"Enggak apa-apa. Nggak usah kamu pikirin. Eh, kamu mau nerusin nangis? Kalau gitu aku pulang, ya?" Mahar mencoba berkelakar sambil mengetatkan bibir. Ia akhirnya mengetahui alasan kenapa tadi Kania menangis. Masih dengan mata sembap, Kania langsung tertawa. "Nggak lucu, Har.""Nah, gitu dong, ini baru Kania." Aku kangen banget liat senyum kamu, Kan. Beberapa menit ke depan, keduanya hanya terdiam sambil asyik menatap air mancur di hadapan. Kania yang masih mencoba menata hati. Begitu pun dengan Mahar yang masih tak percaya kalau ia bisa kembali bertemu dengan cinta pertamanya. Lelaki itu bahkan tidak mengira jika jantungnya masih berdebar saat berada bersama Kania seperti saat itu. Seperti dulu."Ngomong-ngomong, Har, kamu beda banget ya sekarang? Ke mana Mahar si kacamata kotak, yang mukanya jerawatan dan yang gemuk itu?" "Udah ke laut, Kan." Bahkan tawa teman SMA Kania itu kini sangat sempurna. Jika dulu tumpukan lemak di perut Mahar akan ikut bergoyang saat ia tertawa, kini perut
Kania memutar tubuhnya ke arah Mahar. Sekejap kemudian wanita itu tertawa. "Gimana caranya? Memangnya kamu kenal sama Doraemon? Terus, kamu mau pinjem kantong ajaibnya biar bisa balik ke masa lalu?" Mahar pun ikut tertawa. Seandainya bisa aku juga mau, Kan. Biar aku bisa nyatain perasaanku yang sebenarnya ke kamu."Ye, malah ketawa, sih. Kan, selulus kuliah, berat badanku pernah hampir 100 kilo, lho, dan itu bikin aku susah dapat pekerjaan, walaupun nilai-nilai di ijazahku sempurna. Untunglah aku ada kenalan yang kerja di perusahaan produk kesehatan dan kecantikan. Suplemen gitu, deh. Dia yang ajakin aku buat berubah. Merekan juga punya departemen khusus konsultasi buat orang-orang yang mengalami masalah sama penampilannya. Awalnya memang sulit, Kan, karena kita harus mengurangi semua yang kita sukai, tapi lama-lama juga terbiasa."Kania mulai mendengarkan dengan serius."Hasilnya ya aku ini. Kamu bisa lihat sendiri, kan?" ucap Mahar seraya merentangkan kedua tangan. "Dulu aku juga
"Dasar wanita jahat. Setega itu kamu sama aku, Nis. Sudah merebut Mas Dika, dan sekarang mempermalukanku di depan umum!" Dengan wajah penuh emosi, Kania keluar dari kamar Aksara dan terus mengomel. Namun nomor Nisya tidak tersambung. "Dasar pengecut!" Kania langsung membuka media sosialnya dan mencari nama Nisya Kamila, tapi lagi-lagi Kania murka karena media sosial Nisya sudah tidak bisa lagi ditemukan. Kania semakin emosi. Ia memukul keras dinding dan berteriak-teriak. Beruntung tak lama kemudian, bapaknya menelepon. "Ha-lo, Pak." Suara Kania yang masih terisak tentu saja membuat sang ayah bertanya-tanya. "Kania, kamu kenapa?" tanya Broto dengan raut wajah khawatir. Mendengar ucapan Broto, Kania lekas sadar. Ia menjauhkan ponsel dari telinga dan menarik napas dalam berulang kali. "Eng-nggak pa-pa, Pak. Tadi Kania abis nonton film sedih.""Owalah, Bapak kira kenapa? Cucuku lagi ngapain. Bapak video call ya, Nduk? Kangen banget bapak sama Aksara."Sontak, dada Kania kembali mema
Di rumahnya, Miranda dan Mahar tengah membereskan barang-barang milik Miranda yang masih memenuhi ruang tamu. Bersamaan dengan itu, tanpa Miranda sadari, sejak tadi Mahar terus memandanginya yang sedang fokus menata aneka pajangan di atas bufet. "Cepat atau lambat kamu pasti akan ketemu lagi sama Dika dan Nisya, Kan. Kalau hal itu terjadi, kamu udah siap?"Mendengar kalimat Mahar, Kania alias Miranda langsung menghentikan aktivitasnya. Tak lama ia tersenyum tipis. "Aku udah ketemu Nisya, Har.""Serius kamu? Kapan? Terus gimana?""Tadi pagi. Aku lewat warung Mba Tri dan dia lagi belanja di sana. Ya udah aku sengaja berhenti. Aku sapa Mba Tri dan pura-pura nggak liat dia. Dari mukanya jelas banget dia nggak tau siapa aku," ucap Kania yang membuat Mahar bertepuk tangan. "Tapi dari tipikal dia sih, aku yakin dia pasti penasaran dan akan mencari tahu tentang aku." Kania lalu membalik badan dan kembali menata pajangan. Bersamaan dengan itu, ingatan Mahar kembali ke masa lima tahun lalu,
Selamat membaca. Semoga suka.***Beberapa menit lamanya Kania terdiam. Bola matanya memandang tajam ke arah Nisya. Ia tidak menyangka jika Nisya tiba-tiba mengunjunginya. Dengan malas ia menerima uluran tangan Nisya seraya menahan aneka rasa yang sudah berkecamuk dalam dadanya. Amarah yang berusaha keras ia enyahkan selama lima tahun ke belakang, hari itu kembali muncul pelan-pelan ke permukaan. Sabar Kania, Sabar. Kendalikan dirimu. Kania memasukkan udara sebanyak mungkin ke paru-parunya lalu mengembuskannya perlahan lewat hidung. Biar bagaimanapun ia kini adalah seorang Miranda dan bukan lagi Kania si buruk rupa. "Miranda," ujar Kania dengan wajah datar. Meski berusaha bersikap tenang, tetap saja nada sinis teralir dalam suaranya. "Te-ri-ma kasih sudah datang, Bu Nisya. Jadi merepotkan.""Nggak repot, kok, Jeng. Namanya tetangga ya harus saling silaturahmi. Lagian rumah kita kan deket. Ada tetangga baru, masak saya cuekin."Mantan istri Dika itu menarik ketat bibirnya, melihat Ni
Bola mata Dika membulat sempurna saat melihat gambar wanita cantik di ponsel Nisya. “Kania,” ujarnya tanpa sadar. Degup jantungnya pun langsung melaju cepat. Sedangkan Nisya yang mendengar ucapan Dika tadi sontak memutar tubuh ke arah sang suami. Ia ikut terbangun dan mendekat ke tubuh suaminya.“Siapa, Mas? Kania katamu? Aku nggak salah dengar?” Nisya lalu terbahak sambil memegangi perutnya yang ramping. “Mas Dika jangan ngelawak, ah, malem-malem gini. Namanya Miranda, Mas, bukan Kania. Lagian bisa-bisanya Mas membandingkan Jeng Miranda yang cantik dengan Kania yang kampungan itu.” Nisya mengerucutkan mulut. Ia mendadak jengkel karena sudah lima tahun berlalu, tapi suaminya itu masih saja mengingat sosok Kania. Nisya pun berharap agar ia dan Dika tidak akan pernah bertemu lagi dengan Kania. Garis halus di dahi Dika masih bermunculan. Ia sangat yakin jika wanita dalam ponsel itu adalah Kania. Wajah itulah yang dulu pernah dinikahinya. Namun, ia juga merasa jika Nisya benar. Mantan i
“Aarrgh!” Nisya melepas paksa tangan kanannya dari cengkeraman Kania. “Jeng ini apa-apaan, sih!” Dengan raut wajah kesal, ia mengusap-usap lengannya yang sedikit lecet.“Maaf, Jeng. Saya kaget.” Kania pura-pura menyesal, padahal diam-diam dia tersenyum puas. Ia putuskan menunda rencananya tadi dan memikirkan cara lain. “Di sana ….” Kania menunjuk ke arah foto raksasa keluarga Nisya. “di sana ada setan.” Seketika suara bising yang berasal dari para ibu yang kompak berdiri memenuhi tempat itu. Seperti semut yang melihat gula, mereka mengerumuni Nisya dan Kania.“Jeng jangan asal bicara, ya! Mana ada setan siang-siang begini? Lagi pula rumah saya asri begini, masak iya ada hantu?“ “Saya serius, Jeng. Ya sudah, kalau Jeng nggak percaya. Saya minta maaf karena sudah bikin sedikit kekacauan.”“Nggak pa-pa, Jeng, oh iya, saya Siska, tinggal di blok C nomor 3.”Kania menerima uluran tangan Siska sambil tersenyum. Ia lalu memperkenalkan diri di hadapan ibu-ibu yang lain. Mereka pun langsung
Melihat Kania gelisah, Mahar bergegas pamit dan menuntun Kania masuk mobil. “Bu Nisya, kami duluan, ya. Miranda mendadak tidak enak badan," ujar Mahar yang ditanggapi Nisya sambil mengangguk. Nisya terpaksa tidak menahan keduanya meski sebenarnya sedikit kecewa, karena ia akan mengenalkan Miranda pada Dika.“Mir, lo oke?” Seraya memasang sabuk pengaman, Mahar menatap Kania dengan pandangan khawatir. “Oke, Har. Gue nggak pa-pa." Kania menarik napas dalam lalu membuangnya kasar. "Sorry tadi sempat nyakitin tangan lo.” ucapnya seraya melirik lengan Mahar yang memerah.“No problem.”“Yuk, cepetan jalan. Gue nggak mau ketemu Mas Dika." Kania menekuk kepala dalam-dalam dan membuang muka ke arah yang membelakangi Dika, bersamaan dengan Mahar yang memutar kunci ke arah kanan lalu menekan pedal gas. Lelaki itu hanya memberi klakson saat melihat Dika yang baru turun dari mobil.“Mir, lo udah aman sekarang. Lo bisa angkat muka lo lagi.”Sekali lagi, Kania membuang napas kasar. “Gue takut Ma