Yuliana masuk dengan katakutan, matanya kosong dan terrus bergidik kala melihat peti itu di bawa masuk ke dalam rumahnnya. Ia tak mau dekat-dekat dengan jenazah itu lagi, orang-orang membawanya masuk ke kamar, dia masibjgemetar saat di dudukan di sisi ranjang."mbak Yul, ada apa, mbak Yul nggak apa-apa?"Seorang tetangga bertanya karena melihat Yuliana gemetar dan menatap kosong ke depan."Aku ambilkan minum dulu mbk, mbak Nur nggak apa-apa kan nunggu si sini dulu?" Seorang tetangga lain bertanya, sebab hanya mereka berdua yang membanyu Yuliana masuk ke dalam kamar."iya, nggak apa-apa mbak, ambilkan mbak Yul teh hangat kalau ada." Ucapnya meminta lalu dia di tinggal sendiri bersama Yuliana"Jangan dekat-dekat, nanti dia datang!" Bisik Yuliana pada tetangga yang membantunya ke kamar."Dia? Dia siapa mbak yang datang?""itu, hantu Jani datang, baunya wangi sekali lalu petinya bergerak kencang, jasadnya mungkin mau keluar membalas dendam!" Ucapnya membuat bulu kuduk meremang."mbak, jang
Sementara di rumah Amran, situasi dingin masih tercipta. Bahkan hingga pagi menjelang, tak ada yang mau bangun untuk sekedar membuat sarapan, mereka semua terlalu lelah hati dan tenaga untuk bisa memulai hari baru.Yuliana masih diam saat bertemu Luso di dapur, ia masih sangat kesal dengan sikap egois menantu barunya itu. Beberapa kali Amran mengajakny bicara namun Yuliana masih diam enggan menangapi."Kita cari rumah baru saja mas!" Ucap Lusi saat mereka kembali ke kamar.Mata Amran melebar, bagaimana bida mereka punya rumah baru, bahkan kehidupannya setelah menikah jauh dari kata mapan."Mau kontrak rumah?" Tanya amran lagi."Kontrak? Beli lah mas!" Luso berkata bahkan tanpa berpikir panjang."Beli? Kamu kira aku ini pewaris tunggal pabrik garmen! Uangku sudah habis Lusi!" Ucapnya tak ingin lagi di pusingkan dengan banyaknya tuntutan istrinya."Lalu bagaimana mas, kita di rumah ini sudah seperti orang asing, mas nggak ngerasa, ibu bahkan masak hanya untuk dirinya sendiri dan Sari!"
Yuliana gemetar, kakinya sempat lemas saat langkahnya semakin dekat ke arah pintu. Bunyi gedoran bersama namanya di panggil membuat dia mau tak mau tetap memutuskan membukanya.Klek!"Daun pintu terbuka, beberapa pasang mata menatapnya bersamaan, membuat jantung wanita paruh baya itu berdegup kencang."Bu Yuliana." Mustofa ketua RT tempatnya tinggal menyebut nama wanita itu."Iya pak Mus, ada apa ya?" Yuliana mencoba tetap tenang."Kita bicara di dalam saja bu, boleh kami masuk?" Mustofa kembali bicara."Oh, boleh pak, mari masuk!" Ucap Yuliana, meski suaranya parau ia berusaha agar terdengar normal."Bu Yuliana, bisa minya tolong?" Tanya seorang lelaki berjaket hitam membuat kaki Yuliana gemetar."Oh, bisa pak, ada apa?" Tanyanya pelan."Bisa tolong nyalakan lampunya?"Yuliane tertegun lalu melihat ke sekitar, ia baru menyadari bila lampu ruang tamu belum di nyalakan. "Ah, maaf pak saya kaget sampai lupa nyalakan lampu." Ucapnya berlari masuk menekan sekelar lampu.Wajah-wajah seram
Sementara di rumah, Amran tak bisa tidur nyenyak, bayang wajah Jani dan mayat yang belum teridentifikasi itu terus menghantui. Terlebih ketika Lusi mendiamkannya setelah perdebatan tadi siang, wanita itu memilih tidur sendiri di dalam kamar sementara Amran.di biarkan sendiri di ruang tengah.Berkali-kali ia mencari posisi yang nyaman, namu tetap saja hatinya tak menemukan ketenangan. Terlebih ia ingat bagaimana kejadian mistis ia alami du malam sebelum pernikahannya, dia jelas di ganggu sesuatu yang memindahnya ke luar kota."Benarkah wanita itu telah mati?" Tanyannya sendiri.Jika di runtut memang terlalu mustahil, dirinya berada di kota lain saat tersadar sementara dia merasa tak pernah mengendarai mobil hingga ke luar kota."Apa ada yang ingin mempermainkan aku? Tapi siapa?" Ucapnya penuh tanya.Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, saat sebuah mobil berhenti di depan rumah Amran, lelaki itu jelas mendengar deru mesin dari depan dan berdiri mengintip dari balik jendela.Dua lelak
Malam itu Amran tak dapat memejamkan matanya, ia tak tau mengapa gelisah membuatnya begitu tak nyaman, berkali-kali ia menilah wajah Lusi sanh kekasih dan bertanya bagaimana bila Jani masih hidup sekarang."Harusnya ku bunuh saja dia saat itu!" Ucapnya kesal pada keputusannya membiarkan saja Jani tetap hidup.Amran bangun dari ranjang, memakai kembali bajunya yabg berserakan di lantai kamar, ia keluar dari kamar dan duduk di teras rumahnya. Beberapa lampu masih menyala, membuat halaman yang tertutup tenda itu tak terlalu gelap sekarang.Amran menyalakan sebatang rokok, mengingat kembali wajah wanita yang di lihatnya siang tadi, ia begitu yakin itu Jani, meskit baginya cukup mustahil wanita besar itu bisa berjalan keluar dari hutan terlarang."Atau mungkinkah itu hantu Jani? Ia datang untuk membuatku tak tenang?" Ucapnya dalam hati, membuat bulu kuduknya meremang membayangkan."Ah bukan, mungkin saja itu hanyalah seseorang yang mirip, wanita itu jauh berbeda dengan Jani yang kukenal, d
Sepanjang perjalanan, Amran dan Lusi saling diam, mereka sedang ada dalam pikiran masing-masing, hingga mobil Amran memasuki pelataran rumahnya.Lusi turun tanpa bicara, membanting pintu dengan kasar dan berjalan kesal masuk ke dalam rumah. Melihat hal itu Amran hanya diam, batinnya sesak terlebih bila mengingat kebodohan yang baru saja ia lakukan, dadanya terasa semakin bergemuruh.Sementara suaminya berdiam diri di mobil, Lusi masuk dan mendapati ibu mertua dan iparnya duduk di ruang tengah dengan wajah tak bersahabat."Mana Amran?" Tanya Yuliana"Di mobilnya!" Ucap Lusi singkat, ia lalu berjalan menuju pintu kamar."Cucian di belakang tu sudah segunung, kamu nggak ada niat buat nyuci?" Ibu mertuanya kembali bicara, sudah berhari-hari ia biarkan cucian baju di dalam ember besar, bukannya berkurang, Lusi justeru menambah lagi dengan tumpukan baju kerjanya.Lusi berbalik menatap ibu mertuanya. "Memang siapa yang biasa cuci baju di rumah ini?" Tanyanya heran, selama tinggal di sini ia
"Sial!" Kila berteriak kencang setelah menyadari bahwa Fani sudah menipunya, dirinya benar-benar merasa bodoh percaya begitu saja dengan wanita yang bahkan tega menipu Saudaranya sendiri, bagaimana bisa kemudian dia berpikir Fani akan jadi wanita yang baik.Kila meremas kesal pesan singkat yang di tinggalkan Fani di dalam kopernya yang kosong, wanita itu bahkan mengambil perhiasan yang memang di miliki Kila sebelum kembali bertemu Fandi."Harus aku apakan wanita itu!" Ucapnya geram, menatap ke sekitar lalu kembali menghela napas"Aku akan mencarimu wanita sialan!" Umpatnya marah, baginya apa yang sudah di lakukan Fani sangat keterlaluan.Kila kembali menatap ke langit luar yang biru, tak selaras dengan hatinya yang bahkan menggantung kelabu kini. Bayang kembali dengan kebanggan justeru membuat dirinya kehilangan banyak hal besar sekarang.Kila berdiri dengan tatapan kosong, kembali me arik kopernya ke jalan, tak ada lagi tempat tujuan, bahkan sekedar mengisi perut yang kosong dirinya
Mobil mewah mereka lalu tiba dI sebuah hotel, Sri turun lebih dulu lalu di susul Satria berjalan tak jauh darinya. Mereka memesan kamar persiden Suite untuk bermalam, sementara Arman dan beberapa orangnya sudah memastikan keadaan aman sebelum ikut juga beristirahat melepaskan lelah.Satria duduk di balkon kamar, menatap lekat wajah istrinya yang termenung setelah mereka makan malam bersama."Apakah ini keputusan yang benar?" Satria bertanya pada Sri, dia tau wanitanya sedang merasa gundah sekarang.Sri menatap manik mata teduh di depannya, dirinya tau krmana arah ucapan Satria."Entahlah, aku hanya merasa Lusi membutuhkan bantuan."Satria lalu menatap ke arah bawah, di mana lampu gemerlap menampakkn cahaya yang membuatnya merasa takjub."Mutia mungkin akan memilih ibu kandungnya nanti, apakah kamu tak apa2?"Pertanyaan Satria membuat wajah Sri berubah dingin, sejak tadi ketakutan itu yang membuat dirinya terdiam, Mutia adalah obat setelah kepergian Lala, lantas bisakah dia tetap bahag