Share

Tujuh

Mimi sudah menyelesaikan pekerjaanya, ia menghampiri Angel di meja makan. Mengeringkan tangan setelah mencuci piring. 

"Ayo, Non. Pekerjaanku sudah selesai." Mimi mengandeng lengan Angel seperti seorang teman. Angel membulatkan mata. Ia belum pernah di sentuh oleh seorang pelayan. Mimi sadar dengan tatapan istri Antoni. 

"Maaf, Non Tiara." ucapnya sopan. Ia melepaskan tangannya dari lengan Angel. Memberikan jarak dengan majikan.

"Ah, kamu seperti sama orang lain saja. Ayo!" Angel mengandeng Mimi dan tersenyum. Mereka terlihat akrab dan bersahabat.

"Apa kamu sudah lama bekerja di sini?" tanya Angel. Ia harus mendapatkan informasi yang lebih banyak. 

"Lima tahun aku bekerja di sini." Memperlihatkan jari letiknya sebanyak lima.

"Apa kamu betah di sini?" 

"Mau tidak mau harus betah. Karena aku butuh biaya buat keluargaku di kampung." Raut wajah Mimi berubah sedih. Sejak bapaknya meninggal, Mimi yang menjadi tulang punggung keluarga. 

"Kamu tadi lihat tidak, pelayan yang menumpahkan kopi di celana papa?" Angel memelankan suaranya dengan cara berbisik. Menoleh ke kiri dan kanan.

"Itu namanya Silvia. Dia pelayan kesayangan Tuan besar Ronald. Non Tiara lupa ya. Kita pernah memergoki mereka di halaman belakang rumah di situ." Mimi menunjukkan pintu yang menempel di belakang rumah. Angel memicingkan matanya. Pintu itu berada di pojok halaman rumah.

"Mereka berdua keluar bersamaan dengan tubuh berkeringat. Entah apa yang mereka lakukan," ucapnya berbisik. Ia melirik kanan dan kiri takut terdengar orang lain. 

"Aku lupa, bantu aku mengingat semuanya," bujuk Tiara. Ia menyandarkan kepalanya ke pundak Mimi. 

"Apa mama tahu hubungan mereka?" 

"Nyonya besar tahu skandal mereka, ia tak pernah marah kepada tuan besar. Seharusnya, nyonya harus mengambil tindakkan. Tapi, tuan besar Ronald pasti membela Silvia." Mengerucutkan bibir kecewa dan geram.

"Berapa kamar yang ada di rumah ini?" 

"Di lantai satu ada enam kamar, di lantai bawah empat kamar pelayan, kamar tuan besar dan tiga kamar tamu." Mimi menghitung kamar dengan jarinya. Suaranya terdengar berbisik.

"Kamu yakin? Tidak ada kamar rahasia." Mereka duduk di bangku panjang dengan pemandangan kolam ikan di depannya. Kolam yang dihiasi taman bunga mawar dan melati.

"Ehm, dulu Non Tiara pernah cerita kalau Nona menemukan sebuah tangga dan di atas tangga itu ada ruangan. Tapi, aku tak pernah menemukannya. Non Tiara selalu rajin membersihkan rumah ini hingga ke sudut yang tak pernah terjangkau." 

"Di mana letak tersebut?" Angel menatap wajah Mimi.

"Aku tak pernah menanyakannya letaknya di mana. Apa mungkin ada di pintu halaman belakang," Mimi berbisik kepada Angel. 

Angel menoleh ke arah pintu tersebut. Pintu itu di lapisi pagar dan terkunci rapat. 

"Mimi, apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Ronald, mereka aneh dan ...."

"Tak berperasaan," potong Mimi. 

"Kadang Nyonya besar menyiksaku hingga aku mengalami luka setelah itu nyonya besar akan memberi pelayannya uang yang sangat banyak sebagai tutup mulut. Pelayan di sini yang bertahan hanya aku dan Silvia. Lihatlah, Non!" Mimi menarik lengan bajunya. Angel terkejut dengan luka-luka tersebut.

"Apa yang mereka lakukan kepadamu?" ucap Angel dengan geram. Angel memiliki pelayan yang banyak, namun tak pernah menyakiti atau menyiksa mereka. 

Mimi menutup wajahnya dengan tangan, ia menangis. Dadanya sesak, kalau saja ia tak butuh uang. Mimi pasti sudah mengundurkan diri.

"Mimi ... katakan apa yang mereka lakukan kepadamu?" 

Mimi menarik napas dalam,"Nyonya besar yang menyiksaku," Mimi menangis dan Angel memeluk tubuh gadis itu. 

"Mimi ... Ada lagi yang ingin aku tanyakan. Jendela kecil di dapur menembus ke mana."

Mimi menghapus air matanya dengan jarinya. Melipat keningnya.

"Dapur itu sebelumnya ada pintu belakang, lalu Tuan menutup pintu itu setahun yang lalu. Jendela kecil itu tertutup cermin, beberapa minggu yang lalu cermin itu pecah. Memang kenapa?" Mimi menjelaskan dengan detail. Ia menunjukkan letak jendela tersebut. Gudang tempat menyimpan barang-barang berada di samping rumah. 

'Jadi Lelaki itu mengarah ke bagasi mobil. Pantas saja aku tak menemukannya. Jalan itu terselip dengan tembok yang lain. Sehingga tak pernah ada yang melewatinya. Papa menutup pintu dapur dan jalan samping,' ucapnya dalam hati. 

Angel semakin bingung dengan bentuk rumah tua ini. 

"Tidak apa-apa. Hanya saja kemarin ...."

"Apa yang kalian lakukan di sini?" potong wanita berpakain sama dengan Mimi.

"Si-silvia ...." Wajah Mimi berubah pucat. Ia takut Silvia mangadu pada Tuan dan ia akan dipecat. 

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya balik Angel tak mau kalah. Ia bangkit dari duduknya. Melipat tangan mengangkat dagu.

"Aku bebas melakukan apa saja." Silvia terlihat sombong. Bagaikan majikan menguasai wilayah rumah ini. Semua pelayan takut kepadanya. 

Angel membusungkan dadanya dan mengangkat dagu luncipnya."Bebas! Apa gak salah dengar? Hei, kamu itu siapa?" Angel meninggikan nada suaranya. Mimi hanya menonton mereka. Mengerjap berkali-kali mendapat tontonan langkah.

"Kamu!" Silvia kesal dengan nada ucapan Angel yang merendahkannya. 

"Kamu juga siapa? Kamu bukan siapa-siapa." 

"Panggil saya no-na." Angel sengaja mengeja kata tersebut dengan lantang. Kesombongan pelayan melebihi majikannya.

"Aku istrinya Antoni dan kamu harus menghormati saya. Paham! Jangan melarang-larang saya untuk duduk di sini." Angel menarik lengan Mimi untuk melihat kolam ikan. Mimi mengikuti langkah Angel dengan cepat. 

"Tunggu!" Teriak Silvia. Angel menoleh ke arahnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status