“Pemuda yang merusuh semalam adalah anak laki-laki Grayson Magani, kau sudah gila! Jelas-jelas aku melihat dua anaknya ikut hangus terbakar dalam kecelakaan itu!”
“Tenanglah Isaac, ini hanyalah dugaan. Kita belum tahu kebenarannya.”
Pria tua itu terduduk di kursi singgahsananya dan mencoba menenangkan dirinya. Ia begitu ingat bagaimana mayat-mayat itu terbakar di dalam mobil yang dikendarai Grayson kala itu, sungguh tak masuk akal baginya jika ada yang hidup. Bahkan ia hadir saat pemakaman keluarga tersebut.
Ia memijit pelipisnya menampakkan betapa frustasinya dirinya. “Panggil Nora, dia mungkin tahu sesuatu.”
Adik Isaac yang tidak lain adalah ayah Emilia itu segera menuruti perkataan kakaknya. Tak butuh waktu lama, wanita cantik itu sudah berada di depan ayahnya.
“Nora, ayah bersyukur kau selamat dari pemuda itu. Kau melihat wajahnya, atau Daniel juga mengetahuinya?”
Nora menatap ayahnya dengan serius. Ia sudah janji pada Daniel untuk tidak mengikut campurkan pria itu pada masalah yang ia buat.
“Ya. Aku melihatnya tapi tidak semua.”
“Maksudmu?” Emilia yang hanya menyimak percakapan panas itu, mengerutkan alisnya. Ia menyadari jika Nora mulai menyembunyikan sesuatu.
“Oh. Ayolah ayah! Dia hanya orang iseng yang mau merusak pesta pelantikan paman semalam, lagipula kenapa ayah dan paman begitu ketakutan jika benar itu adalah anak dari kerabat ayah dahulu?” Bukannya menjawab, Nora malah seperti menentang ayahnya.
“Apa karena ...” Nora menatap tajam mata kedua pria tua yang kini ada dihadapannya.
“Cukup. Kalau kau tak bisa memberi informasi, ayah akan minta pada Daniel ...”
“Ayah! Aku akan memberitahumu semua kejadian semalam tapi jangan pernah libatkan Daniel, dia tak tahu apa-apa,” sela Nora yang mencoba menahan emosinya.
****
Nora keluar dari ruang kerja ayahnya dengan berjalan cepat, suara hentakkan kakinya terdengar berisik memenuhi hotel yang kini ia tempati sementara di Kota Manchester. Ia berpikir akan pulang secepatnya di Jakarta, ia muak melihat semua sandiwara itu.
“Kau memang berani, Nora.” Emilia ternyata menyusulnya dan kini masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi.
Nora berbalik dan tersenyum kecut pada sepupunya itu. “Hei, ayolah. Aku ingin dengar tentang pria itu, sepertinya kau begitu tertarik padanya.” Emilia mengangkat kedua alisnya dan menatap mata Nora dengan tatapan menggoda.
Wajah Zaheen kembali muncul dipikirannya. “Apa akhirnya ada pria yang dapat menempus pertahanan hatimu yang seperti gumpalan es di kutub utara itu hahaha.” Emilia tertawa kecil, ia yang sudah bersama dengan Nora sejak kecil begitu tahu jika tidak ada satupun pria yang berhasil mendapatkan hati sepupunya itu. Tidak seperti dirinya, yang gampang sekali bergonta-ganti pasangan.
“Ya. Dia adalah tipeku, seperti dia yang dari dulu aku inginkan,” ucap Nora pelan sembari membayangkan wajah Zaheen lagi.
“Wah wah ... aku jadi begitu penasaran, tapi apakah dia juga menginginkanmu?” tanya Emilia yang membuat Nora tersadar.
Ia berbalik melihat Emilia, Nora terdiam sebentar lalu kembali tersenyum tipis. “Ya, tentu saja. Aku wanita yang cantik, anggun, kaya, tentu dia juga menginginkanku. Kalau dia tak melakukannya, aku akan membuatnya berlutut dan tergila-gila padaku.”
“Aku tidak pernah melihat sisimu yang ini, aku akan menanti pertunjukkan yang akan kau lakukan, Nora.”
****
“Kau sungguh tak ingin minum bir?” Kian berbisik pelan di telinga Zaheen, mata pria tersebut mencoba melirik beberapa wanita yang juga berdiri di sampingnya, menunggu lampu merah.
“Tidak,” tolak Zaheen mentah-mentah.
“Ayolah, gadis-gadis itu juga akan ke club depan sana.” Zaheen bahkan tak melirik wanita-wanita itu meski beberapa wanita di sana mencoba mengedipkan sebelah mata padanya.
“Aku sedang lelah, aku akan langsung pulang ke rumah.” Zaheen berjalan santai setelah lampu merah mulai menampakkan dirinya. Ia dan Kian terpaksa berpisah karena Kian ingin bermain dengan wanita-wanita tadi.
Gang kecil yang hanya mempunyai cahaya yang redup adalah jalan yang selalu Zaheen lewati sejak masih kecil, tentunya setelah kecelakaan maut yang mengubah seluruh hidupnya.
Di sanalah, ia dan Kian bertemu dan bersahabat hingga sekarang dan di rumah itu pula, mereka merasakan pedihnya kehidupan tanpa kedua orang tua. Kian adalah anak yang kabur dari rumah setelah diabaikan dan ibunya menikah lagi, sedangkan Zaheen adalah anak yang terpaksa kabur setelah melihat adanya pemberontakan di keluarganya yang mengakibatkan sebuah kecelakaan yang ternyata ulah dari kerabat ayahnya sendiri.
Ternyata manusia itu lebih kejam dari setan jika sudah berhadapan dengan harta.
Zaheen menghentikan langkah kakinya setelah dari kejauhan melihat beberapa orang berpakaian hitam mencoba masuk ke dalam rumahnya. Ia mempertajam penglihatannya, mencoba mengenali orang-orang itu, namun ia tak tahu siapa mereka.
Yang pasti, mereka mencari informasi tentang identitasnya, soal anak laki-laki bernama Zaheen Magani.
“Sial.” Zaheen berbalik dan kembali menjauh dari rumahnya sendiri setelah ada seseorang dari mereka yang tak sengaja melihatnya.
Zaheen mempercepat langkahnya, tak lupa ia juga menutup lebih rapat hoodie di kepalanya itu. Ia mencoba berpikir keras. Jika ia lari, itu akan membuat mereka makin curiga namun jika ia menghadapi mereka, mungkin saja ada yang mengetahui identitasnya.
Zaheen terus menunduk sembari melangkahkan kakinya lebih cepat setelah mendengar suara langkah kaki dari belakang, ia berbelok dan masuk ke gang lain.
“Akhirnya, aku menemukanmu.” Hampir saja ia menabrak seseorang itu. Zaheen segera melihat lurus ke depan dan kini mendapati wanita yang begitu ia hindari.
Sudah enam bulan sejak kejadian di Kota Manchester itu, mereka tak pernah lagi bertemu. “Kau ...” Mata Nora masih sama seperti malam itu, ia melihat Zaheen ibaratkan sudah menemukan harta karun yang sudah lama ia cari.
“Ck.” Tanpa mengatakan apapun, Zaheen terpaksa membuka hoodienya, melempar hoodie tersebut hingga keluar dari gang itu, lalu mendorong Nora agar punggungnya bertemu dengan tembok besar tersebut dan segera memeluk tubuh wanita itu.
“Sebentar saja,” bisiknya pelan.
Nora tentunya menerima pelukan itu, namun saat ia ingin melihat siapa yang mengejar Zaheen, Zaheen malah menciumnya yang mengakibatkan ia harus menutup mata.
Ya. Zaheen terpaksa melakukannya. Mereka harus berpura-pura menjadi sepasang kekasih yang sedang memaduh kasih di gang kotor itu.
“Dasar anak muda, tak tahu tempat,” ucap lelaki yang tadinya mengikuti Zaheen secara diam-diam.
“Kau sungguh kriminal yang gila.” Ucapan tersebut keluar dari bibir basah Nora. Zaheen tak menanggapinya sama sekali, ia masih melanjutkan aksinya hingga ia merasakan penguntit tersebut benar-benar sudah pergi.
Zaheen melepaskanya dan segera melihat pria tadi. Ia bernapas lega dan mulai menjauh pergi dari Nora.
“Sial,” gumamnya kesekian kalinya.
“Hei, setelah kau memanfaatkanku. Kau akhirnya pergi lagi, pria brengsek!”
Zaheen berhenti melangkahkan kakinya, iris mata hitamnya melihat Nora dari ujung mata itu. Zaheen mengelap bibirnya yang masih basah itu lalu kembali berjalan tak menghiraukan Nora.
“Hei, Kian! Tunggu jangan pergi!”
Ah benar, Zaheen hampir saja lupa nama bodoh yang ia akui pada Nora.
Kini wanita itu sudah berada di depan Zaheen lagi, mencoba menghalangi jalan pria itu. “Jadi kau benar-benar tinggal di daerah kumuh ini?”
Mata itu adalah mata kasihan, Zaheen benci melihat mata seperti itu apalagi ini anak dari pembunuh yang sudah merampas segalanya darinya.
“Kumuh kau bilang?” Zaheen mendorong Nora hingga punggung wanita tersebut menabrak tembok.
“Kau pikir, karena apa aku bisa tinggal di sini!” Zaheen memegang kuat kedua bahu Nora, matanya penuh dendam ditunjukkan oleh Zaheen, dan saat itu Nora sungguh ketakutan.
“Hentikan!” Wanita malang itu memegang dadanya sembari mengatur napasnya.
“Nona tidak apa-apa?” Daniel sungguh khawatir pada nonanya, bagaimana tidak. Saat lampu merah, Nora mengatakan kalau ia mau ke toko perhiasan yang ada di dekat lampu merah. Namun Nora tak kembali hingga akhirnya ia mendapatkan nonanya sudah terpojok.
Tanpa pikir panjang, Daniel langsung menghantam wajah Zaheen dengan kepalan tangannya. “Beraninya kau dengan nona Nora!” Daniel sungguh emosi, ia harus memberi pelajaran pada Zaheen.
“Daniel. Hentikan itu!” teriak Nora.
Zaheen memegang bibirnya yang berdarah. Plakkkk!
Zaheen tak menyangka jika Nora akan menampar sopir yang telah menolongnya. Tamparan itu terjadi dua kali dengan begitu keras. “Jangan pernah kau menyakitinya!”
Ini sungguh aneh, bagaimana bisa wanita itu malah berpihak pada pria yang menyakitinya.
Daniel menunduk dan mulai meminta maaf. “Maaf, Nona.” Daniel tak paham, setelah perlakuan kasar dari Zaheen, mengapa Nora masih saja mau dengan pria itu.
Nora menghampiri Zaheen dan memegang kedua pipinya “Kau tak apa?”
Zaheen terdiam.
Anak gadis Isaac itu ternyata sungguh mengharapkannya, ia tak tahu jika masuk ke dalam hidup wanita itu, apa yang akan terjadi, apakah ini akan menjadi buruk atau malah sebaliknya?
Nora membulatkan matanya setelah tangannya dipegang oleh Zaheen. “Maafkan aku,” gumam Zaheen pelan hampir tak terdengar. Ia menyesal, karena sunnguh itu seperti bukan dirinya.
“Aku akan memaafkanmu, tapi aku punya syarat.”
“Apa itu?” Zaheen menatap Nora.
“Jadilah milikku.”
Zaheen mengerutkan alisnya.
“Baiklah. Jika itu maumu, tapi jangan pernah menyesal telah mengambil jalan itu.”
Akhirnya, Zaheen mengambil jalan itu. Ia akan menjadikan Nora sebagai tempat untuk masuk ke dalam hidup Isaac. Namun, Zaheen harus menjaga hatinya, karena mungkin saja Nora akan membuatnya jatuh cinta.
Akhirnya, proyek hotel yang telah menjadi pusat perhatian Nora selama hampir setahun terakhir kini berdiri megah di depan matanya. Selesai dibangun dengan segala kerumitan dan dedikasi, hotel ini tampak seperti sebuah mahakarya yang memadukan kemewahan dan kenyamanan. Dengan langkah yang perlahan tapi pasti, Nora berjalan menyusuri koridor, menikmati setiap detail dari interior yang telah dirancang dengan penuh cinta dan ketelitian.Ketika memasuki lobi utama, Nora terpesona oleh luasnya ruangan yang dipenuhi dengan cahaya alami. Langit-langit tinggi dihiasi dengan lampu gantung kristal besar yang berkilau, memancarkan cahaya lembut ke seluruh penjuru ruangan. Lantai marmer yang berwarna krem bersih berkilauan di bawah kaki Nora, menciptakan kesan elegan dan megah. Di tengah lobi, sebuah meja resepsionis yang terbuat dari kayu mahoni mengkilap berdiri kokoh, dengan ukiran-ukiran halus yang menunjukkan sentuhan seni tradisional.Di sepanjang dinding, karya seni kontemporer tergantung d
Bus itu berhenti dengan suara rem yang berdecit, membangunkan Zaheen dari lamunannya sejenak. Dengan langkah pelan, ia naik ke dalam bus, memilih kursi paling pinggir di dekat jendela. Zaheen duduk, menempelkan kepala pada kaca yang dingin, dan memandangi kota malam yang berselimut kabut tipis. Lampu-lampu jalan bersinar redup, menciptakan bayangan panjang di trotoar basah.Di luar sana, kehidupan terus berjalan, kendaraan berlalu-lalang, dan orang-orang yang terburu-buru pulang. Namun, di dalam bus yang hampir kosong ini, waktu seolah melambat. Zaheen terdiam, pikirannya melayang-layang antara kenyataan dan ingatan yang menyakitkan. Masa depan tampak begitu jauh, seperti bayangan samar di ujung jalan yang gelap.Ia memikirkan mimpi-mimpinya, harapannya, dan semua ketakutan yang mengiringi setiap langkah. Ada trauma yang masih melekat di dalam hatinya, seperti bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Kenangan-kenangan lama itu muncul tanpa diundang, menyesakkan dadanya. Zaheen menarik
Zaheen berdiri di depan gerbang pemakaman dengan hati yang berdebar-debar. Selama bertahun-tahun, ia menghindari tempat ini, tempat yang penuh dengan kenangan pahit dan rasa sakit yang tak terucapkan. Angin sore menghembus lembut, membawa aroma bunga kamboja yang gugur dari pepohonan tua di sekitar makam.Langkahnya terasa berat saat ia mulai berjalan menyusuri jalan setapak berbatu menuju area pemakaman keluarga. Hatinya berkecamuk dengan berbagai perasaan; rasa bersalah, kehilangan, dan kerinduan yang mendalam. Sejak kecelakaan tragis itu terjadi, Zaheen selalu merasa terjebak dalam lingkaran penyesalan, bertanya-tanya apakah ia bisa melakukan sesuatu untuk mengubah nasib keluarganya.Zaheen berhenti di depan dua nisan yang berdiri berdampingan dan satu batu nisan kecil yang menandakan batu nisan adik perempuan tersayangnya, tertutup rumput liar yang sudah mulai tumbuh lebat. Ia berlutut, tangannya gemetar saat meraih rumput-rumput itu dan mencabutnya perlahan. Di hadapannya, terpah
“Jadi kau tahu, aku telah mengundurkan diri?”Nora menunduk lalu bertanya. “Apa yang mengganggumu?”Zaheen terdiam dengan pertanyaan itu. “Tak ada Nora, hanya… aku tak ingin di ketahui oleh orang-orang jika aku kekasihmu. Aku juga takut, ayahmu tahu tentang kita.”Deg.“Belum lagi, reputasimu sebagai anak dari seorang CEO terkenal, penari balet dan pewaris akan hancur berantakan hanya karena mencintai seorang pekerja proyek. Aku tentunya memikirkan itu semua, Nora.”Gadis itu mendongakkan kepalanya, ia menatap Zaheen dengan mata yang berkaca-kaca.“Maafkan aku karena tak memberitahumu terlebih dahulu.” Tangan Zaheen perlahan menyentuh tangan Nora, ia menyentuhnya dengan lembut seakan mencoba meminta maaf dan semoga Nora bisa mengerti dengan alasannya, semua itu demi kebaikan bersama. Tak perlu ada yang mengetahui mereka punya hubungan karena semua akan rusak.Ya. Hubungan itu tidak akan bertahan selamanya, seiring berjalannya waktu mereka tetap akan berpisah karena memang suatu saat b
“Jadi kau tak bisa mengelak lagi padaku, kau adalah Zaheen Magani. Ya, kan. Zaheen?”Emilia berjalan selangkah mendekat, ia berdiri tepat di depan tubuh Zaheen lalu mendekatkan wajahnya perlahan namun pasti, ia menatap dalam pria itu seolah tipu dayanya dan godaannya pada lelaki itu akan berhasil.“Iya, aku memang Zaheen.” Suara itu terdengar jelas di telinganya membuat Emilia makin mendekatkan wajahnya seolah akan mencium pria itu namun Zaheen berdiri dan malah melangkah mendekati jendela guna menghirup udara segar pagi ini. Bersama Emilia begitu panas dan sesak menurutnya.Gadis itu berkacak pinggang, ia mencoba memendam rasa kesalnya karena sudah berkali-kali di tolak. “Jadi Nora termasuk dalam rencanamu menghancurkan paman Isaac, itu artinya kau tak sungguh-sungguh menyukainya, bukan?”Zaheen terdiam mendengar pertanyaan Emilia yang terus-terus saja berulang, seperti sulit sekali menjawab kebohongan yang Zaheen ciptakan sendiri, bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu akan jawaban s
“Aku Aiden, pria yang kau lihat bersama Eleonora. Aku sudah lama menguntitmu, ternyata kau ini kekasihnya.”“Aiden? Pria yang mengemis cinta pada kekasihku beberapa bulan lalu yaa?”Zaheen dan Aiden saling bertatapan dengan tajam. Mata mereka beradu, seolah ada ketegangan yang menggantung di antara mereka. Orang-orang di sekitar mereka berlalu lalang, tak menyadari pertemuan yang penuh emosi ini. Hiruk pikuk ramainya kota pun tak mampu meredakan emosi kedua pria itu.“Sebenarnya apa sih maumu?” tanya Zaheen menyelidik. “Pasti, kau tidak serius dengannya kan? Apa yang sedang kau rencanakan?” lanjutnya.“Siapa yang tidak mau dengan gadis seperti dia. Eleonora begitu cantik, anggun, cerdas dan yang paling penting pewaris Magani Company,”jelas Aiden dengan percaya diri.Zaheen mengerutkan alisnya lalu ia tersenyum miring. “Cih... kau sungguh tak tahu apapun ya,” gumamnya.“Kau yang tak tahu apapun, brengsek. Pria miskin sepertimu yang tak punya pendidikan memangnya tahu apa, hah!” suara A