“Aku akan mengirimkan sisa pembayarannya jika kau telah menghabisi nyawanya,” seru Vero berbicara pada seorang pria di seberang telpon.
Vero mematikan panggilan secara sepihak, mengetahui jika Alika ternyata mengandung anak Arsen, dia harus menghilangkan Alika dan bayi itu agar Arsen akan tetap menjadi miliknya.
Sudah sejak lama, Vero menyukai Arsen tetapi pria itu malah menyukai Alika anak yatim piatu. Arsen hanya melihatnya sebagai sahabat masa kecil, hal itu membuat Vero semakin dendam pada Alika.
Seorang pria tengah duduk di atas pohon memegangi sebuah senjata laras panjang. Mata pria itu tengah membidik, sebuah mobil sedan yang tengah melaju di jalanan menggunakan teleskop senjatanya miliknya.
Ketika mobil itu lewat sesuai perkiraannya, seketika dia menarik pelatuk senjata dan—
Dor! Dor! Dor!
Beberapa kali tembakan ia lesatkan membuat mobil yang tengah melaju kehilangan kendali, pengemudi seketika menginjak rem mendadak, hingga akhirnya mobil itu menggelinding dan terbalik di jalan.
Melihat targetnya tepat mengenai sasaran membuatnya seketika meloncat dari atas pohon menghampiri mobil yang tengah terbalik. Dari dalam dalam mobil, terlihat masih ada sebuah kehidupan, dengan wajah penuh dengan darah akibat pecahan kaca mobil melukainya.
Suara langkah kaki menggunakan sepatu boots terdengar mendekat ke arah mobil yang tengah terbalik itu. Dengan jelas pria itu mendengar sebuah suara parau dari dalam mobil tengah meminta pertolongan.
“T-tolong. Tolong aku.” Suara itu begitu parau mungkin ia tengah berteriak.
Pria itu menundukkan setengah badan melihat ke dalam mobil, ia melihat Alika tengah mengulurkan tangan dengan bibir berkomat-kamit tetapi suaranya tidak terdengar.
Pria menyunggingkan senyum. “Ternyata kau punya banyak nyawa,” ucapnya sambil terus memperhatikan Alika yang berada di dalam sana.
Mendengar suara yang begitu dekat dengannya membuat Alika berusaha membuka mata, samar-samar dia melihat wajah yang tengah melihat dirinya berada dalam ambang kematian.
Tangan itu kembali terulur ke luar, masih berusaha membuka mata yang penuh dengan darah. “K-ku mohon, tolong selamatkan aku.”
“Kenapa juga aku harus menyelamatkanmu, lagi pula aku dibayar untuk membunuh. Salah sendiri tidak pandai menghindar dan menyelamatkan dirimu,” celetuk pria itu.
Mata Alika terlihat ingin hidup lebih lama. Cukup lama pria itu memperhatikannya yang tengah berjuang hidup itu, bahkan dengan sisa tenaga yang dimiliki, dia memilih untuk berjuang meloloskan diri dari kematian. Merangkak untuk keluar dari dalam mobil, sesekali dia meringis merasakan kesakitan. Tangannya dipenuhi oleh cukup banyak luka.
Pria itu mengangkat sebelah alis memperhatikan perjuangan hidup wanita di hadapannya. “Please … aku sedang hamil, t-tolong.“ Suara Alika terdengar serak memohon agar dia diselamatkan.
Bukan nyawanya yang Alika pikirkan tetapi nyawa bayi yang tengah berada di dalam kandungan.
“Ternyata kau wanita yang kuat untuk bertahan hidup, ya?” komentar pria itu lagi. “Bukankah kau lebih baik mati saja, lagi pula orang yang menyuruhku menginginkanmu untuk mati. Aku hanya diminta untuk membuatmu mati akibat kecelakaan dan kau belum juga mati, ini benar-benar sangat merepotkan.”
Bibir Alika bergetar, ia sekali lagi mencoba mengulurkan tangan. “T-tolong … selamat bayiku,” pinta Alika, dia mengatakan sesuatu pada pria itu tetapi suaranya tidak terdengar.
“Nona. Aku minta maaf, aku harus melakukan hal ini padamu.”
Desisan terdengar, membuat pria itu kembali mengerutkan kening. Bau tidak sedap mulai tercium di hidung membuatnya melirik ke arah bagian atas mobil, di sana terlihat asap keluar dari mesin bisa dipastikan jika sebentar lagi mobil itu akan segera terbakar dan meledak.
“Selamat berjuang, Nona,” ucap pria itu.
Beberapa saat ketika dia telah pergi dari sana, barulah mobil itu meledak membuat beberapa bagian-bagian mobil berterbangan dan berserakan di mana-mana.
Suara sirine ambulan terdengar mencengkam memasuki sebuah halaman rumah sakit, membuat beberapa orang begitu sigap menyambut pasien. Ketika mobil itu terparkir, semuanya begitu sibuk mengeluarkan Alika yang penuh dengan luka-luka di wajahnya.
Begitu banyak darah yang menetes di lantai rumah sakit.
Roda hospital bed tengah mengikuti arah langkah kaki para perawat yang tengah membawa seseorang pria yang terluka ke dalam ruang operasi, darah terlihat menetes di lantai membuat jejak di setiap jalan yang dilalui.
“Tuan, Nona Muda mengalami kecelakaan!”
Mendengar berita itu membuat pria yang mengaku ayah Alika terkejut tetapi sebisa mungkin mengubah raut wajahnya. “Kirimkan dokter terbaik, aku tidak ingin kehilangan putriku,” ucap pria itu dengan suara beratnya.
“Sepertinya Nona mengalami keguguran.”
“Pastikan putriku baik-baik saja. Aku tidak membutuhkan bayi itu.” Begitu dingin pria itu mengeluarkan perintah.
“D-dokter pasiennya mengalami pendarahan,” seru suster. “Sepertinya dia keguguran,” tambah suster dengan panik menangani Alika.
Dokter yang melihat kondisi Alika yang begitu buruk mencoba untuk segera bertindak melakukan pertolongan sesegera mungkin.
Pertolongan pun diberikan pada Alika, tidak ada satupun yang berada di sana selain seorang pria yang menemukan Alika dan membawanya ke rumah sakit.
“Anda suaminya?” tanya seorang suster yang baru saja keluar dari ruangan tindakan darurat.
“B-bukan, s-saya yang menemukannya,” jawab pria itu dengan sedikit terbata-bata.
Suster itu cukup kebingungan, harus mengatakan pada siapa kondisi Alika.
“Katakan padaku, saja, Dok. Saya akan menyampaikan pada keluarganya, jika mereka datang,” seru pria itu.
“Kondisinya sangat buruk, dia mengalami keguguran,” seru suster itu membuat raut wajah pria yang tengah menunggu Alika terkejut.
“D-dia hamil?” Hanya ada anggukan dari suster. Pria yang menyelamatkan Alika terkejut, dia tidak tahu jika wanita yang ditolongnya tengah hamil.
“T-tolong, lakukan yang terbaik, Dok.”
Pria itu mencari barang-barang Alika, dia berharap bisa menghubungi Alika. Dia menemukan ponsel Alika dan menghubungi nomor yang berada di sana tetapi tidak ada jawaban dari nomor yang dipanggilnya.
Hingga panggilan pria itu dijawab. “Hallo.”
“Syukurlah, anda mengangkat telepon ini. Aku ingin mengabarkan jika pemilik ponsel ini sedang berada di rumah sakit. Dia mengalami keguguran dan sedang berada–tut-tut-tut.” Panggilan terputus membuat pria itu menghubungi tetapi panggilan tidak tersambung.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi”
Pria itu menghubungi nomor Arsen dan yang mengangkat panggilannya adalah Vero. Vero yang mendengar jika Alika masih selamat begitu marah, membuatnya segera menghubungi nomor pria yang disewa.
“Bukankah aku memintamu membunuhnya? Kenapa dia tidak mati?” teriak Vero dengan nada tinggi saat panggilannya di angkat. Wanita yang diinginkan mati, masih selamat hal itu membuatnya marah. “Bukankah aku memintamu menghabisnya? Kenapa kau tidak melakukannya? Huh?”
“Nona, saya sudah melakukan seperti yang kau perintahkan. Membuatnya kecelakaan, saya tidak tahu mengenai apakah dia mati atau tidak. Saya sudah memberikan rekaman video mengenai kecelakaannya, jika mobil yang digunakan bersama taksi tersebut meledak.”
“Apa kau tidak memastikan dia sudah mati atau tidak? Bukankah—”
“Nona. Suara ledakan itu cukup keras, para warga berdatangan. Tidak mungkin saya berlama-lama di sana, jika saya memastikan dia hidup atau mati yang ada saya akan ditangkap, dan akan kupastikan Nona juga ikut terseret dalam kasus ini,” ucap pria itu tegas.
Vero segera mematikan panggilannya. “Sialan. Kenapa Alika tidak mati saja,” umpat Vero.
Vero yang baru tiba di kantor menghamburkan seluruh barang-barang di atas mejanya. Dia memekik membuat sang asisten masuk ke dalam ruangannya.“Keluar,” bentak Vero.Tangan Vero mengepal erat, melihat bagaimana Arsen mencium Elektra. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari suaminya tapi wanita yang baru dikenal itu mendapatkannya.“Elektra sialan,” umpatnya sambil melemparkan ponsel sembarang arah. “Berani sekali wanita itu. Berani sekali dia tersenyum seperti itu,” geram Vero.Suara barang-barang yang dibanting terdengar hingga keluar tapi tidak ada yang berani mendekat kea rah ruangannya. Mereka sudah tahu bagaimana sikap Vero jika marah.Namun berbeda dengan Elektra yang tengah santai di dalam mobil Arsen, wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa. Arsen sesekali melirik ke arah wanita disampingnya.“M-maaf jika saya membuat Anda tidak nyaman,” seru Arsen membuka suara.“No problem. Aku yakin Anda melihatku karena wajahku mirip dengan Alika.”“M-maaf.” Elektra tersenyum men
Vero yang baru tiba di kantor menghamburkan seluruh barang-barang di atas mejanya. Dia memekik membuat sang asisten masuk ke dalam ruangannya.“Keluar,” bentak Vero.Tangan Vero mengepal erat, melihat bagaimana Arsen mencium Elektra. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari suaminya tapi wanita yang baru dikenal itu mendapatkannya.“Elektra sialan,” umpatnya sambil melemparkan ponsel sembarang arah. “Berani sekali wanita itu. Berani sekali dia tersenyum seperti itu,” geram Vero.Suara barang-barang yang dibanting terdengar hingga keluar tapi tidak ada yang berani mendekat kea rah ruangannya. Mereka sudah tahu bagaimana sikap Vero jika marah.Namun berbeda dengan Elektra yang tengah santai di dalam mobil Arsen, wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa. Arsen sesekali melirik ke arah wanita disampingnya.“M-maaf jika saya membuat Anda tidak nyaman,” seru Arsen membuka suara.“No problem. Aku yakin Anda melihatku karena wajahku mirip dengan Alika.”“M-maaf.” Elektra tersenyum men
Hotline berita begitu menarik banyak perhatian public. Di mana mereka menulis jika Elektra membela seorang pelaku dengan menjadi pengacaranya.“Tch. Sudah kuduga akan seperti ini,” gerutu Elektra kemudian menyambar remote dan mematikannya.Magno baru saja masuk dengan wajah yang sulit untuk diartikan. “Kita ke kantor.”“Banyak reporter di sana.”“Kau tidak bisa menangani mereka, huh?”Melihat raut wajah Magno dia bisa tahu jawabannya. “Aku tidak akan mati hanya karena mereka, ayo kita ke kantor,” ucap Elektra.Saat tiba di parkiran mata Elektra tertuju pada Regan yang berdiri di samping mobil. Magno pun terkejut dengan kehadiran pria itu.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku mengkhawatirkanmu, aku melihat berita dan datang. Kau tidak membalas pesan ataupun mengangkat telponku.”Elektra baru ingat dia tidak memang ponselnya. “Kau mau ke kantor?” Regan lagi-lagi bertanya. “Ikut denganku di dalam mobil, mereka pasti akan mengenali mobilmu tapi mereka tidak akan mencegah mobilku masuk,” t
Arsen benar-benar tidak bisa terima jika ada pria lain yang mendekat pada Elektra. Keinginannya mendekati Elektra berubah menjadi obsesi.“Enak ‘kan? Aku tebak kau tidak pernah merasakan nasi goreng seperti ini,” seru Regan. “Mau lagi?” Regan kembali menyendok nasi miliknya dan menyuapi Elektra. Lagi-lagi Elektra membuka mulutnya menerima suapan dari Regan.Mungkin banyak yang mengira jika keduanya adalah sepasang kekasih yang tengah berkencan.Di saat bersamaan, sebuah ponsel di atas meja berbunyi menampilkan sebuah pesan. Melihat pesan yang dikirimkan padanya membuat pria itu mengerutkan kening, sesaat kemudian menghubungi yang mengirimkan pesan padanya.“Pergi dari sana. Jangan ganggu dia, jangan sampai ketahuan.”“Baik Tuan.”Saat menerima pesan dari anak buahnya, Ankara memejamkan mata. Kemudian menghubungi satu nama di ponselnya. “Tolong cari informasi mengenai seseorang untukku,” serunya kemudian mematikan panggilan tapi mengirimkan satu foto.“Kau tidak akan menolak sepiring n
Dari kejauhan terlihat pria yang tadi mengirimkan pesan pada Elektra, dia tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah wanita yang dilihatnya baru saja keluar dari pintu lift menuju basement kantor.“Kau mengajakku keluar karena ingin membayar hutangmu?”Regan segera menganggukan kepala. “Ya, dan juga ingin merayakan denganmu karena diterima menjadi pengacara di sini,” jawab Regan jujur.“Ayo,” seru Regan membukakan pintu mobilnya. “Maaf, mobil saya tidak seperti mobilmu,” ucap Regan saat masuk ke dalam mobil.Elektra bahkan tidak mempermasalahkan itu, apalagi bau parfum menyengat, tidak buruk menurutnya. Wanginya menenangkan dengan aroma kayu.Tidak ada ekspresi di wajah Elektra saat masuk ke dalam mobil. “Apa kau tidak suka dengan mobilku? Kita bisa—““Tidak. Ayo pergi saja,” bantah Elektra menenangkan Regan yang terlihat sedikit segan dengan sikapnya.H
Elektra mengumpati dirinya yang saat ini tengah duduk di dalam mobil sambil memperhatikan seseorang dari dalam mobil. Magno yang ada disampingnya pun menatap dengan penuh tanya, mengenai apa yang dilakukan oleh sang nona.Mata Elektra tertuju pada pria yang berada di dalam restoran, beberapa saat kemudian pria itu beranjak dari restoran tersebut. Dia berjalan santai menuju parkiran dan menyadari jika hari sudah sore. Buru-buru ia mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat itu.Tanpa disadari—Elektra yang bersembunyi di dalam mobilnya kini membuntuti Regan. Ternyata dia juga penasaran terhadap laki-laki itu karena selalu mengajaknya bicara.“Kau tertarik dengannya?” Magno barulah membuka suara. Lirikan tajam dari Elektra terlihat, “Okay. Aku tidak akan bertanya lagi,” lanjutnya.Seram juga menanyakan hal seperti itu pada Elektra. Namun, dia suka jika Elektra menunjukan sikap seperti itu.Magno sengaja memberi jarak yang
"Hai, tu— tunggu." Regan mencoba menahan Elektra agar tidak pergi.Sayangnya, wanita itu tidak ingin bicara dan langsung mengemudikan mobilnya meninggalkan Regan."Ah, sial!" umpat Regan karena lagi-lagi dia gagal mengajak Elektra bicara. “Padahal dia ingin mentraktirnya.”Dia pun memilih pergi dari Firma Hukum Lyosa karena masih ada perut kelaparan yang harus diberi makan. Regan lantas mengemudikan mobilnya menuju sebuah restoran terdekat.Lagi-lagi kedatangan Regan di restoran tersebut mengundang perhatian orang-orang sekitar. Ketampanannya memang telah diakui banyak orang. Namun, Regan sendiri bingung mengapa Elektra sama sekali tidak tertarik padanya? Bahkan setelah mereka bertemu beberapa kali."Ck! Aku sungguh tidak nyaman ditatap oleh mereka seperti itu," celetuk Regan seraya memasuki restoran.Walaupun begitu, dia tidak berniat untuk mencari tempat makan yang lainnya. Regan sengaja memilih tempat duduk di sudu
Kamar yang tertata rapi, deretan buku-buku hukum ada di dalam membuat kamar tersebut sesuai dengan pemilik kamar. Sederhana tapi sangat bersih."Bangun, Regan. Katamu ada acara hari ini?" Seorang wanita berkata lembut setelah membuka korden jendela kamar putranya."Iya, Ma," jawab laki-laki itu seraya berkedip cepat.Dia ingat sekali jika hari ini akan ada interview bagi orang-orang yang sudah mendaftar di Firma Hukum Lyosha. Seketika Regan bangun dengan penuh semangat dan ingin segera diwawancarai, sekaligus berharap bisa bertemu pengacara cantik lagi di sana."Aku mandi dulu ya, Ma," pamit Regan."Iya, Sayang," sahutnya.Begitu Regan masuk kamar mandi, wanita paruh baya itu langsung membereskan tempat tidur sang putra. Kemudian—menyiapkan sarapan dan melakukan aktivitas yang lain.Berhubung sudah hampir terlambat, Regan mempercepat proses mandinya dan segera memakai baju se-rapi mungkin. Dia berdiri di depan cer
Elektra lagi-lagi terbangun melihat ruangan yang berbeda. Ruang kamar dengan cat berwarna abu. “Sial. Kenapa aku tidak sadar jika dia menggendongku pulang,” gerutu Elektra sambil mengacak rambut. Setelah merasa nyawanya terkumpul, Elektra turun dari tempat tidur, dia mencari keberadaan Magno tetapi tidak menemukan pria itu di manapun. Namun, sarapan pagi berada di atas meja membuatnya segera menyantapnya. “Ke mana perginya, dia? Bukankah ini masih pagi?” tanya Elektra sambil mencari letak jam, dia ingin tahu saat ini pukul berapa. Namun saat dia melihat jam, begitu terkejut dirinya. “Astaga. Apa aku tidur selama itu?” tanya Elektra. Jam telah menunjukan pukul 3 sore. Sesaat Elektra terdiam. “Makanannya masih hangat, apa dia pulang dan membuatkanku makanan?” Elektra tersadar mengenai hal itu. Setelah menyelesaikan makannya, Elektra bergegas membersihkan diri. Di dalam kamar tersedia pakaian ganti untuknya. “Dia selalu tahu, fash