Air hangat mengalir ke tenggorokannya, meredakan rasa perih yang mengganggunya sejak tadi. Tubuh Janice mulai merasa lebih nyaman. Jari-jari hangat menyentuh bibirnya dan mengusapnya perlahan, seolah sedang menyentuh sesuatu yang berharga.Pria itu semakin mendekat. Napasnya yang hangat berembus di wajah Janice. Tanpa sadar, Janice menahan napas. Meskipun penglihatannya kabur, dia bisa merasakan betapa dekatnya sosok itu. Begitu dekat, hingga jika dia bergerak sedikit saja, bibir mereka akan bersentuhan.Namun, tepat saat itu, efek obat mulai bekerja sepenuhnya. Tubuhnya kehilangan tenaga, membuatnya langsung terjatuh kembali ke sofa.Tak lama kemudian, tubuh tegap itu menunduk dan memeluknya erat. Di telinganya, suara detak jantung pria itu terdengar jelas, ritmenya stabil dan menenangkan. Tanpa sadar, sesuatu yang lembut menyentuh dahinya."Tidurlah."Suara rendah dan dalam itu terdengar seperti mantra yang membawa Janice tenggelam dalam tidur nyenyak.Saat membuka mata lagi, yang pe
Naura menunjuk ke arah jas yang dikenakan Landon.Saat itu juga, Janice baru menyadari bahwa jas yang dipakai Landon terlihat sangat mirip dengan yang dikenakan Jason saat mengantarnya pulang waktu itu ketika Jason menyembunyikan wajahnya.Meskipun ada perbedaan kecil dalam detailnya, bagi orang awam, keduanya terlihat hampir sama. Ditambah lagi, bentuk tubuh Landon dan Jason hampir serupa, jadi tidak heran Naura salah mengenali."Kak Naura, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," Janice buru-buru menjelaskan.Namun, Naura tidak mau mendengar. Dia berdiri di depan Janice dengan sikap hendak melindungi Janice. "Janice! Kamu sudah janji sama aku bahwa kamu nggak akan kembali sama mantanmu!""Mantan?"Landon menatap Janice dengan ekspresi penuh arti, seulas senyuman samar muncul di sudut bibirnya. Janice yang baru saja mulai merasa baikan, tiba-tiba ingin pingsan lagi di tempat.Dengan penuh keyakinan, Naura melanjutkan, "Pak, percuma kamu datang sekarang! Waktu Janice benar-benar membutuh
Naura mengira Janice sudah lupa, jadi dia berbalik ke dapur dan mengambil sesuatu, lalu meletakkannya di depan Janice. Benda itu adalah sebuah jam tangan pria. Desainnya sederhana, tetapi harganya selangit.Janice langsung mengenalinya. Jam tangan itu milik Jason. Sebab ... dia sendiri memiliki versi wanitanya yang sama persis. Namun, tadi malam saat dia membereskan dapur, jam tangan ini tidak ada di sana.Kecuali ... orang yang menemaninya selama dia demam adalah Jason. Landon tidak pernah mengatakan bahwa dia yang memasak bubur untuk Janice. Itu hanya asumsi Janice semata.Mengingat semua yang terasa seperti mimpi, tangan Janice sedikit gemetar, hingga tanpa sengaja menumpahkan teh jahe dari cangkirnya.Naura segera mengambil tisu dan menyeka tumpahan itu. "Kenapa kamu?"Namun, Janice tidak menjawab. Dia menoleh ke luar jendela, lalu tiba-tiba meraih jam tangan itu dan bergegas keluar. Di dalam lift, dia menatap angka-angka yang turun satu per satu.Sambil bersandar pada dinding lift
Jason tidak menjawab. Dia langsung menarik Janice ke dalam mobil.Di luar, pemandangan terus berubah dengan cepat. Entah setelah berapa lama berlalu, sampai akhirnya salju mulai turun lagi.Saat mobil berhenti dan pintu terbuka, lapisan salju yang lebih tebal sudah menyelimuti tanah.Begitu Janice turun, sebuah mantel kasmir telah diletakkan di pundaknya. Aroma familier dari pria di sampingnya langsung menyelimutinya.Begitu tersadar, dia telah berdiri di depan sebuah vila yang begitu megah. Meski sekarang telah tertutup salju, taman luas di sekelilingnya masih tampak seperti tempat yang berasal dari dongeng.Mudah membayangkan bagaimana tempat ini terlihat saat dipenuhi bunga yang bermekaran. Namun, Janice sudah mengetahui gambaran itu. Sebab, tempat ini adalah rumah tempat dia membakar diri di kehidupan yang lalu.Selama delapan tahun pernikahan, tempat ini bagaikan penjara yang megah.Janice menatap rumah itu sambil bertanya dengan nada dingin, "Apa maksudmu?"Jason memicingkan mata
Mendengar kata "api", Jason kembali tercengang. Dia teringat bahwa gadis kecil dalam mimpinya itu sangat membencinya.Di tengah malam, semua mimpinya selalu berakhir sama. Gadis kecil itu berlari ke dalam rumah yang terbakar sambil menggandeng seorang wanita yang bersosok samar. Keduanya saling berpandangan dan tersenyum, lalu menghilang dari mimpinya.Janice memanfaatkan kesempatan ini untuk melepaskan diri dari Jason dan berdiri dalam jarak beberapa langkah darinya.Dengan kemarahan yang bercampur dengan permohonan, Janice berkata, "Paman, aku memang nggak bisa menang melawanmu. Apa kalian masih belum cukup menghinaku? Apa kamu benar-benar baru bisa puas kalau semua orang memarahiku sebagai wanita murahan?"Usai bicara, Janice langsung berbalik dan pergi.Jason mengulurkan tangan hendak menariknya, tetapi dia hanya berhasil meraih mantel yang tersampir di pundak Janice.Janice melepas mantel itu dengan tegas dan pergi tanpa menoleh sama sekali. Sosoknya menghilang di tengah salju yan
Rachel tidak menyadari kejanggalan dari ucapan Janice. Dia langsung mengeluarkan ponsel dan berkata, "Lihat nih, kami foto banyak sekali. Aku mau pakai foto ini di acara tunangan dan pernikahan nanti. Kamu bantu aku pilih dong."Janice melirik sekilas ponsel Rachel. Senyum kedua orang itu di dalam foto tampak sangat mencolok. Rachel adalah nona kaya yang dirawat dengan penuh cinta kasih. Ketenangan dan kelembutan yang ada dalam dirinya terpancar begitu alami.Saat tersenyum, auranya begitu menular. Bahkan Jason yang biasanya selalu dingin, terlihat lebih santai saat berdiri di sisinya.Mereka benar-benar serasi. Setiap foto yang diambil tampak begitu sempurna. Namun, Janice justru merasa tidak nyaman. Matanya tidak tahu harus menatap ke mana."Semuanya bagus, kok. Kalian putuskan saja." Janice tersenyum, lalu mengalihkan pembicaraan, "Oh ya, kenapa kamu cari aku?""Oh, iya. Aku terlalu senang sampai lupa. Jepitan dasi yang kamu desain untuk kakakku bagus sekali. Sekarang dia pakai jepi
Gaun pengantin?Saat mendengar dua kata itu, Janice merasa ironis. Ditambah dengan waktu Vania mencoba gaun pengantin, ini sudah kedua kalinya. Selain itu, keduanya adalah pasangan Jason. Seolah-olah semua pernikahan ini tidak akan bisa berlangsung tanpa kesaksian darinya.Janice menatap Rachel. Dia tersenyum dengan bahagia, polos, tanpa tipu muslihat seperti Vania. Undangannya juga memang tulus.Justru karena itulah, Janice semakin merasa dirinya seperti orang jahat. Dia ingin mencari alasan untuk menolak, tetapi saat hendak membuka mulut, ponselnya bergetar.Tiba-tiba, sebuah firasat buruk muncul di benaknya.Benar saja. Begitu dia membuka layar, ada pesan dari Ivy.[ Pak Anwar minta aku bantu siapin pesta pertunangan Jason dan Rachel. ]Janice sontak merasa sesak. Apakah Ivy akan berakhir dengan menyinggung Keluarga Luthan dan Karim, atau baik-baik saja, semua bergantung pada sikapnya.Janice mengetik pesan dengan tangan gemetar.[ Aku tahu. ]Rachel sepertinya menyadari sesuatu, se
Mendengar Janice tidak mengubah panggilannya, Landon mengerti bahwa Janice ingin menjaga jarak darinya. Namun, Landon tidak kuasa menahan rasa penasarannya terhadap Janice.Dia bergerak mendekati Janice. Ada aroma teh yang samar dari tubuh Janice, ringan, tetapi sangat menenangkan.Janice yang menunggu jawaban darinya akhirnya menoleh, tetapi begitu sadar bahwa jarak di antara mereka terlalu dekat, dia buru-buru mundur sedikit dan mengingatkannya, "Pak Landon?"Landon baru tersadar. Saat menunduk melihat sisi wajah Janice, matanya tampak kelam dan dia berusaha menekan emosinya. "Boleh."Janice bergumam sejenak, lalu menjauhkan jarak antara mereka. Saat hampir tiba di restoran, ponsel Landon berdering. Di layarnya tertera nama Rachel."Kenapa? Kamu ini ya, selalu saja kelupaan." Landon berhenti beberapa detik, lalu melirik ke arah Janice. "Sekarang aku lagi sibuk."Mungkin karena suasana di mobil terlalu hening, Janice bisa mendengar suara Rachel dari ujung telepon dengan jelas."Kak, j
"Kenapa aku merasa Jason sekarang lebih pendiam dari sebelumnya?""Katanya tahun pertama pernikahan itu manis seperti madu, tapi lihat deh dia, apa kelihatan kayak pengantin baru?""Shh!"Seseorang menegur pelan.Dua orang yang sedang berbicara itu langsung diam saat melihat Rachel berjalan pelan di belakang Jason.Rachel mendengarnya, menggigit bibir sambil mempertahankan senyum di wajahnya.Saat makan siang, semua orang duduk sesuai dengan tempat duduk yang sudah ditentukan. Zachary dan Ivy memandangi ruangan, baru melihat nama mereka di pojok ruangan.Kebetulan saat itu Elaine masuk, menatap posisi duduk di barisan depan, lalu melihat ke arah mereka berdua dan mengejek dengan tawa sinis.Zachary menatap Ivy dengan pasrah. "Kalau kamu nggak enak badan, aku bisa minta orang antar kamu pulang dulu."Ivy tersenyum. "Nggak apa-apa. Dulu kita makan jajanan di pinggir jalan juga santai saja, 'kan? Di sini juga tenang. Kamu itu bagian dari Keluarga Karim, nggak usah bikin keadaan tambah can
Setelah bertemu dengan pemilik penginapan, Janice mengatakan bahwa dia ingin menginap dulu di penginapan tersebut.Pemiliknya tampak ketakutan karena insiden bunuh diri wanita sebelumnya. Melihat Janice datang sendirian, tatapannya pada Janice terlihat aneh. Bukan karena nafsu, melainkan karena takut Janice mati di penginapannya tanpa ada yang tahu.Pemilik penginapan pun berbaik hati mengajak Janice tinggal di properti lain miliknya yang tidak dekat dengan pantai.Saat memberikan kunci, dia bahkan menasihati, "Kamu masih muda dan cantik, harus bisa move on. Di dunia ini masih banyak pria."Janice sudah berkali-kali menjelaskan bahwa dia tidak ada niat bunuh diri, tetapi si pemilik tetap tak percaya.Keesokan harinya, setelah Janice menandatangani kontrak sewa, dia baru percaya bahwa Janice memang serius menyewa tempat itu. Dia bahkan bersikap sopan dan mengajak Janice sarapan bersama.Setelah sarapan, Janice mulai menjelajah layaknya seorang turis. Saat waktu di luar negeri sudah sama
Pada suatu liburan musim panas, Ivy tiba-tiba dipecat tanpa alasan yang jelas. Kebetulan saat itu Janice jatuh sakit parah. Pengobatannya menghabiskan banyak uang.Ivy menangis sepanjang malam. Sebelum fajar menyingsing, dia sudah menggandeng Janice berdiri di pinggir jalan tol menunggu kendaraan.Dia bahkan bersumpah tak akan membiarkan siapa pun menemukan mereka. Namun, setelah kabur seminggu, lokasi mereka terdeteksi karena tempat penginapan.Zachary pun menjemput mereka pulang. Kalau diingat sekarang, Janice ingin tertawa.Saat sedang tenggelam dalam kenangan, sebuah bus besar berhenti di depannya. Katanya ada pemeriksaan sebelum masuk tol, tetapi orang-orang di sekitar sudah naik dan memasukkan barang ke dalam bagasi.Janice sendiri tak punya tujuan tertentu. Yang penting bisa membawanya keluar dari Kota Pakisa.Dia menarik masker dan ikut naik ke dalam bus. Setelah membayar, dia memilih tempat duduk kosong secara acak.Tak disangka, penumpang dalam bus itu cukup ramai meskipun ha
Rachel mencengkeram baju Jason seolah-olah menggenggam cahaya terakhir dalam hidupnya. Sampai akhirnya, Jason perlahan menunduk dan mendekatinya.Air mata berlinang di wajah Rachel, seberkas harapan terpancar dari tatapannya. Rachel yakin, Jason tidak akan meninggalkannya begitu saja.Namun, detik berikutnya, hatinya seakan-akan tenggelam ke dalam danau es.Jason menggenggam tangannya, melepaskannya satu per satu. Suaranya datar, dingin seperti es. "Aku akan menemanimu sampai akhir. Hanya itu. Itu adalah utangku padamu."Rachel menatap tangannya yang terlepas perlahan. Air matanya jatuh makin deras. Dia tak sanggup menerima. Benar-benar tak sanggup.Karena tahu hidupnya tidak akan lama lagi, dia makin terobsesi pada apa yang benar-benar dia inginkan. Sekarang, satu-satunya yang dia pedulikan hanyalah Jason.Mau itu egois, mau itu obsesi, dia hanya ingin Jason tetap bersamanya. Dengan tidak rela, Rachel kembali menarik Jason dan akhirnya mengucapkan alasan sebenarnya kenapa Jason bersed
Sebelum dia sempat berbicara, lengannya sudah lebih dulu dicengkeram erat oleh pria itu. Dengan suara benturan keras, sepanci sup hangat yang baru saja matang langsung tumpah.Tatapan Jason tajam, jemarinya menegang, matanya merah, auranya penuh kemarahan dan niat membunuh. "Kenapa kamu harus mencarinya?"Rachel mendongak dengan kesakitan, menatap pria yang mengerikan itu dengan air mata mengalir. "Jarang sekali aku melihatmu sepanik ini. Kamu marah? Kalau marah, lampiaskan saja padaku!"Melihat air matanya, Jason seperti melihat kutukan yang memaksanya melepaskan cengkeramannya. Namun, Rachel malah menangis semakin keras. Dia melangkah pelan, ingin mendekatinya.Jason justru mundur dua langkah, menghindari sentuhannya. Mata hitam legamnya redup, seperti tenggelam dalam kabut yang hening, memandang Rachel seperti menatap laut tanpa gelombang.Rachel terisak-isak. "Kamu bahkan nggak mau marah padaku? Kenapa kamu rela melakukan apa saja demi dia?""Kakakku bantu Janice cari apartemen, la
Di bandara, Landon mengulurkan tangan untuk mengambil koper Janice. "Janice, aku minta maaf. Aku benar-benar nggak tahu Rachel bisa sebodoh itu.""Nggak apa-apa, toh aku juga akan pergi. Malah harus terima kasih karena kamu sudah menyiapkan semuanya untuk keberangkatanku secepat ini."Tatapan Janice tenang, tetapi dari sudut matanya, dia terus melirik ke arah luar bandara.Landon tahu dia masih belum rela pergi. Mungkin belum rela meninggalkan tempat di mana dia tumbuh, atau keluarga, atau mungkin seseorang.Landon mencoba menenangkan, "Mau telepon dulu sebentar buat pamitan?"Janice mengalihkan pandangan dan menggeleng. "Nggak usah. Ibuku itu cengeng, sekali nangis nggak bisa berhenti. Aku nggak sanggup dengarnya."Meskipun begitu, suara Janice terdengar serak dan menahan tangis. Bahkan untuk mengucapkan selamat tinggal pada ibunya pun tidak bisa, mana mungkin dia bisa merelakan semudah itu?Setelah Janice menenangkan diri, Landon berkata dengan lembut, "Ayo, aku sudah minta Zion siap
"Awalnya aku berniat membawa semua ini masuk ke liang kubur, nggak akan pernah kukatakan. Tapi tadi, waktu kamu bicara ke anak kecil itu, aku seperti baru terbangun dari mimpi.""Aku tersesat begitu lama, sampai lupa kalau dulu aku menolong dia bukan karena mengharapkan balasan, tapi karena aku benar-benar mencintainya."Rachel tersenyum, tampak bahagia dan penuh rasa puas. Dia menopang wajahnya dengan kedua tangan, seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta pada Jason."Kamu tahu nggak? Sebenarnya dia nggak secuek itu. Dia suka bantu orang, kadang senyumannya juga luar biasa manis. Dia cuma nggak suka banyak bicara.""Hm." Janice mengangguk. Dia tahu.Rachel tersenyum getir. "Tentu kamu tahu. Kalian sudah kenal lama. Jadi, Janice, bisakah kamu jangan rebut dia dariku? Aku benar-benar nggak bisa melepaskan dia."Janice menatap Rachel dan menjelaskan pelan, "Kalian itu suami istri, nggak ada yang bisa rebut dia darimu.""Bukan, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kamu ...." Senyuman Rac
Janice terkejut mendengar suara Rachel. Gelas sudah menempel di bibirnya. Dia tidak tahu harus meminumnya atau tidak.Rachel melanjutkan, "Pura-pura minum, lalu taruh pelan-pelan."Janice tidak memahami maksudnya, tetapi tetap menurut. Dia berpura-pura mengangkat kepalanya seperti sedang minum, lalu perlahan meletakkan kembali gelas itu ke meja.Dengan suara pelan, Janice bertanya, "Kenapa?"Rachel tersenyum getir. "Karena di dalam jus itu ada obat penggugur kandungan."Tangan Janice yang menggenggam gelas langsung mengencang, hampir ingin melemparkannya. Akan tetapi, dia tidak bisa menebak maksud Rachel sekarang, jadi tidak berani bertindak sembarangan.Rachel tetap berbicara seperti sedang mengobrol santai, "Tenang saja. Dosisnya nggak cukup buat langsung bikin kamu keguguran. Paling cuma bikin tanda-tanda awal, kayak nyeri perut sedikit."Mendengar Rachel mengucapkan kata-kata itu dengan tenang, bulu kuduk Janice berdiri. Dia pun merasa panik. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa R
Saat itu juga, pegawai toko kue memecah keheningan yang canggung dan berat di antara mereka."Kak, jus dan red velvet cheesecake-nya, silakan dinikmati.""Terima kasih."Janice menunduk, lalu mulai mengaduk jusnya perlahan dengan sendok panjang, memutar-mutar potongan buah di dalamnya.Rachel menatap makanan di depannya sekilas. Dengan nada seperti menginterogasi, dia bertanya, "Anak itu ... anak siapa?"Kling! Suara nyaring terdengar saat sendok di tangan Janice menabrak dinding gelas. Namun, dia sama sekali tidak berhenti, tetap lanjut mengaduk, seperti tidak terjadi apa-apa.Dari luar, Janice tampak tenang. Di mata Rachel, itu justru terlihat seperti upaya menyembunyikan sesuatu.Wajah Rachel yang pucat menjadi merah karena emosi. Dengan geram, dia berucap, "Jadi, kamu memang hamil."Dada Janice naik turun. Dia tidak tahu bagaimana Rachel bisa tahu tentang kehamilannya. Yang dia tahu sekarang adalah kalaupun Rachel membawa hasil USG dengan namanya tertulis di situ, dia tetap harus t