Menikahi Pewaris Dingin

Menikahi Pewaris Dingin

last updateLast Updated : 2025-11-17
By:  SolaceReinaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 rating. 1 review
101Chapters
417views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Clara, seorang pewaris yang tertekan, terancam kehilangan perusahaan warisan ayahnya karena hutang dan intrik pamannya. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan menerima perjodohan paksa dengan pengusaha tua yang serakah, Tuan Hendra. Namun, Clara menolak untuk menyerah. Ia membuat taruhan gila: ia hanya punya satu bulan untuk menemukan calon suami demi membatalkan perjodohan itu. Dalam keputusasaan, ia menemukan Alex, seorang CEO muda yang dingin, arogan, dan kejam. Alex setuju menjadi "suami palsu" Clara, tetapi dengan syarat: pernikahan mereka hanyalah bisnis, tanpa emosi, dan Clara harus tunduk pada setiap kemauannya. Clara pikir ia telah menemukan jalan keluar, tetapi ia tidak sadar bahwa ia telah melompat dari satu neraka ke neraka lainnya. Saat mereka terpaksa berakting mesra di depan keluarga Alex, Clara menemukan bahwa di balik sikap dingin Alex, tersembunyi rahasia kelam dan rencana balas dendam. Keadaan semakin rumit ketika Clara mendapati dirinya menderita sakit, yang ia salah sangka sebagai tanda kehamilan. Hubungan palsu mereka menjadi nyata ketika Clara didiagnosis memiliki tumor dan Alex, secara mengejutkan, mengambil alih perawatannya. Di tengah semua konflik ini, Clara mulai melihat sisi rapuh dari Alex, membuka pintu pada sebuah ikatan yang tak terduga. Namun, apakah hubungan ini akan bertahan saat ancaman dari Tuan Hendra dan mantan kekasih Alex, Elena, terus membayangi, siap untuk membongkar rahasia pernikahan palsu mereka?

View More

Chapter 1

Bab 1: Jebakan makan Malam

Pantulan Clara di cermin kamar mandi terlihat asing. Gaun navy yang membalut tubuhnya—hadiah dari Paman Robert minggu lalu—terasa seperti seragam tahanan. Bukan pakaian untuk pesta ulang tahun teman, tapi kostum untuk pertunjukan yang tidak ia inginkan.

Jari-jarinya merapikan lipatan gaun di pinggang. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Gerakan mekanis untuk menenangkan debar jantung yang mulai tidak teratur.

"Sudah siap, Clara?"

Suara Paman Robert menembus pintu kayu. Nada ramah yang dipaksakan—Clara sudah hapal polanya. Semakin manis suaranya, semakin busuk niat di baliknya.

Clara menatap pintu tertutup itu. Ia bisa membayangkan Paman Robert berdiri di sana dengan senyum lebarnya, menunggu seperti penjaga penjara yang sabar.

"Sebentar, Paman."

Tangannya meraih cincin di meja rias—cincin emas dengan ukiran bunga melati yang dulu selalu melingkar di jari ayahnya. Cincin yang menjadi satu-satunya harta berharga yang tersisa setelah tiga tahun kekacauan finansial menghantam Arta Group.

Logam dingin itu terasa berat di jarinya. Seperti menggenggam tangan ayahnya untuk terakhir kali.

"Clara." Ketukan di pintu. Lebih keras kali ini.

Ia mengambil napas panjang, memasang topeng—senyum tipis yang tidak mencapai mata. Pintu terbuka.

Paman Robert berdiri dengan setelan abu-abu mahal yang terlalu ketat di perutnya. Matanya menyapu Clara dari atas ke bawah, menilai seperti pedagang yang memeriksa barang dagangan.

"Cantik," katanya. Tapi pujian itu terdengar seperti ancaman. "Tuan Hendra akan senang."

Nama itu membuat perut Clara bergejolak.

"Paman bilang kita akan ke pesta Dina."

"Berubah rencana." Paman Robert tersenyum lebar—terlalu lebar. "Ada urusan penting yang harus kita selesaikan dulu. Urusan yang akan menyelamatkan Arta Group."

Clara mengikutinya ke mobil dengan langkah berat. Setiap langkah terasa seperti mendekati jurang.

Di dalam mobil mewah yang menyala AC-nya terlalu dingin, Paman Robert memasang musik klasik—sesuatu yang biasa ayahnya lakukan. Tapi di telinga Clara, melodi itu terdengar seperti lagu pengantar ke altar pengorbanan.

"Kau tahu betapa buruknya kondisi perusahaan sekarang, kan?" Paman Robert memecah keheningan, matanya menatap jalan di depan.

Clara mengangguk kecil. Tentu ia tahu. Setiap malam ia membaca laporan keuangan yang semakin merah, menghitung berapa lama lagi sebelum Arta Group—warisan tiga generasi keluarganya—benar-benar runtuh.

"Hutang ke bank, ke investor, ke supplier. Semuanya menumpuk." Paman Robert menghela napas panjang, teatrikal. "Aku sudah berusaha keras, Clara. Tapi ada batasnya."

*Kau yang membuat hutang itu menumpuk,* batin Clara. *Dengan perjudian dan investasi bodohmu.*

Tapi ia tidak bersuara. Sudah tiga tahun ia belajar bahwa diam lebih aman daripada melawan.

Mobil berhenti di depan restoran mewah dengan lampu kristal berkilauan di setiap sudut. Le Château

tempat yang hanya didatangi oleh orang-orang dengan rekening bank tujuh digit ke atas.

Paman Robert keluar lebih dulu, membukakan pintu untuk Clara dengan sopan santun palsu. "Ingat," bisiknya saat Clara melewatinya, "bersikap manis. Senyum. Jangan buat aku malu."

Ruang VIP di lantai dua restoran itu dipenuhi aroma daging panggang dan anggur merah. Meja panjang sudah disiapkan dengan tatanan sempurna—piring keramik putih, gelas kristal, bunga mawar merah di tengah.

Dan di ujung meja, duduk seorang pria tua.

Clara mengenalinya dari foto-foto di media bisnis. Tuan Hendra Kusuma—pengusaha tambang yang terkenal dengan kekayaannya yang melimpah dan skandal perceraiannya yang kotor. Usia enam puluh lima tahun dengan wajah keriput seperti kertas kusut, mata kecil yang tajam, dan senyum yang membuat kulit Clara merayap tidak nyaman.

"Ah, Clara!" Tuan Hendra bangkit—gerakan lamban dari tubuh yang sudah terlalu tua. "Paman Robertmu tidak bohong. Kau memang cantik."

Tatapannya menelanjangi Clara. Bukan tatapan kagum, tapi tatapan... kepemilikan.

Clara memaksa senyum tetap bertahan di wajahnya meskipun setiap sel tubuhnya berteriak untuk lari.

"Selamat malam, Tuan Hendra."

"Duduklah, duduklah!" Paman Robert sudah menarik kursi, memposisikan Clara tepat di seberang Tuan Hendra. Ia sendiri duduk di ujung—pengamat yang puas.

Pelayan datang dengan wine merah. Tuan Hendra mengangkat gelasnya.

"Untuk pertemuan yang... menguntungkan."

Paman Robert menyahut dengan tawa. Clara hanya mengangkat gelasnya, tidak menyentuh bibir ke cairan merah itu.

Makanan datang—*foie gras*, daging *wagyu*, *truffle*. Makanan mahal yang rasanya seperti karton di lidah Clara karena perutnya terlalu kencang untuk menerima apa pun.

"Clara," Tuan Hendra memulai setelah gigitan ketiga dagingnya, "Paman Robertmu pasti sudah cerita tentang... proposal kami."

Proposal. Kata yang terlalu bersih untuk transaksi kotor.

Clara menatap Paman Robert. Pria itu mengangguk—isyarat untuk menjawab dengan hati-hati.

"Paman belum menjelaskan detailnya."

Tuan Hendra tertawa—suara serak yang menggema di ruangan pribadi itu. "Baik, baik. Aku suka wanita yang langsung ke inti." Ia meletakkan sendok dan garpu, condong ke depan. "Aku menawarkan untuk melunasi semua hutang Arta Group. Semuanya. Bank, investor, supplier. Bersih."

Jeda dramatis.

"Sebagai gantinya, kau menikah denganku."

Kata-kata itu mendarat seperti bom. Clara merasakan telinganya berdengung, dunia sedikit berputar.

"Me-nikah?"

"Ya." Tuan Hendra tersenyum, menunjukkan gigi emasnya. "Aku butuh istri muda. Untuk menemani hari tuaku. Untuk... memberiku keturunan." Tatapannya turun ke tubuh Clara dengan cara yang membuat kulitnya terasa kotor. "Dan kau butuh uang untuk menyelamatkan perusahaan ayahmu. Saling menguntungkan, bukan?"

Paman Robert menyela dengan antusias, "Ini kesempatan emas, Clara! Tuan Hendra sangat murah hati. Dengan pernikahan ini, Arta Group bisa bangkit lagi!"

Clara menatap mereka berdua. Paman yang seharusnya melindunginya. Pria tua yang menatapnya seperti barang dagangan.

"Ayahku tidak akan pernah setuju dengan ini."

Suaranya keluar lebih kecil dari yang ia inginkan—suara seorang anak kecil yang mencari perlindungan orang tua yang sudah tidak ada.

Paman Robert memasang wajah serius. "Ayahmu sudah meninggal, Clara." Kata-kata itu ditusukkan dengan tajam, sengaja. "Dan dialah yang meninggalkan hutang-hutang ini. Kau pikir aku senang dalam situasi ini? Aku juga korban. Tapi kita harus realistis."

"Realistis," Clara mengulang, kata itu terasa pahit.

Tuan Hendra mengulurkan tangannya melewati meja—tangan keriput dengan bintik-bintik usia, kuku yang terlalu rapi untuk seorang pria. "Aku bisa memberimu segalanya, Clara. Rumah mewah, mobil, perhiasan. Hidup tanpa kekurangan."

Clara menatap tangan itu. Tidak menyentuhnya.

"Aku butuh waktu untuk berpikir."

Senyum Tuan Hendra pudar sedikit. "Waktu? Sayangku, hutang tidak menunggu. Bank sudah mengancam penyitaan aset bulan depan."

"Satu bulan," Clara berkata cepat, otaknya bekerja mencari celah. "Beri aku satu bulan."

"Untuk apa?" Paman Robert terdengar jengkel. "Kau pikir ada solusi lain?"

Clara meraih cincin di jarinya—cincin ayahnya—dan melepasnya dengan gerakan yang diperhitungkan. Ia letakkan di tengah meja, di antara piring-piring mewah.

"Jika dalam satu bulan aku tidak bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara lain... aku akan menikah dengan Tuan Hendra." Ia menatap kedua pria itu bergantian. "Tapi kalau aku berhasil, perjodohan ini batal. Dan cincin ini—cincin warisan ayahku—jadi jaminan."

Tuan Hendra menatap cincin itu, mata kecilnya berkilat serakah. Emas murni dengan ukiran rumit—nilainya tidak kecil.

"Menarik." Ia mengambil cincin itu, memutar-mutarnya di antara jari gemuknya. "Aku suka wanita yang pemberani. Baiklah. Satu bulan. Tapi kalau kau gagal"—senyumnya melebar—"kau bukan hanya akan menikah denganku. Kau juga akan patuh. Sepenuhnya."

Ancaman di balik kata-kata itu jelas.

Clara bangkit, kakinya sedikit gemetar tapi ia paksa untuk tetap berdiri tegak. "Saya permisi."

Ia keluar dari ruang VIP itu tanpa menoleh. Paman Robert memanggil namanya, tapi ia terus berjalan—melewati lorong dengan karpet merah tebal, turun tangga marmer, keluar ke udara malam yang terasa lebih bersih meskipun kota penuh polusi.

Di trotoar, Clara bersandar ke dinding bangunan, napasnya terengah. Tangannya bergetar—seluruh tubuhnya bergetar.

Satu bulan.

Tiga puluh hari untuk menemukan solusi.

Tiga puluh hari untuk menemukan jalan keluar dari jebakan yang dirancang Paman Robert dengan sempurna.

Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor yang tidak tersimpan:

"Keputusan bodoh, Clara. Tapi aku suka permainan ini. Jangan kecewakan aku. —H"

Clara menatap layar ponsel, kemudian ke langit malam yang tertutup polusi cahaya kota. Di suatu tempat di luar sana, harus ada jalan keluar.

Harus.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Valentine Gabriella
🫰🫰🫰🫰🫰
2025-11-15 11:30:47
0
101 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status