Pagi itu setelah memasak, Indah mendapatkan panggilan telepon dari Bu Ratna. Bu Ratna meminta Indah menemuinya di restoran lama miliknya. Indah tidak mengerti apa yang akan dibicarakan oleh Bu Ratna. Indah berpikir dan bertanya dalam hati, apakah Bu Ratna sudah mengetahui keributan yang terjadi di restoran kemarin siang?Indah harus memberikan jawaban yang tepat jika memang Bu Ratna meminta penjelasan darinya. Indah segera menyelesaikan pekerjaannya, lalu memberi pengarahan pada para karyawan. Setelah itu Indah segera menuju ke restoran milik Bu Ratna.Indah baru saja tiba di restoran itu. Ia menyempatkan diri untuk menyapa Desy dan berbincang sejenak. Desy mengatakan bahwa Bu Ratna sudah menunggu Indah di ruangannya. Indah bergegas menuju ruangan Bu Ratna. Dari sela-sela jendela Indah melihat Bu Ratna sedang berbincang dengan seseorang. Indah mengetuk pintu ruangan itu dan mendengar suara Bu Ratna mempersilakan ia masuk ke dalam. "Selamat siang, Bu," sapa Indah. Bu Ratna dan tamu
Pagi itu seorang karyawan restoran Indah menerima pesanan melalui telepon. "Mbak Indah, ada pesanan makanan untuk acara kantor perusahaan Setia Jaya," kata karyawan itu. Indah tertegun sejenak, nama perusahaan itu tentu tidak asing di telinganya. "Setia Jaya?" gumamnya. "Iya Mbak, ini catatan pesanan mereka. Acaranya besok siang. Mereka mau memesan untuk seratus lima puluh karyawankaryawan secara prasmanan. Indah menerima catatan menu makanan yang tertulis di kertas itu. Ia memejamkan matanya sejenak. Perusahaan itu adalah tempat suaminya bekerja. Indah membayangkan jika ia mengantar makanan ke kantor itu, mungkin dia akan bertemu dengan Aryo, Tania, Clara, dan beberapa karyawan yang masih mengenali dirinya. Indah berpikir, haruskah dia menolak pesanan itu, atau justru menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya sudah tidak terluka lagi karena perceraiannya dengan Aryo. "Ya sudah, kita siapkan saja. Kita lakukan yang terbaik untuk mereka," kata Indah. Indah merasa sudah siap u
Acara makan bersama seluruh karyawan kantor itu berjalan dengan lancar. Semua karyawan merasa puas menikmati hidangan dari restoran Indah. Hanya Aryo yang berubah menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Ekspresi wajahnya langsung berubah ketika mengecap makanan di piringnya. Rasa masakan Indah yang selalu ia rindukan. Yang dulu sering ia sia-siakan dan sangat membosankan, tapi kini entah mengapa rasanya sangat berbeda. Bagi Aryo makanan itu lebih berharga daripada makanan di restoran manapun. Tania menatap suaminya dengan kesal dan rasa cemburu yang besar. Ia berkata, "Mas, kenapa bengong terus?" "Eh, gak apa-apa," jawab Aryo. Aryo menyiapkan kembali satu sendok makanan ke dalam mulutnya. Matanya nanar memandang Aryo yang masih berdiri melayani beberapa karyawan. "Enak sekali masakannya, ya," kata seorang karyawan di dekat mereka. "Iya, aku dengar restoran itu baru dibuka, tempatnya nyaman dan cukup ramai," jawab seseorang. "Wah, kapan-kapan kita coba ke sana, ya," Tania merasa
"Koq sampai malam, Nak?" tanya Ibu Indah ketika membukakan pintu rumah untuknya. "Iya, Bu. Tadi ada pesanan untuk acara makan siang kantor, setelah itu Indah ada evaluasi bersama anak dari Bu Ratna," jawab Indah. Indah melangkah masuk ke dalam rumah dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Seharian bekerja, memasak dan berdiri membuatnya cukup lelah. "Cape ya, Nak? Memangnya Bu Ratna jadi pindah?" tanya ibu. Indah tersenyum dan menatap ibunya, ia menjawab, "Biasa saja koq, Bu. Iya, Bu Ratna memang sudah pindah, Bu. Karena itu sekarang anaknya yang mengelola bisnis dan restoran miliknya," jawab Indah. Ibu Indah bertanya, "Tapi anaknya baik padamu, kan?" "Indah belum terlalu mengenalnya, Bu. Sejauh ini dia orang yang baik, walaupun di awal perkenalan orangnya menyebalkan," jawab Indah malas. "Yang penting kamu bekerja dengan jujur dan baik, Nak. Jangan lupakan kebaikan Bu Ratna padamu," kata ibu. "Iya, Bu. Anak-anak mana, Bu? Koq sepi?" tanya Indah. Ibu menjawab, "Mereka sudah tidur
Tania membuka matanya perlahan, tangannya meraba ke tempat tidur di sisinya, tempat Aryo tertidur semalam. Tania tidak bisa menemukan suaminya, ia terpaksa membuka matanya yang masih berat. Akhir pekan selalu menjadi waktu bagi Tania dan Aryo untuk bersantai dan bangun lebih siang sari biasanya. Di hari kerja, mereka harus bangun pagi dan berpacu dengan waktu menuju kantor. Biasanya di hari Sabtu dan Minggu, Tania dan Aryo akan bangun sekitar pukul sembilan, lalu pergi mencari sarapan di luar. Tania melihat ke sekelilingnya, mencari keberadaan suaminya. Tania duduk di atas tempat tidurnya, lalu bangun perlahan. Perutnya yang membesar membuat dia harus bergerak lebih lambat dari biasanya. "Mas, Mas Aryo," panggil Tania. Tania melihat kamar mandi, tetapi suaminya tidak ada di situ. Ia lalu mencari suaminya ke luar kamar. Pintu rumah masih tertutup, tetapi tidak terkunci. Tania mencoba mencari suaminya di luar rumah, lalu kembali masuk karena tidak menemukannya. Tania melangkah ke
Tania terus menangis di sepanjang perjalanan, bahkan sampai Aryo dan Tania tiba di rumah. Tania mengurung diri di kamar, tidak mau makan dan enggan bicara dengan Aryo. Aryo menggelengkan kepalanya, ia merasa malas untuk menenangkan istrinya yang sedang sensitif itu. "Sudahlah, mau sampai kapan kamu seperti ini terus? Menangis gak berhenti, gak mau makan. Ingat, kamu itu sudah dewasa, sudah akan menjadi seorang ibu. Apa kamu tidak kasihan pada anak dalam kandunganmu? Dia pasti lapar," kata Aryo mencoba membujuk Tania. "Biar saja, biar aku dan anak ini mati. Tapi aku akan memberi tahu pada semua orang, bahwa kamu yang membunuh kami. Kami menderita karena perbuatanmu," ucap Tania di tengah isak tangisnya. "Aku hanya bertemu dengan anak-anakku. Kamu tahu sendiri, sejak berpisah dengan Indah, aku gak pernah menghubungi atau menemui mereka. Semua orang juga tahu, kalau hubungan anak dan orang tua tetap terjalin sekalipun kedua orang tuanya berpisah," jawab Aryo. "Tapi kamu menemui istr
"Puas kamu, Mas? Kamu sudah membuat aku malu di depan semua orang," gerutu Tania. "Apa?! Kamu menyalahkan aku? Kamu yang belanja berlebihan. Aku sudah mengingatkan kamu, beli yang diperlukan saja. Barang-barang di toko tadi mahal, kalau kita beli di toko lain, kita bisa mendapatkan lebih banyak barang," kata Aryo. "Ini untuk anak pertama kita, Mas. Aku mau yang terbaik, termahal, dan paling bagus. Aku gak mau anak kita memakai barang pasaran yang dipakai oleh anak lainnya," ujar Tania sambil melengos. Aryo menatap istrinya dengan terkejut, ia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Aku sudah ingatkan kamu, jangan memaksakan diri dan bergaya melebihi kemampuan! Lihat akibatnya! Uangku habis, kartu kreditmu melebihi batas. Sebentar lagi anak kita lahir, akan semakin banyak keperluan. Harusnya kamu bisa berpikir jauh ke depan!" "Aku yang harus berpikir? Lalu apa gunanya ada kamu, Mas? Kalau aku yang harus memikirkan dan menanggung semuanya, gak ada manfaatnya aku memiliki suami. Itu k
Indah bergegas masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintunya. Sejenak ia memejamkan mata, mencoba mengatasi rasa kesalnya pada Aryo. "Siapa pria itu? Mengapa kamu malah asyik mengobrol saat jam kerja?" tanya seseorang dari balik meja. Indah tersentak kaget, ia tidak menyangka kalau Sandy ada di ruangan itu dan melihat dirinya berbicara dengan Aryo. "Sejak kapan Bapak di sini?" tanya Indah. "Jangan panggil Pak! Aku gak setua itu. Panggil saja aku dengan sebutan Mas," kata Sandy. "Baiklah, Mas," ujar Indah segan. "Jawab pertanyaanku tadi! Dan sejak kapan aku harus ijin dulu padamu untuk datang ke restoran ini?" ucap Sandy ketus. Indah menghela nafas panjang dan menatap Sandy. Ia duduk di kursi di hadapan Sandy. "Maaf, Mas. Pria tadi adalah mantan suamiku," jawab Indah. "Mantan suami?" tanya Sandy. "Iya, Mas pasti tahu dari Bu Ratna, kalau aku sudah pernah menikah. Iya kan?" kata Indah. Sandy menganggukkan kepalanya dan berpikir sejenak, lalu bertanya kembali, "Apa kamu sedek