Share

Bab 10

Mereka bertiga tercengang. Pak Iwan mengira jika dirinya sudah salah mengerti. “Yoga, maksudmu kamu menyuruhku untuk minum?”

Yoga menganggukkan kepalanya. “Harus minum tiga kali sehari. Nggak boleh kurang satu gelas pun.”

Mitha langsung menjadi cemas. “Yoga, aku rasa kamu jelas-jelas nggak bermaksud baik. Dengan kondisi fisik kakekku, segelas alkohol saja mungkin bisa … apa yang sebenarnya kamu inginkan?”

“Resep yang kuberikan seperti ini. Kalau nggak percaya, nggak perlu meminumnya,” kata Yoga.

“Aku percaya!” Pak Iwan mengambil gelas anggurnya dan langsung meminumnya sekaligus. Mitha tidak kuasa untuk menghentikannya, meski dia sebenarnya ingin melakukannya.

Mitha tercengang dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia berkata, “Kek, Kakek … Kakek sedang kacau. Begitu banyak dokter terkenal yang menyuruh Kakek untuk nggak minum alkohol, tapi Kakek malah melupakannya. Cepat, cepat telepon ambulans! Pergi ke rumah sakit dan pompa perutnya.”

Mitha mengeluarkan ponselnya dengan gugup dan ingin menelepon ambulans.

Siapa sangka begitu dia selesai menelepon, tiba-tiba saja Pak Iwan tertawa terbahak-bahak. “Hahaha, nyamannya. Sudah lama sekali aku nggak merasa senyaman ini. Yoga memang dokter ajaib.”

Kelakuan Pak Iwan yang tiba-tiba itu membuat Mitha terkejut. “Kek, bagaimana perasaan Kakek sekarang?”

“Sekarang, aku merasa segar dan rileks. Sebelumnya, aku selalu merasa seperti ada beban di punggungku. Sekarang, perasaan seperti ditindih itu sudah nggak ada lagi,” kata Pak Iwan. “Rasanya seperti kembali ke kondisi terbaikku 10 tahun yang lalu. Aku merasa 10 tahun lebih muda. Sekarang, aku bisa naik enam lantai sekaligus tanpa masalah.”

Danu tidak bisa menahan diri untuk tidak mengacungkan jempolnya. "Pak Yoga memang hebat."

“Bagaimana mungkin?” Mitha masih merasa ragu-ragu. “Sekalipun obat itu mujarab, nggak mungkin bisa bekerja begitu cepat. Oh ya, aku ingat.” Mitha menepuk dahinya dan mengeluarkan obat dari dalam sakunya. “Kek, pasti obat yang Kakek minum pagi tadi yang bekerja. Sama sekali bukan karena anggur obat itu.”

“Omong kosong. Apa aku nggak bisa merasakan efek dari anggur obat ini?” tanya Pak Iwan.

“Kek, semua itu hanya ilusi yang diciptakan efek psikologis Kakek,” kata Mitha. “Pak Hadi dari Institut Obat Nasional bersama lebih dari belasan ahli pengobatan tradisional Daruna khusus mengembangkan obat ini untuk Kakek. Kakek baru saja meminumnya pagi ini. Jangan katakan kalau kerja keras belasan ahli pengobatan tradisional Daruna selama beberapa tahun, nggak sebanding sama segelas anggur milik Yoga.”

“Biar aku luruskan. Anggur itu hanya berfungsi sebagai pengantar obat. Bahan aktif sebenarnya adalah bubuk dalam botol kacaku ini,” kata Yoga. “Juga, kurangi minum obat yang kamu pegang itu. Terlalu banyak meminumnya bisa mengancam nyawanya.”

“Cukup! Yoga, merendahkan orang lain nggak akan membuatmu jadi lebih baik. Malah akan membuat orang makin membencimu,” kata Mitha.

“Mitha, tutup mulutmu! Bagaimana kamu bisa bicara dengan penyelamatku seperti itu?” tegur Pak Iwan. “Dokter Ajaib Yoga, tolong katakan padaku, apa kamu bisa menjual obat itu kepadaku?”

Yoga dengan senang hati menyerahkan botol kaca itu kepada Pak Iwan. “Pak Iwan, mengingat kamu sudah berjasa besar dalam banyak pertempuran bagi Daruna, aku akan memberikan obat ini kepadamu. Aku hanya berharap setelah kamu sembuh nanti, kamu bisa terus bersemangat dan memberikan kontribusi yang besar bagi negara.”

“Hahaha, terima kasih banyak, Yoga.” Pak Iwan menerima botol obat tersebut dan menyimpannya dengan hati-hati layaknya harta karun.

Mitha masih tidak percaya pada Yoga. “Yoga, tolong katakan padaku, penyakit apa yang diderita kakekku? Apa saja komposisi obatmu itu dan bagaimana cara kerjanya?”

Yoga menggelengkan kepalanya. “Aku nggak bisa mengatakannya sekarang. Semua itu akan membuat kalian takut. Selain itu juga akan menambah beban psikologis Pak Iwan dan memengaruhi efek obat. Tapi, aku bisa memberi tahu kalian kalau Pak Iwan akan sembuh dalam tiga hari kedepan.”

Mitha mendengus dingin. “Hmph, bersikap misterius. Aku rasa kamu itu jelas-jelas nggak ngerti apa-apa.”

Pak Iwan memelototi Mitha, membuat Mitha tidak lagi berani bicara. “Dokter Ajaib Yoga, ayo duduk sini. Kita ngobrol dengan santai.” Pak Iwan langsung menyerahkan kursi tamu kehormatan kepada Yoga. Pak Iwan berkata dengan tulus, “Pak Yoga, tiga hari lagi aku akan bertemu dengan Raja Agoy yang Perkasa sebagai perwakilan dari Daruna. Saat itu, aku ingin mengundangmu untuk ikut bersamaku. Apa kamu tertarik?”

Yoga menggelengkan kepalanya. “Maaf, aku nggak bisa menerima undanganmu …”

Maksud Yoga, dia akan pergi ke acara makan malam itu dalam kapasitasnya sebagai Raja Agoy yang Perkasa. Itu sebabnya, dia menolak undangan Pak Iwan.

Pak Iwan menganggukkan kepalanya. “Benar. Raja Agoy yang Perkasa itu orang asing. Dia nggak layak ditemani langsung oleh Dokter Ajaib Yoga.”

Yoga langsung merasa kesal. Kamu orang tua, siapa yang kamu sebut orang asing itu?

Di luar ruang pribadi, Reza membawa dua botol anggur kualitas tinggi. Dia memimpin beberapa orang termasuk Karina, menuju ruang pribadi tersebut.

Reza berulang kali mengingatkan. “Semuanya harus berhati-hati saat bicara nanti. Jangan sampai salah bicara. Siapa pun yang ada di dalam, hanya dengan satu kata saja, bisa membuat kita nggak punya tempat lagi di Provinsi Sadali ini.”

“Pasti, pasti.”

Sesampainya di depan pintu ruang pribadi tersebut, Reza mengetuk pintu dengan hati-hati.

Suara Pak Iwan terdengar dari balik pintu, “Siapa?”

Reza menjawab, “Selamat malam, Pak Iwan. Aku Reza Ardiyanto, manajer hotel. Ayahku pemilik hotel ini. Dia menyuruhku untuk memberikan dua botol anggur berkualitas tinggi ini kepadamu. Selain itu, temanku sudah banyak mendengar tentangmu. Dia ingin menghormatimu dengan bersulang segelas anggur untukmu. Apa kamu keberatan?”

Suasana hati Pak Iwan sedang baik. Dia pun menerimanya. “Baiklah, silakan masuk.”

Orang-orang itu langsung merangsek masuk ke dalam.

Reza berkata dengan hormat, “Selamat malam Pak Iwan, Pak Danu, eh itu … Apa!”

Pada saat ini, mereka melihat sosok Yoga. Tubuh mereka langsung gemetar, bagaikan disambar petir.

Bagaimana Yoga bisa berada di dalam ruang pribadi ini? Bahkan, dia juga duduk di kursi tamu kehormatan.

Danu dan Pak Iwan duduk di kursi pendamping. Apa mereka sedang mendampingi Yoga?

Bagaimana mungkin, Yoga yang merupakan seorang bapak rumah tangga yang tidak pernah keluar rumah, bisa mengenal dua orang penting ini?

Apakah Yoga adalah ‘orang penting’ yang diundang oleh mereka berdua?

Pikiran mereka langsung menjadi kacau.

Memikirkan apa yang mereka katakan kepada Yoga di lobi hotel dengan menggunakan Pak Danu dan Pak Iwan untuk mengancamnya, wajah mereka pun langsung memerah karenanya.

Melihat mereka berdiri dengan acuh tak acuh, Pak Iwan agak merasa tidak senang. “Kenapa kalian berdiri diam seperti orang yang hilang akal?”

Reza adalah yang pertama, yang kembali ke akal sehatnya. Dia pun buru-buru berjalan mendekat untuk menuangkan anggur kepada mereka.

“Pak Iwan, kedatanganmu di hotel kami ini merupakan suatu kehormatan besar bagi kami. Aku ingin mewakili ayahku untuk bersulang denganmu …”

Pak Iwan merasa agak tidak senang. “Siapa yang seharusnya diajak bersulang terlebih dulu? Aturan dasar seperti ini saja nggak paham, bagaimana bisa membuka hotel?”

Danu ikut angkat bicara, “Pak Yoga adalah tamu kehormatan kami. Mari kita bersulang untuk Pak Yoga terlebih dulu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status