Ariana mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Air matanya menggenang, tapi ia menahan agar tidak jatuh. Ia tidak boleh menangis terlalu keras; rumah ini terlalu sunyi, dan siapa pun bisa mendengar.
Tidak lama setelahnya, Jason berdiri di ujung meja makan. Tatapannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di dahinya.
“Ada apa?” tanyanya dengan nada yang tegas. “Kenapa wajahmu sembab seperti itu?”
Ariana cepat-cepat menggeleng. “Tidak ada apa-apa, Tuan. Saya hanya … lelah.”
Jason melangkah mendekati Ariana lalu menatapnya dengan tatapan lekatnya. “Lelah? Matamu bengkak dan aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Kau habis menangis, kan?”
Ariana menelan ludahnya. Rupanya Jason menyadarinya. Ia kemudian menunduk, berusaha menghindari tatapan itu. “Bukan hal penting, Tuan. Saya tidak ingin mengganggu Anda.”
“Aku tidak suka kebohongan, Ariana. Kalau ada masalah, katakan. Aku benci melihat orang di bawah atapku menyembunyikan sesuatu dariku.”
Ariana menggigit bibir bawahnya. Hatinya berdebat sengit—antara mempertahankan harga diri atau menyelamatkan rumah ibunya.
Akhirnya, ia mengangkat kepala dan menatap Jason dengan mata yang memerah. “Saya … sebenarnya butuh bantuan, Tuan.”
Jason menyilangkan tangan di dada. “Bantuan seperti apa?”
Napas Ariana tersengal. “Uang.”
Alis Jason terangkat. “Berapa?”
“Seratus ribu dolar,” jawab Ariana dengan suara yang hampir berbisik.
Ruangan itu menjadi hening. Jason menatapnya tanpa berkedip selama beberapa detik.
“Seratus ribu dolar? Untuk apa?”
Ariana menarik napas dalam-dalam lalu menceritakan semuanya—tentang utang ayahnya, rumah yang ditempati ibunya, dan ancaman rentenir yang akan menyita rumah itu besok.
“Kalau saya tidak membayar malam ini atau paling lambat besok pagi, rumah itu akan diambil. Dan Ibu saya ….” Suara Ariana bergetar menahan tangisnya lagi, “tidak punya tempat tinggal lagi.”
Jason terdiam mendengarnya dan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pelan.
“Kalau Tuan mau meminjamkan pada saya, saya akan berterima kasih sekali,” ucapnya kemudian menggigit bibirnya.
Jason berjalan ke jendela dan memandang keluar sejenak. “Kau tahu, Ariana. Seratus ribu dolar memang tidak besar bagiku. Tapi untuk meminjamkan uang sebesar itu pada orang yang baru kukenal, itu bukan keputusan yang ringan.”
Ariana lantas mendekatinya. “Tuan … apa pun yang Anda mau, saya akan penuhi. Apa pun. Asal Anda mau membantu saya kali ini.”
Jason menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Ariana lalu turun menelusuri lekuk tubuhnya.
Gaun sederhana yang ia kenakan malam itu tidak banyak menutupi bentuk tubuhnya yang ramping namun menggoda.
Ia mendekat selangkah menatap lekat wajah Ariana. “Apa pun?” tanyanya dengan nada beratnya.
Ariana mengangguk, meski ada kilatan ragu di matanya. “Ya, Tuan.”
Jason berdiri begitu dekat sekarang, aromanya memenuhi ruang kecil itu. Tatapannya menusuk, seolah ingin memastikan Ariana tahu konsekuensi dari ucapannya.
Lalu bibirnya bergerak, mengucapkan pertanyaan yang membuat darah Ariana berhenti mengalir sesaat.
“Kau masih perawan?”
Ariana membeku, kedua matanya membesar mendengarnya. Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba dan menusuk ke inti privasinya.
Diam beberapa menit, dia akhirnya membuka mulut lalu menutupnya lagi, tidak tahu harus menjawab atau tidak. Namun, tatapan Jason terlalu kuat untuk dihindari.
Ariana kemudian mengangguk pelan. “Ya. Saya masih perawan,” suaranya nyaris tak terdengar.
Sudut bibir Jason terangkat sedikit, entah senyum atau smirk yang menandakan permainan baru. “Menarik.”
Tiba-tiba, tangannya terulur dan menyentuh dagu Ariana dengan ujung jarinya. Sentuhan itu ringan, tapi membuat bulu kuduk Ariana berdiri.
“Kau tahu, Ariana, di dunia ini, tidak ada yang gratis. Apalagi untuk jumlah sebesar itu.”
Ariana menelan ludah, matanya mencari-cari jawaban yang aman, tapi tatapan Jason terlalu dominan.
“Aku mau, kau menjadi pemuas nafsuku.”
Mata Ariana sontak membola mendengarnya. Tangannya saling bertautan mendengar ucapan Jason tadi.
“A-apa? Apa saya tidak salah dengar, Tuan?” ucap Ariana nyaris berbisik.
“Tidak. Kau tidak salah dengar. Aku bahkan bisa memberimu lebih, asalkan kau menandatangani perjanjian selama menjadi pemuas nafsuku.”
Jason menatapnya dengan lekat. “Kalau kau setuju,” lanjut Jason pelan, “kau akan menjadi milikku sepenuhnya. Bagaimana? Apa kau setuju?”
Ariana terdiam. Dia tidak tahu apakah harus menggadaikan harga dirinya, atau menolak permintaan gila majikannya itu.
Dia memejamkan matanya sejenak. Matanya tertuju pada adiknya yang akan selesai sekolah, ibunya yang sedang sakit berada di dalam rumah yang akan disita oleh rentenir.
“Apa tidak ada syarat lain selain itu, Tuan?” tanyanya kemudian.
“Tidak ada. Yes or not. Hanya itu pilihanmu,” jawab Jason dengan suara dinginnya.
Ariana merasakan kakinya lemas dengan jari saling bertaut. Menimbang-nimbang tawaran mencengangkan yang diberikan oleh Jason padanya.
“Pikirkan baik-baik penawaranku, Ariana. Kalau kau setuju, datang temui aku lagi.”
Siang itu, matahari bersinar hangat, tidak terlalu terik karena bayangan pepohonan rindang yang berjajar rapi di halaman rumah Adrian mampu meredam panasnya.Halaman rumah megah itu seolah taman pribadi dengan rumput hijau yang terawat, bunga-bunga berwarna cerah, dan sebuah kolam kecil yang airnya jernih memantulkan cahaya.Udara terasa sejuk, membawa aroma segar bunga mawar yang baru saja mekar.Ariana berdiri di tengah halaman, tengah meluapkan semua ucapan Berta yang penuh denga ancaman padanya.Dia masih membutuhkan pekerjaan ini. Tapi, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ariana semakin merasa bersalah telah mengungkapkan isi hatinya pada Jason.Tatapannya menatap pada sosok kecil yang berlari-lari sambil tertawa lepas.“Ethan, hati-hati! Jangan terlalu jauh,” serunya sambil ikut berlari mengejar bocah itu.Ethan menoleh sambil terkikik, pipinya memerah karena kegirangan. “Ariana, tangkap aku kalau bisa!”Ariana tersenyum dan roknya sedikit tersibak ketika dia berlari cepat, m
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Pagi itu, udara di rumah besar milik Jason masih terasa dingin. Mentari baru saja merambat naik dan menembus tirai besar ruang makan.Ariana berjalan pelan membawa nampan sarapan untuk Ethan.Wajahnya tetap tenang, meski hatinya berdebar setiap kali melewati lorong-lorong rumah yang kini terasa penuh dengan bisikan dan tatapan menusuk.Ia bisa merasakan jelas bagaimana tatapan para pelayan mengikuti langkahnya.Tatapan sinis, penuh cibiran, seakan tubuhnya sudah telanjur diberi label hina.Ariana menarik napas panjang, lalu menunduk, berusaha mengabaikan semua itu.Ia sudah tahu, sejak peristiwa semalam ketika Jason membela dirinya habis-habisan, gosip tentang statusnya pasti akan semakin menyebar.Tidak lagi sekadar pengasuh Ethan. Semua orang kini tahu, dia juga dianggap sebagai “pembantu pemuas nafsu” majikan mereka.Ariana menelan ludahnya lalu menghela napasnya dengan panjang. ‘Inilah risiko yang harus kuhadapi,’ pikirnya getir. ‘Selama aku
Hari ketujuh sejak kejadian penculikan itu akhirnya tiba. Dokter datang pagi-pagi ke kamar Ethan untuk memeriksa kondisinya dengan saksama.Ariana berdiri di samping ranjang sambil menggenggam tangan kecil itu dengan cemas.Jason juga ada di sana, punggungnya bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, wajahnya tetap dingin dan sulit terbaca.“Syukurlah, kondisi fisiknya stabil. Trauma memang masih ada, tapi secara medis Ethan sudah bisa pulang hari ini. Asal dijaga ketat, dan jangan dibiarkan sendirian terlalu lama,” ujar dokter dengan nada hati-hati.Ariana mengangguk patuh. “Terima kasih, Dok.”Ethan menoleh dengan senyum kecil yang masih tampak lemah. “Ariana, kita bisa pulang, ya?”Ariana membelai rambutnya lembut. “Iya, Sayang. Kita pulang.”Jason hanya memberi anggukan singkat pada dokter sebelum keluar sebentar untuk mengurus administrasi.Ariana memperhatikan punggung tegap pria itu menghilang di balik pintu.Hatanya terasa sesak. Sudah tiga hari penuh ia tidak benar
Malam turun perlahan menutup kota dengan cahaya lampu jalan yang berpendar di balik kaca mobil.Jason duduk di kursi belakang sedan hitamnya, bahunya tampak tegap tapi wajahnya muram. Jemmy, yang duduk di depan, melirik lewat kaca spion.“Tuan, kita langsung ke rumah?” tanya Jemmy dengan hati-hati.Jason tidak segera menjawab. Tatapannya menerawang keluar jendela, mengikuti jejeran gedung tinggi yang berkilau namun terasa dingin.Bayangan wajah Ariana muncul begitu saja, sorot matanya tadi ketika dia berdiri kaku di pintu kamar rawat Ethan. Wajah itu begitu rapuh sekaligus penuh keberanian.Jason menghela napas berat. “Ke kantor dulu,” jawabnya singkat.Jemmy tidak berkomentar, hanya mengangguk dan mengarahkan mobil menuju gedung perusahaannya.Selama perjalanan, hanya keheningan yang merayap di sana. Jason tampak menatap kosong ke depan, sementara Jemmy sibuk melirik raut wajah Jason kemudian menghela napasnya.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di kantor. Jemmy mengikuti Jason dar
Koridor rumah sakit sore itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Perawat berlalu-lalang, suara roda troli obat berderit di lantai, dan bau antiseptik menyengat menusuk hidung.Di depan pintu kamar Ethan, dua bodyguard Jason berdiri tegak dengan jas hitam, wajah mereka keras tanpa ekspresi.Tiba-tiba langkah tergesa terdengar mendekat—hak sepatu beradu lantai dengan irama cepat.Violeta.Wanita elegan dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan itu melangkah dengan wajah merah padam. Matanya berkilat, bibirnya terkatup rapat penuh amarah.“Apa kalian pikir bisa menghalangiku?!” bentaknya pada para bodyguard. “Aku nenek anak itu! Singkirkan tubuh kalian dari depan pintu ini!”Salah satu bodyguard menggeleng dengan sopan. “Maaf, Nyonya Violeta. Perintah langsung dari Tuan Jason, Anda tidak boleh masuk.”“Apa?!” Violeta hampir berteriak. “Dia anakku! Itu cucuku! Apa Jason sudah kehilangan akal sehatnya sampai melarang ibunya sendiri?!”Ia mencoba menerobos, tapi kedua bodyguard dengan sigap
“DIO, PENCULIK ANAK PENGUSAHA TERKENAL JASON LUBIS, JADI BURONAN POLISI!”Tidak hanya di media cetak, berita itu juga memenuhi layar televisi, portal daring, hingga trending di media sosial.Foto Dio terpampang jelas dengan label “DPO – Daftar Pencarian Orang”.Polisi membuka sayembara bagi siapa pun yang bisa memberikan informasi keberadaannya.Di ruang kerjanya, Jason duduk santai di kursi kulit hitam tengah menatap layar televisi besar yang menayangkan siaran langsung.Liputan itu memperlihatkan barisan polisi sedang memasang poster wajah Dio di beberapa titik kota.Sudut bibir Jason terangkat membentuk seringai puas. Tangannya mengetuk-ngetuk meja pelan, seolah sedang memainkan irama kemenangannya sendiri.“Lihatlah,” gumamnya dingin nyaris seperti desisan. “Salahmu karena berani mengganggu hidupku.”Ia lalu bersandar dan matanya berkilat penuh kemenangan. Baginya, menjadikan Dio buronan adalah langkah pertama menuju kehancuran total musuh lamanya itu.Baru saja dia hendak mematik