"Papah .... boleh bicara berdua?" tanyaku. Mamah menatap heran kepadaku, begitu juga dengan Airin.
Papah mengangguk, ia pun berjalan menuju ruang kerjanya, aku mengekor Papah. Ruang kerja Papah sudah dibuat kedap suara, jadi, apapun yang kami bicarakan, tidak akan terdengar dari luar.Papah duduk di sofa, aku pun duduk bersebrangan dengan Papah.Aku menghela napas pelan, mengatur napas."Pah, apa yang Papah lakukan?" tanyaku, menyelidik.Papah mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya Papah."Pah, serius! Mana mungkin Papah bisa berlaku seperti ini. Rosa yakin betul, Papah dalang di balik kematian tragis keluarga Gunawan."Papah tertawa sumbang. "Kamu tunggu saja! Mereka semua akan lenyap! Mereka tidak tahu berhadapan dengan siapa," ucap Papah. Aku syok mendengar penuturannya, beginikah aslinya Papah. Aku tercengang, melihat api dendam di manik matanya."Rosa, kamu harus tau! Bagi Papah,Hari ini aku menjemput Brian di Bandara, anak Tante Nora."Kak Rosa!" teriak Brian, seraya melambaikan tangannya. Aku yang tadinya celingukan mencari-cari wajah Brian dari banyaknya orang yang datang pun tersenyum ke arahnya."Ayo, Kakak nggak bisa lama-lama nih, masih banyak kerjaan menumpuk di kantor.""Iya, ayo."Mobil melaju ke arah rumah, Tante Nora menyambut kedatangan anaknya dengan senyum mengembang."Aduh, pangeran Mamah sudah besar." Tante Nora memeluk Brian penuh kerinduan. Berpisah dengan anak semata wayang tidaklah mudah, apalagi ia tinggal seorang diri saat itu.Tante Nora tipikal orang yang enggan menyusahkan keluarganya, itu sebabnya kami tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya."Te, bagaimana kondisi Mamah? Apa ada perubahan?" tanyaku."Lumayan, Ros. Hari ini dia sudah mau makan siang bersama Tante, di ruang makan. Kamu nggak makan dulu? Ros.""Sukurlah, ak
"Em, sebelumnya, saya mau bertanya dulu! Apakah, Nak Rosa. Sudah punya calon?" tanya Bu Ustadzah Maya dengan wajah tersenyum simpul.Entah perasaan apa ini? Rasanya sedikit berdebar."Belum, Ustadzah! Ada apa ya? Bu.""Alhamdulillah jika belum, anak Ibu, mau ngajak kamu ta'aruf. Apakah kamu bersedia?"Hatiku kian berdebar, merasa beruntung tentu saja! Sebab, lelaki yang di depanku ini. Selain ganteng, ia juga pandai dalam ilmu agama.Bahkan kenaikan hatinya, serta kepiawaiannya dalam bertausiah sudah tidak di ragukan lagi.Namun perasaanku justru dalam di lema, beberapa hari ini pikiranku di kuasai orang lain, yang tengah dekat denganku. Julian."Rosa, di jawab pertanyaan Ustadzah Maya, nak." Perkataan Mamah mengejutkanku dari lamunan."Emm .... Maaf ustadzah Maya, tanpa mengurangi rasa hormat. Bolehkah saya meminta waktu satu Minggu untuk berpikir?" tanyaku.Biar bagaimana
Bab50 "Julian, apa ini nggak terlalu cepat?" tanyaku."Tidak, untuk apa berlama-lama dekat, nanti kamu diambil orang."Aku semakin dilema, hatiku selalu merasa nyaman dan kagum pada Julian.Sedangkan dengan Fahrianur, aku memang tidak pernah dekat dengannya, namun aku juga mengaguminya.Wajar, selain tampan rupawan, Fahri memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, tentu hal itu baik untuk dunia dan akhiratku.Sedangkan Julian, dia pun tak kalah tampan, juga mapan. Namun, pengetahuan agamanya aku kurang tahu."Boleh minta waktu untuk berpikir?" tanyaku."Satu hari, hanya satu hari.""Baiklah, besok aku akan ngasih jawabannya."Panggilan telepon pun diakhiri dengan ucapan salam.Aku menyukai Julian, namun aku juga berat menolak Fahri. Ya ampun, aku bingung kalau begini.Aku memilih bergegas pulang, dan membawa kerjaanku yang tertunda ke rumah."Amira, saya hari ini pulang lebih awal, kamu h
Season 2. Karma Seorang Pengkhianat, yang dialami keturunannya. Jalu pun kini telah menikah, dan memiliki seorang Putri cantik yang dia beri nama Zulaeha. Biasa dia di panggil Leha. Wanita cerdas, yang di besarkan oleh Wanita tua. Mengulik kehidupan Zulaeha setelah menikah. "Mas, bukannya aku keberatan, tapi kamu tahu sendirikan, bahwa aku sama Ibu kamu itu gak pernah cocok. Aku selalu salah di matanya, sehari saja aku di kampung, di rumah Ibu, sudah mau gila aku-nya. Apalagi kalau satu rumah di sini," protesku, ketika Mas Juna mengatakan, bahwa Ibu Mertua akan tinggal bersama kami."Leha, kamu kan tahu, aku ini anak laki-lakinya Ibu. Anak laki-laki itu milik Ibunya, mana mungkin aku bisa menolak Ibu mau tinggal dimana pun.""Tapi kan masih ada Adek kamu! Mas. Si Nora, kenapa Ibu gak milih Nora aja sih, kan dia selalu Ibu bangga-banggakan.""Sudah, deh. Kamu kok jadi Istri gak bisa nurut sama Suami? Coba kalau itu or
Subuh, setelah selesai menunaikan kewajiban, aku kembali fokus kepada pekerjaan rumah, mumpung si Baim belum bangun. Aku menyiapkan menu sarapan lezat setiap harinya, tentunya menu yang sehat.Untuk masalah masakan, aku ahlinya.Kami bertiga makan dalam hening, selesai makan, Mas Juna bersiap untuk berangkat ke toko Pakaian milik kami, yang ada dua cabang. Toko yang lumayan laris, dulu sebenarnya itu toko usaha milikku.Namun semenjak melahirkan, Mas Juna yang ambil alih urusan toko, sedangkan aku di minta untuk fokus urus bayiku saja."Mas, berangkat dulu, Dek!" ucap Mas Juna sambil mencium keningku, aku pun mencium punggung tangannya.Sedangkan Ibu nampak tak suka, wajahnya begitu datar ketika Mas Juna berpamitan padanya.Saat Mas Juna berangkat dan meninggalkan halaman rumah."Leha...! Kamu ada uang gak?" tanya Ibu Mertua dengan wajah datar."Leha gak ada uang, Bu. Mas Juna gak ada ngasih," ucapku d
"Eh, pandai kali Istrimu itu bersandiwara," ujar Ibu yang mulai tersulut emosi."Bu, tapi yang Ibu lakukan ini keterlaluan, masa Leha sampe sobek-sobek begini bajunya!" ucap Mas Juna yang menunjukkan kekecewaannya kepada Ibu Mertuaku itu.'Rasakan.' batinku tertawa melihat wajah Ibu yang semakin geram."Juna, dia sendiri yang sobek tuh baju, Ibu gak tahu apa-apa!" bentak Ibu yang tidak terima dengan tuduhan anaknya itu."Bu, maaf. Juna rasa Leha gak segila itu, dari awal Ibu datang saja, Ibu selalu mencari masalah dengan Leha. Juna cukup sabar, Bu. Tapi tolong, jangan kekerasan seperti ini, biar bagaimanapun, Leha ini Istrinya Juna, Bu."'Wow, suamiku mulai masuk perangkapku, tak akan kubiarkan mertua aneh ini menguasai harta dan Suamiku.'"Durhaka kamu! Gak percaya pada Ibu sendiri, malah percaya dengan wanita penuh drama ini," bentak Ibu sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Ampun Bu. Jangan benci Leha, Leha t
"Jun, Juna...," Ibu berteriak memanggi nama Mas Juna berulang kali.Mas Juna keluar dari kamar, kuikuti dengan menggendong Baim yang sudah terbangun."Ada apa? Bu." Mas Juna bertanya dengan wajah lesu."Ibu lapar, belikan makanan!" titahnya dengan tangan berkacak pinggang."Kamu gak masak? Leha," mas Juna bertanya kepadaku."Ibu gak Sudi makan buatan tangan Istri kamu itu, jijik.""Astaghfirullah, Bu. Tolong jangan begini, kita ini Keluarga, satu rumah.""Ibu gak peduli, kalau perlu usir saja wanita ini, kamu nikah lagi aja Nak. Untuk apa punya Istri yang jahat sama Ibu kamu.""Nikah lagi? Mas. Kamu mau usir aku?" tanyaku mendelik."Perempuan gak berguna buat apa juga Jun? Mending cari wanita karir, yang banyak duitnya.""Benar Mas Jun..., Aku gak berguna juga. Aku dan Baim cuma nyusahin kamu, tukang porotin uang, dan jadi benalu di rumah mewah kami ini." Aku sengaja menyind
"Hai, Kak Juna, sudah pulang?" tanya Nora yang tiba-tiba datang memasuki area dapur, ia lalu bersalaman dengan Mas Juna. Dan mencium punggung tangan suamiku yang merupakan Kakaknya itu.Disusul Ibu yang berada tepat di belakang anak perempuannya."Kak, tadi Ibu gak ada makan siang sama sekali, makanan semua di habiskan sendiri oleh Mbak Leha.""Leha, apa itu benar?"tanya Suamiku dengan wajah memerah."Di iyakan aja dah, biar tukang fitnah senang!" sahutku cuek."Leha..., jaga sikap kamu!" bentak Mas Juna sambil menggebrak meja makan. Anakku langsung menangis histeris karena terkejut mendengar teriakan dari Suamiku itu.Aku tersentak, lalu meraih Baim yang tengah menangis kencang.Kupandangi wajah mereka satu-persatu, terlihat Mas Juna langsung menunduk, sedangkan Ibu dan Nora nampak tersenyum puas melihat kejadian tadi."B***S*T..." kata-kata itu meluncur begitu saja tepat kuarahkan p