Prang!Kembali Aini tersentak, bunyi barang jatuh terdengar jelas, ia kembali melihat ke sekitarnya tak ada benda jatuh apapun, lalu dari mana benda itu berasal?Aini berdiri dengan sisa tenaga, memutari sekitar rumah di mana mungkin saja ada sesuatu jatuh dan tak di lihatnya, namun sepanjang matany memandang semua masij sama berada di tempatnya."Tante!"Aini terdiam, teriakan seorang anak terdengar jelas dan suaranya kenapa begitu mirip dengan Lala."Lala?" Aini memanggil nama Lala pelan, memastikan dia mungkin salah mendengar.Brak!Kali ini suara di pintu depan seakan di banting kuat. Tubuh Aini sudah penuh keringat, ia merasa cemas dan semakin takut sekarang."Siapa itu?" Dia bertanya, berharap itu mungkin manusia, sekarang dia lebih memilih Sri atau pencuri muncul di hadapannya, setidaknya itu manusia, ia bisa lawan sendiri."Jangan main-main dengan aku!" Teriak Aini gemetar, setelahnya ia berjalan ke depan.Glek! Glek!Ia memeriksa pintu, pintu itu masih terkunci, tapi jelas di
Aini terbangun dari tidurnya, menyadari dirinya di dalam bath up ia terkejut dan segera keluar dari dalam sana."Kenapa aku ada di dalam kamar mandi?"Tubuhnya gemetar hebat dan segera mengeringkan dirinya di dalam kamar. Setelah berganti baju, Aini duduk dengan lemas di tepian ranjang"Apa yang terjadi padaku?" Ucapnya sendiri, ia terus memukul kepalanya yang pening dan perlahan ia mulai megingat semuanya dengan jelas."Mutia, Mesya!" Segera Aini berlari ke kamar anak-anaknya dan bernapas lega saat dua putrinya itu masih tertidur pulas.Tubuhnya ambruk ke lantai, Aini merasa dirinya benar-benar ketakutan."Mungkinkah semalam itu benar?"Aini mencoba mengingat lagi dan semua seakan benar-benar terjadi."Cctv, aku harus memeriksa Cctv!" Aini berlari mengambil ponselnya di kamar, ia lalu memeriksa cctv dari ponselnya.Bruk!Tubuhnya lemas saat melihat sendiri ternyata cctv itu menunjukkan dia sedang bicara sendiri, tak ada orang lain selain dirinya di dalam rekaman itu."Apa aku gila?
Sri memeluk erat Satria, merasakan separuh bebanya terangkat sekarang. "Dia bangun Sayang, akhirnya dia bangun." Ucapnya tiada henti, Sri merasa benar-benar mensyukuri segalanya."Iya, kita harus bersyukur Lala bisa bangun.""Besok kita bisa beli kursi roda untuknya." Satria memberi tau Sri untuk bersiap."Aku sudah katakan sejak jauh hari, segala kemungkinan bisa terjadi sayang, mungkin dia buta, hilang ingatan, atau bisu, semua bisa terjadi.""Tapi lihat semua baik, hanya kakinya yang tak merespon, kita bisa mengajaknya berjuanh sekali lagi."Sri masih menangis di dalam pelukan Satria. "Semua ini salahlu, aku yang tak bida menjaganua dengan baik, harusnya dia bisa sehat seperti dulu, jika semua tak terjadi harusnya Lala bisa berlari, dia bisa kemanapun dia mau!""Dia akan lakukan itu, dia pasti bisa melakukan itu, jadi percayalah padanya sayang.""Dengarkan aku, kita masih beruntung dapat kesempatan merawat Lala lagi, jadi jangan membuat nya jadi sulit." Sri hanya diam mendengar u
Hari ini kuterima keputusan sidang perceraianku dan Satria, bapak menghubungiku pagi tadi, memastikan bahwa semua masih berjalan seperti keinginannya. Aku melihat mas Fandi duduk sendiri di dekat parkiran setelah kami keluar dari ruang sidang."Sebentar man, aku mau menemui mas Fandi dulu." Ucapku mendekatinya yang hanya diam menatap delembar kertas hasil putusan di tangan."Kenapa tak pulang juga?" Aku berdiri di depanya sekarang.Dia menengadahkan pandangan menatapku, berusaha tersenyum meski ku tau hatinya sedang terluka. Berulang kali dia memintaku kembali, namun hati ini bahkan tak terketuk untuk sekedar memberinya satu kesempatan."Selamat ya Sri, kamu pasti bahagia."Aku menegerutkan alis. "Selamat untuk apa?"Dia menunjukkan kertas di tangan. "Atas surat ini, semua berjalan seperti keinginannya anmu kan, siapa yang tak bahagia bila setelah ini kamu bahkan memiliki kehidupan yang jauh lebih sempurna.""Ya, hari ini memang aku nantikan mas."D8a menatapku lekat. "Jadi begitu, pe
Satria merasa sedih setelah melihat istrinya pergi dengan hati terluka, ia memutuskan mencari tau apa yang terjadi. Perlahan dia masuk ke kamar Lala, melihat maminya begitu bahagia hatinya merasa terharu. Lelaki berparas teduh itu duduk di sisi Lala, ia menatap wajah putri sambungnya itu dengan senyuman hangta, gadis itu nampak belum benar-benar pulih, karenanya ia mungkin tak akan bisa bertanya banyak."Oma masih tak percaya ini Lala, syukurlah semua baik-baik saja sayang." Erica tersenyum senang, ia sejak tadi tak ingin jauh dari Lala, tangannya sibuk membelai tubuh Lala, memastikan gadis kecil itu nyaman di tempatnya."Iya mam, kita harus bersyukur. Lala sudah merasa baikan?" Satria bertanya saat matanya dan mata Lala saling beradu.Lala menatap dengan senyum dan menganggukkan kepalanya, ia lalu menatap ke arah pintu seperti menunggu seseorang."Apa Lala mencari mama? mama pergi sebentar ke pasar. Ada apa, Lala ingin sesuatu?" Erica kembali bertanya Gadis itu terdiam dan menunduk.
Berkali-kali Satria coba menghubungi Sri, namun tetap saja panggilan darinya tak mendapat jawaban. Ia melihat kembali ke arah Lala yang masih duduk di atas ranjang rawatnya. Satria tak berani membawa Lala turun, masih banyak pemeriksaan yang harus di lewati Lala sebelum dia bisa memutuskan semua baik.Lala sedang mengambar di atas kertas yang Satria ambil dari tas lukis milik gadis itu, saat menyiapkan semuanya, Zui membawa serta peralatan lukis milik Lala dan benat saja, setalah ia sadar sejak tadi Lala tal berhenti mengambar.Satria merasa sebenarnya Lala ingin bicara banyak, tapi mungkin dia tak tau bagaimana memulainya, semoga saja mengambar lebih membuatnya nyaman."Apa ini? wah bagus sekali!" Satria mendekat, gadis itu masih membuat garis beraturan, dia hanya melukis bunga mawar dengaan kelopaknya yang jatuh berguguan.Apakah ini yang di rasakannya? Hatinya rapuh dan gugur seperti dalam gambar?Satria bergumam sendiri, ia merasa ada banyak hal yang ingin di katakan gadis itu, n
Perlahan Mobilnya masuk ke pelataran rumah, Sri terdiam di dalam mobil sebentar, melihat Satria sudah menunggu di teras saat dirinya datang. Setelah menghels napas dan mempersiapkan diri, dia turun dan berjalan mendekati suaminya.Hampir lima jam Sri pergi meninggalkan rumah, dan Satria tau istrinya tak benar-benar pergi ke pasar. Wanita berparas ayu itu menatap ke arahnya dan terlihat sempat ragu namun dirinya tetap melangkah masuk.Satria menatap Sri dengan tajam, perlahan lelaki itu turun dari rumah panggungnya dan juga mendekati sang istri."Ada yang ingin kamu jelaskan padaku?" Tatapan mata Satria memberikan rasa takut di hati Sri, belum pernah dia melihat mata bening nan teduh itu menyala seperti saat ini."A_apa maksudmu menjelaskan? Haha, kamu sedang meminta penjelasan apa yang aku belum untuk makan siang kita?" Sri tersenyum canggung."Makan siang?" Kedua alis Satria terangkat.Sri semakin canggung, dia berusaha terlihat tenang namun jantungnya serasa akan melopat lepas dari
Sri masuk ke kamar Lala setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di dapur, gadis itu sudah bangun seperti yang suaminya katakan saat memintnya masuk menemui Lala, berusaha menahan debaran hebat di dadanya, Sri menatap ke arah Lala."Hay sayang, sudah bangun?" Sri melangkah masuk meletakkan baskom berisi air hangat ke atas meja, ia lalu menutup tirai jendela kamar putrinya dan berjalan menyalakan lampu."Apa masih terasa pusing, bagian mana yang sakit?" Sri bertanya dan menatap wajah Lala yang belum mau melihatnya, setelah apa yang di jelaskan Satria, Sri punya keberanian untuk memperbaiki hubungan mereka."Tidak apa-apa sayang, besok mama dan papa akan membawa Lala ke rumah sakit, kita mungkin akan tinggal di sana sedikit lama, jadi Lala harus semangat ya." Ucap Sri, senyumnya terus mengembang berusaha menunjukkan pada Lala dia bahagia atas kesembuhan Lala."Kita harus bersihkan tubuh Lala ya, hari ini mama membawa tiga baju yang berbeda, Lala boleh pilih ingin pakai baju yang mana."