Ketika kita berusaha memberikan segalanya, bahkan kepercayaan. Namun, dikecewakan dan dipermainkan. Pantaskah kita untuk tetap diam? Atau merebut segalanya, dari tangan pengkhianat.
View MorePart1
”Happy anniversary sayang!” ucapku, ditengah malam kepada suamiku, Mas Jalu. Namun tidak ada sahutan. Aku mengernyitkan dahi, lalu menghidupkan saklar lampu kamar.
Kamar sepi, padahal aku baru beberapa menit keluar kamar untuk mengambil kue yang kini berada di tanganku.Mas Jalu sudah tidak ada di tempat, aku pun berusaha mencarinya keseluruh ruangan.Hingga terdengar sayup-sayup suara orang yang tengah berbincang dari arah dapur. Aku perlahan mendekatkan diri menuju asal suara, dengan pelan, aku berusaha menguping terlebih dahulu.
Namun suara itu lenyap, malah terdengar bunyi grasak-grusuk, hingga desahan halus.
Aku merasa berang langsung menarik gagang pintu dengan keras."Happy anniversary sayang!" teriak Mas Jalu, bersama Ratih sahabatku dan kekasihnya yang bernama Gunawan.
"Kalian," pekikku, seraya memanyunkan bibir. Aku malah sempat berpikir yang tidak-tidak saja tadinya. Ish, iseng banget tau!" cetusku dengan kesal, mereka sempat membuat degub jantungku kian melaju cepat.
"Ciee ..., samawa selalu sayangku!" ucap Ratih seraya memelukku.
"Terimakasih, sayangku!" balasku sambil mengulas senyum, aku dan Ratih dari kecil sudah bersahabat dekat.
Bulan depan dia sudah mulai bekerja di perusahaan yang suamiku jalankan. Sebenarnya itu perusahaan milik Papah, hanya saja karena usia Papah yang sudah tidak muda lagi, sehingga Beliau memilih beristirahat dan aku anak satu-satunya, jadinya Papah mempercayakan kepada Mas Jalu untuk memegang perusahaan itu.
Sedangkan Mas Jalu adalah anak sulung dari dua bersaudara, adiknya seorang perempuan dan Ibunya sudah lama menjanda.
Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan kami, jika mau menuju rumah Ibu mertua, memakan waktu kurang lebih lima belas menit.Hari ini merupakan anniversary yang ke empat tahun pernikahanku.
Namun sayangnya, kami belum dikaruniai seorang anak.Mungkin Allah belum mempercayakan itu kepada kami.Syukurnya, Mas Jalu tidak pernah menuntut lebih, dia selalu memaklumi itu."Apa hadiah untukku?" tanyaku pada Mas Jalu dengan manja.
Mas Jalu memberikanku sekotak perhiasan yang limited edition, aku tercengang bukan karena harganya. Tapi karena dia begitu romantis, ini hadiah pertama berupa perhiasan, biasanya hadiah yang kuterima setiap tahunnya hanyalah berupa tas dan barang-barang lainnya.
Bukan hanya aku, Ratih pun tak kalah tercengangnya melihat perhiasan berkilau indah itu.
"Semoga kamu suka ya!" ucap Mas Jalu sambil mencium keningku.
"Terimakasih sayang!" balasku, sambil memeluk erat tubuh suami tersayangku itu.
"Tentu saja aku sangat suka".
"Ehem ..., Kok kita berasa jadi obat nyamuk ya!" protes Gunawan, kekasih Ratih yang sedari tadi hanya senyam-senyum memperhatikan tingkah kami.
"Eh, maaf. Ayo kita ke ruang tamu, potong kue dulu!" ajakku pada mereka.
Kami pun berkumpul di tengah malam, sambil menyantap kue dan minuman jus buah yang menyegarkan lainnya.
"Kapan nih kalian punya momongan? Betah banget berduaan melulu, apa nggak bosan?" tanya Ratih antusias, sembari menyesap minumannya.
"Belum dikasih, tetapi kami berdua selalu berusaha dan berdoa kok, kamu doain ya!" sahutku seramah mungkin, padahal rasanya hatiku sedih, setiap kali ada yang bertanya tentang momongan yang belum juga ada di rahimku.
"Pasti aku doain, kok. Tetapi, kalau masih belum dapat juga, bisa-bisa tuh laki nikah lagi entar!" seru Ratih sambil terkekeh. Apa yang lucu? Entahlah, apa dia pikir masalah seperti itu lelucuan.
Untung saja dia sahabatku, kalau bukan, sudah kutabok mulutnya itu.Aku tersenyum tipis menanggapinya, sedangkan mas Jalu bersikap datar, hanya Gunawan nampak menyenggol lengan Ratih untuk mengingatkan sikapnya yang menurutku berlebihan.
"Maa--ff, jangan tersinggung, kalian tahu sendirikan, kalau aku ceplas-ceplos, jangan dimasukin ke hati ya!" serunya gelagapan, sambil menangkupkan kedua tangan didada.
"Iya, nggak apa-apa," jawabku santai. Meski dalam hati terlanjur sakit.
Setelah berbincang-bincang, mereka berdua pun pamit pulang.Semenjak kepergian mereka, Mas Jalu terdiam membisu, sama halnya denganku, kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sudah setahun ini, Mas Jalu memintaku untuk beristirahat di rumah saja, untuk mengikuti program hamil. Tapi memang mungkin belum waktunya.
_______________Pagi ini nampak sejuk, angin berembus kencang membelai hati yang membeku. Pikiranku selalu sibuk dengan bayangan buah hati, yang tidak kunjung datang ke rahim ini.
Dalam diri yang mulai kepayahan, karena otak terus dipaksa untuk berpikir.
Ditambah bunyi bell rumah yang terus berulang terdengar kencang, disaat aku sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan pagi. Aku dan Mas Jalu tinggal hanya berdua, kami sengaja tidak menyewa jasa asisten rumah tangga. Sebab hanya ada aku dan Mas Jalu, aku masih bisa mengurus sendiri semuanya.Aku bergegas menuju pintu depan, untuk melihat tamu yang datang sepagi ini.
Saat aku membuka pintu, ternyata wajah mertua dengan masamnya sudah membuat pagi yang sejuk menjadi panas seketika."Ibu, apa kabar?" tanyaku sambil bersalaman dan mencium punggung tangannya. Wanita yang kupanggil Ibu itu mendengkus, sambil berjalan memasuki rumahku dengan angkuhnya.
"Mana Jalu?" tanyanya.
"Masih tidur, Bu!" sahutku sambil mengekornya dari belakang.
"Kamu sama Jalu nggak pernah salat subuh? Sehingga Jalu jam segini masih asik tidur?" tanyanya dengan nada meninggi satu oktaf.
"Aku sih salat, Bu. Mas Jalu, dia nggak pernah mau, alasannya selalu ngantuk!" jawabku jujur.
"Alah, kamu kok jadi istri nggak becus begitu sih Rosa, harusnya kamu bisa bimbing suami kamu ke hal yang lebih baik. Selama Jalu hidup sama Ibu, dia selalu nurut kalau diajak shalat," cetus Ibu dengan berbagai rentetan ceramah paginya.
"Maaf, Bu."
"Ngurus suami saja tidak becus! Pantes saja kamu tidak hamil hingga saat ini. Gak cocok kamu jadi seorang Ibu, ngurus suami biar mau salat aja gak bisa."
'Allahu akbar! Perkataan Ibu bagaikan sambaran petir di pagi hari, sukses meluluh lantakkan perasaanku hingga hancur berantakan.'
Entah mengapa, Ibu mas Jalu selalu saja bersikap seperti ini. Padahal selama ini, aku selalu berusaha diam dan mengalah kepadanya.
Mengapa Ibu mertua nampak sekali tidak menyukaiku? Apakah ini karena keturunan? Atau apa?
Setiap kedatangan wanita yang bergelar mertua itu kerumah ini. Rasanya, rumahku seperti di neraka, panas.
"Cepat! Bangunin si Jalu, ibu ada perlu," titahnya sambil duduk dengan tangan di lipat di dada. Aku pun mengangguk, lalu segera berlari kecil menuju kamar, untuk membangunkan anak kesayangan Ibu mertua.
Kuguncang pelan bahu mas Jalu. "Mas, bangun, Ibu kamu datang!" bisikku. Mas Jalu pun membuka matanya dengan berat, dia kemudian beranjak turun dari ranjang menuju kamar mandi.
Aku pun segera keluar kamar, berniat kembali mengurus sarapan yang belum selesai kubuat.
Melihatku turun seorang diri, Ibu yang berada di ruang tengah menghadap tangga bertanya kembali. "Mana Jalu nya?" tanyanya tak sabaran.
"Lagi ke kamar mandi," sahutku.
"Lama sekali, buang-buang waktu orang saja," ucapnya dengan wajah sinis, aku pun tak menyahut, langsung saja berjalan menuju dapur.
"Eh, Rosa! Kamu selain mandul, juga budek ya? Orang tua ngomong malah di abaikan!" hardiknya sambil berjalan ke arah dapur menyusulku dengan nada suara yang keras dan menggema.
"Bu, tolong jangan membuat masalah! Rosa diam bukan budek, tapi tidak ingin memicu masalah menjadi besar!" sahutku pelan, awalnya memang Ibu mertua begitu baik kepadaku, namun lama-kelamaan dia semakin menunjukkan sikap seenaknya.
Kasar dan kejam, tidak segan-segan melukai harga diri dan perasaanku.
"Pandai sekarang kamu membantah saya!" teriaknya sambil berkacak pinggang. Lagi-lagi aku yang salah.
"Ada apa sih, Bu? Pagi-pagi sudah teriak-teriak, nggak malu apa?" ucap Mas Jalu sambil berjalan menuruni anak tangga.
"Istri kamu, nih, ajarin sopan santun sama orang tua!" sahutnya sambil berjalan kembali ke ruang tengah.
Mas Jalu hanya terdiam, dia lalu menuju tempat Ibu nya duduk, sedangkan aku kembali berkutat dengan kerjaanku di dapur.
Sakit rasanya di kata-kata mandul, padahal belum tentu aku yang bermasalah.Setelah selesai sarapan buatanku, aku berniat memanggil Mas Jalu dan Ibunya, namun langkahku terhenti, ketika mendengar obrolan mereka.
"Bu, masalah keturunan itu tidak bisa kita paksakan!" ucap Mas Jalu.
"Ibu pengen punya cucu, Jalu. Kalau punya cucu, jelas pewaris kamu ada! Kalau begini, kamu nggak punya pewaris sama sekali. Rugi dong! Nikah sama anak orang kaya, tapi nggak dapat apa-apa," kata Ibu Mas Jalu.
"Bu, tolong jangan memperkeruh perasaan Jalu, semua orang juga pengen punya keturunan, tapi tidak semua orang memilikinya."
"Nah, kalau Rosa tidak bisa, kamu bisa menikahi wanita lain."
"Bu, sudah! Nanti saja kita bahas. Jalu nggak mau didengar Rosa!" ucap Mas Jalu mengakhiri obrolan mereka, aku hanya bisa diam. Lalu berpura-pura tidak tahu apa-apa, aku ingin lihat, sejauh mana Ibu Mas Jalu bertindak.
"Bu, Mas, sarapan yuk!" ajakku dengan wajah sebiasa mungkin, seakan aku tidak tahu apa-apa tentang pembicaraan mereka tadi.
Ibu semakin sinis menatapku, namun aku berusaha santai menanggapinya, terlalu sering dia bersikap seperti ini.
___________Sebulan berlalu, aku dan Mas Jalu memutuskan untuk memeriksakan kembali ke Dokter, apa yang menjadi penyebab kami berdua sulit mendapatkan keturunan.
Akhirnya, Dokter menjelaskan secara rinci, bahwa rahimku lah yang bermasalah. Itu membuat Mas Jalu langsung terdiam, bahkan sepanjang perjalanan, dia enggan berbicara denganku. Meskipun aku berulang kali mengajaknya mengobrol, namun dia terlihat enggan menanggapiku.
Rasanya hatiku sakit, melihat perubahannya seketika. Entah kenapa, aku jadi kembali teringat akan obrolan Mas Jalu dengan Ibunya saat itu, apa mungkin Mas Jalu benar-benar akan memilih orang baru dan meninggalkanku.
Sesampainya di rumah, dia langsung masuk ke dalam kamar dan membaringkan diri, membelakangiku.
Aku hanya bisa terdiam, bingung harus bagaimana menghadapi situasi ini. Selain rasa sakit dari kabar yang aku terima hari ini, tidak sebanding sakitnya di abaikan oleh orang yang aku sayangi."Mas, apakah kamu kecewa?" lirihku.
"Jelas!" sahutnya pelan.
Rasanya hatiku remuk mendengar penuturannya seperti itu. Begitu teganya dia berkata sedemikian rupa.
Aku menghela napas pelan, mencoba menyabarkan diri.Tidak ada satupun wanita yang mau bernasib begini, tapi aku harus bagaimana? Selain berdoa dan berusaha, setidaknya Mas Jalu tidak harus memperlakukanku sedingin ini.
"Yang paling terluka itu aku, bukan cuma kamu, Mas!" lirihku dan Mas Jalu hanya mendengkus dan mengabaikan segala ucapanku.
____________Sebulan berlalu, sikap mas Jalu semakin tidak tahu menahu dan dingin, dia bahkan membiarkan tiap kali Ibunya datang dan menghinaku terang-terangan.
Harus sesabar apalagi aku pada mereka, rasanya begitu teramat sakit hanya karena kini mereka tahu, aku lah yang tidak bisa hamil."Sekaya apapun kamu, jika perempuan tidak bisa hamil, tidak ada gunanya! Rosa." Ibu Mas Jalu berkata sekasar itu, bahkan hampir tiap hari, setiap dia datang berkunjung ke rumah kami.
💞 Terimakasih 💞
Jangan lupa subscribe, like dan komentarnya dong! Biar aku-nya makin semangat 😘Bab89"Siska, aku akan berusaha lebih keras lagi, untuk mencukupi kebutuhan kita. Tapi bisakah, kita pulang dan biarkan Leha, menikmati kebahagiaannya?"Jalu berkata dengan pelan, berharap Siska mendengarkan permintaannya."Tapi, Mas! Leha hidup enak, masa kita orang tuanya, hidup blangsak?""Leha, sudahlah! Biarkan saja kami tinggal bersama kalian," kata Siska, kembali memasang wajah memelas."Maaf, Bu! Leha tidak bisa," tegas Leha. "Lagi pula, selama ini Leha berjuang hidup sendiri. Semenjak Bapak menikahi Ibu, dia bahkan tidak lagi menengokku di rumah Nenek. Jadi, kurasa aku berhak menolak kehadiran kalian.""Mas, anakmu itu!" pekik Siska, menahan emosi dalam dadanya."Sudah! Aku juga lelah dengan sikapmu. Dari tadi kuminta baik-baik, tapi kamu terus bersikeras mengacaukan hari bahagia Leha. Dia itu putriku! Bukan putrimu, jadi tidak usah bersikap seperti ini. Kamu harus tahu, tidak ada kewajiban dia mengurus kamu dan aku."
Bab88 Leha tersenyum sumringah. Ketika calon suaminya, berjalan mendekat ke arahnya. "Terimakasih," bisik Briyan. "Aku beruntung!" ungkapnya dengan suara lembut. "Sudahlah, aku malu dilihati banyak orang," sahut Leha dengan wajah bersemu merah. "Haha, masa malu! Kita akan menikah," balas Briyan. Dikejauhan. Juna sangat sakit hati, melihat mantan istrinya, berbahagia bersama lelaki lain. "Leha ...." suara lelaki itu, membuat Leha sangat terkejut. Leha menoleh, ke arah asal suara."Bapak!" pekiknya. Melihat Jalu datang, bersama istrinya. Leha berjalan cepat, ke arah Jalu. "Bapak, beneran ini Bapak?" tanya Leha tidak percaya. Lama Jalu menghilang, meninggalkan Leha dan Ibunya, yang bernama Ratih. Ratih meninggal, saat usia Leha, sudah menginjak satu tahun. Cerita pilu dia terima, Leha lahir dalam penjara. Namun tetap saja, dia buah hati yang tidak bersalah apa-apa. Perbu
pov Juna°"Mas, kamu cari kerja dong! Jangan nyantai aja kerjaannya, gak guna banget jadi laki-laki." Amel berteriak kasar kepadaku, ketika melihatku duduk termenung di teras rumah.Bagaimana aku bisa bekerja, sedangkan kesana kemari saja selalu di curigai. Di tuduh yang bukan-bukan lagi."Sabar dong! Kan sudah bikin lamaran juga, tapi memang belum ada panggilan kerja." Aku menyahut dengan kesal."Ya cari yang lain kek, kerja apa gitu, yang penting dapat uang." Amel berucap menggebu-gebu."Mel, kamu nih maksa banget. Mas juga pusing!" ucapku dengan berusaha setenang mungkin, meredam amarah dalam dada.Amel menghembuskan napas panjang. "Ibu sama anak sama-sama cuma jadi benalu saja. Nggak bisa bantu apa-apa, kalau aku tidak hamil, aku nggak akan sudi hidup bersama kalian." Aku berkata sambil melangkah pergi dengan teriakan dan emosi yang meletup-letup.Aku hanya terdiam, kali ini masa bodo.Aku juga ingin
Notifikasi pesan singkat masuk.Aku meraih benda pipih itu, lalu membuka pesan, yang berasal dari Brian."Ada waktu nggak? Mau ngajak makan malam!"tanya Brian di pesan itu."Boleh, jam berapa?"balasku."Jam tujuh ya! Aku jemput. Bawa Baim juga,"balasnya lagi."Oke."______________Tepat jam tujuh malam, aku dan Baim sudah siap di ruang tamu, menunggu kedatangan Brian.Tak lama kemudian, terdengar suara deru mesin mobil memasuki pekarangan rumah. Aku tersenyum, meski belum melihat sosok Brian memasuki rumah. Namun aku sudah yakin, yang datang adalah Brian, yang sudah janjian dengan kami.Benar saja, wajah sumringah dengan ucapan salam memasuki pintu depan rumah."Assalamu'alaikum!" ucapnya sambil tersenyum dan berjalan menuju ke arah aku dan Baim. Wajah manis, kumis tipis kulit putih badan tegak itu kini menggendong bayiku dengan penu
Akhirnya, hari ini sidang keputusan cerai antara aku dan Mas Juna. Sebentar lagi, aku akan menyandang status single parents. Tidak masalah, yang penting hidupku tenang dari Benalu, dan aku bisa memulai hidup baru yang semoga saja lebih baik dari ini.Aku datang kepersidangan. Semoga hari ini lancar tanpa kendala, setelah melewati beberapa rangkaian. Hakim pun akhirnya memutuskan menyetujui gugatan ceraiku.Hari ini, Senin tanggal 08 Februari 2021. Aku resmi bercerai dari Arjuna Mahesa.Aku lega, akhirnya terbebas status dari laki-laki penyelingkuh itu.Saat aku keluar dari ruangan sidang. Terlihat dari kejauhan, Mas Juna berlari tergopoh-gopoh ke arahku."Ada apa?" tanyaku bingung, melihat Mas Juna yang begitu panik mendatangiku."Bagaimana hasil sidangnya?" tanyanya masih dengan napas memburu turun naik. Akibat ia berlari-larian."Beres, kita resmi bercerai." Aku menjawab santai pertanyaannya."
"Bu, diluar ada yang datang! Tetapi saya tidak mengenalinya.""Oke, Bi. Nanti saya temui." Bi Surti pun mengangguk, ia lalu kembali ke ruang tamu, melanjutkan aktivitas nya membersihkan rumah."Leha, mungkin itu Satpam yang kumaksud." Brian menimpali.Aku mengangguk, kami berdua pun berjalan menuju pintu keluar. Sedangkan Brian menggendong Baim dan duduk di kursi tamu.Aku mempersilahkan lelaki yang bertubuh kekar, berkepala plontos itu masuk ke dalam rumah."Silahkan duduk!" ujarku. "Bi, buatkan minum!" titahku kepada Bibi yang masih berkutat dengan kerjaannya."Baik, Bu." Bibi berlalu menuju dapur."Saya yang di minta Pak Brian, untuk menjadi Satpam di rumah Ibu Leha.""Oh, perkenalkan nama kamu!" ujarku."Saya Tejo! Umur tiga puluh lima tahun. Hanya seorang yang lulus SMP, mohon di terima bekerja, saya berjanji akan bekerja dengan baik.""Baiklah,
Semoga dengan kejadian ini, Mas Juna maupun Amel langsung jera untuk bermain-main serong. Ada harga yang ia harus bayar, dari setiap pengkhianatan. Aku Leha, selalu berusaha mencintainya dengan tulus, namun ia bukanlah lelaki yang tepat sepertinya. Jadi aku pun harus mengikhlaskannya.Kini, aku akan membesarkan anakku seorang diri, tidak masalah.Setelah aku menerima uang kompensasi dari Amel, aku pun segera menghubungi Nora, agar ia segera meninggalkan rumahnya Amel.Sengaja, agar Mas Juna dan Amel semakin frustasi, mencari keberadaan Nora.'Untung saja si bodoh, Nora, masih menurut.' batinku tertawa bahagia, membayangkan Amel dan mas Juna yang semakin panik. Sebab Nora masih memiliki video Mesum mereka.__________Lima bulan telah berlalu, aku tidak pernah tahu lagi kabar tentang Mas Juna dan keluarganya.Aku bersantai di ruang keluarga, sambil memainkan gawai milikku.Aku tersentak, melihat video mesum ma
°pov Juna°"Hah? Jual Nora? Apa maksud kamu, Mel?" aku bertanya dengan mimik wajah bingung."Maa--afkan aku, Mas. Aku salah ngomong!" ujarnya lagi."Terus bagaimana? Mel, mas juga nggak punya uang, buat bantu kamu!" ujarku."Bagaimana kalau kita jual rumah saja, lebihan uangnya untuk kita ngontrak! Mas janji, akan membelikan rumah yang lebih besar lagi dari yang kamu miliki," bujukku kepada Amel, meskipun kenyataannya, aku juga buntuk akal. Bagaimana mungkin aku mampu membelikan Amel rumah baru, sedangkan saat ini saja, aku hanya seorang pengangguran."Janji ya, Mas.""Janji sayangku!" rayuku, sambil mengumbar senyum. Aku terus melajukan motor menuju pulang ke rumah, sesampainya di rumah. Aku dan Amel bersiap menawarkan rumah yang kami tempati ini, ke media sosial.Sehari tidak ada respon, hingga hari terakhir dari perjanjian kami dengan Leha, akhirnya aku dan Amel lega. Rumah Amel laku
pov Juna° flashback.Nora, ia datang memasuki ruang perawatan Ibuku, sebenarnya ibu sudah mulai pulih dan di perbolehkan pulang hari ini. Namun kedatangan Nora membawa kabar buruk."Kak, aku di usir lagi sama Leha, ia juga sepertinya sudah tahu, bahwa kakak main gila sama Amel."Mendengar penuturan Nora, rasanya dadaku berdegup kencang, napasku memburu cepat.Amel yang sedari dari masih bersamaku di dalam ruangan Ibu pun mendekat."Ada apa? Mas." Amel bertanya dengan mimik wajah bingung, melihat Nora yang sesegukkan menangis."Nora diusir, Mas pulang dulu, kamu bisa kan jagain Ibu dan Nora dulu."Amel mengangguk, aku pun bergegas menuju parkiran mobil. Aku panik, ketika melihat mobil yang tadinya di pinjam Amel, tidak ada di parkiran.Aku berlari kembali masuk ke dalam."Mel ..., mobil kamu parkir dimana?" tanyaku dengan napas memburu, lelah rasanya berlari-lari d
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments