LOGINJiwangga seorang dewa perang yang telah menapaki jalan yang penuh duri, dari awal seorang manusia biasa hingga mengalahkan seorang raja iblis di alam surgawi. Suatu momen, ia di khianati oleh mantan rekannya yang ada di alam surgawi, mereka mengeroyok Sang Dewa Perang. Akan tetapi, murid yang ia besarkan sejak kecil menusuknya dari belakang ketika melawan para penduduk alam surgawi. Kini, roh nya telah bereinkarnasi ketubuh seorang pelayan yang melayani perguruan di alam fana. Bagaimana Jiwangga kembali menapaki jalan sekali lagi menjadi seorang dewa?
View MoreDi sebuah bukit yang terletak di selatan sebuah kota kecil, berdiri sunyi dengan rimbunan pohon yang menjulang tinggi. Ada seorang mayat yang tergeletak dengan penuh bersimbah darah di wajahnya.
Tiba tiba.sebuah cahaya dari langit melesat turun dengan kecepatan yang mustahil dijangkau mata.
Cahaya itu menembus tubuh yang sudah tak bernyawa. Dalam sekejap, roh asing memasuki jasad yang terkapar.
Kilatan cahaya tipis menyelimuti tubuhnya. Jemari yang tadinya kaku perlahan bergerak. Otot-otot mulai mengencang, hingga tubuh itu tiba-tiba bangkit dengan posisi duduk bersila. Nafas berat terdengar, seakan ia baru saja kembali dari perjalanan panjang.
“Urgh…” suara serak keluar dari mulutnya. Kepala terasa berputar, pandangan bergetar seperti dilanda gempa, dan kunang-kunang berkelip di depan matanya.
Ia mengusap pelipis, merasakan darah kering menempel di tangannya. “Darah…? Apa yang terjadi denganku?”
Ketika ia menatap tubuhnya, keterkejutan tak bisa disembunyikan. Tubuh kurus, tulang menonjol, kulit pucat tak terawat. “Aku… telah bereinkarnasi?” katanya terperanjat.
Ingatan lamanya segera menyeruak. "Penduduk Alam Surgawi, bajingan! Mereka berani mengkhianatiku padahal aku sudah menaklukkan raja iblis!”
Dahulu ia adalah Jiwangga, dewa perang yang meniti jalan penuh darah hingga mencapai puncak kejayaan. Ia menumbangkan musuh-musuh besar dan akhirnya membunuh raja iblis.
Namun, tepat ketika berada di puncak, para dewa yang seharusnya menjadi sekutu justru menusuk dari belakang. Dewa Angin, Dewa Api, dan Dewa Petir menyerang istananya, dibarengi pengkhianatan terberat: murid yang ia besarkan sendiri, Sakti, berbalik menusuknya.
“Sakti… murid durhaka. Beraninya kau menusukku dari belakang, setelah semua yang kuajarkan padamu.” Suaranya penuh kemarahan sekaligus kekecewaan. Ia mendongak menatap langit, matahari perlahan tertutup kaki gunung, membuat suasana kian muram.
Ingatan masa lalu bercampur dengan kenangan tubuh baru yang kini ia tempati. Rasa sakit menghantam kepalanya, membuatnya berteriak keras. “ARGH!”
Potongan ingatan tentang pemilik tubuh asli membanjiri pikirannya. Ia melihat sosok pelayan bernama Angkara, seorang yang sepanjang hidupnya hanya dihina, direndahkan, dan dijadikan bahan ejekan.
Berdasarkan ingatan terakhir pemilik tubuh, Angkara diseret ke Bukit Selatan oleh Mandala—putra saudagar kaya sekaligus murid luar Perguruan Arus Hening—bersama dua pengikutnya, Saka dan Sabda. Hanya karena tak mampu memenuhi perintah mereka, Angkara disiksa habis-habisan hingga tak berdaya, lalu ditinggalkan begitu saja seolah nyawanya tak berarti.
Ketika seluruh ingatan pemilik tubuh telah tergambar jelas. Dewa Perang yang kini menempati tubuh itu terkekeh pelan. Ia menengadah menatap langit.“Benar-benar, langit telah memberiku kesempatan, begitu pula pemilik tubuh ini,” gumamnya.
“Aku tidak peduli siapa dirimu, Angkara. Tubuhmu akan kumanfaatkan sebagaimana dahulu aku memakai tubuhku.”
Dengan tubuh yang masih dipenuhi luka, ia memaksa diri untuk bergerak. Setiap langkah terasa berat, seolah tulang-tulangnya hendak patah, tetapi keinginan untuk berdiri dan berjalan membuatnya tidak menyerah.
Walau tenaganya nyaris terkuras habis, ia tetap berusaha melangkah, menyusuri jalan menurun bukit selatan. Udara lembab bercampur aroma tanah basah menusuk hidungnya, namun hal itu sama sekali tidak menggoyahkan tekadnya.
Belum genap satu jam Jiwangga, sang Dewa Perang, menempati tubuh rapuh itu, takdir mempertemukannya kembali dengan tiga orang yang menjadi biang kerok kematian pemilik tubuh ini. Perjumpaan itu terasa begitu cepat, seperti ironi yang dipersiapkan langit untuknya.
Mata Angkara, yang kini ditempati jiwa seorang dewa, sedikit menyipit. Ia menatap sosok-sosok yang berdiri beberapa langkah di depannya.
“Ang… Kara?” suara Sabda pecah, terbata-bata, penuh rasa takut. Mulutnya terbuka, matanya membelalak, seakan-akan sedang melihat arwah gentayangan.
Saka berdiri kaku di sampingnya, wajahnya pucat pasi. Ia tampak mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi, namun pikirannya tidak mampu menerima kenyataan bahwa tubuh yang semestinya sudah terkapar mati kini berdiri dengan napas yang jelas-jelas masih berhembus.
Mandala, berbeda dari keduanya, justru menunjukkan ekspresi jauh lebih serius. Kedua matanya menyipit, penuh kewaspadaan. “Bagaimana bisa kau hidup kembali?” tanyanya dengan nada rendah namun tajam, menandakan ia tidak bisa menerima kenyataan itu begitu saja.
Di sisi lain, Jiwangga, yang menempati tubuh Angkara, sedikit menunduk, lalu mendongak menatap ke langit. ’Heh jadi mereka yang telah membunuh Angkara?. Benaknya menilai. Hatinya pun tersulut oleh keinginan untuk membalaskan dendam.
Senyum miring menghiasi wajah yang penuh luka. Kemudian, tawanya meledak keras, bergema di bukit selatan yang sunyi. “HAHAHAHAHA! Kalian pasti tidak menyangka, bukan? Aku, yang kalian kira sudah mati, kini berdiri tegak di depan kalian!”
Ketiga perundung itu menelan ludah. Kata-kata tersebut terasa seperti pukulan yang menyayat hati mereka. Sabda, dengan tubuh bergetar, mencoba mencari kepastian. “Kau… kau bukan hantu, kan?” tanyanya ragu, hampir tak terdengar.
Dari ketiganya, memang Sabda yang paling penakut, terlebih saat dihadapkan dengan sesuatu yang menyerupai roh gentayangan.
Mandala tidak menunggu jawaban. Ia segera merendahkan tubuhnya, memasang kuda-kuda penuh kesiapan. Sorot matanya menunjukkan niat membunuh yang tak main-main. “Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi kali ini kita harus serius. Kita tidak boleh lengah lagi,” katanya mantap.
Saka dan Sabda pun tak punya pilihan lain. Meski keraguan jelas terpampang di wajah mereka, keduanya mengikuti langkah Mandala, memasang kuda-kuda, bersiap untuk kembali menghabisi sosok yang kini berdiri sebagai misteri hidup di hadapan mereka.
Mereka bertiga langsung mencoba menerjang Angkara yang sedang penuh dengan luka. Dilain sisi Angkara tersenyum tipis melihat kejadian ini.
Angkara terpaku melihat gerakan mereka.
Dengan cepat, ketiga pemuda itu mengeluarkan teknik khas Perguruan Arus Hening. Langkah lesatan mereka begitu ringan, begitu sunyi, seolah kaki mereka tak pernah menyentuh tanah.
Tak ada suara derap langkah, tak ada desir angin yang biasanya menyertai gerakan cepat. Bagi orang awam, mereka akan tampak seperti tiga bayangan yang melayang.
Namun, Angkara hanya terkekeh pelan. Senyum tipis terlukis di bibirnya, matanya berkilat tajam. “Heh… jurus yang tak kukenali. Menarik.” Ucapannya lirih, namun penuh rasa penasaran. Ia lalu menurunkan tubuh, memasang kuda-kuda sederhana, kaku tapi stabil.
Mandala, dengan amarah menggelegak, menyerang lebih dulu. Kakinya melayang deras, menendang lurus ke arah dada Angkara. Tubuh Angkara yang sudah dipenuhi luka membuatnya sulit bergerak lincah, sehingga ia hanya bisa mengangkat kedua lengannya sebagai tameng. Namun, kondisi fisiknya yang rapuh tak mampu sepenuhnya menahan serangan lawan.
Walau memiliki segudang pengalaman sebagai mantan Dewa Perang, tubuh lemahnya tetap terhempas mundur beberapa langkah, menunjukkan betapa besar perbedaan antara pengalaman dan kekuatan fisik yang sebenarnya ia butuhkan.
'Urgh, hanya sekali menerima tendangan, efeknya seperti ini,' pikir Angkara.
Angkara melayang tinggi di udara, tubuhnya diselimuti pusaran aura berwarna hitam keemasan yang berkilau seperti cahaya senja di atas kegelapan. Dari ketinggian itu, ia menatap seluruh penjuru kota yang kini hanya menyisakan kehancuran dan hamparan debu. Ia memejamkan mata perlahan, mencoba merasakan setiap denyut kehidupan yang tersisa di bawah sana. Napasnya teratur, tenang, dan dalam keheningan itu ia mendengar bisikan alam, bahwa semua penduduk telah berhasil dievakuasi keluar dari kota. Tepat seperti yang ia rencanakan.Setengah hari telah ia habiskan untuk menahan serbuan pasukan tengkorak yang tak kunjung habis. Namun kini, beban itu sedikit terangkat dari bahunya. Matanya kembali terbuka, menatap lurus ke arah puncak menara tengkorak yang menjulang bagai tombak hitam menembus langit kelam. Di sana, berdiri sosok yang telah lama ia nantikan. Bibirnya melengkung, dan suara lirih keluar dari mulutnya, “Akhirnya, aku bisa bertarung tanpa beban.”Tanpa ragu, Angkara mulai mengal
Pasukan pemberontak segera berpencar ke segala penjuru kota, berlari menembus jalan-jalan sempit dan gang gelap untuk mengevakuasi para penduduk menuju tempat yang lebih aman. Teriakan dan suara langkah kaki bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang penuh kepanikan. Warga yang kebingungan berusaha memahami apa yang sedang terjadi, mengapa mereka harus meninggalkan rumah dengan tergesa, dan di mana para petugas kota yang biasanya menindas mereka kini tak tampak sama sekali.Franz, sang pemimpin pemberontak, berdiri di atap sebuah bangunan tiga lantai yang tak jauh dari pusat kota. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat dengan jelas menara tengkorak yang menjulang tinggi, menjangkau langit dengan aura kelam yang mengerikan. Ia menggigit jarinya dengan gelisah, matanya menyipit, mencoba menilai seberapa besar ancaman yang mereka hadapi. “Jadi itu yang kau maksud, Mawar?” tanyanya tanpa menoleh.“Benar,” jawab Mawar pelan. Tatapannya menerawang, mengingat kembali sosok berjubah
Di tengah lautan makhluk tengkorak berwarna putih yang jumlahnya tak terhingga, sosok Angkara berdiri di antara kabut perang. Dari tubuhnya memancar aura berkilau keemasan yang melingkupi pedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya tergenggam perisai hitam berukir wajah mengerikan yang tampak seolah hidup.Ia mengayunkan pedangnya ringan, namun setiap tebasan menciptakan getaran hebat yang menghantam tanah dan menghancurkan barisan pasukan tengkorak di depannya menjadi debu. Tebasan demi tebasan ia lakukan tanpa henti, disertai suara benturan yang bergema di udara. Setiap serangan yang diarahkan kepadanya tak pernah berhasil menembus pertahanannya, perisai hitam itu menyerap seluruh serangan dan memantulkannya kembali, menghancurkan musuh dalam sekali benturan.Angkara, sosok yang dulunya dikenal sebagai Dewa Perang, kini telah bereinkarnasi dalam tubuh seorang pelayan biasa. Namun pada saat ini, ia bukanlah manusia biasa, ia adalah mesin pembantai yang bergerak tanpa ras
Angkara yang baru saja menolong salah satu anggota pemberontak itu menatap lurus ke arah menara hitam di kejauhan. Aura kelam dari bangunan itu bergulung seperti kabut pekat yang menelan udara di sekitarnya. Dalam hatinya, ia sadar bahaya yang sedang mengintai. “Menara ini… berbahaya. Saat ini baru mencapai tahap pertama. Jika sampai tahap ketiga, bahkan para penghuni surgawi pun akan kesulitan. Setengah dari mereka terbantai pada kejadian sebelumnya…” pikirnya dengan wajah serius.Seraya mengangkat tangan kanannya, Angkara menggerakkan jari-jemarinya cepat, membentuk segel tak dikenal. Seketika aura hitam pekat mengalir dari tubuhnya dan membelit pasukan tengkorak di sekeliling mereka. Jeritan dari makhluk-makhluk itu bergema bersamaan, sebelum akhirnya tubuh-tubuh mereka terhimpit dan meledak menjadi abu. Namun bahkan setelah puluhan tengkorak hancur, masih banyak lagi yang bermunculan dari kaki menara, tak terbatas jumlahnya.Di tengah kekacauan itu, tawa mengerikan menggema dari
Menara itu memancarkan aura hitam pekat yang segera menelan seluruh kota. Warna gelap itu menjalar cepat, merayap di antara bangunan, menutupi jalanan, hingga perlahan menembus langit. Langit dunia bawah yang semula berwarna merah tanda datangnya pagi, berubah menjadi hitam legam seolah malam abadi baru saja lahir. Tak ada lagi cahaya, tak ada lagi bayangan, hanya gelap yang terasa menyesakkan dada, seperti kabut maut yang menindih seluruh kehidupan di bawahnya.Para penduduk menengadah, memandang langit dengan kebingungan dan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Tak ada yang berani bersuara lantang, beberapa hanya bergumam, mencoba memahami anomali yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia bawah. Namun, keheningan cepat berubah menjadi kepanikan. Mereka bukan merasa kagum atas keajaiban langit, melainkan dicekam rasa takut yang menusuk tulang, sebuah firasat buruk bahwa sesuatu yang mengerikan telah bangkit.Di depan sebuah toko roti kecil, seorang bocah laki-laki bern
Setelah menyaksikan adegan kacau di dunia bawah, Angkara memutuskan sudah waktunya pergi. Di matanya, tak ada lagi manfaat atau tujuan tinggal lebih lama di tempat itu, semua yang bisa dipelajari atau dimanfaatkan dari peristiwa tersebut telah selesai.“Kalau tak salah, si pirang tadi menyuruh lebih dari separuh pasukannya menuju kantor walikota, kan?” gumamnya pelan, sambil tetap tak terlihat. Ia mengaktifkan kembali kemampuan menyamarkan wujudnya, lenyap dari pandangan siapapun yang mungkin mengincarnya.Angkara segera keluar dari persembunyian pemberontak dan menempatkan dirinya di atas atap sebuah bangunan yang rendah, posisi yang memungkinkan ia memantau sekeliling tanpa terganggu. Dari sana, ia mengamati lanskap kota dengan tajam. Ia hendak mengetahui di mana markas walikota berada, pengetahuan itu penting untuk arah langkahnya selanjutnya.Langit dunia bawah perlahan memerah menandakan pagi akan datang. Cakrawala di sini tak serupa dunia timur, tak ada bulan yang lembut atau ma






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments