Bu Bira menghentikan suapannya saat mendengar berita yang ditayangkan pada televisi yang menyala dari ruang menonton yang menyatu dengan ruang makan.Salma mengikuti Bara menuju kamarnya di lantai atas, walaupun belum tahu pasti duduk permasalahannya."Tutup kamarnya Sal, kunci aja," ujar Bara kepada Salma."Baik, Mas," jawab Salma menurut.Bara duduk di tepi ranjangnya dan menyugar kasar rambutnya. Salma merangsek ke dalam pelukan Bara menyandarkan kepalanya di dada bidang Bara.Bara mengusap lembut kepala istrinya dan mencium pucuk kepala Salma berkali-kali."Maafin Mas ya, sejak menikah dengan Mas selalu penuh masalah," ujar Bara."Yang penting kita hadapi dengan lapang dada dan ikhlas, Mas," jawab Salma.Bara mengeratkan pelukannya.Krucuk.Perut Salma berbunyi.Bara dan Salam sontak serentak tertawa."Kamu lapar?" tanya Bara memandang wajah sang istri."Gak kok, Mas," jawab Salma."Semua gara-gara Mama, akibat ulah Mama nekat mau menyuruh Mas kenalan sama tuh model. Pagi tadi dia
"Hah!" jawab Ari terbelalak saat mendengar suara di seberang dan menatap punggung Bara yang sudah menghilang dibalik pintu ruangannya.Ari heran kok ada orang seperti Bara yang begitu cuek, bahkan tidak peduli dan tidak ingin tahu dengan apa yang terjadi di lobby. Walau hanya sekedar bertanya."Oke, gua bilang bos dulu. Nanti gua kabarin," ujar Ari mematikan telepon.Tok.Tok.Tok."Masuk," jawab Bara dari dalam.Wajah Ari menyembul di balik pintu dengan senyum khasnya."Ada apa, Ri?" tanya Bara heran."Ada tamu, Pak," jawab Ari sembari berjalan menuju meja Bara."Hmmm," jawab Bara."Pak, model tadi mau jumpa bapak. Boleh dia masuk?" tanya Ari."Model siapa, Ri?" tanya Bara heran."Yang tadi di lobby, Pak," jawab Ari."Mau ngapain? Ngajak nikah, saya sudah punya istri?" kekeh Bara."Buat saya aja Pak kalau dia ngajak nikah," jawab Ari."Gak usah, nanti harta kamu habis cuma untuk biaya ke salon," kekeh Bara."Kayak gak percaya saya mampu aja si bapak," ujar Ari cemberut."Mending sama
Semua mata memandang ke arah sumber suara, tampak Ainel dengan kopernya mendekat ke meja makan."Ainel mau pamit pulang kerumah, karena kondisi Tama juga sudah mendingan," pamit Ainel sambil menunduk."Tapi kenapa buru-buru?" tanya Bara."Gua mesti buka toko, Bar," jawab Ainel.Salma berjalan mendekati Ainel dan menuntunnya duduk."Mama mau temana?" tanya Tama lugu.Ainel menatap sendu wajah Tama, anak yang dulu tak diinginkannya dan sekarang rasa sayang kepada anak tersebut melebihi segalanya."Tinggallah disini sampai Tama benar-benar sembuh Nel, dia butuh kamu," ujar Salma pelan.Bu Bira dan bu Aisah hanya diam, mereka juga tidak tahu harus menahan atau membiarkan Ainel pergi. Karena mereka pun bisa melihat kalau Ainel saat ini mulai tertarik sama Bara dan Bara juga belum sepenuhnya melupakan Ainel."Gak enak kalau terus-terusan ninggalin toko Sal, gua titip Tama ya Sal," jawab Ainel lagi."Mama mau pelgi temana?" tanya Tama lagi."Mama harus pulang kerumah Mama nak, Mama harus jua
Bara berjalan mendekat kearah bu Bira di depan televisi, dan tanpa sengaja mendengar bu Bira yang sedang ngedumel entah kepada siapa, tapi saat Bara dengar ternyata sedang ngomel untuk Salma."Bodoh banget sih, ibu kandungnya ada. Mau-maunya di suruh-suruh anak kecil gitu," gerutu bu Bira dengan wajah yang masam."Siapa yang bodoh, Ma?" tanya Bara dari arah belakang yang sontak membuat bu Bira tergagap."Bara! Sejak kapan kamu disitu?" tanya bu Bira mengabaikan pertanyaan Bara."Sejak tadi, Ma," jawab Bara santai duduk di sebelah bu Bira yang tampak salah tingkah."Kamu mau Mama buatin kopi?" tanya bu Bira kepada sang anak."Gak usah, Ma, makasih. Nanti biar Salma aja yang buatin kopinya," jawab Bara santai."Kasihan Salma, tangannya masih sakit," ujar bu Bira."Cuma sekedar buatin kopi gapapa, Ma, yang luka kan tangan kiri Salma.""Kamu gak kasihan sama Salma?" tanya bu Bira."Bara tahu dan paham dengan Salma, Ma. Oh iya tadi Bara dengar Mama bilang bodoh, siapa yang bodoh, Ma?" tany
"Mungkin karena itu Hernadi tega melakukan ini?" gumam Bara."Pak," panggil Ari.Bara kemudian terdiam beberapa saat seperti sedang memikirkan sesuatu."Pak Bara, sebenarnya ada apa?" tanya Ari penasaran."Bapak sedang baik-baik saja kan?" lanjut Ari lagi."Kamu pikir saya kesurupan, Ri?" tanya Bara menatap Ari."Habisnya saya bingung, bapak panggil saya tapi tidak mengatakan apapun kepada saya," protes Ari.Bara hanya tergelak mendengar kejujuran Ari."Jadi gini Ri, dulu waktu ada acara perkumpulan pengusaha-pengusaha tahun lalu, saya sempat ngobrol sama pak Hernadi, dan sambil bercanda beliau mau menjodohkan saya sama putri bungsunya," cerita Bara kepada Ari."Terus, Pak?" tanya Ari penasaran."Saya gak jawab apa-apa, hanya tersenyum. Saya cuma bilang gak mungkin anaknya mau kan saya duda. Hanya sekedar basa basi saya jawabnya, gak saya seriusin," ujar Bara."Beliau maksa?" tebak Ari."Gak, makanya saya pikirkan beliau cuma main-main. Dan memang saya tidak tertarik juga," jawab Bara
Ainel dan seorang wanita paruh baya tersebut saling pandang."Ainel? Ini kamu Ainel kan?""Mama," gumam Ainel pelan.Bu Sirra atau nyonya Hario langsung memeluk Ainel erat."Maafin mama nak, mama kangen sama kamu," ujar bu Sirra yang langsung memeluk Ainel dan menangis.Ainel hanya diam mematung dan pelan-pelan mengangkat tanganya dengan ragu lalu mengusap pundak sang mama.Bara hanya terdiam melihat perjumpaan ibu dan anak tersebut."Sejak kapan kamu tahu Tama kecelakaan?" tanya bu Sirra kepada Ainel."Mereka kecelakaan di depan toko Ainel, Ma. Saat mereka akan berkunjung bermain bersama Ainel," jawab Ainel menunduk."Kamu sudah lama disini?""Iya," jawab Ainel singkat."Kenapa gak pulang ke rumah?" tanya bu Sirra."Untuk apa, Ma? Tidak ada yang mengharapkan Ainel pulang, kan?" tanya Ainel."Kamu dan Bara?" tanya bu Sirra menyelidik."Ainel dan Bara hanyalah mantan suami istri, Ma. Bara sudah menikah dengan Salma, dan kenapa kami bisa bersama saat ini karena Tama anaknya Ainel yang d