Ternyata dugaan mereka meleset. Setelah Arya dan Norman menghabiskan setengah bungkus camilan sambil mengobrol, Janice dan Jason akhirnya membawa makanan ke meja.Setelah menunggu sekian lama, yang tersaji hanyalah kentang tumis, telur orak-arik tomat, dan udang bawang putih. Beberapa udangnya bahkan gosong.Arya berdecak. "Aku rasa kalian sudah kenyang sebelum makan."Jason meletakkan sendoknya. "Pintu ada di sana. Silakan pergi, aku nggak akan mengantar.""Jangan dong, aku cuma bercanda." Arya buru-buru mengambil piringnya, lalu berucap, "Janice, terima kasih atas makanannya."Mungkin karena kehadiran Arya, rumah ini terasa tidak terlalu dingin bagi Janice. Dia tersenyum ringan. "Makanlah."Di tengah makan, Janice mengambil ponselnya. "Ibuku bilang pencuri itu sudah ditemukan. Dia juga sudah keluar dari rumah sakit. Katanya tinggal tiga hari sebelum tahun baru, dia ingin aku pulang untuk menemuinya. Kebetulan aku juga ada kerjaan yang harus diselesaikan.""Kerjaan apa?" tanya Arya de
Namun, saat tersenyum, pandangannya perlahan menjadi kabur. Tak disangka, Jason masih mengingatnya.Dalam ingatannya, setiap tahun baru, Jason selalu menjadi orang pertama yang memberinya angpau.Di hari-hari saat Janice masih diam-diam menyukainya, inilah saat yang paling dia nantikan. Karena hari itu, dia bisa berbicara banyak dengan Jason, membuatnya merasa dirinya adalah orang yang istimewa.Namun, semua akan berakhir hari ini. Janice menggenggam angpau itu dan menunduk. Air matanya jatuh, membasahi amplop merah di tangannya.Dia menutup mulutnya rapat-rapat, takut Jason mendengar isak tangisnya. Satu jam kemudian, dia sudah mengenakan pakaian dan perhiasan yang diberikan Jason.Mantel panjang berkerah yang berwarna merah dengan ikat pinggang panjang yang menjuntai di sisi, tampak anggun sekaligus meriah. Kalung mutiara yang dipakai pun menambahkan kesan klasik.Saat Jason turun dari lantai atas, Janice kebetulan sedang meletakkan sarapan di atas meja."Aku baru saja mau memanggilm
Janice berjalan masuk bersama Ivy. Di sepanjang jalan, mereka bertemu dengan banyak anggota Keluarga Karim. Ivy menyapa mereka satu per satu, tetapi orang-orang itu hanya menanggapi dengan dingin, bahkan lebih dingin daripada sebelumnya.Janice mengernyit. "Bu, bukankah masalah kotak seserahan pertunangan sudah diselesaikan? Mereka masih menyulitkanmu?""Nggak kok, aku cuma menolak mengurus urusan rumah tangga." Ivy tersenyum getir."Kenapa? Bukankah selama ini Ibu ingin menunjukkan kemampuan?" Janice terkejut."Janice, aku yang telah menyeretmu ke dalam masalah karena pertunangan ini. Tapi, sekarang aku sudah bisa menerimanya. Bagaimanapun, dengan status Rachel, cepat atau lambat dia akan mengurus rumah ini. Dia sangat baik, jadi nggak akan menyulitkanku."Ivy memiliki penilaian yang sangat baik terhadap Rachel. Namun, kata-kata itu terasa seperti duri yang menusuk hati Janice. Sangat sakit hingga mati rasa, tetapi lukanya tidak terlihat. Bukan karena dia iri pada Rachel, tetapi karen
"Kamu lebih cocok daripada aku."Rachel tersenyum sambil menyentuh kalung itu. "Benarkah? Terima kasih, Janice.""Nggak usah berterima kasih padaku." Ekspresi Janice tampak tidak wajar.Begitu ucapan itu dilontarkan, terdengar sebuah suara dingin. "Kamu ngapain?"Jason datang. Di belakangnya, Arya yang datang berkunjung ikut masuk.Mendengar suara itu, Janice berbalik dan bertemu dengan sepasang mata hitam dan suram. Mata Jason menyapu kalung mutiara di leher Rachel, ekspresinya langsung menjadi masam.Rachel mengira Jason sedang berbicara padanya. Dia segera melangkah maju dan berkata, "Janice saja tahu memberiku hadiah tahun baru. Lalu, hadiah darimu mana?""Aku sudah membawanya." Suara Jason datar. Tatapannya memberi isyarat kepada Norman.Norman lantas menyerahkan sebuah kotak panjang. Senyuman di bibir Rachel semakin melebar. Dia bahkan melemparkan pandangan kepada Janice.Bukan tatapan menyombongkan diri, melainkan tatapan berbagi kebahagiaan setelah menerima hadiah dari seseoran
Janice kembali ke halaman tempat tinggal, lalu tertidur sejenak di sofa dengan pikiran kacau.Menjelang makan siang, Ivy menelepon memintanya datang untuk makan. Setelah menutup telepon, Janice bangkit dan merapikan pakaiannya.Dia mengoleskan lipstik merah yang belum pernah digunakan sebelumnya, menambahkan sedikit warna di wajahnya yang pucat.Saat keluar, dia melihat Zachary berjalan cepat menuju taman. Janice baru saja ingin memanggilnya, tetapi kemudian dia melihat seseorang mengikutinya dari belakang. Itu Elaine.Dari percakapan sebelumnya, Janice sudah merasa bahwa mereka berdua saling mengenal. Dengan langkah ringan, dia mendekati taman dan melihat Elaine meraih lengan Zachary.Elaine mencibir. "Jadi, dulu kamu putus denganku cuma demi wanita seperti ini?"Zachary mengernyit, menatapnya dengan ekspresi tetap tenang dan berwibawa. "Elaine, kamu salah paham. Aku putus denganmu lebih dulu, baru kemudian mengenal Ivy."Mendengar itu, Janice menutup mulutnya dengan terkejut. Ternyat
Zachary menarik napas dalam-dalam. Namun, semakin dipikirkan, dia merasa ada yang tidak beres. "Janice, kenapa tiba-tiba memberitahuku hal ini?""Nanti kamu akan tahu. Ayo, kita makan dulu." Janice tersenyum, merasa lebih lega karena satu beban di hatinya telah terlepas. Apa pun yang terjadi nanti, Zachary pasti akan melindungi Ivy dengan segenap kemampuannya.....Di ruang makan, begitu Janice masuk, suasana yang tadinya meriah seketika menjadi hening. Semua orang mengalihkan pandangan dari ponsel mereka, lalu menatap dengan tatapan penuh kebencian.Tatapan mereka mencerminkan hal yang sama seperti yang ingin Anwar sampaikan."Lihatlah, aku sudah bilang, dia memang perempuan seperti itu."Sebelum Janice maju, Ivy bergegas mendekat sambil menggenggam ponselnya erat-erat. "Janice, foto yang beredar di internet itu palsu, 'kan? Mana mungkin kamu sampai jadi wanita simpanan?"Janice menunduk dan melihat layar ponsel. Tampak judul berita yang mencolok.[ Putri Angkat Keluarga Karim Menjadi
Janice terhenyak, seolah-olah hatinya dicengkeram erat, lalu dilemparkan ke tanah yang dingin dan membeku."Minta maaf kepada siapa? Untuk apa?" Janice balik bertanya dengan galak.Jason diam, wajahnya sedingin es. Genggamannya di pergelangan tangan Janice semakin erat, seolah-olah ingin mematahkannya.Dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua, Jason mengucapkan setiap kata dengan jelas, "Janice, kamu satu-satunya orang yang berani menipuku dua kali.""Aku hanya belajar darimu. Apa hakmu berpikir aku akan menjadi wanita simpanan bagi pria yang menipuku dan mengancamku?""Jadi, semua ini hanya kebohongan?" Tatapan Jason semakin suram, menatapnya lekat-lekat.Ya. Janice membuka mulut, tetapi kata itu tidak bisa keluar. Dia menunduk, melihat tangan Jason yang masih mencengkeramnya, lalu berbisik, "Paman, Rachel sedang melihatmu."Jason menoleh ke arah Rachel, lalu segera melepaskan Janice dan mundur selangkah.Lihat? Benar atau salah sama sekali tidak penting. Jason sudah m
Janice perlahan kehilangan kesadarannya. Sosok seseorang dalam pikirannya semakin kabur, hingga akhirnya lenyap sepenuhnya.....Di rumah sakit, saat Janice kembali sadar, kepalanya terasa sangat sakit. "Sakit sekali."Dia mengangkat tangan, ingin memijat pelipisnya, tetapi sepasang tangan yang dibalut perban tiba-tiba menggenggam tangannya.Suara serak seorang pria terdengar di samping tempat tidur, penuh dengan emosi yang tertahan. "Sekarang tahu rasanya sakit? Jangan bergerak sembarangan!"Janice termangu. Perlahan-lahan, dia menoleh dan menatap pria itu dengan keterkejutan yang luar biasa. Kemudian, dia menjerit, "Ah! Siapa kamu? Kenapa kamu menyentuhku?""Kamu ... bilang apa?" Mata Jason yang gelap sedikit membesar. Urat di pelipisnya berdenyut saat dia berusaha mati-matian menekan emosinya.Janice segera menarik selimutnya dan meringkukkan tubuhnya. Teriakannya pun menarik perhatian orang-orang di luar.Sekelompok orang bergegas masuk dan yang memimpin di depan adalah Anwar. Tata
Saat Janice mengatakan itu, Louise merasa makin bersemangat. "Aku tiba-tiba dapat inspirasi, aku naik ke atas dulu."Melihat Louise berlari dengan cepat, Janice juga tidak terlalu memikirkannya karena kebetulan jam di dinding menunjukkan sudah waktunya untuk menjemput anak. Dia berjalan kaki menuju TK di kota. Pukul setengah empat, kelas penitipan anak pun pulang terlebih dahulu. Seorang anak kecil memakai topi kuning dan rambutnya dikepang dua berlari terhuyung-huyung ke arahnya."Mama, aku rindu kamu," kata Vega.Janice menggendong Vega, lalu mengeluarkan sebuah permen dari sakunya. "Guru bilang hari ini kamu paling baik, jadi ini hadiah untukmu.""Wah. Mama, terima kasih," kata Vega dengan sepasang mata yang terlihat bersinar, bahkan sempat mengecup pipi Janice.Setiap kali Vega mengecupnya seperti ini, Janice selalu merasa sangat bersyukur telah pergi dari kehidupan sebelumnya karena sekarang Vega akhirnya kembali lagi ke sisinya. Tanpa kehidupan yang mewah sekaligus menyesakkan se
[ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Jason menatap tulisan itu cukup lama sebelum akhirnya kembali tersadar. Tenggorokannya kering, suaranya serak saat berkata, "Tega sekali ...."Seolah-olah sudah bisa menebak isi surat itu, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Jason lantas meletakkan kedua surat itu berdampingan, mengambil dua gelang kapibara dari dalam lemari.Plak. Suara kecil terdengar saat gelang itu melingkar erat di pergelangan tangannya. Dia mengepalkan tangannya, menatap lekat-lekat dua kalimat yang menghantam hatinya.[ Kita jadian yuk. ][ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Seakan-akan baru saja mendapatkan sesuatu di detik sebelumnya, lalu langsung kehilangan di detik berikutnya.Wajah Jason perlahan memucat, matanya memerah. Dia menunduk sedikit untuk menyembunyikan kesedihannya."Janice, kembalilah."....Tiga tahun kemudian, di Moonsea Bay. Kurir bernama Hady sedang mengangkat paket-paket ke dalam mobil."Bu Janice, sepertinya tahun ini toko online-mu la
Kebetulan tangannya menyentuh kunci itu. Kira-kira, kunci yang satu lagi untuk apa?Jason mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tetapi tidak melihat lemari yang terkunci. Dia pun berdiri dan melangkah ke kamar utama, ruangan yang paling tidak ingin dia buka. Meskipun sudah berlalu begitu lama, aroma Janice masih memenuhi setiap sudut ruangan.Pandangannya akhirnya tertuju pada satu-satunya lemari di sudut ruangan yang tidak ditutupi kain penutup debu, seolah-olah sedang menuntunnya.Jason membawa kunci itu mendekat dan membukanya dengan mudah. Yang terpampang di depan adalah semua hal yang berkaitan dengan dirinya dan Janice. Janice tidak membawa apa pun.Bahkan, gelang kapibara yang mereka menangkan bersama di pasar malam bertahun-tahun lalu pun masih ada di sana.Dua gelang itu tersimpan di dalam lemari, masing-masing menekan dua pucuk surat. Satu surat beramplop merah muda sudah tampak memudar warnanya, jelas sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu.Yang satu lagi hanya amplop
Jason sangat paham arti sebenarnya dari desakan Anwar soal anak. Selain untuk mengikatnya, itu juga cara agar Keluarga Karim dan Keluarga Luthan terikat erat satu sama lain.Jason tidak akan membiarkan Anwar mendapatkan apa yang dia inginkan. Karena itulah, dia sudah mempersiapkan segalanya sejak awal.Saat ini, seluruh ruang makan menjadi hening. Bahkan saat sendok di tangan Rachel jatuh ke lantai, tidak ada yang bereaksi.Semua orang tahu Ivy tidak bisa punya anak, sementara Zachary lebih memilih terus diserang daripada menceraikannya. Jadi, satu-satunya harapan garis keturunan Keluarga Karim ada pada Jason.Kini, Jason telah melakukan vasektomi. Itu artinya, dia benar-benar memutus harapan Anwar.Dada Anwar naik turun. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, "Jangan bercanda seperti itu. Aku cuma seorang ayah yang ingin melihat cucuku lahir dengan mataku sendiri.""Kamu sudah punya cucu. Namanya Yoshua. Lupa secepat itu?" timpal Jason dengan datar."Yang sudah berl
"Kenapa aku merasa Jason sekarang lebih pendiam dari sebelumnya?""Katanya tahun pertama pernikahan itu manis seperti madu, tapi lihat deh dia, apa kelihatan kayak pengantin baru?""Shh!"Seseorang menegur pelan.Dua orang yang sedang berbicara itu langsung diam saat melihat Rachel berjalan pelan di belakang Jason.Rachel mendengarnya, menggigit bibir sambil mempertahankan senyum di wajahnya.Saat makan siang, semua orang duduk sesuai dengan tempat duduk yang sudah ditentukan. Zachary dan Ivy memandangi ruangan, baru melihat nama mereka di pojok ruangan.Kebetulan saat itu Elaine masuk, menatap posisi duduk di barisan depan, lalu melihat ke arah mereka berdua dan mengejek dengan tawa sinis.Zachary menatap Ivy dengan pasrah. "Kalau kamu nggak enak badan, aku bisa minta orang antar kamu pulang dulu."Ivy tersenyum. "Nggak apa-apa. Dulu kita makan jajanan di pinggir jalan juga santai saja, 'kan? Di sini juga tenang. Kamu itu bagian dari Keluarga Karim, nggak usah bikin keadaan tambah can
Setelah bertemu dengan pemilik penginapan, Janice mengatakan bahwa dia ingin menginap dulu di penginapan tersebut.Pemiliknya tampak ketakutan karena insiden bunuh diri wanita sebelumnya. Melihat Janice datang sendirian, tatapannya pada Janice terlihat aneh. Bukan karena nafsu, melainkan karena takut Janice mati di penginapannya tanpa ada yang tahu.Pemilik penginapan pun berbaik hati mengajak Janice tinggal di properti lain miliknya yang tidak dekat dengan pantai.Saat memberikan kunci, dia bahkan menasihati, "Kamu masih muda dan cantik, harus bisa move on. Di dunia ini masih banyak pria."Janice sudah berkali-kali menjelaskan bahwa dia tidak ada niat bunuh diri, tetapi si pemilik tetap tak percaya.Keesokan harinya, setelah Janice menandatangani kontrak sewa, dia baru percaya bahwa Janice memang serius menyewa tempat itu. Dia bahkan bersikap sopan dan mengajak Janice sarapan bersama.Setelah sarapan, Janice mulai menjelajah layaknya seorang turis. Saat waktu di luar negeri sudah sama
Pada suatu liburan musim panas, Ivy tiba-tiba dipecat tanpa alasan yang jelas. Kebetulan saat itu Janice jatuh sakit parah. Pengobatannya menghabiskan banyak uang.Ivy menangis sepanjang malam. Sebelum fajar menyingsing, dia sudah menggandeng Janice berdiri di pinggir jalan tol menunggu kendaraan.Dia bahkan bersumpah tak akan membiarkan siapa pun menemukan mereka. Namun, setelah kabur seminggu, lokasi mereka terdeteksi karena tempat penginapan.Zachary pun menjemput mereka pulang. Kalau diingat sekarang, Janice ingin tertawa.Saat sedang tenggelam dalam kenangan, sebuah bus besar berhenti di depannya. Katanya ada pemeriksaan sebelum masuk tol, tetapi orang-orang di sekitar sudah naik dan memasukkan barang ke dalam bagasi.Janice sendiri tak punya tujuan tertentu. Yang penting bisa membawanya keluar dari Kota Pakisa.Dia menarik masker dan ikut naik ke dalam bus. Setelah membayar, dia memilih tempat duduk kosong secara acak.Tak disangka, penumpang dalam bus itu cukup ramai meskipun ha
Rachel mencengkeram baju Jason seolah-olah menggenggam cahaya terakhir dalam hidupnya. Sampai akhirnya, Jason perlahan menunduk dan mendekatinya.Air mata berlinang di wajah Rachel, seberkas harapan terpancar dari tatapannya. Rachel yakin, Jason tidak akan meninggalkannya begitu saja.Namun, detik berikutnya, hatinya seakan-akan tenggelam ke dalam danau es.Jason menggenggam tangannya, melepaskannya satu per satu. Suaranya datar, dingin seperti es. "Aku akan menemanimu sampai akhir. Hanya itu. Itu adalah utangku padamu."Rachel menatap tangannya yang terlepas perlahan. Air matanya jatuh makin deras. Dia tak sanggup menerima. Benar-benar tak sanggup.Karena tahu hidupnya tidak akan lama lagi, dia makin terobsesi pada apa yang benar-benar dia inginkan. Sekarang, satu-satunya yang dia pedulikan hanyalah Jason.Mau itu egois, mau itu obsesi, dia hanya ingin Jason tetap bersamanya. Dengan tidak rela, Rachel kembali menarik Jason dan akhirnya mengucapkan alasan sebenarnya kenapa Jason bersed
Sebelum dia sempat berbicara, lengannya sudah lebih dulu dicengkeram erat oleh pria itu. Dengan suara benturan keras, sepanci sup hangat yang baru saja matang langsung tumpah.Tatapan Jason tajam, jemarinya menegang, matanya merah, auranya penuh kemarahan dan niat membunuh. "Kenapa kamu harus mencarinya?"Rachel mendongak dengan kesakitan, menatap pria yang mengerikan itu dengan air mata mengalir. "Jarang sekali aku melihatmu sepanik ini. Kamu marah? Kalau marah, lampiaskan saja padaku!"Melihat air matanya, Jason seperti melihat kutukan yang memaksanya melepaskan cengkeramannya. Namun, Rachel malah menangis semakin keras. Dia melangkah pelan, ingin mendekatinya.Jason justru mundur dua langkah, menghindari sentuhannya. Mata hitam legamnya redup, seperti tenggelam dalam kabut yang hening, memandang Rachel seperti menatap laut tanpa gelombang.Rachel terisak-isak. "Kamu bahkan nggak mau marah padaku? Kenapa kamu rela melakukan apa saja demi dia?""Kakakku bantu Janice cari apartemen, la