“Mas ... Arini besok jadi pulang kampung, ya?” ucap Arini saat mereka sudah di kamar.
Setelah pulang bekerja, Arman memang langsung mandi dan makan malam. Kebetulan kali ini dia pulang agak terlambat dari biasanya karena ada meeting dadakan. Tak ada obrolan yang serius antara Arman dan Bu Ida saat di meja makan. Setelahnya, Arman masuk ke kamar dan diikuti oleh Arini. Arman merasa sangat lelah saat itu.
“Sudah bilang sama Ibu, kan, Sayang?” tanya Arman.
“Sudah, Mas! Kata Ibu boleh tapi gak boleh lama-lama,” jawab Arini. Setelah beres, Arini naik ke ranjang dan tidur disebelah suaminya itu.
Arman memang sosok suami yang lemah lembut dan penyayang menurut Arini. Arini merasa beruntung dipertemukan dengan suaminya itu. Selain itu, Arman juga anak laki-laki yang taat pada ibunya. Arman berharap bisa adil memperlakukan Ibu dan istrinya, sehingga tidak akan ada yang cemburu satu sama lain karena merasa diabaikan.
“Ya sudah, besok Mas anter ke stasiun, ya, Dek.” Arman memeluk Arini malam itu. Rasanya tak tega membiarkan istrinya pergi sendirian. Tapi apa boleh buat, pekerjaannya di hotel tidak bisa dia tinggalkan begitu saja.
Keesokan harinya, Arini bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah semua pekerjaan rumah dibereskan, Arini bergegas bersiap-siap menuju stasiun.
"Bu ... Arini berangkat dulu, ya?" pamit Arini pada Ibu Ida. Diciumnya punggung tangan mertuanya itu.
"Hem," jawab Bu Ida singkat. Baru sepersekian detik, buru-buru ditariknya tangan Ibu Ida saat dicium Arini.
"Arman juga pamit, ya, Bu!" Giliran Arman yang menyalami ibunya.
"Iya, Nak. Kamu hati-hati, jangan ngebut jalannya, ya!" pesan Bu Ida pada anak laki-laki satu-satunya itu. Arman mengangguk.
Mereka berdua masuk mobil dan bergegas melajukan mobilnya pelan. Saat pagi, jalanan tidaklah begitu macet.
"Mas ... Ibu gak suka, ya, sama Arini?" tanya Arini. Arini ingin tahu, apakah suaminya sebenarnya tahu sikap ibunya itu pada Arini.
"Gak suka gimana, Sayang?" jawab Arman masih dengan tetap fokus ke jalanan di depannya.
"Sikap Ibu menunjukkan seperti itu, Mas," ucap Arini pelan. Seketika, Arman menoleh sebentar ke arah istrinya.
"Itu hanya perasaanmu, Sayang. Tenang, ya!" balas Arman. Sebenarnya Arman juga merasakan ada sikap ibunya yang berbeda. Tapi, dia tepis sejauh mungkin. Arman masih berpikiran positif, mungkin memang mood ibunya sedang tidak bagus.
"Semoga, ya, Mas!" kata Arini. Mereka pun kemudian diam. Hingga tak terasa, mereka sudah ada di depan stasiun.
"Mas, Arini berangkat dulu, ya? Mas jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan dan jangan terlalu malam tidurnya," pesan Arini pada suaminya.
"Iya, Sayang. Jangan lupa juga kabari Mas kalau sudah sampai, ya?" Arman dan Arini berpelukan sejenak sebelum mereka berpisah.
Setelah kereta Arini berangkat, Arman langsung berangkat ke kantor. Hari ini ada meeting penting dari beberapa tamu yang rencananya akan mengadakan pesta di hotel tempat Arman bekerja.
*****
Tak butuh waktu untuk Arman sampai di kantor, karena jarak stasiun dan kantor tidaklah terlalu jauh. Sampai hotel, Arman sudah disuguhkan dengan pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran.
Saat sedang fokus dengan dokumen yang harus disiapkan meeting, gawai Arman tak henti-hentinya berdering. Dilihatnya nama 'Ibu' pada layar ponselnya. Karena takut ada sesuatu yang penting, akhirnya Arman mengangkatnya dan menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Assalamualaikum, Bu! Ada hal penting apa, Bu? Arman sedang banyak kerjaan ini," ucap Arman. Tak pernah berani Arman mengucapkan kata-kata dengan intonasi tinggi kepada ibunya.
"W*'alaikumsalam! Man, nanti makan siang temani Ibu dan mbakmu di restoran dekat kantormu, ya? Ada hal penting yang mau Ibu sampaikan," kata Ibu Ida pada anaknya. Arman pun bingung dengan perkataan ibunya.
"Kenapa mesti di restoran, Bu? Di rumah, kan, bisa?" tanya Arman heran. Ya, begitulah yang dipikirkan Arman. Bukankah malah lebih enak kalau bicara di rumah daripada di restoran?
"Nanti kamu juga tahu sendiri, Man. Bisa datang, ya, Man?" kata Ibu Ida.
"Arman gak janji, ya, Bu. Lihat kondisi kerjaan nanti," balas Arman jujur, karena memang sebenarnya pekerjaannya sedang banyak.
"Tolonglah, Man! Sekali ini saja Ibu minta! Gak setiap hari juga, kan, Man?" rayu Ibu Ida agar Arman mau menemuinya. Ibu Ida tak mau rencananya gagal, karena tambang emas sudah di depan mata. Segala cara akan Ibu Ida lakukan.
"Ehm ... lihat nanti, lah, Bu!" jawab Arman. Karena bingung harus menjawab apa.
"Pokoknya Ibu dan mbakmu nanti tunggu kamu! Kalau kamu gak datang, Ibu akan marah!" ancam Ibu Ida pada Arman. Arman mencebikkan mulutnya. Tak suka dengan ancaman ibunya, karena itulah kelemahannya. Akhirnya Arman pun luluh dan mengikuti permintaan Ibu Ida.
"Gimana, Bu? Arman mau, kan?" tanya Salma yang sedari tadi pagi sudah ke rumah Ibunya. Bela sedang kuliah. Tadinya, Ibu Ida ingin mengajak Bela, tapi karena ada ujian, jadilah Salma yang Ibu Ida ajak.
"Ya jelaslah! Ibu gitu lho!" Ibu Ida tertawa terbahak. Salma hanya bisa melongo melihat kelakuan ibunya itu.
*****
Sebelum makan siang, Ibu Ida dan Salma sudah sampai di restoran. Mereka memakai pakaian termewah yang dimiliki. Tak mau membuat diri mereka malu dihadapan 'calon menantu dan ipar lagi'.
"Wah, Bu ... anak teman Ibu benar-benar keren! Beneran ini punya anak teman Ibu?" tanya Salma terkagum-kagum. Salma sampai tak berkedip melihat restoran mewah dengan ornamen-ornamen cantik di dinding.
"Katanya, sih, begitu. Kalau beneran ini, kita bisa jadi kaya dong, Sal? Ha ... ha ... ha!" spontan Ibu Ida tertawa keras. Namun, Ibu Ida segera sadar dan mengontrol emosinya yang terlalu bahagia.
"Teman Ibu mana?" Salma celingukan mencari orang yang sebenarnya belum pernah ia temui.
"Sebentar Ibu telepon dulu," kata Bu Ida sambil menekan nomor Ibu Wati. Tak butuh waktu lama, setelah ditelepon, Ibu Wati muncul dari arah kasir. Karena dibagian belakang kasir, ada ruangan khusus pemilik restoran.
"Wah ... sudah datang rupanya, Jenk!" sapa Bu Wati dengan cipika cipiki.
"Ini anakmu juga? Cantik! Anak nomor berapa?" tanya Bu Wati saat melihat Salma disamping Bu Ida.
"Ini Salma, anakku yang nomor satu. Dia sudah menikah tapi belum punya anak," jelas Bu Ida.
"Tante! Saya Salma!" ucap Salma, dia tersenyum manis di depan Bu Wati. Bu Wati pun tersenyum dan memeluk anak perempuan temannya itu.
"Yuk duduk di sana!" tunjuk Bu Wati ke meja yang sudah disiapkan khusus untuk pertemuan kali ini.
Mereka bertiga terlibat obrolan yang menarik. Hingga saat Arman tiba, mereka bertiga pun terdiam.
"Arman! Akhirnya kamu datang juga. Sini, Nak! Kenalkan ini teman Ibu, Bu Wati namanya," ucap Ibu Ida saat Arman sudah berdiri di samping meja mereka.
Arman pun tak punya kecurigaan apapun pada ibu dan kakaknya yang tiba-tiba mengajak bertemu di restoran dan sekarang ada teman ibunya juga. Arman pun mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Bu Wati.
"Ganteng!" celetuk Bu Wati spontan.
"Terima kasih atas pujiannya, Bu," balas Arman tersenyum.
"Duduk sini, Man!" pinta Bu Ida sambil menepuk kursi yang ada di sampingnya. Arman pun menuruti ibunya itu.
"Oh, ya, Jenk ... tunggu sebentar, ya?" kata Bu Wati.
"Iya, Jenk." Bu Ida yang tahu maksud Bu Wati, hanya menjawab singkat.
Sepeninggalnya Bu Wati, Arman bertanya pada ibu dan kakaknya alasan kenapa ada orang lain yang bersama mereka.
"Bu ... kenapa teman Ibu ada di sini juga? Sebenarnya ini ada apa, sih?" tanya Arman penasaran. Bu Ida dan Salma hanya terkekeh dan tak ada niat untuk menjawab pertanyaan Arman itu.
"Ada apa, sih, kalian? Kalau gak penting Arman balik ke hotel saja!" sungut Arman yang merasa kesal karena pertanyaannya tak dijawab.
"Sabar, Man! Nanti kamu juga akan tahu," jawab Salma.
Beberapa menit kemudian, Bu Wati kembali bersama seorang wanita muda yang berjalan disampingnya, yang tak lain adalah anaknya Sarah. Dari kejauhan, Sarah berjalan anggun dan tampak mempesona. Semua yang melihatnya seperti tak mampu untuk berpaling walau hanya sejenak.
Semakin dekat Bu Wati dan Sarah berjalan, Arman merasa tidak asing dengan wajah dari wanita itu. Dan dugaannya semakin kuat saat Sarah sudah sangat dekat dengan mejanya.
Deg!
"Sarah!" gumam Arman pelan. Untungnya tak ada yang mendengar perkataan Arman itu.
Sarah pun sama kagetnya dengan Arman. Tak menyangka, kalau anak teman yang ibunya ceritakan itu adalah Arman.
bersambung ....
Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi, Arman tak kunjung pulang atau menghubungi Putri. Berkali-kali Putri melihat keluar jendela, berharap kalau suaminya itu pulang.Saat ini Putri sadar, kalau dia sudah terjerat cinta Arman. Disadari atau tidak, Putri memang saat ini tengah merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Khawatir jika Arman kenapa-napa di jalan. "Mas ... kenapa kamu gak memberi kabar lagi, sih? Apa Mas gak tahu kalau Putri khawatir sekali?" gumam Putri yang tengah mondar-mandir di depan pintu utama.Tiba-tiba ... pintu rumah digedor seseorang dengan sangat kencang. Tentu saja itu membuat Putri ketakutan. Putri lari dan bersembunyi di dalam kamar. Gedoran pintu itu masih saja terdengar. Bahkan lebih kencang dari yang sebelumnya."Mas Arman ... Putri takut! Hu ... hu ... hu!" rintih Putri dalam kamar. Dia duduk dan memeluk kakinya di atas kasur."Jangan tinggalin Putri, Mas! Putri takut, Mas!" suara Putri makin parau karena memang benar-benar ketakutan.Saat Put
Semenjak kejadian itu, Arman dan Putri jadi semakin dekat. Mereka pun berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Mungkin dengan berjalannya waktu, cinta akan tumbuh diantara mereka."Mas ... Putri siapkan bekal untuk makan siang, ya," seru Putri yang saat itu tengah memasak. "Ya ..." jawab Arman dengan suara yang sedikit kencang karena dia masih ada di kamar. Rumah kontrakan mereka memang rumah kecil, jadi suara dari dapur pun masih bisa di dengar di kamar. Begitupun sebaliknya.Putri semakin hari semakin nyaman dengan Arman. Begitupun sebaliknya. Walaupun mereka masih tidur sendiri-sendiri, tapi sekarang Putri tak ragu-ragu lagi untuk mengakui Arman sebagai suaminya.Arman sudah berangkat bekerja. Sekarang Putri beristirahat sebentar dan setelahnya mau mencuci baju. Baru saja Putri berbaring, suara ponselnya meraung-raung meminta untuk diangkat."Abah?" lirih Putri. Segera Putri mengangkatnya dan menyapa Haji Topan."Halo! Waalaikumsalam, Bah! Kenapa, Bah?" tanya Putri."Suamim
Saat sampai di pos polisi, keduanya masih saja terus adu mulut. Arman yang tak terima istrinya dipukul jelas saja murka."Sudah ... cukup! Kalian berdua kalau masih ribut, kami akan masukkan ke dalam sel!" bentak Pak Yoyok, anggota kepolisian yang kebetulan saat itu menangani mereka.Mendengar bentakan dari Pak Yoyok, Arman dan Sandi mendadak diam. Dalam hati, Arman berulang kali beristigfar untuk mengontrol emosinya. Sedangkan Sandi, memilih memalingkan mukanya ke sisi yang lain."Sekarang jelaskan satu per satu permasalahan kalian," pinta Pak Yoyok dengan nada yang sudah tidak tinggi lagi.Mulailah Arman menjelaskan kronologinya. Sesekali Sandi menimpali Arman. Tapi dengan cepat Pak Yoyok menghentikannya."Sekarang giliran kamu. Coba jelaskan bagaimana awal mulanya?" pinta Pak Yoyok pada Sandi.Sandi menjelaskan dengan menggebu-gebu pokok permasalannya hingga sampai dia menampar Putri di depan suaminya. Pak Yoyok hanya menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan kelakuan S
Haji Topan mendadak harus kembali ke kampung karena ada urusan yang tidak bisa diwakilkan orang lain. Dengan terpaksa, Beliau meninggalkan Putri dan Arman berdua kembali. Tapi kali ini Haji Topan bisa sedikit bernafas lega karena melihat perubahan anak perempuannya."Duduk dulu di sini sebentar!" pinta Arman sambil menepuk kursi yang ada disampingnya. Putri menuruti kata Arman dan segera duduk disampingnya."Kamu gak bosen di rumah terus?" tanya Arman basa-basi. Putri mengernyitkan dahinya ketika mendapat pertanyaan yang tidak biasa dari Arman."Emang kenapa, Mas? Mau ajak Putri jalan-jalan?" jawab Putri polos. "Kamu mau?" respon Arman."Serius? Gak bercanda, kan, Mas?" tanya Putri memastikan.Arman menganggukkan kepalanya dan Putri melompat kegirangan. Sikap Putri membuat Arman tertawa kecil. Tawa bahagia tentunya. Dan ini kali pertama Arman merasakan kebahagiaan setelah sekian lama tak merasakannya."Putri selesaikan kerjaan Putri dulu, ya, Mas." Putri berlalu tanpa melihat jalan h
Seperti yang Putri sampaikan sebelumnya, setelah makan, dirinya mengajak Haji Topan dan Arman untuk berbicara serius. Tapi sebelumnya, Putri menghidangkan teh hangat dan juga camilan untuk menemani mereka mengobrol.Haji Topan dan Arman saling adu pandang. Keduanya seakan bertanya pada satu sama lain maksud Putri mengajak mereka bicara. Bahasa tubuh mereka mengatakan hal itu. Mereka melihat Putri berkali-kali mengatur nafas. Mungkin karena apa yang akan dibicarakannya memang penting. Tak ada yang berani bertanya. Baik Haji Topan dan juga Arman hanya sama-sama menunggu Putri bicara."Bah! Mas!" kata pertama yang Putri ucapkan mampu membuat suasana menjadi bertambah tegang."Ya ..." jawab Arman yang juga mewakili Haji Topan."Putri minta maaf untuk semua kesalahan Putri. Putri sadar kalau Putri sudah kelewatan. Maaf karena belum bisa menjadi anak dan istri yang baik. Putri juga sadar kalau apa yang Putri inginkan itu belum tentu yang terbaik buat Putri."Putri berhenti sejenak untuk me
PLAAAAKK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Sandi. Ya, Putri menampar mulut Sandi yang seperti perempuan itu. Dan Putri pun langsung berbalik arah pergi meninggalkan rumah Sandi.Sandi yang tak menyangka Putri akan berbuat seperti itu, hanya bisa memegangi pipi yang kena tampar Putri. Perih dan panas rasanya. Istri Sandi yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu.Tak ada air mata yang mengalir di pipi Putri. Sudah cukup baginya menjadi Putri yang b*doh. Putri pulang dengan perasaan marah."Dari mana, Put?" tanya Haji Topan saat mendapati putrinya baru saja pulang. Sejak tadi Haji Topan mencari keberadaan Putri tapi tidak ketemu. Mau menelepon Arman tapi tak jadi karena takut mengganggu pekerjaan Arman. Jadilah Haji Topan hanya menunggu kepulangan Putri. Karena Beliau yakin kalau Putri tidak akan pergi jauh."Cari udara segar, Bah!" jawab Putri singkat dan berlalu masuk ke kamar.Di dalam kamar, Putri menumpahkan segala apa yang dirasakannya. Karena setelah ini