"Ini dia anakku, Jenk! Sarah!" ucap Bu Wati saat mereka sudah duduk kembali.
"Cantik dan modis sekali penampilannya, berkelas!" puji Bu Ida pada Sarah. Yang dipuji hanya tersenyum.
"Arman! Kenalkan ini anak teman Ibu, Sarah namanya." Bu Ida memperkenalkan Sarah pada Arman.
Tanpa mereka tahu, kalau Arman dan Sarah sebenarnya sudah saling kenal dan bahkan sangat kenal. Dua tahun lalu, saat Arman melamar Sarah untuk dijadikan istri, Sarah menolaknya. Alasan Sarah saat itu masih ingin mengejar karirnya dan ingin mewujudkan impiannya mempunyai restoran mewah. Padahal umur Arman dan Sarah bisa dibilang cukup untuk menikah, yaitu dua puluh sembilan tahun.
Ya ... Arman dan Sarah pernah menjalin hubungan kurang lebih lima tahun lamanya. Bukan waktu yang singkat untuk menjalin hubungan. Dan saat hubungan itu ingin diteruskan ke jenjang yang lebih serius, ternyata ada salah satu pihak yang belum siap.
Sakit hati! Itulah yang Arman rasakan saat itu. Waktu itu Arman sudah bekerja di hotel tapi posisinya masih di staf hotel. Karena tolakan Sarah, Arman bertekad bekerja dan juga meneruskan kuliahnya untuk mengejar posisi manajer. Usahanya pun tak sia-sia, sekarang posisi itu dia dapatkan walaupun tempat kerjanya bukan hotel yang dulu lagi. Tapi, hotel yang sekarang lebih berkelas dari hotel sebelumnya.
Arman yang melamun karena mengingat masa lalunya itu, kaget dengan senggolan tangan kakaknya, Salma.
"Man! Kok malah ngelamun, sih? Itu ... Sarah mengulurkan tangannya, kamu sambut dong!" kata Salma. Arman yang kaget pun reflek mengusap wajahnya.
"Oh ... i—ya. Arman!" ucap Arman terbata. Sarah yang melihat mantan kekasihnya salah tingkah, tersenyum simpul.
"Sarah!" jawab Sarah singkat. Keduanya pura-pura tidak kenal dihadapan orang tuanya.
Tak bisa Arman pungkiri, walaupun Sarah telah menorehkan luka hati, tapi masih ada sisa cinta untuknya. Dengan segera dia tepis rasa itu, karena mengingat ada Arini yang saat ini menjadi istrinya.
"Aku ke toilet dulu, ya, Bu!" Arman mencoba meredam rasa yang bergejolak di hati dengan menghindar sebentar dari Sarah.
"Jangan lama-lama, Man. Tante masih ingin ngobrol banyak sama kamu, sebelum jam istirahatmu berakhir." Bu Wati yang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan berpesan pada Arman. Arman hanya menganggukkan kepala.
Tanpa Arman sadari, Sarah mengikutinya dari belakang. Setelah Arman izin tadi, tak berselang lama Sarah juga pergi dengan alasan ada sedikit masalah yang harus dia selesaikan dulu sebentar.
"Mas!" panggil Sarah dengan sedikit berlari agar sejajar dengan Arman. Arman yang menyadari Sarah memanggilnya, segera mempercepat langkah. Tapi, dengan cepat Sarah menyusul dan mencegat Arman di depan.
"Mas! Sarah mau bicara," kata Sarah lagi.
"Sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Sarah!" ucap Arman tegas.
"Maafkan Sarah, Mas! Sarah menyesal!" ungkap Sarah dengan menunjukkan wajah sedihnya.
"Tapi sekarang sudah terlambat, Sarah! Aku sudah menikah!" sahut Arman cepat.
"Sarah mau kok jadi istri kedua, Mas! Sarah masih cintai sama Mas! Sarah gak bisa hidup tanpa Mas Arman," rengek Sarah seperti anak kecil.
"G*la kamu, ya?" sentak Arman. Arman yang jengah pun segera berlalu. Sarah berhenti mengejarnya saat Arman sudah masuk ke dalam toilet khusus pria.
Akhirnya, Sarah kembali lagi ke meja dimana Ibu dan Ibu Arman berada. Dalam hatinya bertekad akan mendapatkan Arman kembali apapun caranya.
"Tunggu saja, Mas! Kamu pasti akan bertekuk lutut lagi di hadapanku!" kata Sarah dalam hati.
"Akan kumanfaatkan ibu dan juga kakak/adiknya supaya bisa memuluskan rencanaku ini," gumam Sarah dalam hati lagi.
*****
"Ini buat Tante dan juga Mbak Salma," ucap Sarah menyerahkan dua bungkus paperpag berisi tas bermerk pada keluarga Arman. Tadi sebelum kembali ke meja, Sarah mengambil dua tas yang baru dibelinya."Apa ini, Sarah? Wah ... bagus sekali! Tante suka!" Ibu Ida tersenyum bahagia mendapat hadiah yang tak terduga.
"Mbak juga suka, Sarah! Terima kasih, ya?" ucap Salma setelah membongkar isi paperbag itu.
"Sama-sama, Tante, Mbak. Anggap aja ini hadiah perkenalan dari Sarah. Semoga ini jadi awal yang baik untuk kita ke depannya," ucap Sarah. Sepertinya rencana pertama merebut hati Ibu dan Kakak Arman berhasil.
Tak lama, Arman pun kembali dan dirinya langsung pamit untuk kembali ke hotel, karena atasannya sudah menghubungi.
"Arman pamit dulu, ya, Bu! Mbak Salma kalau pulang hati-hati bawa mobilnya, gak usah ngebut!" Arman yang tahu kebiasaan kakaknya itu mengingatkan.
"Arman pamit dulu, ya, Tante Wati!" Arman juga pamit pada Bu Wati. Tapi, tidak dengan Sarah, Arman hanya terpaksa tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Iya, Man. Lain kali mampir kesini, ya, kalau makan siang atau pulang kerja," kata Bu Wati.
"Insyaa Allah!" balas Arman singkat. Dengan tergesa, Arman meninggalkan restoran itu. Meninggalkan luka lama dalam hati yang terbuka kembali. Sarah hanya bisa menatapi kepergiaan Arman dengan raut muka yang tak bisa dijelaskan.
Ibu Ida dan juga Salma pun tak selang berapa lama ikut pamit pulang. Mereka berjanji akan sering bertemu untuk membahas masalah Sarah dan Arman.
"Tante ... maaf! Boleh Sarah minta nomor telepon Mas Arman?" ucap Sarah malu-malu. Selama ini Arman memang mengganti nomor ponselnya agar tak bisa Sarah hubungi.
"Tentu boleh dong, Sayang! Tante malah seneng, jadinya kan kalian bisa saling komunikasi dan pendekatan," sahut Bu Ida senang.
"Terima kasih, Tante!" kata Sarah dengan menarik kedua ujung bibirnya. Giginya yang putih nampak saat dirinya tersenyum.
"Sama-sama, Sayang. Jenk, aku pamit dulu, ya?" Bu Ida melambaikan tangan dan dibalas oleh Bu Wati dan juga Sarah.
"Gimana, Sayang? Suka gak?" tanya Bu Wati pada anak semata wayangnya.
"Suka, Bu! Sarah harus bisa mendapatkan Mas Arman!" Sarah mengepalkan tangannya kuat. Ibu Wati pun tersenyum melihat anaknya bersemangat. Karena selama ini, Sarah paling susah kalau diajak kenalan dengan laki-laki. Rasa cintanya yang masih besar pada Arman, membuatnya kasar pada setiap lelaki yang mencoba mendekatinya.
*****
Sepulang dari pertemuannya dengan Sarah, Arman jadi tidak fokus bekerja. Pikirannya terus terbayang kenangan bersama Sarah. Untuk melupakannya, Arman mengirim pesan pada Arini, istrinya.[Sudah sampai mana, Sayang?] bunyi pesan Arman. Tak butuh waktu lama, Arini membalas pesan suaminya.
[Sebentar lagi sampai, Mas. Mas sudah makan?] tanya Arini. Arman tersenyum membaca pesan istrinya itu. Tak pernah lupa untuk mengingatkan segala hal yang berkaitan dengan kegiatannya.
Walaupun Arini bukan wanita karir, Arman tak mempermasalahkan hal itu. Justru dirinya merasa senang, karena istrinya mau melayani dirinya sepanjang waktu.
[Sudah! Kamu jangan lama-lama di sana, ya, Sayang! Mas sudah kangen,] kata-kata manis tak segan Arman berikan pada istrinya itu.
[Iya, Mas. Arini juga sudah kangen sama, Mas!] balas Arini.
Di tempat lain, di rumah Ibu Ida, Salma pamer tas baru pada adik perempuannya. Mereka bercerita bertemu dengan Sarah dan berencana menjodohkan Sarah dengan Arman, kakaknya.
"Ibu curang! Bela gak diajak! Jadi, Bela gak dapat tas bagus juga," ucap Bela dengan bibir mengerucut.
"Lah! Kamu tadi kan pamit ujian ke kampus, Bel. Ibu ya gak bisa cegah kamu kalau ujian," Ibu Ida membela diri. Bela mencebikkan mulutnya.
"Emang ... nanti Mas Arman mau, Bu? Kelihatannya Mas Arman cinta mati sama Mbak Arini," tanya Bela. Selama ini, Bela melihat kakaknya itu tak pernah neko-neko dan setia pada istrinya.
"Maka dari itu, tugas kita sekarang menyusun rencana untuk mendekatkan mereka. Buat mereka saling jatuh cinta dan tak bisa hidup satu sama lain. Gimana?" usul Salma dengan kedua ujung bibir ditarik.
"Caranya gimana, Mbak?" tanya Bela sedikit bingung.
"Nanti kita coba buat masmu dan Sarah tanpa sengaja saling ketemu. Kita buat masmu butuh Sarah dan tak bisa lepas darinya. Sepertinya Sarah juga tertarik dengan masmu," jelas Ibu Ida. Kedua anak perempuannya itu mangut-mangut.
"Mbak Arini gimana, Bu?" tanya Salma kemudian.
"Kita sibukkan mbak iparmu satu itu dengan pekerjaan rumah yang gak ada habisnya," kata Salma diikuti tawa dari mereka bertiga.
bersambung ....Belum juga sehari ditinggal Arini pergi, Arman sudah mengirim pesan rindu pada Arini. Ini membuat Arini semakin cinta pada suaminya itu. Tak terasa sudah delapan jam Arini berada di kereta, sebentar lagi sudah sampai di Kabupaten dimana dia dibesarkan.Saat Arini keluar stasiun, banyak sekali abang-abang ojek pengkolan yang menghampirinya. Buat apa lagi kalau bukan untuk menawarkan jasa mereka. Hingga akhirnya, Arini memutuskan menggunakan salah satu dari Abang ojek itu.Perjalanan dari stasiun ke kampungnya bisa dibilang cukup jauh, yaitu sekitar satu jam lebih. Biarpun jam menunjukkan pukul dua siang, suasana pedesaan yang masih asri membuat perjalanan mereka tidaklah tersengat matahari."Bang, mampir ke pemakaman umum di sebelah sana, ya?" kata Arini pada Abang ojek. Abang ojek itu pun melihat ke arah yang Arini tunjuk."Oh ... iya, Mbak. Siap!" balas Abang ojek. Motor yang Arini tumpangi pun berbelok ke arah pemakaman."Tunggu sebentar, ya, Bang! Nanti uangnya saya lebihin," ucap
Sepulang dari rumah Bi Imah, Arini mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Tidur siang adalah hal yang tepat Arini lakukan siang itu. Kotak kecil yang diberikan Bi Imah, dia letakkan di meja rias dalam kamarnya.Rasa lelah hati tak Arini rasakan. Saat ini yang terpenting adalah meneruskan hidupnya. Membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah bersama Arman suaminya. Tak terasa kumandang adzan ashar membangunkan Arini. Segera dirinya membersihkan diri dan menyiapkan makan untuk makan malam untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula, Arini menelepon suaminya."Assalamualaikum, Mas! Sudah pulang kerja belum?" tanya Arini saat Arman mengangkat teleponnya."Wa'alaikumsalam, Sayang! Belum, ini sebentar lagi juga pulang. Gimana di sana, Sayang? Baik-baik saja, kan?" tanya balik Arman."Alhamdulillah, Mas, semua baik-baik saja. Insyaa Allah lusa Arini sudah pulang, Mas. Besok Mas gak usah jemput Arini. Biar Arini naik ojek saja," kata Arini. Saat ini Arini sedang berada di ruang tamu."Ya
Setelah pertemuan Arman dan Sarah, Ibu Ida selalu membahas tentang hal itu. Hal itu membuat Arman jengah. Bagaimana tidak? Ibunya sendiri sengaja menjodohkan dia dengan Sarah. Padahal ibunya juga tahu kalau dia sudah menikah."Man ... Sarah itu sudah cantik, pinter pula ya berbisnis," celetuk Ibu Ida saat sedang makan malam. Arman yang memang enggan membahas Sarah, menyikapinya dingin."Emang begitu, ya, Bu? Boleh dong, kapan-kapan Bela dikenalin!" sahut adik perempuan Arman."Boleh! Ibu saja sering ditanya kapan mampir ke restorannya lagi. Besok kita ke sana, ya, Man? Ajak Bela sekalian," ucap Ibu Ida bersemangat."Ibu itu kenapa, sih? Ibu sadar gak kalau Arman itu sudah punya istri?" kata Arman dengan nada tinggi. Emosinya mulai tersulut karena rencana ibunya yang tak masuk akal. Arman beranjak dari meja makan menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat."Lihat masmu itu, diajak enak sedikit aja gak mau!" sungut Ibu Ida. "Kamu harus dukung Ibu, Bela. Calon kakak iparmu yang ini b
Saat Bu Ida ikut masuk ke dalam kamar Bela, mereka merencanakan sesuatu agar Arman mau menuruti apa kata ibunya."Ibu mau pura-pura bunuh diri, nanti kamu teriak yang kenceng, ya, Bel? Biar Masmu itu dengar, oke?" ucap Ibu Ida pada Bela yang masih cemberut karena dibentak Arman."Iya, Bu!" dengan setengah menahan kesal."Satu ... dua ..." Ibu Ida mulai menghitung."Tiga! Cepat, Bel!" kata Ibu Ida lagi."Mas Arman! Ibu, Mas! Cepat ke sini!" teriak Bela kencang."Mas ... Mas Arman!" teriak Bela lebih kencang lagi. Arman lagi dengan tergopoh-gopoh menuju kamar Bela. Saat Sampai di kamar Bela, dirinya berteriak."Ibu!" teriak Arman. Arman melihat ibunya memegang pisau yang diletakkan di pergelangan tangan."Ibu jangan berpikiran nekat!" teriak Arman lagi. Ibunya menangis sesenggukan."Buat apa Ibu hidup, kalau anak Ibu laki-laki satu-satunya tak mau menuruti apa kata Ibu! Lebih baik Ibu mati saja!" ancam Ibu Ida saat itu. "Tapi, Bu ... Arman sudah punya Arini," suara Arman melemah, dia b
Arman memilih menunggu Arini di depan pintu kamar. Rasanya enggak untuk bergabung kembali bersama ibunya. Ada rasa kecewa yang besar terhadap sikap ibunya kali ini. Ingat sekali memberontak, tapi, yang Arman dapatkan hanyalah ancaman dari sang ibu."Ya Allah! Jauhkan keluarga hamba dari perpecahan!" ucap Arman lirih. Tangannya mengusap wajahnya kasar. Sementara, di dalam kamar ada Arini yang masih sesenggukan. "Mas, Arini punya kejutan untukmu. Tapi ... ternyata Arini yang terkejut," lirih Arini. Ditatapnya benda pipih yang menunjukkan dua garis itu. Sejatinya, benda itu akan diserahkan pada Arman saat dirinya sudah sampai di rumah.Karena lelah menangis, Arini sampai terlelap di tepi ranjang dengan posisi terduduk. Arman yang sudah tak mendengar isakan dari Arini, memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar. Sarah langsung pulang, saat Arman menyusul istrinya ke kamar. Perlahan Arman membuka pintu kamar. Arman mendekat di tempat istrinya tidur. Ingin sekali mengangkat dan membarin
Arman yang sedang dikejar deadline, saat Ibu Ida meneleponnya. KESAL? Tentu saja! Itu yang Arman rasakan saat ini."Kenapa, sih, Ibu ini? Arman lagi dikejar deadline, Bu!" sungut Arman kesal."Pokoknya Ibu gak mau tahu. Kamu harus pulang tepat waktu, Man! Ibu tunggu di rumah!" kata Ibu Ida saat menelepon Arman. Tanpa menunggu jawaban dari Arman, Ibu Ida menutup teleponnya.Kalau Ibu Ida sudah memerintah, maka mau tak mau harus dilaksanakan. Arman mengacak rambutnya kasar karena kelakuan ibunya itu."Arrghh!" teriak Arman. Terpaksa hari ini dia bawa pulang lagi pekerjaan yang belum dia selesaikan.Sedangkan di rumah, saat Arini masih berbaring di tempat tidur, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan kencang.BRAAKKK!Suara pintu yang cukup keras membuat Arini terkejut dan langsung berubah posisi dari tiduran ke berdiri."Ibu ..." lirih Arini. Tatapan mata Ibu Ida penuh dengan amarah dan kebencian. Dibelakang Ibu Ida, ada Salma, Bela dan juga Sarah yang tak mau ketinggalan adegan heboh.
Dokter masuk lagi ke ruangan Arini. Saat ini Arini dalam kondisi sadar dan sudah stabil. Biarpun mengalami pendarahan, tapi janin yang ada di dalam perut Arini masih bisa bertahan."Bagaimana kondisinya sekarang, Bu Arini? Sudah lebih baik?" tanya Dokter Enny dengan senyum ramah."Alhamdulillah, Dok. Terima kasih, Dok, sudah menyelamatkan janin saya," ucap Arini. Arini tak henti-hentinya menangis kala tahu kalau dirinya pendarahan."Bukan saya, Bu. Tapi Allah yang sudah membuat janin Ibu kuat. Pesan saya, Ibu jangan kerja yang berat-berat dan jangan terlalu banyak pikiran, ya, Bu!" nasehat Dokter hanya Arini tanggapi dengan anggukan.Bagaimana mungkin dirinya bisa berisitirahat kalau di rumah mertuanya saja selalu ada saja yang harus dia kerjakan. Bukan Arini ingin dimanja, tapi keadaannya yg sedang hamil memang tak seperti sebelum hamil.Pernah Ibu Ida berkata, kalau dulu saat hamil anak-anaknya, Beliau masih bisa melakukan semua pekerjaan rumah. "Tapi, Bu ... tidak semua wanita bis
Selama hamil dan memiliki pembantu, Arini lebih sering berada dalam kamar. Menghindari perdebatan dengan Ibu Mertua atau Bela. Saat ini usia kandungan Arini sudah memasuki usia enam belas Minggu atau empat bulan.Rencananya, Arman akan mengadakan pengajian esok lusa untuk mendoakan untuk keselamatan istri dan calon anaknya. Persiapannya sudah diserahkan pada Ibu Ida dan Tuti."Bu, persiapan untuk pengajian bagaimana? Adakah yang kurang?" tanya Arman sebelum berangkat ke kantor."Sudah siap semuanya, Man. Kamu tenang saja," balas Ibu Ida."Syukurlah!" jawab Arman singkatTuti yang sedang menghidangkan sarapan, matanya tak lepas dari sang majikan. Semakin hari, pesona Arman di mata Tuti semakin besar. Rasa ingin memiliki pun juga bertambah besar."Sayang, jaga diri baik-baik, ya? Mas berangkat kerja dulu," pamit Arman seraya mencium kening dan perut Arini.Tuti yang melihatnya, menatap mereka dengan tatapan tak suka. Cemburu! Ya, Tuti cemburu pada Arini yang mendapat perhatian lebih dar