Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
“Kenapa Bu? Apa alasan Ibu tidak merestui hubungan kami?” tanya Azzalyn sambil memandang kegelapan malam di luar sana. Renita sedang duduk dengan pandangan kosong di sofa sambil menyilangkan kedua lengannya di dada. Sementara Azzalyn berdiri di depan jendela yang terbuka, mengharapkan angin malam yang dingin dapat menyejukkan hatinya yang baru saja kecewa. “Kamu sudah tahu kalau keluarganya tidak merestuimu, Azzalyn . Tapi kenapa kamu malah nekat dengan menerima pinangannya? Apa yang menutupi hatimu? Apakah karena dia kaya? Kamu pikir dengan menikah tanpa restu dari keluarganya akan membuat kamu bahagia? Mereka akan menerima kamu? Jangan mimpi! Mereka selamanya akan menganggap kamu nggak selevel dengan mereka! Kamu hanya akan sakit hati!” Renita menumpahkan segala kekesalannya pada Azzalyn. “Kami saling mencintai Bu. Bukan karena dia kaya. Tapi karena memang aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengannya.” Azzalyn menjawab dengan emosi. Dia memang memiliki watak yang keras dan tidak
Mata Renita menerawang. Mengingat kembali kejadian menyedihkan yang menimpa dirinya di masa lalu. Dimulai dari pertemuan pertama dengan Krisna, pernikahan yang tak direstui sang ibu mertua pada awalnya, hingga malam kejadian saat ia diusir dari rumah dalam keadaan sedang mengandung Azzalyn. Semua ia ceritakan pada Azzalyn sambil berurai air mata. Tak ada lagi yang ditutupi. “Ibu pikir Bu Narti benar-benar perhatian dan menyayangi Ibu, karena hampir setiap malam dia membuatkan jus semangka kesukaan Ibu. Tapi suatu hari, tanpa sengaja Ibu melihat apa yang ia lakukan. Dia mencampurkan pil KB yang sudah ia haluskan ke dalam jus yang setiap malam ia berikan pada Ibu. Entah sudah berapa lama dia melakukan itu. Dia benar-benar tidak mau memiliki cucu dari Ibu.” Renita menangis. “Lalu?” “Saat tahu apa yang ia perbuat, diam-diam Ibu selalu membuang jus yang diberikannya. Dan tak lama Ibu mengandungmu. Tapi belum sempat Ibu memberitahu Krisna, tanpa sengaja pernikahan sirinya dengan Riska s
“Aku nggak paham apa maksud kamu, Azzalyn!” “Kita putus Abyl. Seharusnya kita memang nggak boleh punya hubungan apa-apa sejak awal. Seharusnya kita nggak usah bertemu dan nggak usah saling kenal.” “Kau menyesal sudah mengenalku? Apakah yang telah kita lewati selama ini tidak ada artinya apa-apa bagimu?” suara Abyl terdengar lemah. Ia tak menyangka semudah ini Azzalyn memutuskan hubungan mereka. Azzalyn diam. Biar bagaimanapun Abyl adalah orang yang ia cintai. Orang yang sangat ingin dia miliki seumur hidupnya. Sampai Azzalyn mengetahui kenyataan kalau dia dan Abyl bersaudara, dan Ibu Abyl yang menjadi penyebab ia dan ibunya menderita selama ini. “Bisakah kita bicarakan semuanya pelan-pelan? Jangan ambil keputusan terlalu cepat Azzalyn,” pinta Abyl. “Nggak akan ada yang berubah Abyl. Apa pun yang menjadi pembicaraan kita nanti keputusanku akan tetap sama. Aku nggak mau ada hubungan apa-apa lagi denganmu.” Azzalyn berbalik hendak menaiki sepeda motornya. Tapi Abyl cepat menangkap
Wajah Krisna pucat. Jantungnya mendadak berdebar cepat, membuat dadanya terasa menyempit. Susah payah ia mengambil napas. Abyl yang melihat ayahnya kepayahan ikut panik. Cepat ia masuk ke dalam dan mengambil obat milik ayahnya. Krisna memang punya penyakit jantung, karena itu ia pensiun dini dari perusahaannya. “Papa kenapa?” Abyl khawatir melihat wajah dan tangan ayahnya yang sama sekali seperti tak dialiri darah. “Nggak pa-pa,” Krisna menelentangkan badannya. Setelah meminum obat, keadaannya mulai pulih. “Maaf kalau Abyl buat Papa sakit,” kata Abyl menyesal. “Di mana rumah mereka?” tanya Krisna. “Di pinggiran kota. Di perkampungan nelayan. Sekitar dua jam dari sini. Papa mau ke sana?” Krisna tak menjawab. “Mau apa Pa?” tanya Abyl penasaran. “Tolong kamu rahasiakan ini. Papa ada urusan yang harus Papa selesaikan. Ada sesuatu yang mau Papa pastikan,” ujar Krisna. “Kapan Papa mau pergi? Apa perlu Abyl antar?” “Jangan! Tolong bantu saja Papa untuk mencari alasan supaya Papa b
Azzalyn menata rapi nasi dan lauk pauk di meja makan. Sebentar lagi mereka akan makan malam bersama. “Bu, udah siap semua,” katanya pada sang ibu yang sedang memijit kaki Abidin, kakeknya. “Iya. Bantu Ibu gandeng Mbah ke dapur ya.” Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengambil posisi di sebelah kiri sang Kakek. Bersama dengan ibunya ia memapah Abidin yang tampak kesulitan berjalan. Usianya yang sudah terlampau tua, ditambah lagi kesehatannya yang semakin menurun sejak kepergian istrinya 2 tahun lalu membuatnya sering sakit-sakitan. “Udah masukkan lamaran kerja ke mana aja kamu?” tanya Renita sambil menyuapi Abidin. “Azzalyn udah coba masukkan di tempat Meta sekarang kerja. Katanya lagi ada lowongan Sales Marketing.” “Udah ada panggilan interview ?” “Belum Bu. Baru juga dua hari yang lalu.” “Ibu kasihan lihat kamu yang sekarang jadi kerja sama Bi Ina,” suara Renita terdengar sedih. “Emangnya kenapa Bu?” Azzalyn menghentikan suapannya. “Ya kamu jadi jualan sayur di pasar. Pa
“Kacau sekali penampilanmu Reni. Aku heran kenapa Mas Kris bisa sangat menyukaimu, bahkan tak pernah bisa melupakanmu. Padahal kau nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan denganku.” Riska berkata dengan nada yang begitu merendahkan. “Bagaimana kau bisa ada di sini?” “Kenapa? Kau pikir kalau Mas Kris bisa datang ke sini diam-diam di belakangku, aku tak bisa melakukan hal yang sama?” “Mau apa kamu?!” Riska berjalan mendekati Renita. “Aku mau bertemu dengan sahabat lamaku. Nggak boleh?” tanya Riska sambil mendekatkan wajahnya, menatap tepat ke manik mata Renita. Renita mundur beberapa langkah. Hatinya ciut. Bola matanya bergerak ke sana kemari, memindai keadaan sekitar, berharap ada orang lain selain mereka berdua. Namun tak ada siapa pun. Mungkin karena jam makan siang membuat para Anak Buah Kapal tak berada di tempat. “Pulanglah Riska. Aku nggak mau ada hubungan apa-apa lagi denganmu dan keluargamu!” Riska mendengus. “Oh ya? Tapi sepertinya kau masih ingin punya hubungan dengan M