Sang pemilik mata hitam itu tepat duduk di samping Nora dengan pistol yang masih berada di kepala Nora bersiap menembaknya jika saja ia melawan. Suara teriakannya membuat ketegangan begitu terasa di dalam mobil tersebut.
“Jalankan mobilnya!”
Daniel begitu ragu, namun ia menatap Nora dengan mata yang berbinar. “Jalankan mobilnya, Daniel.” Suara lembut itu terdengar pelan, Daniel dengan terpaksa menuruti ucapan nonanya yang menyuruhnya mengikuti permainan si kriminal.
“Lebih cepat!” bentak pria itu pada Daniel.
Tanpa mengatakan apapun, Daniel makin menginjak gas hingga kecepatan tinggi. Pria itu menoleh ke belakang melihat polisi yang mengejarnya mulai menjauh, Daniel benar-benar sopir handal, ia bisa menghindari kejaran polisi dengan cepat.
Nora merasakan jika pistol itu mulai menjauh dari kepalanya. Wanita bermata coklat itu menghela napas panjang dan kembali menatap pria beriris hitam tersebut dan benar saja, pria itu adalah lelaki yang membuatnya tertarik.
Jantungnya berdekat lebih kencang tak seperti biasanya, situasi menegangkan itu tidak sama sekali membuatnya takut, namun ia masih merasa jika pria itu memancarkan pesona aneh yang membuat hatinya tak karuan.
Aura gelap mereka mungkin sama.
“Kau tak usah meragukan bagaimana sopirku bekerja, Tuan.”
Pria itu berbalik melihat wajah cantik Nora. Ini pertama kalinya mereka kembali saling bertatapan, jika dilihat dari raut wajahnya, sepertinya pria itu juga mulai mengingat siapa wanita yang sedang ia sandera itu.
Senyuman kecil terpancar di wajah wanita itu, ia segera menurunkan pistol dari pria itu lalu menggenggamnya. “Aku tidak menyangka jika kita akan bertemu di negara orang dengan keadaan seperti ini.”
“Kau ... Eleonora?”
Nora menatap dalam pria itu, ia sedikit terkejut. “Ini sungguh tak adil, kau tahu namaku?”
Pria itu segera menghindari tatapan Nora namun wanita itu segera memegang pipinya membuat pria tersebut menoleh kembali. Bagi Nora, dunianya itu seperti berhenti, tak peduli keributan di luar sana, yang penting pria itu akan jadi miliknya sekarang.
Pria bernama lengkap Zaheen Magani itu masih menatap kedua iris mata coklat tersebut, ia mengerutkan alisnya perlahan setelah ia merasakan sentuhan tangan wanita itu. Zaheen baru menyadari jika wanita yang sekarang ada di sampingnya adalah Nora, anak dari pria tua yang begitu ia benci.
Mata Zaheen membulat sempurna setelah merasakan kehangatan di bibirnya, rasa manis yang segera menjalar di dalamnya membuatnya hampir terbawa suasana. Ternyata Eleonora adalah gadis yang berbahaya sama seperti ayahnya, caranya yang tak terduga mendekati Zaheen adalah bukti bahwa wanita itu seperti ular.
Nora melepaskan ciumannya dan sekali lagi menatap Zaheen. Dorongan dari ciuman itu ternyata membuat hoodie hitam sang pria terlepas, Nora tak sengaja melihat luka bakar di leher Zaheen namun segera Zaheen tutup kembali.
“Itu ... “
“Di depan belok kiri,” ujar Zaheen pada Daniel yang segera dituruti oleh Daniel.
“Kau akan pergi?” tanya Nora.
“Ya.” Zaheen melihat dari kejauhan mobil yang begitu ia kenal, rupanya sahabatnya itu sudah menunggunya di sana.
“Temui aku lagi.” Suara Nora kembali terdengar, dan itu kedengarannya seperti meminta kepastian.
Melihat pancaran harapan pada mata Nora, Zaheen tersenyum miring. “Kau tertarik padaku?” tanyanya.
“Tidak,” dustanya, ternyata Nora juga pintar berbohong.
Zaheen tersenyum tipis lalu segera membuka pintu mobil saat mobil tersebut masih berjalan, sepertinya dia akan melakukan adegan berbahaya sekarang. “Aku harus pergi sekarang.”
Nora kembali menahan tangannya. “Beritahu aku namamu?”
Zaheen berhenti sejenak. “Kian ... namaku Kian.” Setelah mengatakannya, Zaheen segera melompat dari mobil dan masuk ke dalam mobil sahabatnya.
Daniel segera menghentikan mobilnya lalu bernapas lega, ia sampai memegang kepalanya saking paniknya tadi. Jika terjadi apa-apa pada nonanya, ia mungkin akan di bunuh oleh tuan Isaac.
“Jangan beritahu ayah soal kejadian ini, maka kau juga akan aman.”
Daniel perlahan berbalik melihat keadaan Nora. Seperti biasa, wanita itu begitu tenang. Tapi muncul beribu pertanyaan pada nonanya, apa nonanya mengenal pria kriminal itu, apa sebenarnya hubungan mereka, di mana mereka bertemu sebelumnya, dan mengapa nonanya mencium pria itu.
“Tapi nona, Tuan pasti tahu jika kita di sandera oleh pria tadi.”
“Kau tak perlu bicara padanya, serahkan saja semua padaku.”
Daniel mengangguk pasrah. “Lupakanlah apa yang kau lihat tadi.” Dari Nora remaja, Daniel sudah bersamanya dan Daniel baru melihat Nora mencium lelaki lain, penjagaan yang ketat membuat Nora tidak pernah bergaul dengan sembarang orang.
Tapi pria itu, siapa sebenarnya dia hingga membuat Nora melakukannya.
Polisi segera mengepung mobil mereka, mungkin mereka mengira jika Zaheen masih ada di dalam sana. “Biar aku saja, yang menghadapi polisi itu.” Nora segera keluar dari mobilnya menghadap beberapa polisi yang berada di sekitarnya.
****
“Kau niat sekali ke Kota Manchester untuk menggagalkan pelantikan itu lalu kau hampir tertangkap di negara orang. Jika itu terjadi, tamatlah riwayatmu, Zaheen.” Kian terus menceramahi sahabatnya yang begitu keras kepala. Bagaimana tidak, Zaheen nekad mengikuti rombongan ayah Nora saat pelantikan dan merusuh di sana.
Kian yang sudah mengenal Zaheen sejak lama, begitu tahu kelakuan sahabatnya itu. Ia akan melakukan cara untuk apapun yang menghalangi jalannya.
“Kau salah, Kian. Justru memberontak di negara orang itu lebih bagus. Setelah ini kita langsung ke bandara untuk kabur.” Alasan yang sedikit masuk akal terdengar dari mulut Zaheen.
“Kau yakin, tak ada yang mengenali wajahmu? Aku takut di bandara kita di tahan?” tanya Kian.
“Ada satu orang yang tahu,” jawab Zaheen enteng.
“Apa! Siapa?” panik Kian, ia hampir saja menginjak pedal gas.
“Anak dari Isaac. Eleonora.” Zaheen kembali mengingat wajah perempuan itu.
Wanita bermata coklat yang teduh, kulitnya putih agak pucat dan memiliki bibir yang manis. Zaheen bisa menyimpulkan itu setelah ciuman yang mendarat di bibirnya beberapa saat lalu.
“Tapi tenang saja, ia tak mengenalku sebagai Zaheen melainkan Kian.”
“A ... apa?” Kian makin kaget lagi.
“Kau menggunakan namaku!” sambung Kian dengan suara kerasnya.
Zaheen tersenyum miring. “Ya. Mau bagaimana lagi, soalnya dia tanya siapa namaku,” katanya tanpa dosa.
“Dia juga tak sengaja melihat luka bakar di leherku.”
“Hah!” Kian sungguh tak fokus mengemudi sekarang saking syoknya dia. Selama berteman dengan Zaheen, ia baru melihat Zaheen seceroboh itu.
“Kau tenang saja, dia tak ada apa-apanya dibanding yang lain. dia hanya gadis biasa.” Zaheen terdiam. Bayang-bayang wanita itu kembali muncul dibenaknya, cara bagaimana ia dilihat oleh wanita itu, cara wanita itu menarik hoodienya dan cara wanita itu menciumnya.
Kenapa Zaheen harus terjebak dengan putri pria yang telah menghabisi nyawa keluarganya.
Akhirnya, proyek hotel yang telah menjadi pusat perhatian Nora selama hampir setahun terakhir kini berdiri megah di depan matanya. Selesai dibangun dengan segala kerumitan dan dedikasi, hotel ini tampak seperti sebuah mahakarya yang memadukan kemewahan dan kenyamanan. Dengan langkah yang perlahan tapi pasti, Nora berjalan menyusuri koridor, menikmati setiap detail dari interior yang telah dirancang dengan penuh cinta dan ketelitian.Ketika memasuki lobi utama, Nora terpesona oleh luasnya ruangan yang dipenuhi dengan cahaya alami. Langit-langit tinggi dihiasi dengan lampu gantung kristal besar yang berkilau, memancarkan cahaya lembut ke seluruh penjuru ruangan. Lantai marmer yang berwarna krem bersih berkilauan di bawah kaki Nora, menciptakan kesan elegan dan megah. Di tengah lobi, sebuah meja resepsionis yang terbuat dari kayu mahoni mengkilap berdiri kokoh, dengan ukiran-ukiran halus yang menunjukkan sentuhan seni tradisional.Di sepanjang dinding, karya seni kontemporer tergantung d
Bus itu berhenti dengan suara rem yang berdecit, membangunkan Zaheen dari lamunannya sejenak. Dengan langkah pelan, ia naik ke dalam bus, memilih kursi paling pinggir di dekat jendela. Zaheen duduk, menempelkan kepala pada kaca yang dingin, dan memandangi kota malam yang berselimut kabut tipis. Lampu-lampu jalan bersinar redup, menciptakan bayangan panjang di trotoar basah.Di luar sana, kehidupan terus berjalan, kendaraan berlalu-lalang, dan orang-orang yang terburu-buru pulang. Namun, di dalam bus yang hampir kosong ini, waktu seolah melambat. Zaheen terdiam, pikirannya melayang-layang antara kenyataan dan ingatan yang menyakitkan. Masa depan tampak begitu jauh, seperti bayangan samar di ujung jalan yang gelap.Ia memikirkan mimpi-mimpinya, harapannya, dan semua ketakutan yang mengiringi setiap langkah. Ada trauma yang masih melekat di dalam hatinya, seperti bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Kenangan-kenangan lama itu muncul tanpa diundang, menyesakkan dadanya. Zaheen menarik
Zaheen berdiri di depan gerbang pemakaman dengan hati yang berdebar-debar. Selama bertahun-tahun, ia menghindari tempat ini, tempat yang penuh dengan kenangan pahit dan rasa sakit yang tak terucapkan. Angin sore menghembus lembut, membawa aroma bunga kamboja yang gugur dari pepohonan tua di sekitar makam.Langkahnya terasa berat saat ia mulai berjalan menyusuri jalan setapak berbatu menuju area pemakaman keluarga. Hatinya berkecamuk dengan berbagai perasaan; rasa bersalah, kehilangan, dan kerinduan yang mendalam. Sejak kecelakaan tragis itu terjadi, Zaheen selalu merasa terjebak dalam lingkaran penyesalan, bertanya-tanya apakah ia bisa melakukan sesuatu untuk mengubah nasib keluarganya.Zaheen berhenti di depan dua nisan yang berdiri berdampingan dan satu batu nisan kecil yang menandakan batu nisan adik perempuan tersayangnya, tertutup rumput liar yang sudah mulai tumbuh lebat. Ia berlutut, tangannya gemetar saat meraih rumput-rumput itu dan mencabutnya perlahan. Di hadapannya, terpah
“Jadi kau tahu, aku telah mengundurkan diri?”Nora menunduk lalu bertanya. “Apa yang mengganggumu?”Zaheen terdiam dengan pertanyaan itu. “Tak ada Nora, hanya… aku tak ingin di ketahui oleh orang-orang jika aku kekasihmu. Aku juga takut, ayahmu tahu tentang kita.”Deg.“Belum lagi, reputasimu sebagai anak dari seorang CEO terkenal, penari balet dan pewaris akan hancur berantakan hanya karena mencintai seorang pekerja proyek. Aku tentunya memikirkan itu semua, Nora.”Gadis itu mendongakkan kepalanya, ia menatap Zaheen dengan mata yang berkaca-kaca.“Maafkan aku karena tak memberitahumu terlebih dahulu.” Tangan Zaheen perlahan menyentuh tangan Nora, ia menyentuhnya dengan lembut seakan mencoba meminta maaf dan semoga Nora bisa mengerti dengan alasannya, semua itu demi kebaikan bersama. Tak perlu ada yang mengetahui mereka punya hubungan karena semua akan rusak.Ya. Hubungan itu tidak akan bertahan selamanya, seiring berjalannya waktu mereka tetap akan berpisah karena memang suatu saat b
“Jadi kau tak bisa mengelak lagi padaku, kau adalah Zaheen Magani. Ya, kan. Zaheen?”Emilia berjalan selangkah mendekat, ia berdiri tepat di depan tubuh Zaheen lalu mendekatkan wajahnya perlahan namun pasti, ia menatap dalam pria itu seolah tipu dayanya dan godaannya pada lelaki itu akan berhasil.“Iya, aku memang Zaheen.” Suara itu terdengar jelas di telinganya membuat Emilia makin mendekatkan wajahnya seolah akan mencium pria itu namun Zaheen berdiri dan malah melangkah mendekati jendela guna menghirup udara segar pagi ini. Bersama Emilia begitu panas dan sesak menurutnya.Gadis itu berkacak pinggang, ia mencoba memendam rasa kesalnya karena sudah berkali-kali di tolak. “Jadi Nora termasuk dalam rencanamu menghancurkan paman Isaac, itu artinya kau tak sungguh-sungguh menyukainya, bukan?”Zaheen terdiam mendengar pertanyaan Emilia yang terus-terus saja berulang, seperti sulit sekali menjawab kebohongan yang Zaheen ciptakan sendiri, bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu akan jawaban s
“Aku Aiden, pria yang kau lihat bersama Eleonora. Aku sudah lama menguntitmu, ternyata kau ini kekasihnya.”“Aiden? Pria yang mengemis cinta pada kekasihku beberapa bulan lalu yaa?”Zaheen dan Aiden saling bertatapan dengan tajam. Mata mereka beradu, seolah ada ketegangan yang menggantung di antara mereka. Orang-orang di sekitar mereka berlalu lalang, tak menyadari pertemuan yang penuh emosi ini. Hiruk pikuk ramainya kota pun tak mampu meredakan emosi kedua pria itu.“Sebenarnya apa sih maumu?” tanya Zaheen menyelidik. “Pasti, kau tidak serius dengannya kan? Apa yang sedang kau rencanakan?” lanjutnya.“Siapa yang tidak mau dengan gadis seperti dia. Eleonora begitu cantik, anggun, cerdas dan yang paling penting pewaris Magani Company,”jelas Aiden dengan percaya diri.Zaheen mengerutkan alisnya lalu ia tersenyum miring. “Cih... kau sungguh tak tahu apapun ya,” gumamnya.“Kau yang tak tahu apapun, brengsek. Pria miskin sepertimu yang tak punya pendidikan memangnya tahu apa, hah!” suara A