Ini Bab Bonus hadiah sekaligus bab terakhir hari ini. othor hampir gila, hape lemot banget, butuh 10 menit lebih untuk bisa upload bab ini. Selamat beristirahat (◠‿・)—☆
Luis Kincaid mengamati perjuangan Ryan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia berharap Ryan gagal dan terjatuh. Namun di sisi lain, ia tidak bisa menahan diri untuk mengagumi kegigihan pemuda itu."Ryan," ucapnya dengan nada yang sedikit lebih lembut, "jika kamu terus memaksakan diri, kamu mungkin tidak akan bisa bertahan hidup. Kamu sudah sangat baik bisa mencapai langkah ini. Jangan sia-siakan masa depanmu.""Diam!" Ryan meraung keras, urat-urat di lehernya menonjol menahan tekanan yang semakin berat. Dengan satu gerakan cepat, ia melangkah maju beberapa langkah sekaligus.Gerakan itu begitu cepat dan tak terduga hingga membuat Luis terkesiap. Dalam hitungan detik, Ryan telah berhasil mencapai anak tangga kedua puluh delapan, kini berdiri bahu-membahu dengan Luis Kincaid!"Tidak mungkin!" seru Luis, mata terbelalak dipenuhi keterkejutan dan ketidakpercayaan. Ia mundur setengah langkah, tidak sanggup menerima kenyataan bahwa "sampah" ini bisa menyusulnya dengan begitu cepat
Wajah Luis Kincaid memucat drastis mendengar tuntutan itu. Ekspresi ketakutan kini jelas terlihat di wajahnya yang biasanya angkuh. Dengan tangan gemetar, ia menggertakkan gigi dan mencoba melangkah maju. Dalam hatinya, ia berpikir bahwa ia masih bisa maju dua langkah lagi, setidaknya untuk menyamai posisi Ryan dan menciptakan hasil seri.Namun, kenyataan berkata lain. Bahkan sebelum kakinya sempat menyentuh anak tangga berikutnya, gelombang tekanan dahsyat dari Tangga Surgawi menghantamnya tanpa ampun, memaksanya mundur beberapa langkah. Darah segar menyembur dari mulutnya."Ryan, jangan pergi terlalu jauh!" serunya dengan suara tercekat menahan sakit.Ryan hanya tersenyum dingin dan menghunus pedangnya. Cahaya perak berkilau di sepanjang bilah pedang, menambah kesan mengancam pada sosoknya."Kekalahan adalah kekalahan," ujar Ryan tenang. "Tidak perlu mencoba menunda hal yang tak terelakkan."Luis Kincaid mengerti bahwa ia tidak akan bisa melanjutkan pendakian. Tubuhnya terluka
Suara pekikan kecil terdengar diikuti oleh suara dentingan piring yang jatuh, membuat suasana pesta menjadi hening.Ryan Pendragon menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang gadis kecil, mungkin berusia sekitar 10 tahun, berdiri kaku dengan wajah pucat. Di depannya, seorang pria tinggi besar dengan mata tajam berdiri menjulang, jasnya yang mahal kini bernoda makanan yang tumpah."Ma-maafkan saya, Tuan," gadis kecil itu terbata-bata, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Pria itu menatap gadis kecil tersebut dengan tatapan dingin yang menusuk. Tangannya terkepal erat, dan Ryan bisa melihat urat-urat di lehernya menegang karena menahan amarah.Melihat situasi yang semakin tegang, Ayah Ryan–William Pendragon bergegas menghampiri mereka. Ia berlutut di samping gadis kecil itu, mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya."Tidak apa-apa, Nak. Itu hanya kecelakaan," ujar William lembut sambil mencoba membersihkan noda di sepatu gadis itu. Kemudian ia berdiri dan menghadap pria
“Terima kasih,” ucap Ryan setelah turun dari taksi dan memberikan bayaran ke sopir.Beralih menatap sebuah bangunan kantor yang menjulang tinggi di hadapan, Ryan membaca lagi secarik kertas yang diberikan oleh gurunya, memastikan ini adalah tempat yang harus dia tuju.“Snowfield Group,” ulang Ryan, lalu mengangkat pandangan untuk melihat plang besar yang terpatri nyata di depan gedung. “Benar ini,” ucapnya sebelum masuk ke dalam lobi.Awalnya, Ryan berniat untuk langsung pergi ke Ibu Kota–Riverdale dan mencari Master Lucas, pria yang muncul di kediamannya lima tahun lalu dan membunuh ayahnya. Bagaimanapun, dia adalah orang yang paling ingin Ryan bunuh selama lima tahun terakhir. Namun, gurunya bersikeras agar Ryan terlebih dahulu pergi ke Golden River dan menemui seorang wanita bernama Rindy Snowfield. Oleh karena itu, di sinilah Ryan sekarang, di lobi perusahaan Snowfield Group.Mengenakan kaos, topi, dan tas selempang kusam yang tersampir di bahunya, penampilan Ryan yang sederhana
Keheningan mencekam menyelimuti lobi gedung Snowfield Group. Semua mata tertuju pada sosok pemuda yang berdiri tenang di tengah kekacauan. Dua penjaga keamanan tergeletak tak sadarkan diri di dekat pecahan kaca, sementara pemuda itu hanya berdiri diam, seolah tak terjadi apa-apa."Astaga, apa yang baru saja terjadi?" bisik salah seorang karyawan, matanya terbelalak ketakutan."Ssst! Jangan keras-keras. Kau mau jadi korban berikutnya?" balas temannya, menarik lengan si karyawan untuk menjauh.Para resepsionis muda bersembunyi di balik meja, ketakutan. Mereka bahkan tidak melihat pemuda itu menyerang. Semuanya terjadi begitu cepat, seolah-olah kedua penjaga itu tiba-tiba saja terpental dan tak sadarkan diri.Ryan melirik kedua penjaga yang tak sadarkan diri itu dan menggelengkan kepalanya dengan jengkel. Tanpa menghiraukan tatapan ketakutan dari orang-orang di sekitarnya, ia melangkah santai dan duduk di sofa. Dengan tenang, ia mengambil koran yang tergeletak di meja, mulai membacanya
Adel menghela napas lega saat melangkah keluar dari gedung Snowfield Group.Hari ini sungguh tidak terduga, tapi setidaknya situasi dengan pemuda misterius itu sudah mereda. Dia membuka pintu Mercedes-nya, bersiap untuk pergi ke pertemuan berikutnya.Tepat saat dia hendak masuk, pintu penumpang terbuka. Adel terkejut melihat Ryan meluncur masuk dengan santai."Hei! Apa yang kau lakukan?" seru Adel, matanya melebar.Ryan menatapnya dengan serius. Dia bisa melihat aura gelap menyelimuti Adel, tanda adanya bahaya yang mengintai. Teknik Matahari Surgawi-nya memperingatkan bahwa gadis ini akan menghadapi ancaman besar dalam waktu dekat."Kupikir kau mungkin butuh teman ngobrol dalam perjalanan," jawab Ryan ringan, menyembunyikan kekhawatirannya.Adel mengangkat alisnya. "Oh, benarkah? Dan sejak kapan kita jadi teman ngobrol?"Ryan tersenyum. "Sejak aku memutuskan untuk berterima kasih atas bantuanmu tadi."Adel memutar matanya, tapi ada senyum kecil di bibirnya. "Baiklah, tuan misterius.
Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Semua mata tertuju pada sosok Ryan yang baru saja membela Adel dengan berani. Tak seorang pun menyangka akan ada yang berani menentang Effendy Shaw, apalagi di wilayah kekuasaannya sendiri."Hei, kau!" Yohan, salah satu penjilat Effendy, berdiri dengan wajah merah padam. Dia menunjuk ke arah Ryan dengan jari gemetar, suaranya bergetar menahan amarah. "Dasar orang bodoh! Apa kau tahu siapa yang kau hadapi? Lihat pakaianmu, bahkan itu tidak sampai bernilai ratusan ribu. Beraninya orang desa sepertimu menyinggung Tuan Muda Shaw!"Ryan hanya melirik Yohan sekilas, tatapannya dingin dan menusuk. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aura intimidasi yang dipancarkannya membuat Yohan mundur selangkah.Merasa terhina oleh sikap acuh tak acuh Ryan, Yohan melanjutkan ancamannya dengan suara bergetar, "A-aku hanya perlu menelepon, dan kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada kehidupanmu di Golden River!"Ryan mendengus pelan, seolah menganggap ancaman it
Beberapa waktu berlalu, dan suasana di ruangan itu semakin mencekam. Adel, dengan wajah pucat, mencondongkan tubuhnya ke arah Ryan."Dengar," bisiknya, suaranya bergetar, "kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Keluarga Shaw mungkin baru naik daun dalam lima tahun terakhir, tapi pengaruh mereka di Golden River tidak bisa diremehkan."Ryan menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Oh ya? Ceritakan padaku."Adel menarik napas dalam-dalam, matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Keluarga Shaw... mereka bukan sekadar keluarga kaya biasa. Lima tahun lalu, mereka hanya pemilik beberapa properti di Golden River. Tapi sekarang? Mereka menguasai hampir setengah pasar real estate kota ini."Ryan mendengarkan dengan seksama, matanya menyipit sedikit mendengar perkembangan pesat keluarga Shaw."Bukan hanya itu," Adel melanjutkan, suaranya semakin pelan. "Mereka punya koneksi politik yang kuat. Walikota, kepala kepolisian, bahkan beberapa anggota dewan kota—semuanya berada di bawah pe
Wajah Luis Kincaid memucat drastis mendengar tuntutan itu. Ekspresi ketakutan kini jelas terlihat di wajahnya yang biasanya angkuh. Dengan tangan gemetar, ia menggertakkan gigi dan mencoba melangkah maju. Dalam hatinya, ia berpikir bahwa ia masih bisa maju dua langkah lagi, setidaknya untuk menyamai posisi Ryan dan menciptakan hasil seri.Namun, kenyataan berkata lain. Bahkan sebelum kakinya sempat menyentuh anak tangga berikutnya, gelombang tekanan dahsyat dari Tangga Surgawi menghantamnya tanpa ampun, memaksanya mundur beberapa langkah. Darah segar menyembur dari mulutnya."Ryan, jangan pergi terlalu jauh!" serunya dengan suara tercekat menahan sakit.Ryan hanya tersenyum dingin dan menghunus pedangnya. Cahaya perak berkilau di sepanjang bilah pedang, menambah kesan mengancam pada sosoknya."Kekalahan adalah kekalahan," ujar Ryan tenang. "Tidak perlu mencoba menunda hal yang tak terelakkan."Luis Kincaid mengerti bahwa ia tidak akan bisa melanjutkan pendakian. Tubuhnya terluka
Luis Kincaid mengamati perjuangan Ryan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia berharap Ryan gagal dan terjatuh. Namun di sisi lain, ia tidak bisa menahan diri untuk mengagumi kegigihan pemuda itu."Ryan," ucapnya dengan nada yang sedikit lebih lembut, "jika kamu terus memaksakan diri, kamu mungkin tidak akan bisa bertahan hidup. Kamu sudah sangat baik bisa mencapai langkah ini. Jangan sia-siakan masa depanmu.""Diam!" Ryan meraung keras, urat-urat di lehernya menonjol menahan tekanan yang semakin berat. Dengan satu gerakan cepat, ia melangkah maju beberapa langkah sekaligus.Gerakan itu begitu cepat dan tak terduga hingga membuat Luis terkesiap. Dalam hitungan detik, Ryan telah berhasil mencapai anak tangga kedua puluh delapan, kini berdiri bahu-membahu dengan Luis Kincaid!"Tidak mungkin!" seru Luis, mata terbelalak dipenuhi keterkejutan dan ketidakpercayaan. Ia mundur setengah langkah, tidak sanggup menerima kenyataan bahwa "sampah" ini bisa menyusulnya dengan begitu cepat
Begitu Ryan menapakkan kaki, gelombang energi dahsyat langsung menyerang tubuh dan kesadarannya. Ada momen di mana ia merasa dirinya sangat kecil dan tak berarti—bagaikan setitik debu di tengah badai kosmik.Namun, Ryan tidak gentar. Ia melangkah maju, satu demi satu hingga mencapai langkah kesepuluh. Inilah tonggak pertama yang harus dilewati. Begitu ia mencapainya, tekanan yang ia rasakan meningkat drastis, seolah-olah gunung-gunung raksasa sedang menindih bahunya.Wajahnya sedikit memucat, namun selain itu, tidak ada tanda-tanda kesulitan berarti pada dirinya."Maju!" Ryan berteriak lantang.Dengan cepat, ia mengaktifkan teknik Matahari Misterius Sembilan Surga. Energi Qi dalam dantiannya bergelombang liar sebelum berkumpul dan mengalir ke seluruh tubuhnya, membentuk penghalang keemasan yang berkilau memukau.Dengan perlindungan itu, Ryan melangkah lagi, bertekad menunjukkan kepada Luis Kincaid siapa yang sebenarnya pantas disebut "sampah"!Ujian ini mengandalkan bakat dan akar
Ketika Luis melangkah ke anak tangga kedua, tubuhnya bergetar sedikit namun segera menstabilkan diri. Dengan keyakinan yang semakin bertambah, ia terus melangkah, melampaui anak tangga kesepuluh di tengah sorak-sorai dan seruan kagum dari para penonton.Luis tidak berhenti. Dengan gerakannya yang mantap, ia segera mencapai anak tangga kedua puluh!"Ya Tuhan, Luis Kincaid benar-benar mencapai langkah ke-20!" seru seorang kultivator muda dengan nada tak percaya."Seperti yang diharapkan dari seorang jenius papan atas!" sahut yang lain."Andai saja aku bisa memiliki setengah dari bakat kultivasinya!" tambah seseorang dari kerumunan dengan suara iri.Pujian-pujian itu semakin membuat Luis melayang. Tak ada seorang pun yang pernah mencapai anak tangga kedua puluh sebelumnya. Seolah tidak puas, ia mendengus angkuh."Hmph, apa pentingnya langkah ke-20?" ucapnya lantang, sengaja agar semua orang mendengar.Dengan gaya anggun, Luis meletakkan tangannya di belakang punggungnya dan terus berge
Luis Kincaid kemudian berdiri dan berjalan menuju Ryan dengan langkah angkuh. Senyum meremehkan terukir jelas di wajahnya yang tampan. Ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa meter, ia menghentikan langkahnya dan melirik Ryan dengan tatapan jijik. "Bocah sampah, apakah kamu berani menantangku?" ucapnya dengan nada mengejek. "Bukankah kamu cukup sombong untuk mengatakan bahwa Tuan Jimmy tidak memenuhi syarat untuk menjadi gurumu? Aku ingin melihat apakah kamu memiliki kualifikasi untuk mengatakan omong kosong seperti itu!" Ryan melirik Luis Kincaid dengan dingin, namun tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengusap bulu Sphinx dengan lembut, seolah mengabaikan keberadaan Luis. Sikap tak acuh Ryan membuat Luis semakin geram. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Bocah sampah, apakah kamu mendengar apa yang aku katakan? Apakah kamu bersedia menerima tantangan itu?" desaknya dengan suara yang lebih keras. "Mengapa aku harus menerima tantanganmu? K
Begitu kata-kata itu terucap, keributan langsung pecah di antara kerumunan. Kesempatan untuk menjadi murid Tuan Jimmy! Beberapa sosok langsung bergegas menuju tangga dengan penuh semangat, masing-masing berharap menjadi orang beruntung yang bisa membuktikan diri. Namun, harapan mereka langsung pupus dalam hitungan detik. Teriakan kesakitan terdengar dari arah tangga, disusul pemandangan mengerikan ketika seorang kultivator terlempar keluar dari tangga seperti anak panah yang lepas dari busurnya. BOOM! Tubuhnya menghantam tanah dengan keras, disusul ledakan dahsyat yang membuat darah dan daging berhamburan. Tak lama kemudian, nasib serupa menimpa kultivator-kultivator lain yang mencoba peruntungan mereka. Pemandangan mengerikan itu membuat para penonton menarik napas dingin, wajah-wajah mereka dipenuhi ketakutan dan ketidakpercayaan. "Tangga Surgawi ternyata sangat kuat! Tidak ada seorang pun yang mampu mencapai anak tangga kesepuluh!" seru seseorang. "Salah satu dari mere
Shirly Jirk hampir tertawa mendengar kata-kata sombong itu. Dia tidak menyalahkan Ryan atas keyakinan dirinya. Sebaliknya, tatapannya beralih ke tangga batu yang terlihat menjulang di sisi gunung. "Ryan, kita tidak perlu bergantung pada Tuan Jimmy," katanya pelan. "Tuan Jimmy hanya memiliki sarana untuk membantu kita melewati Tangga Surgawi." "Tangga Surgawi?" Ryan mengikuti arah pandangan Shirly, menatap anak tangga panjang yang menuju puncak gunung dengan penuh minat. Shirly Jirk mengangguk, ekspresinya serius namun mengandung secercah harapan. "Para kultivator biasa tidak dapat menaiki Tangga Surgawi, karena tangga itu berisi kekuatan para dewa dan banyak kultivator kuat dari masa lalu. Kebanyakan orang bahkan tidak dapat melangkah beberapa langkah, apalagi mencapai puncaknya." Tatapannya menerawang jauh saat menambahkan, "Sejak zaman dahulu, kita bahkan tidak tahu apakah ada orang yang berhasil menggunakan Tangga Surgawi untuk mencapai puncak gunung." Ryan mendengarkan p
Mereka menatap Tuan Jimmy dengan waspada dan melihat bahwa pria tua yang biasanya tenang itu kini memiliki ekspresi dingin dan muram di wajahnya. Tatapannya menajam, dan aura berbahaya mulai menguar dari tubuhnya. "Jadi, kamu berani menolakku?" Suara Tuan Jimmy terdengar seperti es yang pecah. "Tidak ada seorang pun yang berani menolakku di Gunung Langit Biru. Apakah kamu sudah memikirkan konsekuensinya?" Ancaman dari seorang kultivatir tingkat ini sungguh mengerikan, membuat para penonton mundur secara naluriah. Terlebih lagi, tekanan spiritual Tuan Jimmy mulai menimpa Ryan dengan intensitas yang luar biasa! Namun, Ryan tetap berdiri tegak. Bulu Sphinx berdiri tegak dalam kesiagaan, dan sebagai respons, cahaya redup mulai menyelimuti tubuh Ryan, menciptakan lapisan pelindung yang mencegahnya terluka dan mengurangi tekanan spiritual yang menerpanya. "Aku akan bertanya sekali lagi," Tuan Jimmy berkata dengan nada berbahaya. "Apakah kamu bersedia memberiku binatang spiritualmu?"
Beberapa orang bahkan berpikir tentang cara untuk mendapatkan simpati dari Ryan dan Sekte Medical God. Bagaimanapun, menjadi murid Tuan Jimmy sama saja dengan naik ke surga! Kesempatan yang sangat langka ini bisa membuka pintu kekuasaan dan pengaruh yang tak terbatas di Gunung Langit Biru. Menurut mereka, siapa pun akan menerima tawaran menarik seperti itu tanpa ragu. Bahkan para jenius paling berbakat pun akan merebut kesempatan ini dengan kedua tangan mereka. Namun, Ryan tetap tenang dan tidak menjawab untuk waktu yang lama. Ekspresinya tidak menunjukkan kegembiraan atau antusiasme seperti yang diharapkan semua orang. Sebaliknya, dia hanya menatap Tuan Jimmy dengan sorot mata penuh perhitungan. Tuan Jimmy tampaknya teringat sesuatu dan mengalihkan pandangannya ke arah Xiao Yan yang berdiri di kejauhan. "Ketua Sekte Xiao, Anda tidak keberatan, kan?" tanya Tuan Jimmy dengan nada ramah yang dipaksakan. "Memiliki Guru lain akan sangat menguntungkan murid Anda." Xiao Yan me