Share

Bab 3 Dewa Perang Negara Leen, Zeo

"Tuan Zero, sekali lagi saya meminta maaf atas kelalaian saya. Saya tahu Anda tidak ingin kedatangan Anda ke kota ini berakhir menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi, karena keterlambatan saya ….”

Javon tidak berani untuk bahkan melanjutkan ucapannya. Dia hanya bisa terdiam selagi menunduk untuk menunjukkan rasa bersalahnya terhadap Galvin.

Sebagai salah seorang pejabat militer dengan posisi yang tinggi, Javon menerima tugas untuk menyambut kedatangan Zero—nama samaran Galvin, seorang komandan pasukan elit yang identitasnya sangat dirahasiakan. Javon tidak sepenuhnya tahu mengenai latar belakang pria misterius itu, tapi dia tahu bahwa Zero adalah sosok yang patut ditakuti, terutama karena prestasi yang dia capai selama bekerja di bawah arahan sang presiden.

Dengan kemampuan yang dimiliki, Zero, yang disebut juga sebagai sang Dewa Perang, kala itu pernah memimpin pasukan elitnya untuk meluluhlantakkan pemerintahan satu negara.

Javon mengangkat kepalanya sedikit, menatap sosok Galvin yang setengah wajahnya masih ditutupi oleh masker. ‘Siapa yang mengira kalau Zero yang agung hanyalah seorang pria berusia 33 tahun?’ Dia mendapati manik pemuda itu bergeser ke arahnya, membuatnya begidik dan langsung menunduk kembali. ‘Namun, jelas usia tidak bisa memastikan apa pun.’

“Tegapkan tubuhmu dan berhenti memanggilku Zero. Aku sudah meninggalkan nama itu,” balas Galvin dengan tenang. “Sekarang, aku hanyalah Galvin, seorang rakyat biasa,” ujarnya dengan nada lebih santai. “Demikian, jangan bersikap begitu kaku denganku, oke?"

Mendengar hal itu, Javon menegapkan tubuh dan menatap Galvin dengan penuh kekaguman. Kalaupun dirinya memiliki kemampuan dan identitas luar biasa, tapi pria di hadapannya itu begitu rendah hati.

“Tuan Galvin, jasa Anda terhadap negara ini begitu berlimpah. Sebagai seorang prajurit, saya akan selalu menganggap Anda sebagai sang dewa perang!” tegas Javon dengan serius. “Terlebih lagi, Pak Presiden telah menekankan untuk terus menghormati dan menjaga Anda seperti tidak ada yang berubah.”

Ya, apa yang diucapkan Javon memang benar. Sang presiden yang telah memperingatkan dirinya untuk menjaga sikap dan melayani Galvin dengan baik. Itu semua karena sang presiden sendiri tidak rela melepaskan pria itu dari regu elit bentukannya.

‘Kalau bukan karena janji dengan mendiang ketua pasukan elit, juga ketakutan pada amarah Zero bila tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, jelas Pak Presiden tidak akan bersedia melepaskannya sampai kapan pun,’ batin Javon dengan penuh rasa kagum.

Berharap Galvin akan kembali di masa depan juga pastinya salah satu alasan sang presiden ingin para anggota militer dan petinggi pemerintahan untuk selalu menghormati Zero. Apapun yang Galvin inginkan dan segala bantuan yang dia minta, orang-orang militer dan para petinggi pemerintahan harus memenuhinya.

"Tuan Galvin … jika aku boleh tahu, apa tujuanmu datang ke kota Aberleen?" Javon menatap ke arah Galvin dengan rasa yang canggung. “Kalaupun memang Aberleen adalah salah satu kota maju di Negara Leen, tapi kota ini hanya kota kecil dibandingkan dengan ibu kota.”

Galvin yang sedang melihat pemandangan kota Aberleen dari jendela mobil, melirik ke arah Javon. Aura yang mendominasi terlintas dari tatapan matanya saat bertabrakan dengan netra Javon.

Kilatan cahaya yang terlihat berbahaya membuat Javon membeku. ‘A-apa aku salah bertanya?’ gumamnya dalam hati.

Melihat sang petinggi militer Aberleen itu menampakkan wajah takut, Galvin pun menggangkat kepalanya lalu menutup mata dan menjelaskan dengan santai, “Kamu mungkin tidak tahu, tapi Aberleen adalah kampung halamanku.” Dia membuka mata dan menatap markas utama kepolisian kota yang akan segera dilewati dengan dingin. “Sudah kurang-lebih sepuluh tahun sejak terakhir kali aku menemui keluargaku.”

Javon terbelalak. Dia baru tahu kalau sang dewa perang ternyata berasal dari Aberleen!

“Ah, begitu. Anda pasti sangat sibuk dengan tugas sampai tidak sempat berkunjung ke sini untuk waktu yang begitu lama,” ucap Javon basa-basi.

Mendengar ucapan Javon, Galvin hanya tertawa rendah. “Ya, aku sangat ‘sibuk’.” Aura dingin terpancar dari matanya yang mendaratkan pandangan pada gedung kepolisian yang dengan cepat terlewat. ‘Sibuk mempersiapkan cara untuk menjatuhkan beberapa bedebah di kota ini.’

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status