"Ya." Jawaban Jason ini langsung membuat semua orang menatap Vania dengan iri. Sepertinya, perhiasan misterius itu adalah hadiah ulang tahun untuk Vania.Wajah Vania tersipu. Reporter mengarahkan mikrofon kepadanya. "Bu Vania, apa kamu punya keyakinan dengan perhiasan rancanganmu?"Jelas-jelas hanya pertanyaan sederhana, tetapi Vania tidak lupa memamerkan kemesraan. Vania mengejapkan matanya, lalu menyahut dengan lembut, "Jason mendukungku, aku tentu yakin. Perhiasanku dirancang berdasarkan bunga krisan. Kalian akan berkesempatan melihatnya nanti. Jangan lupa dipotret ya."Tiba-tiba, suasana menjadi makin heboh. Ternyata Sera sudah tiba. Vania pun mengangkat dagunya sedikit, bersiap-siap untuk menerima pujian.Sera tampak memakai gaun satin berwarna hijau tua dengan ekor panjang. Pinggang dan bokong seksinya membuatnya terlihat sangat menggoda. Namun, kalung yang dipakainya bukan hasil rancangan Vania, melainkan hasil rancangan Janice. Kalung itu membuat auranya terlihat lembut.Mengej
Sera mengelus anjingnya, lalu tersenyum dan meneruskan, "Apa yang kamu pikirkan? Tentu saja karena pupuk yang kupakai bagus. Bu Vania, kamu harus ingat margamu belum berubah jadi Karim. Dalam hal ini, Janice lebih dewasa darimu."Jadi, jangan sombong sebelum jadi Nyonya Ketiga Keluarga Karim. Selesai berbicara, Sera pun pergi tanpa menghiraukan Vania lagi.Vania sungguh gusar. Dia berbalik dan hendak mengadu kepada Jason, tetapi Jason sudah berjalan pergi. Dia hanya bisa tersenyum kepada kamera, lalu menyusul Jason."Jason, aku ....""Aku nggak mau dengar penjelasan sampah. Kamu seharusnya tahu konsekuensi tema desainmu," ucap Jason."Tapi, kamu bisa memperingatkanku." Vania tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia sampai mengeluhkan sikap Jason.Jason lantas memicingkan mata menatapnya dengan tatapan suram dan dingin. "Kamu merusak hubungan kerja samaku dengan Bu Sera. Aku bakal menarik semua investasi untuk Keluarga Tanaka.""Jangan! Kamu nggak boleh begitu padaku. Kamu janji bakal
Itu artinya, Jason tidak bisa mengancamnya lagi.Janice menghampiri staf dan bertanya, "Permisi, aku mau tanya, Pak Jason buat baju untuk siapa ya?"Kedua staf itu seperti melihat setan. Mereka terperanjat. "Bu, kamu belum pergi?""Belum. Kebetulan aku mendengar obrolan kalian tadi.""Kamu salah dengar. Permisi, kami masih punya kerjaan."Kedua staf itu langsung kabur. Sepertinya, dia tidak bisa mendapat informasi apa pun. Janice hanya bisa menghela napas.....Janice awalnya ingin pulang dan menyerahkan gaunnya kepada Ivy. Namun, di mobil, dia tiba-tiba mendapat telepon dari Hamdan."Janice, kenapa kamu belum pindah dari asrama? Semua orang sudah pindah. Kalian sudah magang sekarang. Asrama akan direnovasi untuk siswa baru. Cepat kemasi barang-barangmu.""Ya, aku sudah tahu."Janice baru teringat pada pesan di grup obrolan dua hari lalu. Mereka menyuruhnya untuk pindah. Karena terus memikirkan desain untuk Sera, dia jadi lupa masalah ini.Hamdan berujar dengan kesal, "Besok sudah haru
Jason! Suara rendahnya terdengar sangat tenang. Dengan kedua lengannya yang kuat, dia mengangkat Janice dengan mudah.Janice mendongak dan pandangannya bertemu dengan sepasang mata yang misterius. Dalam sekejap, dia terdiam kebingungan.Bukankah yang seharusnya datang adalah Ivy?Kakinya yang telanjang menyentuh lantai, dinginnya ubin keramik menyebar ke seluruh tubuh dan membuatnya tiba-tiba tersadar."Mana ibuku?""Kakinya keseleo," jawab Jason dengan dingin."Aku bisa panggil taksi sendiri, nggak perlu repotin Paman."Setelah Janice selesai berbicara, dia berbalik dan melompat dengan satu kaki. Di belakangnya, Norman memegangi kepalanya sambil mengangkat sebuah sepatu. "Bu Janice, sepatumu," panggilnya."Nggak butuh lagi ... ah ...!"Embun pagi menutupi permukaan ubin dengan tetesan-tetesan air. Janice baru melompat dua kali sebelum terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh.Sebuah tangan menangkapnya dan menariknya kembali. Dia terhuyung keras ke arah dada
Janice merasa wajahnya memanas mendengar ucapan ibu penjaga tadi. Dia berusaha menjelaskan, "Bu, bukan begitu ...."Namun, Jason berjalan menaiki tangga dengan membawa Janice bersamanya, sehingga suaranya hilang setelah mereka berada di lantai atas. Janice melirik Jason dengan curiga. Apakah tadi dia melihat ada sekilas senyuman di mata pria itu? Namun, saat dia memperhatikan lebih dekat, tatapan Jason tetap dingin dan serius seperti biasanya.Tentu saja, itu hanya ilusi.Saat mereka sampai di lantai berikutnya, Janice mulai meronta pelan. "Paman, turunkan aku. Aku bisa jalan sendiri. Lagi pula, kamarku cukup tinggi."Jason tidak berkata apa-apa, melainkan tetap melanjutkan langkahnya ke atas. Janice berpikir keras, lalu menunjuk ke arah lantai paling atas. "Aku tinggal di lantai enam. Kamu pasti capek kalau harus naik setinggi itu.""Tiga."Janice terkejut. "Kenapa kamu tahu?"Jason berhenti sejenak, tatapannya semakin tajam saat memandang Janice. "Menurutmu?"Janice memekik, "Kamu se
Janice terkejut dengan sisi Jason yang asing ini. Napasnya memburu saat dia mencoba mendorong Jason menjauh. Namun, Jason menangkap pergelangan tangannya. Jari-jarinya menggosok bagian bekas luka bakar yang sudah sembuh di pergelangan itu."Sudah sembuh?" tanyanya dengan nada malas.Janice memalingkan wajahnya karena enggan menjawab. Jason mengangkat tangannya, memaksa wajah Janice kembali menghadapnya, dan mencubitnya dengan pelan."Bisa bicara baik-baik sekarang?" tanyanya."Paman, kamu lupa? Aku itu keras kepala," balas Janice dengan nada kesal.Jason menopang kedua tangannya di meja, lalu menundukkan kepala sambil menahan tawa di tenggorokannya. "Kalau aku bicara baik-baik, kamu nggak mau dengar. Tapi omongan beginian malah kamu ingat dengan jelas."Nada suaranya kali ini ringan, bahkan membawa kesan santai yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.Janice bingung harus menjawab apa. Padahal, suasana di antara mereka tadinya terasa sangat tegang. Dia menundukkan matanya, memilih u
Jason berdiri di depan kepala asrama untuk menghalangi langkahnya. "Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin.Kepala asrama langsung berubah menjadi lebih segan. "Pak Jason, begini, gedung ini rencananya akan direnovasi untuk digunakan oleh mahasiswa baru angkatan berikutnya. Tapi Janice belum juga pindah. Aku tahu, dia ini perempuan dan mungkin sulit untuk memindahkan barang-barangnya, jadi aku panggil tiga satpam untuk membantunya."Dia tersenyum dengan munafik, tapi tidak berani menatap Jason secara langsung, terutama saat menyebutkan tiga satpam tadi. Nada bicaranya terdengar lemah, menunjukkan ada sesuatu yang dia sembunyikan.Sepertinya dia tahu identitas asli ketiga satpam itu. Namun, kenapa dia melakukan hal seperti ini? Janice baru saja ingin bertanya tentang identitas ketiga pria tersebut, tapi Jason memotongnya."Nona kedua Keluarga Karim nggak perlu minta bantuan orang lain," ucap Jason dengan nada dingin."Apa? Nona kedua?" Kepala asrama terkejut hingga membelalakkan matanya.
Begitu mobil tiba di depan apartemen, ponsel Jason berdering. Janice mendengar suara dering itu dan meliriknya sejenak. Seperti yang dia duga, panggilan itu dari Vania.Setelah kepala asrama dan para satpam gagal, kini Vania tidak sabaran untuk ikut campur. Tidak akan ada yang percaya jika mengatakan bahwa Vania tidak terlibat dalam masalah ini. Namun, Jason mungkin percaya.Saat panggilan diangkat, terdengar suara Vania yang penuh terisak di ujung telepon. Janice duduk di dekat jendela, jadi dia tidak mendengar dengan jelas. Dia hanya bisa menangkap nada suara bicara Vania yang seolah-olah sangat tersiksa.Jason berkata dengan nada lembut, "Aku akan segera datang."Saat itu, mobil baru saja berhenti. Janice yang tidak ingin mendengar lebih jauh lagi, langsung membuka pintu dan keluar. Namun, Jason menahan tangannya. "Aku ada urusan, jadi nggak bisa turun. Aku akan suruh sopir untuk bantu kamu pindahin barang-barang.""Oke," jawab Janice singkat sambil melepaskan tangannya dengan agak
Karakter dalam komik itu fiktif dan gambar anak kecil itu juga hanya mirip dengan Vega sekitar 70% sampai 80% saja. Oleh karena itu, tidak bisa dibilang identik dan tidak termasuk dengan pelanggaran privasi juga. Namun, Louise sangat menyukai Vega, tentu saja tidak ingin mempersulit Janice. "Kalau begitu, nanti aku akan klarifikasi dan ubah penampilan bayi itu.""Baiklah," jawab Janice.Begitu percakapan keduanya selesai, televisi di dinding ruang tamu penginapan tiba-tiba menayangkan berita yang sedang viral. Berita itu berisi gambaran Jason yang memapah Rachel masuk ke dalam rumah sakit, sedangkan Rachel terlihat bergerak dengan sangat pelan. Reporter berspekulasi program kehamilan mereka sudah berhasil.Saat melihat gambaran di layar televisi, Janice langsung tercekat. Setelah dia pergi, Anwar selalu mencari kesempatan di berbagai acara untuk mengumumkan pasangan suami istri itu sedang berusaha memiliki anak. Belakangan ini, Rachel juga ikut mengiakan kabar itu. Dia berpikir seperti
Di Moonsea Bay.Janice baru saja menyerahkan kalung yang didesainnya untuk istri Hady si kurir itu.Hady tersenyum dan berkata, "Apa Vega sebentar lagi akan jadi seleb ya?"Janice yang kebingungan pun bertanya, "Apa maksudmu?""Istriku lihat gambar Vega saat sedang melihat-lihat video. Dia bilang sekarang banyak orang yang bilang dia mirip seseorang yang sangat terkenal ... namanya aku sudah lupa."Setelah mengatakan itu, perhatian Hady langsung tertuju pada kalung di dalam kotak. "Wah. Nona Janice, kamu benar-benar hebat. Aku nggak menyangka hanya dengan empat jutaan saja sudah bisa membeli kalung yang begitu bagus. Istriku pasti suka."Hady menutup kotaknya dengan hati-hati, lalu menyimpannya ke dalam saku di dalam jaketnya.Namun, Janice masih memikirkan perkataan Hady tadi. "Hady, gambar Vega apa yang tadi kamu maksud?""Itu komik yang digambar Nona Tukang Jerit di penginapanmu. Istriku bilang ceritanya sangat lucu dan karakter bayi yang baru muncul itu yang begitu mirip dengan Veg
Tanpa perlu dijelaskan, Norman tahu Arya pasti mengerti orang yang dimaksudnya adalah Janice. Dia meminta Arya melakukan itu karena merasa foto itu mungkin bisa membantu Jason di saat krusial.Saat terpikir Jason, Arya tersenyum pahit. Dia adalah orang yang paling mengerti kondisi Jason selama tiga tahun ini. Hanya saja, rencana seperti ini sering tiba-tiba berubah.Setelah mengajukan cuti dan hendak memesan tiket pesawat ke Kota Genggi, ponsel Arya tiba-tiba menerima pesan dari Zion.[ Aku menemani tuan mudaku dinas ke Kota Genggi. Bagaimana kalau aku terbang ke Kota Pakisa untuk bertemu denganmu? Tenang saja, aku nggak membawa anak. ]Arya langsung menyadari Zion juga sudah tahu dan merasa ada firasat buruk.Firasat buruk Arya memang benar. Pada detik berikutnya, Norman pun menerima perintah dari Jason. "Pak Jason sudah tahu Pak Landon pergi ke Kota Genggi. Dia suruh aku mengatur perjalanannya ke sana juga.""Habis sudah ...." Arya langsung merasa kesulitan.Keduanya pun akhirnya sep
Lima menit kemudian, Arya sudah terikat di kursi kantornya. Dia menatap Norman dan berkata sambil tersenyum, "Jangan main-main lagi, sebentar lagi aku harus keliling kamar pasien."Norman bersandar di meja dan berkata dengan ekspresi serius, "Minggu ini giliranmu jaga klinik, jadi kamu nggak perlu keliling kamar pasien. Jangan harap bisa menghindar. Cepat katakan, itu anak siapa?""Punya Zion," jawab Arya dengan sangat serius dan tegas.Sudut bibir Norman berkedut, lalu mengernyitkan alisnya dan berkata, "Kamu tahu maksudku."Arya mengalihkan pandangannya. "Hanya komik, kebetulan saja.""Kalau hanya kita bertiga yang mirip dengan karakter di komik itu, masih bisa dibilang kebetulan. Tapi, penampilan anak kecil itu hanya kamu, aku, dan Pak Jason saja yang tahu, siapa yang bisa gambar sampai begitu detail? Kecuali dia benar-benar ada. Perlu aku teruskan lagi?" jelas Norman."Bisakah kamu nggak seperti Pak Jason? Aku benar-benar nggak tahu," kata Arya sambil memalingkan wajahnya dengan gu
Saat Janice mengatakan itu, Louise merasa makin bersemangat. "Aku tiba-tiba dapat inspirasi, aku naik ke atas dulu."Melihat Louise berlari dengan cepat, Janice juga tidak terlalu memikirkannya karena kebetulan jam di dinding menunjukkan sudah waktunya untuk menjemput anak. Dia berjalan kaki menuju TK di kota. Pukul setengah empat, kelas penitipan anak pun pulang terlebih dahulu. Seorang anak kecil memakai topi kuning dan rambutnya dikepang dua berlari terhuyung-huyung ke arahnya."Mama, aku rindu kamu," kata Vega.Janice menggendong Vega, lalu mengeluarkan sebuah permen dari sakunya. "Guru bilang hari ini kamu paling baik, jadi ini hadiah untukmu.""Wah. Mama, terima kasih," kata Vega dengan sepasang mata yang terlihat bersinar, bahkan sempat mengecup pipi Janice.Setiap kali Vega mengecupnya seperti ini, Janice selalu merasa sangat bersyukur telah pergi dari kehidupan sebelumnya karena sekarang Vega akhirnya kembali lagi ke sisinya. Tanpa kehidupan yang mewah sekaligus menyesakkan se
[ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Jason menatap tulisan itu cukup lama sebelum akhirnya kembali tersadar. Tenggorokannya kering, suaranya serak saat berkata, "Tega sekali ...."Seolah-olah sudah bisa menebak isi surat itu, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Jason lantas meletakkan kedua surat itu berdampingan, mengambil dua gelang kapibara dari dalam lemari.Plak. Suara kecil terdengar saat gelang itu melingkar erat di pergelangan tangannya. Dia mengepalkan tangannya, menatap lekat-lekat dua kalimat yang menghantam hatinya.[ Kita jadian yuk. ][ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Seakan-akan baru saja mendapatkan sesuatu di detik sebelumnya, lalu langsung kehilangan di detik berikutnya.Wajah Jason perlahan memucat, matanya memerah. Dia menunduk sedikit untuk menyembunyikan kesedihannya."Janice, kembalilah."....Tiga tahun kemudian, di Moonsea Bay. Kurir bernama Hady sedang mengangkat paket-paket ke dalam mobil."Bu Janice, sepertinya tahun ini toko online-mu la
Kebetulan tangannya menyentuh kunci itu. Kira-kira, kunci yang satu lagi untuk apa?Jason mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tetapi tidak melihat lemari yang terkunci. Dia pun berdiri dan melangkah ke kamar utama, ruangan yang paling tidak ingin dia buka. Meskipun sudah berlalu begitu lama, aroma Janice masih memenuhi setiap sudut ruangan.Pandangannya akhirnya tertuju pada satu-satunya lemari di sudut ruangan yang tidak ditutupi kain penutup debu, seolah-olah sedang menuntunnya.Jason membawa kunci itu mendekat dan membukanya dengan mudah. Yang terpampang di depan adalah semua hal yang berkaitan dengan dirinya dan Janice. Janice tidak membawa apa pun.Bahkan, gelang kapibara yang mereka menangkan bersama di pasar malam bertahun-tahun lalu pun masih ada di sana.Dua gelang itu tersimpan di dalam lemari, masing-masing menekan dua pucuk surat. Satu surat beramplop merah muda sudah tampak memudar warnanya, jelas sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu.Yang satu lagi hanya amplop
Jason sangat paham arti sebenarnya dari desakan Anwar soal anak. Selain untuk mengikatnya, itu juga cara agar Keluarga Karim dan Keluarga Luthan terikat erat satu sama lain.Jason tidak akan membiarkan Anwar mendapatkan apa yang dia inginkan. Karena itulah, dia sudah mempersiapkan segalanya sejak awal.Saat ini, seluruh ruang makan menjadi hening. Bahkan saat sendok di tangan Rachel jatuh ke lantai, tidak ada yang bereaksi.Semua orang tahu Ivy tidak bisa punya anak, sementara Zachary lebih memilih terus diserang daripada menceraikannya. Jadi, satu-satunya harapan garis keturunan Keluarga Karim ada pada Jason.Kini, Jason telah melakukan vasektomi. Itu artinya, dia benar-benar memutus harapan Anwar.Dada Anwar naik turun. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, "Jangan bercanda seperti itu. Aku cuma seorang ayah yang ingin melihat cucuku lahir dengan mataku sendiri.""Kamu sudah punya cucu. Namanya Yoshua. Lupa secepat itu?" timpal Jason dengan datar."Yang sudah berl
"Kenapa aku merasa Jason sekarang lebih pendiam dari sebelumnya?""Katanya tahun pertama pernikahan itu manis seperti madu, tapi lihat deh dia, apa kelihatan kayak pengantin baru?""Shh!"Seseorang menegur pelan.Dua orang yang sedang berbicara itu langsung diam saat melihat Rachel berjalan pelan di belakang Jason.Rachel mendengarnya, menggigit bibir sambil mempertahankan senyum di wajahnya.Saat makan siang, semua orang duduk sesuai dengan tempat duduk yang sudah ditentukan. Zachary dan Ivy memandangi ruangan, baru melihat nama mereka di pojok ruangan.Kebetulan saat itu Elaine masuk, menatap posisi duduk di barisan depan, lalu melihat ke arah mereka berdua dan mengejek dengan tawa sinis.Zachary menatap Ivy dengan pasrah. "Kalau kamu nggak enak badan, aku bisa minta orang antar kamu pulang dulu."Ivy tersenyum. "Nggak apa-apa. Dulu kita makan jajanan di pinggir jalan juga santai saja, 'kan? Di sini juga tenang. Kamu itu bagian dari Keluarga Karim, nggak usah bikin keadaan tambah can