"Tuan Zero, sekali lagi saya meminta maaf atas kelalaian saya. Saya tahu Anda tidak ingin kedatangan Anda ke kota ini berakhir menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi, karena keterlambatan saya ….”
Javon tidak berani untuk bahkan melanjutkan ucapannya. Dia hanya bisa terdiam selagi menunduk untuk menunjukkan rasa bersalahnya terhadap Galvin.
Sebagai salah seorang pejabat militer dengan posisi yang tinggi, Javon menerima tugas untuk menyambut kedatangan Zero—nama samaran Galvin, seorang komandan pasukan elit yang identitasnya sangat dirahasiakan. Javon tidak sepenuhnya tahu mengenai latar belakang pria misterius itu, tapi dia tahu bahwa Zero adalah sosok yang patut ditakuti, terutama karena prestasi yang dia capai selama bekerja di bawah arahan sang presiden.
Dengan kemampuan yang dimiliki, Zero, yang disebut juga sebagai sang Dewa Perang, kala itu pernah memimpin pasukan elitnya untuk meluluhlantakkan pemerintahan satu negara.
Javon mengangkat kepalanya sedikit, menatap sosok Galvin yang setengah wajahnya masih ditutupi oleh masker. ‘Siapa yang mengira kalau Zero yang agung hanyalah seorang pria berusia 33 tahun?’ Dia mendapati manik pemuda itu bergeser ke arahnya, membuatnya begidik dan langsung menunduk kembali. ‘Namun, jelas usia tidak bisa memastikan apa pun.’
“Tegapkan tubuhmu dan berhenti memanggilku Zero. Aku sudah meninggalkan nama itu,” balas Galvin dengan tenang. “Sekarang, aku hanyalah Galvin, seorang rakyat biasa,” ujarnya dengan nada lebih santai. “Demikian, jangan bersikap begitu kaku denganku, oke?"
Mendengar hal itu, Javon menegapkan tubuh dan menatap Galvin dengan penuh kekaguman. Kalaupun dirinya memiliki kemampuan dan identitas luar biasa, tapi pria di hadapannya itu begitu rendah hati.
“Tuan Galvin, jasa Anda terhadap negara ini begitu berlimpah. Sebagai seorang prajurit, saya akan selalu menganggap Anda sebagai sang dewa perang!” tegas Javon dengan serius. “Terlebih lagi, Pak Presiden telah menekankan untuk terus menghormati dan menjaga Anda seperti tidak ada yang berubah.”
Ya, apa yang diucapkan Javon memang benar. Sang presiden yang telah memperingatkan dirinya untuk menjaga sikap dan melayani Galvin dengan baik. Itu semua karena sang presiden sendiri tidak rela melepaskan pria itu dari regu elit bentukannya.
‘Kalau bukan karena janji dengan mendiang ketua pasukan elit, juga ketakutan pada amarah Zero bila tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, jelas Pak Presiden tidak akan bersedia melepaskannya sampai kapan pun,’ batin Javon dengan penuh rasa kagum.
Berharap Galvin akan kembali di masa depan juga pastinya salah satu alasan sang presiden ingin para anggota militer dan petinggi pemerintahan untuk selalu menghormati Zero. Apapun yang Galvin inginkan dan segala bantuan yang dia minta, orang-orang militer dan para petinggi pemerintahan harus memenuhinya.
"Tuan Galvin … jika aku boleh tahu, apa tujuanmu datang ke kota Aberleen?" Javon menatap ke arah Galvin dengan rasa yang canggung. “Kalaupun memang Aberleen adalah salah satu kota maju di Negara Leen, tapi kota ini hanya kota kecil dibandingkan dengan ibu kota.”
Galvin yang sedang melihat pemandangan kota Aberleen dari jendela mobil, melirik ke arah Javon. Aura yang mendominasi terlintas dari tatapan matanya saat bertabrakan dengan netra Javon.
Kilatan cahaya yang terlihat berbahaya membuat Javon membeku. ‘A-apa aku salah bertanya?’ gumamnya dalam hati.
Melihat sang petinggi militer Aberleen itu menampakkan wajah takut, Galvin pun menggangkat kepalanya lalu menutup mata dan menjelaskan dengan santai, “Kamu mungkin tidak tahu, tapi Aberleen adalah kampung halamanku.” Dia membuka mata dan menatap markas utama kepolisian kota yang akan segera dilewati dengan dingin. “Sudah kurang-lebih sepuluh tahun sejak terakhir kali aku menemui keluargaku.”
Javon terbelalak. Dia baru tahu kalau sang dewa perang ternyata berasal dari Aberleen!
“Ah, begitu. Anda pasti sangat sibuk dengan tugas sampai tidak sempat berkunjung ke sini untuk waktu yang begitu lama,” ucap Javon basa-basi.
Mendengar ucapan Javon, Galvin hanya tertawa rendah. “Ya, aku sangat ‘sibuk’.” Aura dingin terpancar dari matanya yang mendaratkan pandangan pada gedung kepolisian yang dengan cepat terlewat. ‘Sibuk mempersiapkan cara untuk menjatuhkan beberapa bedebah di kota ini.’
“Berhenti di sini,” ucap Galvin, sontak membuat sopir menginjak rem di depan gerbang kompleks perumahan mewah. "Agar tidak menarik perhatian orang-orang, lebih baik aku turun di sini dan berjalan kaki menuju rumah," jelasnya. “Aku tidak ingin ada kenalanku yang tahu mengenai hubunganku dengan kemiliteran.”Galvin membuka pintu mobil diikuti oleh sang sopir yang membukakan bagasi untuk mengeluarkan koper pria tersebut.Setelah Galvin menerima kopernya, dia pun menghadap Javon. “Terima kasih atas tumpangannya, saudaraku,” ujarnya seraya berjalan pergi tanpa menunggu balasan pria di hadapan.Javon terkejut melihat Galvin yang langsung berbalik pergi, dia pun langsung mengejar pria itu dan berkata, “Tuan Galvin!” Teriakannya berhasil menghentikan langkah Galvin. Javon pun menyodorkan kartu kecil ke arah sang dewa perang sembari membungkuk hormat. “Ini adalah kartu namaku, Tuan bisa menghubungiku jika membutuhkan bantuan, aku akan selalu siap membantu."Saat dia menerima kartu nama itu, Ga
“Dengan hukuman penjara seumur hidup, bagaimana mungkin dia berdiri di hadapanku?!” Sekujur tubuh Galvin membeku, dia terdiam mendengar ucapan adiknya itu. Benaknya seakan dipaksa untuk menggali pecahan ingatan dari sepuluh tahun yang lalu, masa di mana dirinya hanyalah seorang pemuda bodoh berusia dua puluh tiga tahun yang tidak tahu bahwa manusia bisa lebih buruk dibandingkan binatang! Tercetak jelas di benak Galvin kejadian di malam sepuluh tahun yang lalu itu. Halaman rumah Keluarga Wijaya ramai oleh kedatangan sekelompok pria berseragam–polisi. "Tidak mungkin!” Teriakan seorang gadis bisa terdengar seiring dirinya terlihat ditahan dua polisi. “Kakakku tidak mungkin membunuh! Membunuh semut pun dia tidak tega, apalagi membunuh orang?!" Lisa–adik angkat Galvin–berteriak dengan histeris selagi air mata mengalir membasahi pipinya. Pria yang bertugas sebagai pemimpin penangkapan itu menatap Lisa dengan tatapan datar, terlihat tidak sedikit pun bersalah melihat gadis itu menangis.
“Papa meninggal karena kecelakaan dan Mama …,” Galvin menatap wanita paruh baya yang terlihat tak berdaya di kursi roda, “... kehilangan kewarasannya?” Matanya tampak terluka menatap sang ibu yang maniknya terlihat kosong dan tak bernyawa bak boneka “Ini … semua terjadi tidak lama setelah aku pergi?” Galvin menghampiri sang ibu yang dahulu telah begitu berbaik hati mengangkatnya, seorang anak panti asuhan, dan merawatnya layaknya putra kandung sendiri. Dia pun berlutut di hadapan sang ibu, lalu menyentuh wajah pucat wanita itu. ‘Dingin,’ batin Galvin dengan kening berkerut. Dia pun mengarahkan tangannya pada pergelangan tangan sang ibu, mengecek nadinya. ‘Ini–!’ Pandangan pria itu berubah dingin seiring dirinya berdiri. Benak Galvin memutar cerita yang dilontarkan oleh sang adik tadi. Setelah dirinya dinyatakan sebagai pembunuh ahli waris Keluarga Bintara dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Pulau Mata, perusahaan keluarga ayahnya terkena dampak penurunan saham. Namun, h
"A-Apa? Racun?!" Lisa terlihat begitu terkejut mendengar ucapan Galvin. Seluruh tubuhnya bergetar. Di saat mendapatkan cukup sampel, Galvin pun membalut jari ibunya. Di dalam hati, pria itu membatin, ‘Sepertinya, daftar hitamku bertambah panjang.’ Matanya memancarkan aura membunuh yang kuat. ‘Paman Anson, ya? Jadi dia–’ KRAK! Tepat ketika Galvin baru saja selesai membalut jari ibunya dan memikirkan tentang sang paman, suara dentuman keras dari ruang utama terdengar. Keributan tersebut pun membuat Galvin melihat Lisa berlari cepat ke luar kamar. Pria itu mengikuti dengan waspada lantaran sejumlah langkah kaki terdengar menghampiri. BRAK!Belum sempat Galvin dan Lisa mencapai pintu, pintu utama kediaman mereka ditendang terbuka. Seorang pria muda bertubuh kurus dalam balutan jas mewah dan celana hitam muncul bersama dengan sejumlah penjaganya. Kala dirinya mendaratkan pandangan pada Lisa, seringai sombong terlukis di wajah pria muda tersebut seraya dia mengumumkan, “Lisa Wijaya, ha
“Racun dalam tubuh Mama Anda akan sepenuhnya bersih dalam tiga jam,” ujar seorang dokter berpakaian seragam militer seraya memberikan laporan di tangannya kepada seorang suster. “Kondisi tubuhnya juga kian membaik, seharusnya dia akan sadar dalam waktu dekat,” imbuh pria tersebut sembari menatap Lisa dengan senyum sopan. Mendengar ucapan sang dokter, wajah Lisa berbinar. Dia tersenyum bahagia seraya berulang kali berucap, "Terima kasih banyak, Dok. Sungguh terima kasih!" "Tidak masalah, Nona,” balas sang dokter melihat reaksi Lisa. Karena tugasnya sudah selesai, dokter tersebut pun berkata, “Saya pamit undur diri terlebih dahulu. Jaga ibumu dengan baik, Nona." Pria itu mengangguk pamit sebelum membalikkan badan untuk pergi Bersama sang suster. Lisa mengantar kepergian sang dokter, lalu berhenti di depan pintu. Awalnya, dia ingin langsung kembali ke dalam ruangan, tapi di sudut matanya, gadis itu menangkap keberadaan sang kakak, Galvin. Dengan tangan terlipat di depan dada bidang pr
'Kakak pasti mengenal Javon setelah dia keluar dari Aberleen, yang berarti saat dirinya berada di penjara. Namun, bagaimana mungkin seorang narapidana bisa mengenal seorang pejabat tinggi militer?' Semuanya terasa begitu aneh bagi Lisa. Akan tetapi, teringat ucapan Galvin untuk mempercayainya, Lisa pun tidak lagi bertanya-tanya. Dia hanya sangat bersyukur Galvin telah kembali, terlebih karena dia yakin pria itu bisa melindungi mereka. "Kakak, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Lisa dengan bingung seraya menatap mata Galvin dalam-dalam. " Setelah Kakak mematahkan tangan Kevin, tidak mungkin paman akan diam saja!" Mengingat bagaimana pria itu bisa sekejam itu mencoba meracuni ibu mereka, Lisa yakin bahwa Anson akan mencoba menyakiti Galvin. Sehingga, mereka memutuskan untuk tidak kembali ke rumah. Wajah manis gadis itu berkerut memikirkan hal-hal yang mungkin dilakukan oleh sang paman. Mengingat bahwa sang paman telah berusaha meracuni ibu mereka, Lisa yakin bahwa Anson—pamannya—pasti
*Sepuluh tahun yang lalu*Malam itu, Keluarga Wijaya berkumpul untuk makan malam seperti biasanya.“Selamat atas keberhasilan proyeknya, Kak Galvin!” ujar Lisa seraya menaikkan gelas jusnya untuk bersulang demi mengucapkan selamat terhadap keberhasilan sang kakak dalam karirnya. “Bisa bekerja sama dengan perusahaan sebesar itu di usia yang begitu muda, memang kakakku yang paling jenius!” puji gadis tersebut dengan tawa bangga.Mendengar ucapan sang putri, ayah Galvin dan Lisa langsung berceletuk, “Itu karena Galvin anak Papa!” Pria itu mengangkat dagunya bangga. “Kakakmu memang pintar, ditambah didikan Papa, makanya dia jadi sehebat ini di usia yang begitu muda!”Ibu Galvin pun menyenggol sang suami. “Perasaan yang lebih sering ngehabisin waktu sama anak-anak Mama deh? Kok Papa doang yang ngaku-ngaku berjasa, hmm?” goda sang istri membuat sang suami meneguk ludah.“T-tapi ‘kan yang ajarin Galvin soal perusahaan Papa, Mama ajarinnya yang lain,” balas ayah Galvin, sukar mengalah. Namun,
Cinta buta yang mematikan, itulah dua kata yang pantas untuk mendeskripsikan keputusan Galvin kala itu. Karena cintanya kepada Elena, juga kesetiaannya terhadap janji yang diberikan kepada sang kakek, Galvin dengan bodohnya mengiyakan permintaan gadis tersebut.Siapa yang mengira bahwa alih-alih mencari cara untuk membuktikan kebenaran, gadis itu malah mengkhianatinya dengan lari dan menghapuskan ikatan antara mereka?“Apa Kakak tahu bahwa gadis yang Kakak mati-matian bela itu sekarang memutuskan pertunangan kalian, hah?” bentak Lisa saat mengunjungi Galvin di penjara Aberleen sebelum pria itu dikirimkan ke penjara di Pulau Mata yang terpencil. “Kakak mau tahu apa yang dia bilang?” Air mata menuruni wajah Lisa deras selagi kekecewaan terpancar kuat dari matanya. “Dia tidak ingin berurusan dengan seorang pembunuh!”Karena pria yang telah dibunuh oleh Elena adalah anak dari orang terkaya kedua di kota Aberleen, Galvin diberikan hukuman terberat, yakni hukuman seumur hidup penjara. Dia d