Kinan yang sedang bersiap, kembali menatap layar ponselnya saat pesan masuk. (Ini nama rumah sakitnya dan nomor kamarnya ya, Kinan. Hati-hati bawa mobilnya!) “Hah? Dimana? Kenapa rumah sakit di Kota Biru? Ck! Jauhnyaaaa,” desahnya dengan bibir berdecak kesal. Dia tidak tahu kalau mereka dirawat di rumah sakit yang bukan dari kota itu. Tapi memang gadis itu tidak pernah terpikir kenapa dan curiga sama sekali karena mengerti kalau Adrian bisa pergi kemana saja saat bekerja. “Kalau begini aku tidak bisa mengajak Tyo ikut. Aku terpaksa pergi sendiri!” gumamnya yakin karena tidak mungkin menjemput adiknya dulu. “Pantas tadi Kak Clara bilang begitu. Aduh, aku harus cepat!”Kinan pun bergegas mengambil tasnya. Dia akan ngebut supaya cepat sampai di sana waktu masih sore nanti. Di Rumah Sakit… Cindy sedikit berlari dan membuka pintu kamar dengan buru-buru. “Clara?!” suaranya tercekat karena panik. “Aku di sini, Ma! Ayo, duduk dulu, Ma.”Clara menepuk sofa di sebelahnya. Wanita itu
Mata gadis itu langsung terbelalak mendengar pengakuan Joseph. Adalah hal yang paling dia inginkan dari pria itu dengan memiliki perasaan yang sama sepertinya. Setidaknya dulu, saat semua terasa baik-baik saja baginya. “Oh, ya? Aku tidak peduli!” ucapnya ketus ingin melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. Meskipun sedang sakit, nyatanya tenaga Joseph lebih besar dari Kinan dan masih memberikan cekalan erat. “Aku serius, Kinan!” ujarnya penuh penekanan. “Bohong! Aku tidak akan percaya apapun lagi dari mulutmu itu!” kali ini tatapan tajam menusuk dia berikan ke Joseph. Matanya yang sudah berkabut amarah tidak bisa lagi menilai apa pria itu serius atau sedang mempermainkannya, supaya dia memaafkan perbuatannya. Joseph pikir setelah mengungkapkan isi hatinya, keadaan bisa membaik dan Kinan bisa melunak. Tapi ternyata kali ini bukanlah waktu yang tepat. “Baiklah. Aku hanya ingin mengatakan itu dan kalaupun aku mati setidaknya aku sudah bilang dengan orangnya langsung, jadi t
Besok paginya… Pak Bagas sudah membeli sarapan untuk mereka dan akan menemani Joseph di kamar sebelah. Sementara itu sekarang Bi Sari menyiapkan semua makanan di atas meja kaca. “Nyonya, Non Kinan, ayo sarapan dulu. Nanti keburu dingin!” panggilnya sedikit keras. Clara menoleh dan tersenyum karena baru saja selesai mengelap tubuh Adrian. Kinan yang tidak sabar menepuk perutnya karena sudah lapar. “Yuhuuu! Mari makan!” ucapnya bersemangat. Bi Sari hanya menggelengkan kepala dan tersenyum geli melihat tingkah gadis itu. Selesai sarapan, Kinan pun mandi dan berganti pakaian yang lebih santai. Untung dia sempat membawa baju karena tahu kalau akhirnya akan menginap. Pintu kamar terbuka dan nampaklah Baron dan Cindy. “Papa!” Clara langsung berdiri dan memeluk Papanya. “Clara kangen, Pa! Huaaa!” Tangisnya langsung pecah. Dia tidak peduli orang lain melihatnya seperti apa
Hampir saja Kinan menjatuhkan sendok di tangannya karena terkejut. Sementara Joseph masih diam dan tetap bersikap biasa saja dengan wajah datarnya itu. “Ma-mama?! Sejak kapan sampai?” Kinan dengan susah payah menelan ludahnya. Wanita itu berjalan cepat dan menarik tubuh Kinan untuk berdiri. Tangannya menunjuk ke arah Joseph. “Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu menyuapi dia? Memangnya dia tidak bisa makan sendiri?!” Tyas berkata ketus dengan mata mendelik tajam, bergantian menatap putrinya dan juga Joseph. Kinan pun dengan cepat buru-buru menjelaskan. “Tangan Kak Jo sakit, Ma. Pak Bagas sedang pergi, tadi aku kasihan karena melihatnya susah makan jadi aku hanya membantunya,” dia mencoba untuk tidak gugup. Dia sangat berharap Mamanya tidak salah paham. Tyas pun mau tidak mau menerima alasan putrinya. “Ya, sudah. Ikut mama ke sebelah! Dan kamu Joseph, tahu diri sedikit jadi jangan manja!” “Mama!” protes Kinan. “Baik, Nyonya. Terima kasih banyak Nona!” Joseph menjawab
Semua orang terkejut dengan ucapan Sandy barusan. Berbagai pertanyaan muncul di benak mereka, terutama Clara. “Paman, mohon bersabar. Kita bicarakan hal ini baik-baik,” Clara menyela dengan berani untuk mencegah keributan. Tentu Clara tidak bisa diam saja melihat mereka seperti itu di saat Adrian masih belum sadar. Namun ia juga sebenarnya ingin tahu lebih lanjut soal ucapan Sandy barusan. Clara yang menikah dengan Adrian karena keadaan terpaksa, semakin tertarik untuk mengetahui kehidupan masa lalunya.Dia jadi tambah penasaran masalah apa yang dihadapi Adrian sehingga terdampar di kota mereka dan berakhir menjadi suaminya. Kinan menatap Papanya dan Joseph bergantian. Tercetak jelas tanda tanya di wajahnya untuk mengetahui apa yang sebenarnya sudah terjadi, tapi gadis itu tidak mampu untuk bicara. Lidahnya kelu, tenggorokannya seperti tercekat karena takut Papanya tambah murka. Clara dan Cindy saling pandang. Mereka semakin tertarik untuk mendengarkan. Apalagi dulu Adrian dat
Sosok pria paruh baya yang mengamuk itu adalah Sandy. Siapa lagi orang yang tidak senang akan kesuksesan Adrian, kalau bukan dirinya. Dulu ia selalu berusaha menyembunyikannya, tapi sekarang sudah tidak bisa ditahannya lagi. Apalagi tadi semenjak Joseph mulai berani menjawab ucapannya. “Dasar brengsek! Lihat saja kau! Aku akan membuat perhitungan denganmu!”Pria itu tidak menyangka kalau Asisten keponakannya bisa bertahan selama ini meskipun tanpa Bosnya. Dia telah salah menilai mereka.Lalu Sandy mengambil ponselnya dengan cepat untuk menghubungi seseorang yang juga sudah lama membuatnya kesal. “Halo! Dari mana saja kau? Apa kau sekarang hanya bersantai-santai saja?!” bentak pria itu langsung dengan napas memburu. [“Sabar dulu, Bos. Ada apa? Aku juga sibuk bekerja, bukan sedang main!”]Orang yang menerima telepon dari Sandy adalah Bastian. Pria yang juga ikut bertanggung jawab atas menghilangnya Adria
Lalu Clara menangis tertunduk. Ia berpikir sudah bermimpi atau berhalusinasi karena terlalu berharap suaminya bangun. “Clara, a-aku di sini.”Adrian sudah sadar! Kali ini suaminya benar-benar sudah membuka matanya. “Adrian!” ucapnya tidak percaya. Adrian tersenyum tipis dengan wajah yang masih pucat. Tadi dia memang sudah bangun namun masih merasa pusing, jadi memanggil Clara dengan mata terpejam. “Terima kasih, Tuhan! Aku senang kamu sudah sadar, Sayang!” Clara pun memeluk Adrian dan menangis tersedu. Rasa kantuknya hilang entah kemana. “Clara, ada apa?!” teriak Cindy panik setelah bangkit dari sofa. Dia pikir ada sesuatu yang gawat terjadi pada putrinya atau Adrian. “Mama! Ma, Adrian sadar!” ucapnya antusias. “Benarkah?” Cindy melihat menantunya itu sudah sepenuhnya bangun. “Mama akan panggil dokter kemari, Clara. Kamu jangan kemana-mana, oke?!” wanita itu tersenyum dan segera berlari kecil ke luar kamar. “Clara, jangan menangis. Aku … tidak apa-apa,” suara Adrian terden
Joseph langsung bungkam saat Tuannya itu berteriak padanya dengan tatapan tajam. Bahkan Cindy dan Clara menoleh bersamaan ke arah mereka saat mendengar suara Adrian yang keras. “Clara, ada apa sih?” bisik Mamanya tidak sabar karena kepo. Putrinya hanya mengangkat kedua bahunya, “Tidak tahu, Ma. Kita biarkan saja mereka. Pasti sedang membahas sesuatu yang penting,” ucapnya pelan. Dia berusaha untuk tetap tenang namun tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang terlihat khawatir. Karena selama ini Clara tidak pernah mendengar suaminya bicara seperti itu pada Joseph. Lalu, Adrian menarik napas dalam. Joseph masih menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Tuannya yang sedang marah. “Kau sudah lama bekerja untukku, Jo. Kenapa kau rahasiakan hal ini dariku? Apa kau tidak menganggapku orang yang penting?” ucapnya mulai membuka kembali obrolan mereka. Joseph mengangkat kepala dan melirik dengan sudut matanya. “A-apa maksud, Tuan? Aku minta maaf karena sudah lancang dan membuat Tuan ma