Sudah satu minggu Ariana bekerja di rumah megah milik Jason.
Malam hari telah tiba dan Ariana tengah menata hidangan tambahan yang baru saja diantar dari dapur.
Tangannya cekatan meletakkan sup krim, salad, dan daging panggang di piring-piring kosong, sambil menjaga gerakannya tetap halus seperti yang diajarkan Berta di hari pertamanya.
Pintu ruang makan tiba-tiba terbuka dan seorang wanita anggun berusia akhir lima puluhan melangkah masuk.
Rambutnya tersanggul rapi, gaun malam warna pastel membalut tubuh rampingnya, ditambah kalung mutiara yang memantulkan cahaya lampu.
“Jason,” sapa wanita itu sambil tersenyum tipis dan langsung menuju kursi di hadapan putranya.
Jason menatap sekilas lalu kembali memotong daging di piringnya. “Mama datang tanpa kabar.”
“Aku ingin makan malam bersama anakku. Apa itu salah?” Violeta duduk dengan gerakan anggun lalu meletakkan tas tangan kecilnya di kursi sebelah.
Ariana buru-buru menuangkan air mineral ke gelas Violeta lalu menyingkir ke samping, namun tetap cukup dekat untuk membantu jika dibutuhkan.
Violeta memandang hidangan di meja dengan tatapan penuh dengan antusias. “Masakan malam ini terlihat lezat. Siapa yang menyiapkannya?”
“Semua pelayan dapur,” jawab Jason singkat lalu meneguk anggurnya.
Sejenak mereka makan dalam diam, sampai Violeta membuka percakapan yang Ariana tahu akan memecah ketenangan itu.
“Jason, Mama sudah memikirkan satu hal akhir-akhir ini.”
Jason mendengus ringan tanpa mengangkat kepala. “Apa lagi kali ini?” tanyanya ketus.
“Kau harus mulai memikirkan wanita baru. Untuk menikah.”
Pisau dan garpu Jason terhenti di udara. Matanya yang dingin menatap ibunya lurus-lurus. “Aku sudah tidak butuh wanita, Ma.”
Kata-kata itu terdengar tegas bahkan tak memberi ruang untuk negosiasi.
Ariana, yang sedang meletakkan sepiring roti di meja, tanpa sadar melirik Jason. Tidak butuh wanita? pikirnya.
Ia penasaran apa yang membuat pria seperti Jason—tampan, kaya, terpandang—mengucapkan itu seolah menikah adalah hal paling tidak perlu di dunia.
Violeta tersenyum tipis. “Jangan terpaku oleh satu wanita saja. Dunia ini luas, Jason. Kau masih muda untuk tidak mau menikah lagi.”
Violeta kemudian menatap anaknya dengan lekat. “Apa kau masih mencintainya?” tebaknya kemudian.
Jason menegakkan tubuhnya menatap sang ibu. “Tentu saja tidak!” jawabnya dengan tegas.
Ariana bisa merasakan perubahan suhu di ruangan itu, seolah udara menjadi lebih berat.
“Kalau begitu, kenapa kau terlihat seperti pria yang tidak ingin membuka hati lagi? Mama tahu, dia menyakitimu. Tapi bukan berarti semua wanita sama seperti mantan istrimu itu.”
Jason lantas meletakkan sendok garpu di atas piring dengan bunyi ting! yang tajam. “Mama, tolong jangan bahas tentang pengkhianat itu di meja makanku. Aku tidak ingin mendengar namanya lagi!”
Violeta memiringkan kepalanya lalu menatap putranya dengan sorot mata penuh analisa. “Kau masih marah.”
“Marah? Tidak, Ma. Aku muak. Aku sudah melihat cukup banyak wajah aslinya selama tiga tahun pernikahan kami. Sekarang aku hanya ingin fokus pada Ethan. Dia satu-satunya yang penting di hidupku.”
Ariana, sambil berdiri di sudut ruangan, merasa jantungnya ikut berdebar. Kata-kata Jason, meski dingin, namun terdengar tulus.
Jason menambahkan dengan suara yang lebih datar, “Aku bisa mengurus Ethan seorang diri. Mama tahu rumah ini punya cukup banyak pembantu. Dan Ariana ….” Jason menoleh sekilas ke arah Ariana yang membuat gadis itu kaku di tempat. “… Akan mengurus Ethan dengan baik.”
Ariana cepat-cepat menunduk sambil menahan napas. Ia tak menyangka Jason akan menyebut namanya di hadapan ibunya.
Violeta melirik Ariana dengan cepat, sorot matanya menilai dari ujung kepala hingga kaki, lalu kembali pada Jason. “Dia pembantu baru itu, ya? Aku baru melihatnya.”
“Ya. Sudah satu minggu yang lalu. Dan dia bisa dipercaya,” jawab Jason singkat.
Violeta tersenyum samar, namun Ariana tidak bisa menebak apakah itu senyum tulus atau sekadar basa-basi.
“Kalau begitu, Mama harap dia benar-benar bisa menjaga Ethan. Tapi ingat, Jason! Anak juga butuh ibu, bukan hanya pembantu atau ayah yang sibuk bekerja.”
Jason tidak menjawab. Ia hanya menatap ibunya beberapa detik lalu melanjutkan makan dengan tenang, seolah pembicaraan itu sudah selesai.
Suasana kembali hening, tapi bagi Ariana, kata-kata Violeta masih menggantung di udara.
Dia melirik Ethan yang duduk di kursi kecilnya di ujung meja sedang asyik menyuap sendiri potongan kecil kentang. Bocah itu tampak bahagia, meski tanpa kehadiran sosok ibu di rumah ini.
Ariana kembali memutar otak. Kalau Jason tidak mau menikah lagi, apakah itu berarti dia benar-benar menutup hati? Atau dia hanya terlalu terluka untuk mencoba?
**
Setelah makan malam selesai, Ariana membereskan piring-piring dengan hati-hati, memastikan tidak ada bunyi berlebihan.
Setelah Jason pergi, Ariana tetap tinggal di ruang makan untuk membereskan sisa piring.
Tangannya bergerak otomatis, namun pikirannya masih tertinggal pada percakapan antara Jason dan ibunya tadi.
Ia teringat tatapan tajam Jason saat mengatakan tidak butuh wanita, dan cara dia menyebut namanya di hadapan Violeta.
Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa gelisah yang tiba-tiba hadir. Baru saja ia hendak membawa baki piring kotor ke dapur, getaran ponsel di saku rok panjangnya membuatnya terhenti.
Ariana buru-buru mengeluarkan ponsel itu. Nomor tak dikenal tertera di layar. Dengan ragu, ia menggeser ikon hijau.
“Halo?”
Suara di seberang langsung membuat darahnya dingin. “Ariana. Waktumu sudah habis.”
Ia mengenali suara itu—keras, berat, dan penuh ancaman. Rentenir yang dulu memberi keluarganya pinjaman.
“S-saya … saya sedang berusaha, Tuan. Saya sudah dapat pekerjaan. Saya hanya butuh sedikit waktu lagi,” suara Ariana bergetar. “Tolong, beri saya waktu satu bulan lagi, Tuan—"
“Kau pikir aku mau mendengar alasan? Kalau besok kau tidak melunasi semuanya, kami akan datang. Rumah ibumu akan jadi milik kami. Kau dengar itu? Besok! Dan aku tidak main-main dengan ancamanku!”
Ariana terpaku dan matanya membesar mendengarnya. “T-tolong … jangan sekarang. Saya—”
Klik! Sambungan terputus begitu saja.
Tangan Ariana gemetar memegang ponsel. Suara denting jam dinding di ruang makan terdengar begitu jelas di telinganya, seperti menghitung mundur waktu yang nyaris habis.
“Bagaimana ini? Ke mana aku harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu singkat?” bisiknya lirih.
Siang itu, matahari bersinar hangat, tidak terlalu terik karena bayangan pepohonan rindang yang berjajar rapi di halaman rumah Adrian mampu meredam panasnya.Halaman rumah megah itu seolah taman pribadi dengan rumput hijau yang terawat, bunga-bunga berwarna cerah, dan sebuah kolam kecil yang airnya jernih memantulkan cahaya.Udara terasa sejuk, membawa aroma segar bunga mawar yang baru saja mekar.Ariana berdiri di tengah halaman, tengah meluapkan semua ucapan Berta yang penuh denga ancaman padanya.Dia masih membutuhkan pekerjaan ini. Tapi, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ariana semakin merasa bersalah telah mengungkapkan isi hatinya pada Jason.Tatapannya menatap pada sosok kecil yang berlari-lari sambil tertawa lepas.“Ethan, hati-hati! Jangan terlalu jauh,” serunya sambil ikut berlari mengejar bocah itu.Ethan menoleh sambil terkikik, pipinya memerah karena kegirangan. “Ariana, tangkap aku kalau bisa!”Ariana tersenyum dan roknya sedikit tersibak ketika dia berlari cepat, m
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Pagi itu, udara di rumah besar milik Jason masih terasa dingin. Mentari baru saja merambat naik dan menembus tirai besar ruang makan.Ariana berjalan pelan membawa nampan sarapan untuk Ethan.Wajahnya tetap tenang, meski hatinya berdebar setiap kali melewati lorong-lorong rumah yang kini terasa penuh dengan bisikan dan tatapan menusuk.Ia bisa merasakan jelas bagaimana tatapan para pelayan mengikuti langkahnya.Tatapan sinis, penuh cibiran, seakan tubuhnya sudah telanjur diberi label hina.Ariana menarik napas panjang, lalu menunduk, berusaha mengabaikan semua itu.Ia sudah tahu, sejak peristiwa semalam ketika Jason membela dirinya habis-habisan, gosip tentang statusnya pasti akan semakin menyebar.Tidak lagi sekadar pengasuh Ethan. Semua orang kini tahu, dia juga dianggap sebagai “pembantu pemuas nafsu” majikan mereka.Ariana menelan ludahnya lalu menghela napasnya dengan panjang. ‘Inilah risiko yang harus kuhadapi,’ pikirnya getir. ‘Selama aku
Hari ketujuh sejak kejadian penculikan itu akhirnya tiba. Dokter datang pagi-pagi ke kamar Ethan untuk memeriksa kondisinya dengan saksama.Ariana berdiri di samping ranjang sambil menggenggam tangan kecil itu dengan cemas.Jason juga ada di sana, punggungnya bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, wajahnya tetap dingin dan sulit terbaca.“Syukurlah, kondisi fisiknya stabil. Trauma memang masih ada, tapi secara medis Ethan sudah bisa pulang hari ini. Asal dijaga ketat, dan jangan dibiarkan sendirian terlalu lama,” ujar dokter dengan nada hati-hati.Ariana mengangguk patuh. “Terima kasih, Dok.”Ethan menoleh dengan senyum kecil yang masih tampak lemah. “Ariana, kita bisa pulang, ya?”Ariana membelai rambutnya lembut. “Iya, Sayang. Kita pulang.”Jason hanya memberi anggukan singkat pada dokter sebelum keluar sebentar untuk mengurus administrasi.Ariana memperhatikan punggung tegap pria itu menghilang di balik pintu.Hatanya terasa sesak. Sudah tiga hari penuh ia tidak benar
Malam turun perlahan menutup kota dengan cahaya lampu jalan yang berpendar di balik kaca mobil.Jason duduk di kursi belakang sedan hitamnya, bahunya tampak tegap tapi wajahnya muram. Jemmy, yang duduk di depan, melirik lewat kaca spion.“Tuan, kita langsung ke rumah?” tanya Jemmy dengan hati-hati.Jason tidak segera menjawab. Tatapannya menerawang keluar jendela, mengikuti jejeran gedung tinggi yang berkilau namun terasa dingin.Bayangan wajah Ariana muncul begitu saja, sorot matanya tadi ketika dia berdiri kaku di pintu kamar rawat Ethan. Wajah itu begitu rapuh sekaligus penuh keberanian.Jason menghela napas berat. “Ke kantor dulu,” jawabnya singkat.Jemmy tidak berkomentar, hanya mengangguk dan mengarahkan mobil menuju gedung perusahaannya.Selama perjalanan, hanya keheningan yang merayap di sana. Jason tampak menatap kosong ke depan, sementara Jemmy sibuk melirik raut wajah Jason kemudian menghela napasnya.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di kantor. Jemmy mengikuti Jason dar
Koridor rumah sakit sore itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Perawat berlalu-lalang, suara roda troli obat berderit di lantai, dan bau antiseptik menyengat menusuk hidung.Di depan pintu kamar Ethan, dua bodyguard Jason berdiri tegak dengan jas hitam, wajah mereka keras tanpa ekspresi.Tiba-tiba langkah tergesa terdengar mendekat—hak sepatu beradu lantai dengan irama cepat.Violeta.Wanita elegan dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan itu melangkah dengan wajah merah padam. Matanya berkilat, bibirnya terkatup rapat penuh amarah.“Apa kalian pikir bisa menghalangiku?!” bentaknya pada para bodyguard. “Aku nenek anak itu! Singkirkan tubuh kalian dari depan pintu ini!”Salah satu bodyguard menggeleng dengan sopan. “Maaf, Nyonya Violeta. Perintah langsung dari Tuan Jason, Anda tidak boleh masuk.”“Apa?!” Violeta hampir berteriak. “Dia anakku! Itu cucuku! Apa Jason sudah kehilangan akal sehatnya sampai melarang ibunya sendiri?!”Ia mencoba menerobos, tapi kedua bodyguard dengan sigap
“DIO, PENCULIK ANAK PENGUSAHA TERKENAL JASON LUBIS, JADI BURONAN POLISI!”Tidak hanya di media cetak, berita itu juga memenuhi layar televisi, portal daring, hingga trending di media sosial.Foto Dio terpampang jelas dengan label “DPO – Daftar Pencarian Orang”.Polisi membuka sayembara bagi siapa pun yang bisa memberikan informasi keberadaannya.Di ruang kerjanya, Jason duduk santai di kursi kulit hitam tengah menatap layar televisi besar yang menayangkan siaran langsung.Liputan itu memperlihatkan barisan polisi sedang memasang poster wajah Dio di beberapa titik kota.Sudut bibir Jason terangkat membentuk seringai puas. Tangannya mengetuk-ngetuk meja pelan, seolah sedang memainkan irama kemenangannya sendiri.“Lihatlah,” gumamnya dingin nyaris seperti desisan. “Salahmu karena berani mengganggu hidupku.”Ia lalu bersandar dan matanya berkilat penuh kemenangan. Baginya, menjadikan Dio buronan adalah langkah pertama menuju kehancuran total musuh lamanya itu.Baru saja dia hendak mematik