Ari hanya menerima laporan tersebut dan mengangguk berarti memahami apa yang diperintahkan oleh Bara.“Dan apa ini?” tanya Bara kesal saat matanya menatap layar laptopnya.“Hario mau bermain-main dengan saya memanfaatkan momen saya sedang berduka?” ujar Bara saat melihat laporan yang dikirimkan oleh orangnya yang di tempatkan di pabrik roti milik Hario dan bantuan keuangan dari AK Group.Ari hanya diam menunduk karena sebenarnya Ari sudah melihat kejanggalan itu sejak dua hari lalu,namun tidak langsung melaporkannya kepada Bara, mengingat Bara masih dalam masa berkabung.“Kenapa kamu diam?” tanya Bara.“Maaf pak, saya belum sempat melaporkan hal itu kepada Bapak. Tapi saya sudah mengirimkan email peringatan kepada mereka untuk segera merevisi laporan itu, Pak,” jawab Ari.Bara segera mengecek email yang dimaksud Ari, dan benar saja sekretarisnya tersebut telah mengambil langkah yang tepat.“Thanks, Ri,” ucap Bara.“Iya pak sama-sama,” jawab Ari dengan pelan.“Orang jahat, selalu menca
Beberapa saat Bara hanya terdiam melihat siapa tamu yang dimaksud."Alina Rosmala," kernyit Bara heran.Bara menghampiri sang tamu yang tampak sudah di persilakan duduk oleh bu Bira."Hai mbak Alin, terima kasih sudah mampir," ujar Bara sembari duduk di hadapan Alin."Pak Bara, saya sudah ke kantor anda, dan katanya anda belum masuk kerja. Maaf jadi mengganggu waktu anda dirumah. Saya turut berduka cita ya, Pak," ujar Alin menyalami Bara."Terima kasih mbak Alin, malah repot-repot ke rumah," ujar Bara."Entahlah, saya sudah terbiasa datang langsung, saya tidak suka kirim karangan bunga atau kirim pesan," ujar Alin tersenyum."Anda sopan sekali," ujar Bara.Bu Bira yang sudah didalam sebenarnya penasaran dengan tamu Bara, wajahnya mengingatkan dia kepada Bizar. Dan jika ditelisik wajah perempuan itu mirip dengan Bara. Apalagi senyumnya."Ini saya bawakan sedikit kado untuk putri anda, Pak," ujar Alin menyerahkan satu buah paperbag kepada Bara."Terima kasih, anda baik sekali," jawab Ba
Bara bersimpuh dan beberapa kali menghapus jejak air mata yang berusaha ditahannya, namun tidak bisa. Air mata itu mengalir dengan sendirinya.Suara Bara hanya tercekat sebatas kerongkongan, bahkan bibir yang bergetar tak mampu mengeluarkan suara.“Mas besok akan mulai kembali bekerja, Sal,” ujar Bara kemudian.“Kamu jangan khawatir, Alma dirumah bersama Ibu dan Mama. Semua orang menyayanginya, Sal,” ujar Bara sambil memegang erat nisan Salma.Angin yang berhembus lembut menerpa pohon besar diatas pusara Salma.“Sejuk ya Sal disini? Semoga kamu suka,” ujar Bara.Seseorang yang baru saja mengunjungi makam Salma pergi meninggalkan area pemakaman setelah menunggu sekian lama Bara tak kunjung juga pergi. Ternyata dia adalah Vina mantan kakak ipar Salma yang selalu menyerang dan menghina Salma. Mungkin baru timbul penyesalan dan saat ini tidak bisa lagi untuk meminta maaf secara langsung.Dua jam lebih Bara hanya duduk di dekat pusara tanah merah Salma, dan ketika mentari mulai meninggi ba
“Bapak mau kemana?” tanya Ari panik saat melihat Bara berdiri dan menuju ke mobilnya.Bara tidak menjawab dan membuka pintu mobil yang ternyata terkunci hingga menimbulkan suara alarm karena percobaan membuka secara paksa.Frans segera memanggil Abah dan yang lainnya, melihat Bara bertingkah aneh.“Pikirannya belum sepenuhnya tenang,” ujar bang Niko.“Umi!” pekik Ranti.Ternyata melihat Bara yang seperti itu membuat Umi Melati kembali mengingat Salma dan tubuh lemahnya pingsan.Ranti dan Via membantu membaringkan Umi, mengurut dan mengoleskan minyak kayu putih hingga Umi kembali sadar.Sedangkan Abah tampak membaca ayat al-qur’an dan doa, juga membimbing Bara untuk beristighfar.“Jangan biarkan pikiran kamu kosong Nak, teruslah beristighfar ya,” pesan Abah kepada Bara.Bara hanya mengangguk pelan.“Pak, kita makan yuk. Bapak kan belum makan dan minum obat,” ujar Ari.“Iya kamu makan aja dulu, Nak,” ujar Abah.“Gua gak lapar, Ri,” ujar Bara.“Udah makan sedikit aja, masak tamu disuruh
Ainel pun hanya terpaku melihat keanehan yang ditunjukkan oleh Alma.“Alma sudah lelah menangis,” ujar bu Bira memecah kesunyian.“Iya Tan, sepertinya begitu,” ujar Ainel membenarkan.“Kamu siapa, Nak?” tanya umi kepada Ainel.“Dia Ainel Mi, mantan istri Bara ibu kandungnya Tama,” ujar bu Aisah menjelaskan.Umi Melati hanya mengangguk pelan.Setelah beberapa lama Alma tertidur dalam gendongan Ainel, waktunya Alma diletakkan diatas tempat tidurnya.“Alma tidurnya dimana, Bu?” tanya Ainel kepada bu Aisah.“Box bayi ada dikamar ibu,” jawab bu Aisah.“Bawa sini aja Aisah box bayinya,” ujar Umi Melati.“Baik, Mi.”Di waktu yang bersamaan dokter Fadil, dokter keluarga yang tadi dipanggil bu Bira sudah tiba di rumah tersebut.“Assalamualaikum,” ucap dokter Fadil.“Waalaikumsalam, masuk dok,” jawab bu Bira.“Ari, Frans, Mama minta tolong anterin dokter Fadil kekamar Bara ya,” ujar bu Bira kepada Ari dan Frans yang juga ikut terbengong saat Alma berhenti menangis digendong oleh Ainel.Ari dan
"Ayo nak kita pulang," ajak bu Aisah kepada Bara.Bara hanya menggeleng perlahan dan masih tergugu pada posisinya."Nak, ayo kita pulang. Sepertinya mau hujan," ujar Abah menepuk pundak Bara pelan."Abah duluan aja, nanti Bara nyusul," ujar Bara parau."Jangan seperti ini nak, ayo pulang." Kali ini bu Bira yang berusaha mengajak Bara dan langsung menarik tangan Bara untuk berdiri.Langitpun semakin gelap, tetes-tetes hujan mulai turun perlahan, Bara masih bersimpuh di samping pusara Salma. Yang lain mulai beranjak menuju mobil untuk menghindari hujan. Namun Bara tak peduli."Pak, ayo kita pulang. Hujan sudah turun," ajak Ari dan Frans dengan membawa payung melindungi Bara dari tetesan hujan."Salma kedinginan disini, Salma sendirian," ujar Bara memeluk nisan Salma."Pak, bu Salma sudah tenang disana. Beliau akan sedih melihat Bapak seperti ini," ujar Ari yang ikut duduk disamping Bara.Sementara itu Bizar bersama istri dan anaknya Alina masih didalam mobil yang terparkir tidak jauh da