Yuni melengos. “Lah, boleh dong saya curiga. Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Pagi-pagi ada lelaki yang bawa mobil baru ke rumah Jeng Putri. Ini mencurigakan sekali. Kumi kan janda, kerjanya juga gak jelas, mana bisa beli mobil,” katanya ketus. “Bu, lebih baik kita pulang saja,” ajak Kumi. Ia paling males beradu argument dengan Yuni. “Sampeyan awas ya, kalau menfitnah anak saya lagi!” ancam Ibu sambil berlalu. Mulut Yuni monyong. “Yee, suka-suka saya dong, kok situ yang sewot. Kalau memang gak bener, gak bakalan marah, iya kan anak-anak?” “Nah, ini anak saya datang Pak,” kata Ayah dengan senyum lebar menyambut Kumi. “Selamat pagi, saya Kumi, ada yang bisa saya bantu Pak?” sapa Kumi sambil memperkenalkan diri. Ayah berdiri dan gantian menggendong Kaluna. Ia masuk ke dalam rumah bersama Ibu. “Saya Hendro, dan ini Lukman. Pak Shaka meminta kami untuk mengantarkan mobil Jazz untuk Ibu Kumi.” Hendro memberikan kunci dan surat-su
“Hah! Apa?” jawab Kumi kaget. “Apakah kita kenal sebelumnya?” tanyanya/ Kumi memandang lelaki itu lekat, menyelidiki wajahnya yang berminyak. Pakaiannya rapi, sementara rambutnya disisir klimis ke belakang. Kemudian mata Kumi jatuh pada sepatu yang dipakai pria itu. Sepatu sneaker keluaran terbaru dari brand ternama. Kumi mengetahuinya, karena beberapa hari yang lalu ia mengantarkan Parang membeli sepatu tersebut di Mal. Doni tersenyum lebar. “Kita memang belum kenal, sayang. Tapi sebentar lagi kita akan menikah.” Gayanya pongah sekali. Kumi menautkan kedua alisnya. Ia merasa jengah. “Maaf, tapi saya tidak kenal kamu. Kenapa kamu pede sekali seolah kita sudah lama kenal?” Kumi mendekat tapi dia masih belum membuka pintu gerbang. Doni semakin kesemsem dengan keberanian Kumi. “Gue Doni keponakan penjual lontong sayur. Tadi gue main, terus dia cerita soal elu,” kata Doni mencoba mengakrabkan diri. “Eh, ngomong-ngomong, apa gue gak dibukain pintu nih
Kumi hendak muntah melihatnya. Sebagai janda, ia mulai terbiasa menghadapi lelaki mendekatinya. Ada lelaki yang sopan tapi kebanyakan lelaki gatel yang mendekatinya sekedar iseng dan ingin mencicipi tubuhnya. “Sayangnya saya lebih suka bekerja, dan tidak mengandalkan pemberian suami,” jawab Kumi. Kata-kata Doni mengingatkan Kumi pada mertuanya. Ia sudah pernah mengabdi menjadi seorang istri penuh waktu dan meninggalkan karirnya. Tapi itu tak membuat dirinya bahagia dan sama sekali tak merubah sikap suami dan mertuanya respek padanya. Justru mereka memperlakukannya dengan buruk. “Maaf saya harus menidurkan Kaluna,” imbuh Kumi. Ia terlalu malas berbasa-basi dengannya. Sikap yang Doni tunjukkan telah membuatnya ilfeel, meski Kumi baru mengenalnya. Dia bukan perempuan yang silau dengan harta. Ia berusaha mengusirnya secara halus supaya cowok itu segera pergi dan Kaluna menangis di saat yang tepat. “Lu masuk saja, gue mau tunggu di sini,” kata Doni
Shaka meremas pundak Kumi. “Keep calm,” bisiknya sebelum ia berjalan mendekati gerbang menemui Tante Yuni. “Halo Tante Yuni, apa kabar? Masih ingat saya kan?” “Eh, oh… Mas Shaka ya? Tentu saja saya ingat,” jawab Yuni gelagapan. Ia tahu Shaka bukan orang sembarangan. Shaka mengambil ponsel, dan membuka aplikasi makanan pesan antar online. “Saya mau mengirimkan donat kekinian ke rumah Tante, bisa tolong ke sini sebentar,” tanya Shaka. Seketika mata Yuni bertabur banyak bintang. Rezeki nomplok ini, pikirnya girang. “Beneran Mas Shaka? Hmm… apa boleh sekalian saya minta tambahan pizza dengan toping mozarela yang banyak Mas?” pintanya spontan. Dia lalu memberikan alamatnya pada pria itu. “Tentu saja,” kata Shaka ringan. Setelah selesai memesan, ia memperlihatkannya pada Yuni. “Wah, hari ini saya makan besar, makasih banget kalau begitu. Ya sudah saya mau pulang dulu.” Yuni bergegas pulang ke rumahnya, jalannya cepat sekali karena khawatir, makanannya datang. Setelah Yuni pergi, Shaka
Doni termangu. Dia tahu nama Shaka Mahasura sebagai pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Sayangnya dia belum pernah bertemu dengannya. Maka ia mengambil ponsel dan mengetik nama lelaki itu di gawai. Seketika Doni gemetar melihat foto yang terpampang di ponselnya. Kesombongannya langsung tiarap. Doni langsung mengatupkan kedua tangannya ke depan dada, memohon ampun pada Shaka. “Maafkan saya Pak, maafkan…” kata Doni ketakutan. Tangisnya pecah, ia sangat takut sekali Shaka memecatnya. Shaka tersenyum. “Aku maafkan. Lain kali, jangan begitu ya. Sekarang pergilah dan jangan pernah ganggu Kumi lagi.” “B-baik P-pak!” Doni langsung pergi tanpa menoleh. “Sekarang aman,” kata Shaka. Tawa Kaluna berderai ketika Shaka mengangkatnya ke udara, pria itu berputar dua kali lalu mengayunkan bayi itu ke kanan dan ke kiri. Mata kumi merebak melihat kegembiraan Kaluna dan Shaka. Ia tahu pria itu sangat menyayangi Kaluna. Kumi c
“Itu Kaluna sedang mengejar anak kucing.” Tunjuk Shaka kalem. Jarak Kaluna sekitar satu setengah meter dengan mereka. Kumi mengikuti arah telunjuk Shaka dan melihat Kaluna merangkak mengejar anak kucing. Ia berlari mengambilnya. “Aduh, kamu membuat Mommy khawatir.” Kumi memencet hidung Kaluna. “Biarkan saja Kaluna bermain. Kita awasi dia dari sini,” teriak Shaka. Sementara itu, tak jauh dari mereka sepasang mata memperhatikan tingkah laku Kaluna dengan seksama. Dia adalah Rini-mantan mertua Kumi. Tawa bayi itu terus terngiang di telinga Rini. Semalaman ia kurang tidur karena membayangkan mendekap bayi itu. Bayi cantik bermata belok, kulitnya putih, badannya montok dengan rambut ikal di kuncir dua, telah membuatnya jatuh cinta. Wanita berperawakan tambun itu melenguh. Kerinduannya dengan kehadiran suara bayi semakin membuat dadanya sesak. Ia lalu beringsut ke tepi jendela, melihat serumpun bunga mawar yang mekar di balcony dengan tatapan sayu. Pelan-pelan
Teguh menunduk. Ia membenarkan kata-kata istrinya. Rini memang tidak cantik, tapi dia pandai mengatur rumah tangga dan menyenangkan perutnya. “Arka mau pindah saja dari rumah ini!” “Silahkan saja, mama tidak keberatan! Tugas Mama akan jauh lebih ringan tanpa kalian berdua.” Arka tidak percaya dengan pendengarannya. Ia tidak menyangka reaksi mamanya berbanding terbalik dengan sangkaannya. Mama sama sekali tidak histeris dengan keputusan yang ia buat untuk pindah rumah. Ia juga tak merayu Arka untuk tetap tinggal bersamanya. Aneh! “Apa Mama yakin, Mama tidak akan sedih Arka dan Rhea pindah dari rumah ini?” tanya Arka sebelum langkahnya mencapai pintu. “Tidak! Sama sekali tidak! Kamu sudah punya istri dan dia wajib melayanimu. Bukan malah Mama yang menjadi pelayan istrimu.” “Ma, jangan tersulut emosi. Nanti Mama menyesalinya,” tegur Teguh, suaminya. Namun Rini tidak mendengarkan perkataan suaminya. Ia turun ke bawah. Diik
“Sial!” rutuk Arka berkali-kali. Matanya meleng dan menubruk mobil angkot yang sedang parkir sembarangan di tepi jalan dan membuat body mobil angkot tersebut penyok di bagian belakangnya. Sopir angkot itu turun dan menggedor kaca jendela mobil Arka dengan kasar. Arka menurunkan kaca mobilnya. “Lo apa gak lihat mobil gue parkir? Mata elu dibawa ke mana sih? Gue gak mau tahu, pokoknya lo harus tanggung jawab sekarang!!” Sopir angkot itu meneriaki Arka. “Abang yang salah! Abang parkir sembarangan dan itu bukan murni kesalahan saya!” elak Arka. Lelaki itu mencengkram kerah leher Arka. “Banyak alesan lo! Gue gak mau tahu, elu harus tanggung jawab.” Matanya merah. Bau keringatnya menusuk indra penciuman Arka. Arka membaca situasi, tak ada gunanya ia berdebat di sini, memperdebatkan asal muasal siapa yang salah dan benar. Semua itu hanya akan memperlambat waktunya menuju kantor. Pria itu mendengus. Ia sedang tergesa-gesa karena Shaka akan datang ke kantornya. “