Share

Bab 4. Dasar Bos!

Hari semakin malam dan terasa sepi. Bik Inah dan Pak Maman pulang ke rumah belakang. Tinggal satpam saja yang di depan. Setelah makan, Amelia langsung kembali ke kamar, katanya banyak tugas sekolah. Rumah sebesar ini terlihat sangat sepi.

Aku berkeliling di dalam rumah, sambil mengenal semua sudut yang ada. Tanggung jawab besar, apapun yang ada, apapun yang terjadi adalah tanggung jawabku. Apalagi Tuan Kusuma jarang ada di rumah, jam segini saja belum sampai. Kasihan Amelia, pantas dia kelihatan girang melihat kedatanganku.

"Non Amelia sudah menunggu kedatangan, Bu Rani. Makanya dia seneng banget. Dia tidak ada teman ngobrol. Kalau ngobrol, Bibik sering tidak nyambung. Bibik tidak mengerti dia ngomong apa," kata Bik Inah tadi siang.

Dari lantai paling atas, separuh lantai atas adalah ruang terbuka. Ada ruang fitnes yang menghadap taman di roff top, di dalamnya berbagai peralatan tersedia, tetapi seperti jarang digunakan. Taman di atas ada teras yang terdapat kursi dan meja panjang, ada beberapa sunbed yang mengarah ke arah timur, cocok sekali untuk berjemur di pagi hari. Semuanya terawat bersih, tetapi terasa kosong. Ada dua kamar di atas, kamar utama-kamar Tuan Kusuma dan kamar satu yang biasanya dipakai Nyonya Besar ketika berkunjung.

Aku buka kamar Tuan Kusuma, kesan maskulin terasa benar. Tercium pengharum ruangan beraroma kayu-kayuan, cat berwarna abu-abu muda, perabotan kayu jati kombinasi dengan metal minimalis dengan sprei warna gelap dan lampu sorot di beberapa titik. Selera interior design zaman sekarang. Aku rapikan beberapa pernak-pernik di atas meja nakas dan aku melihat berkas lamaranku di sana.

Ah, aku berkeliling sebentar saja sudah capek, besuk dilanjut lagi untuk kamar berikutnya. Aku harus menyiapkan apa yang harus dikerjakan esok hari.

Cek kulkas, jadwal yang harus dimasak besuk. Ada titipan belanja dari Bik Inah, bahan-bahan kebersihan. Kata Bik Inah, belanja biasanya di supermarket lengkap di dekat sini. 

Tap ... tap ... tap ... 

Suara langkah kaki yang bersepatu, aku melongokkan kepala dan terlihat laki-laki berumur sekitar empat puluh tahunan, perawakan tinggi agak kurus menenteng tas kerja. Segera aku berdiri menyambutnya, pasti dia Pak Bos rumah ini.  

"Selamat malam Tuan Kusuma, perkenalkan saya Maharani, karyawan baru."

Dia mengangguk pelan sambil tersenyum dan menyerahkan tas kerjanya. 

"Tolong taruh di meja ruang kerja. Saya mau makan, siapkan cepat. Saya bersih-bersih dulu." 

Oh, ini yang namanya Tuan Kusuma. Penampilan seorang bos memang lain. Kelihatan rapi dan bersih. Segera kutata meja makan seperti tadi. Ditambah air putih hangat dan teh manis di sampingnya. Aku menunggu di kursi yang terletak agak jauh dari meja makan.

"Mbak Rani. Kau duduk di sini saja, menemani saya makan sambil ngobrol-ngobrol," kata Tuan Kusuma sembari menunjuk kursi yang harus aku duduki.

"Baik, Tuan."

Mungkin beliau akan mewawancaraiku seperti bos kalau menerima karyawan baru. 

"Ini yang masak Mbaknya, ya? Enak. Rendangnya gurih, dikasih apa? Terus ini pepesnya enak juga," tanyanya sambil mencicipi semua makanan yang tersedia. Mulutnya tidak berhenti mengunyah.

"Rendangnya saya kasih koya kelapa, Tuan. Kelapa sangrai yang ditumbuk halus. Kalau pepes ikannya, itu khas Banyuwangi. Ada rasa asam, manis dan pedas. Tetapi, pedasnya saya kurangi. Apa ada yang kurang, Tuan?" Deg-degan juga sih. Seperti tes masakan saja. Semoga dia suka.

"Tidak, sih. Saya suka semua. Oya, jangan panggil saya tuan. Seperti zaman penjajahan saja," katanya sambil terkekeh. Ternyata dia juga bisa melucu.

"Panggil saya pak atau mas aja!"

"Baik, Pak!" 

Aku sengaja memanggilnya pak, bukan mas. Aku ingin tetap profesional, bagaimanapun dia adalah seorang majikan dan aku pekerja.

"Rani! Aku panggil Rani, ya. Buatkan saya seperti pepes ini, tapi, pakai udang. Buat makan siang saya. Besuk sopir kantor akan ambil. Oya, menu yang Anita susun kamu ganti saja. Terserah kamu, saya tidak sempat mikir. Saya yakin kamu pintar masak!" kata Tuan Kusuma sambil meneruskan makan malamnya. 

Sambil makan, dia bertanya tentang apa yang aku bisa kerjakan. Apakah bisa mengoperasikan komputer, bisa pakai internet dan tentunya bisa masak apa saja. Dia juga menjelaskan, apa saja yang harus dikerjakan. 

"Hal-hal kecil di rumah, tolong kau atur. Saya tidak sempat."

"Baik, Pak. Apa ada lagi yang harus saya kerjakan?" tanyaku setelah makan malamnya selesai.

"Saya masih ada pekerjaan sedikit. Tolong kamu buatkan minuman hangat? Tenggorokan saya, agak tidak enak." 

"Baik, Pak."

Orang kaya memang enak dilihat dari jauh, tetapi sebenarnya tidak demikian. Pagi sampai sore kerja mengatur perusahaan. Malamnya masih kerja lagi. Tanggung jawabnya besar, banyak yang menggantungkan nasib di pundaknya.

"Malam, Pak." Aku ketuk dulu pintu ruang kerja sebelum masuk. Aku mengantar jahe hangat dan camilan biskuit di nampan.

"Terima kasih, ya. Kau duduk sebentar saja. Saya mau bicara."

"Saya minta tolong. Amelia, anak saya. Dia sudah beranjak dewasa. Tolong dia diperhatikan, ya. Saya tidak sempat. Apalagi dia perempuan, kadang-kadang saya tidak mengerti apa maunya. Jangan sampai dia di jalan yang salah. Kasihan dia, pasti dia merasa kesepian," katanya sambil memperlihat raut wajah sedih.

"Kau sudah punya anak, kan?"

"Anak saya sudah lulus SMA, Pak."

"Ok, siip. Anggap saja dia anakmu. Kalau nakal marahin saja. Saya tidak apa-apa kalau demi kebaikan. Tolong habis ini lihat dia, ya!"

"Baik, Pak." 

"Eh, tunggu!" teriak Tuan Kusuma ketika aku akan menutup pintu. Aku membalikkan badan dan mendapati matanya yang menyelidik melihatku dari atas sampai ke bawah. 

Apa aku ada salah, ya?

"Kamu akan sering mendampingi Amelia. Jadi penampilanmu harus sesuai. Besuk, kamu pergi belanja pakaian dengan Amelia. Pakai uang kas. Jangan uangmu!"

"Ba-baik, Tuan. Tetapi, saya sudah bawa baju. Itu tidak perlu. Menurut saya---"

"Tidak perlu bagaimana?! Saya tidak mau anak saya malu karena penampilanmu! Nanti dia diejek sama teman-temannya. Kamu ngerti enggak sih. Jangan samakan dengan di kampung! Sudah, sana-sana!" katanya memotong ucapanku,  sambil mengibaskan tangan menyuruh aku segera pergi.

Huufff ....

Tadi baik, sekarang julid. Seenaknya saja. Tidak mau dibantah. Aku merasa kesal, apa yang salah dengan penampilanku? Bersih dan rapi kok.

Dasar bos!

***

Komen (23)
goodnovel comment avatar
Rosdalima Alu
senang punya majikan seperti ini
goodnovel comment avatar
Kaysha Azkaida Almunir
dasar bos dingin
goodnovel comment avatar
Lia Jonk Chink
Wah si bos ketagihan masakannya Rani...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status