Hari semakin malam dan terasa sepi. Bik Inah dan Pak Maman pulang ke rumah belakang. Tinggal satpam saja yang di depan. Setelah makan, Amelia langsung kembali ke kamar, katanya banyak tugas sekolah. Rumah sebesar ini terlihat sangat sepi.
Aku berkeliling di dalam rumah, sambil mengenal semua sudut yang ada. Tanggung jawab besar, apapun yang ada, apapun yang terjadi adalah tanggung jawabku. Apalagi Tuan Kusuma jarang ada di rumah, jam segini saja belum sampai. Kasihan Amelia, pantas dia kelihatan girang melihat kedatanganku.
"Non Amelia sudah menunggu kedatangan, Bu Rani. Makanya dia seneng banget. Dia tidak ada teman ngobrol. Kalau ngobrol, Bibik sering tidak nyambung. Bibik tidak mengerti dia ngomong apa," kata Bik Inah tadi siang.
Dari lantai paling atas, separuh lantai atas adalah ruang terbuka. Ada ruang fitnes yang menghadap taman di roff top, di dalamnya berbagai peralatan tersedia, tetapi seperti jarang digunakan. Taman di atas ada teras yang terdapat kursi dan meja panjang, ada beberapa sunbed yang mengarah ke arah timur, cocok sekali untuk berjemur di pagi hari. Semuanya terawat bersih, tetapi terasa kosong. Ada dua kamar di atas, kamar utama-kamar Tuan Kusuma dan kamar satu yang biasanya dipakai Nyonya Besar ketika berkunjung.
Aku buka kamar Tuan Kusuma, kesan maskulin terasa benar. Tercium pengharum ruangan beraroma kayu-kayuan, cat berwarna abu-abu muda, perabotan kayu jati kombinasi dengan metal minimalis dengan sprei warna gelap dan lampu sorot di beberapa titik. Selera interior design zaman sekarang. Aku rapikan beberapa pernak-pernik di atas meja nakas dan aku melihat berkas lamaranku di sana.
Ah, aku berkeliling sebentar saja sudah capek, besuk dilanjut lagi untuk kamar berikutnya. Aku harus menyiapkan apa yang harus dikerjakan esok hari.
Cek kulkas, jadwal yang harus dimasak besuk. Ada titipan belanja dari Bik Inah, bahan-bahan kebersihan. Kata Bik Inah, belanja biasanya di supermarket lengkap di dekat sini.
Tap ... tap ... tap ...
Suara langkah kaki yang bersepatu, aku melongokkan kepala dan terlihat laki-laki berumur sekitar empat puluh tahunan, perawakan tinggi agak kurus menenteng tas kerja. Segera aku berdiri menyambutnya, pasti dia Pak Bos rumah ini.
"Selamat malam Tuan Kusuma, perkenalkan saya Maharani, karyawan baru."
Dia mengangguk pelan sambil tersenyum dan menyerahkan tas kerjanya.
"Tolong taruh di meja ruang kerja. Saya mau makan, siapkan cepat. Saya bersih-bersih dulu."
Oh, ini yang namanya Tuan Kusuma. Penampilan seorang bos memang lain. Kelihatan rapi dan bersih. Segera kutata meja makan seperti tadi. Ditambah air putih hangat dan teh manis di sampingnya. Aku menunggu di kursi yang terletak agak jauh dari meja makan.
"Mbak Rani. Kau duduk di sini saja, menemani saya makan sambil ngobrol-ngobrol," kata Tuan Kusuma sembari menunjuk kursi yang harus aku duduki.
"Baik, Tuan."
Mungkin beliau akan mewawancaraiku seperti bos kalau menerima karyawan baru.
"Ini yang masak Mbaknya, ya? Enak. Rendangnya gurih, dikasih apa? Terus ini pepesnya enak juga," tanyanya sambil mencicipi semua makanan yang tersedia. Mulutnya tidak berhenti mengunyah.
"Rendangnya saya kasih koya kelapa, Tuan. Kelapa sangrai yang ditumbuk halus. Kalau pepes ikannya, itu khas Banyuwangi. Ada rasa asam, manis dan pedas. Tetapi, pedasnya saya kurangi. Apa ada yang kurang, Tuan?" Deg-degan juga sih. Seperti tes masakan saja. Semoga dia suka.
"Tidak, sih. Saya suka semua. Oya, jangan panggil saya tuan. Seperti zaman penjajahan saja," katanya sambil terkekeh. Ternyata dia juga bisa melucu.
"Panggil saya pak atau mas aja!"
"Baik, Pak!"
Aku sengaja memanggilnya pak, bukan mas. Aku ingin tetap profesional, bagaimanapun dia adalah seorang majikan dan aku pekerja.
"Rani! Aku panggil Rani, ya. Buatkan saya seperti pepes ini, tapi, pakai udang. Buat makan siang saya. Besuk sopir kantor akan ambil. Oya, menu yang Anita susun kamu ganti saja. Terserah kamu, saya tidak sempat mikir. Saya yakin kamu pintar masak!" kata Tuan Kusuma sambil meneruskan makan malamnya.
Sambil makan, dia bertanya tentang apa yang aku bisa kerjakan. Apakah bisa mengoperasikan komputer, bisa pakai internet dan tentunya bisa masak apa saja. Dia juga menjelaskan, apa saja yang harus dikerjakan.
"Hal-hal kecil di rumah, tolong kau atur. Saya tidak sempat."
"Baik, Pak. Apa ada lagi yang harus saya kerjakan?" tanyaku setelah makan malamnya selesai.
"Saya masih ada pekerjaan sedikit. Tolong kamu buatkan minuman hangat? Tenggorokan saya, agak tidak enak."
"Baik, Pak."
Orang kaya memang enak dilihat dari jauh, tetapi sebenarnya tidak demikian. Pagi sampai sore kerja mengatur perusahaan. Malamnya masih kerja lagi. Tanggung jawabnya besar, banyak yang menggantungkan nasib di pundaknya.
"Malam, Pak." Aku ketuk dulu pintu ruang kerja sebelum masuk. Aku mengantar jahe hangat dan camilan biskuit di nampan.
"Terima kasih, ya. Kau duduk sebentar saja. Saya mau bicara."
"Saya minta tolong. Amelia, anak saya. Dia sudah beranjak dewasa. Tolong dia diperhatikan, ya. Saya tidak sempat. Apalagi dia perempuan, kadang-kadang saya tidak mengerti apa maunya. Jangan sampai dia di jalan yang salah. Kasihan dia, pasti dia merasa kesepian," katanya sambil memperlihat raut wajah sedih.
"Kau sudah punya anak, kan?"
"Anak saya sudah lulus SMA, Pak."
"Ok, siip. Anggap saja dia anakmu. Kalau nakal marahin saja. Saya tidak apa-apa kalau demi kebaikan. Tolong habis ini lihat dia, ya!"
"Baik, Pak."
"Eh, tunggu!" teriak Tuan Kusuma ketika aku akan menutup pintu. Aku membalikkan badan dan mendapati matanya yang menyelidik melihatku dari atas sampai ke bawah.
Apa aku ada salah, ya?
"Kamu akan sering mendampingi Amelia. Jadi penampilanmu harus sesuai. Besuk, kamu pergi belanja pakaian dengan Amelia. Pakai uang kas. Jangan uangmu!"
"Ba-baik, Tuan. Tetapi, saya sudah bawa baju. Itu tidak perlu. Menurut saya---"
"Tidak perlu bagaimana?! Saya tidak mau anak saya malu karena penampilanmu! Nanti dia diejek sama teman-temannya. Kamu ngerti enggak sih. Jangan samakan dengan di kampung! Sudah, sana-sana!" katanya memotong ucapanku, sambil mengibaskan tangan menyuruh aku segera pergi.
Huufff ....
Tadi baik, sekarang julid. Seenaknya saja. Tidak mau dibantah. Aku merasa kesal, apa yang salah dengan penampilanku? Bersih dan rapi kok.Dasar bos!
***
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”