa Jelita juga berpura-pura di depanku sekarang?" Air mata Jelita berjatuhan di pipinya saat dia menjawab, "Aku sudah berkorban banyak demi Putra Bangsawan, tetapi Putra Bangsawan masih nggak memercayaiku.""Aduh, jangan menangis, jangan menangis. Aku percaya padamu," bujuk Suna
Fani terbelalak tidak percaya. Sejurus kemudian, dia menopang dirinya dan bersujud pada gadis di atas ranjang. Mulutnya mengeluarkan suara tidak jelas, bersumpah setia pada tuan barunya.Gadis itu tersenyum ramah dan berkata, "Jangan bicara lagi, aku nggak mengerti satu kata pun. Aku akan minta Riki membuatkanmu obat. Minumlah nanti, lalu oleskan ini di lidahmu."Si gadis memberikan sebotol obat pada Fani dan menambahkan, "Kamu harus sembuh."Fani bersujud lagi. Ya, dia harus sembuh! Dengan tuan sebaik ini, dia pasti segera sembuh dan melayaninya dengan baik.Saat botol obat itu sampai di tangannya, Fani mendapatinya sangat familier. Bukannya ini salep yang dijual di Balai Pengobatan Afiat?Tangan Fani yang memegang botol obat itu bergetar. Dia merasa sedih dan diperlakukan dengan tidak adil.Ketika mendengar perintah Pratama untuk memotong lidah Fani dan menjualnya, dia langsung pingsan, bahkan sebelum sempat memohon ampun. Dia terbangun di Balai Lelang, dengan rasa sakit yang menyiks