"Kenapa Bang?"
Rafael mendekat ketika melihat kerumitan pada wajah Galuh, lalu mengangsurkan segelas kopi miliknya ke hadapan pria itu. Karena sepertinya lebih butuh kafein dari pada Rafael. "Nggak ada apa-apa." "Mukanya kok gitu, lagi ribut Sama Bu Kapten Bang?" tanya Rafael lagi. Tak puas dengan jawaban yang ia dapatnya. Galuh berdecak, menjulurkan tangannya untuk menyentil kepala Rafael, "kepo." Selepas apel pagi, Galuh memilih berdiam di barak. Terus teringat ucapan terakhir Gendis sebelum wanita itu pergi membawa kopernya. "Tujuan Mas sudah selesai, kesepakan Mas udah ada ditahap finish jadi mari kita selesaikan dengan baik-baik." Dan sekarang sebelum ia bisa memperbaiki komunikasi mereka, Gendis memilih menyudahi hubungan antara keduanya. Galuh merasa kosong. Padahal itu memang tujuan awalnya, tapi entah mengapa sekarang ia merasa tak terima. Harusnya Galuh yang menggugat Gendis bukan? "Bang, jangan suruh istri Saya buat jauhin Bu Kapten ya Bang. Istri Saya udah nggak mau. Malah sekarang Saya yang diancem. Katanya Saya nggak boleh masuk kamar kalau nggak ngebolehin dia bareng Bu Kapten," curhat Rafael. Wajahnya mendadak lesu karena ancaman istrinya sangat menakutkan. Ia tak boleh tidur di kamar yang artinya ia tak boleh menyentuh istrinya. Yah ... baru juga pulang tugas, lagi kangen-kangennya. Eh malah dikasih kalimat sakral. Ia juga mendengar dari rekan-rekan yang lain, dan mereka bernasib sama. Sepertinya para istri sedang melakukan pemberontakan karena tak bisa bersosialisasi dengan Gendis. Hanya Bu Hariyono yang dekat dengan istri Galuh, dan itu membuat istrinya kesal padanya. Apalagi istri Rafael adalah fans no satu dari Gendis Arunika. "Lagipula nih ya Bang, Bu Kapten kayaknya nggak pernah bikin masalah deh sampek harus di kasih sanksi sosial begitu. Kecuali ya memang berita yang kemarin. Cuma itu doang selama ini, alasan Bang Galuh nyuruh kita ngasih sanksi buat Bu Kapten apa sih Bang sebenernya?" Galuh masih diam, pikirannya melalang buana memikirkan apa yang harus ia lakukan tanpa Gendis. Pria itu menghela napas panjang, apa yang harus ia risaukan sebenarnya. Toh dia sudah terbiasa sendiri di medan tugas jadi Galuh tak perlu bingung seperti ini. "Bang, denger nggak sih." "Denger Pael, tapi Gendis sudah bukan istri Saya lagi," ucap Galuh yang membuat Rafael berdiri dari duduknya. "Abang mau ceraikan Bu Kapten Bang!" "Bukan," sahut Galuh lesu, "saya yang diceraikan." "Oh .... hah!" **** "Sudah pulang?" Gendis yang sedang menarik koper setelah membuka pintu rumah orang tuanya dibuat terkejut. Suara Papanya memang tebal, sedikit mirip dengan karakter suara Galuh suaminya. "Hm, Gendis pulang. Jangan tuntut Renata lagi Pah, Aku nggak mau berurusan sama mereka untuk yang ke sekian kalinya" sahut Gendis. Wanita itu melangkah pelan, mendekati Arjuna yang kini berdiri di samping sofa, menunggu kedatangan putrinya untuk kemudian ia peluk tubuh Gendis. Ada pula Rahayu, Mama Gendis hanya mampu menghela napas pelan, mencoba meredam emosi yang bergumul dalam dadanya. "Nggak papa, sakitmu akan cepat sembuh. Allah kasih tahu semuanya karena Allah sayang Kamu Mbak." Air mata Gendis kembali luruh. Ia telah menceritakan semua kejadian yang membuat dirinya kembali mendapat sorotan publik. Kesalahpahaman antara Renata dan dirinya sampai kesepakatan antara Galuh dengan Renata, tak ada yang ia sembunyikan kecuali kehidupan Gendis selama menikah dengan Galuh. Ketidakadilan yang ia alami selama di kediaman Galuh, bukan dari bagian konsekuensinya menjadi seorang mantan aktris. Melainkan karena perbuatan pria yang ia perjuangkan dihadapan Papa dan Mamanya. Ya ... sebenarnya dulu Papanya sangat menentang hubungan Gendis dengan Galuh, namun Gendis terus menjelaskan jika Galuh sama seperti Arjuna yang selalu ada untuk Rahayu. Hingga akhirnya Arjuna memberi restu untuk Gendis agar bisa bersanding dengan Galuh. Dan kemarin Gendis sempat berpikir jika Arjuna akan mengoloknya atau semacamnya, namun ternyata Arjuna tetap membuka tangan dan menerima Gendis tanpa mengadili wanita itu. Terus mendengar penjelasan Gendis tanpa menyela sedikitpun. Hanya Rahayu yang sedikit mengomel karena ulah Renata dan Galuh yang menurut Mama Gendis mempermainkan agama dan kesakralan pernikahan. Entah mengapa sekarang ada rasa takut yang menyergap pikiran Gendis. Hingga benaknya terus bertanya-tanya, apa ia tak selayak itu untuk diterima oleh masyarakat? Walaupun malu pada orang tuanya ia bersyukur karena masih ada Arjuna dan Rahayu di sampingnya karena jika bukan mereka siapa yang akan menemani Gendis di masa terpuruknya seperti saat ini. "Pak, semua sudah siap." Arjuna mengangguk sembari melambaikan tangannya agar segera keluar dari ruang keluarga. "Papa mau kemana?" tanya Gendis yang sudah segar setelah berendam air hangat selama beberapa menit untuk mengurangi rasa lelahnya. "Ada hal yang harus Papa urus. Kamu di sini sama Mama, nggak usah kemana-mana. Kalau ada tamu jangan keluar." Rentetan pesan keluar dari mulut Arjuna. Pria itu menyayangkan pernikahan Gendis yang berjalan singkat juga beberapa hal yang putrinya alami. Namun meski begitu Gendis tetaplah putrinya. Prioritas utamanya bersama sang istri. **** Sepeda motor yang Galuh kendarai sampai di halaman luas rumah dinasnya. Pria itu memarkirkan sepeda di samping pohon mangga, kemudian merebahkan diri pada dipan bambu yang memang tersedia di sana. Ia lelah, sangat lelah karena pikirannya ikut berkecamuk. Padahal Galuh sudah mati-matian menyibukkan diri dengan beberapa tugas juga berusaha tak mengingat surat yang Gendis berikan. Namun nihil, Galuh terus terbayang bagaimana keadaan Gendis ketika pertama kali mengetahui tentang kesepakatan yang ia lakukan dengan Renata. Jahat. Ya ia akui kini ia terlihat seperti orang jahat. Namun ia hanya berusaha melindungi rumah tangga sapupu jauhnya. Galuh berdecak kasar. Kedua tangannya meremas erat rambut pria itu hingga rasa sakit sedikit mengalihkan pikiran Galuh. "Kok belum masuk Pak, sudah mau Maghrib lho," sapa Bu Hari dengan sepiring pisang goreng di tangan. "Oh, iya ini tiduran bentar Bu," sahut Galuh lekas bangun dari posisi tidurnya. "Oalah, kecapean ya Pak? Ini ada pisang goreng. Masih hangat," beritahu Bu Hari sembari memberikan pisang buatannya. Wanita itu pergi ke rumah Gendis untuk mengajak Gendis ke acara pengajian yang diadakan tiap Minggu di perumahan tersebut. Para ibu-ibu Persit tadi mendesaknya agar Gendis ikut pengajian bersama mereka. Awalnya Bu Hari heran, namun hanya beberapa saat karena selebihnya ia merasa senang sebab Gendis bisa berkumpul dan berbaur bersama para istri tentara yang lain. "Ini Pak, kalau boleh ... Ibu Gendis nanti akan Saya ajak untuk ikut pengajian. Setelah Maghrib di rumahnya Indah," beritahu Bu Hari setelah jeda beberapa saat. "Nanti saya sampaikan ya Bu." Terlihat raut wajah binar pada wanita yang masih berdiri di depan Galuh mendengar ucapan pria itu. Satu misinya sudah selesai, tersisa beberapa tahap lagi agar Gendis bisa berbaur sepenuhnya dengan para istri tentara yang lain. "Alhamdulillah, ya sudah Saya izin pulang kalau gitu Pak." Galuh tersenyum simpul kemudian mengucapakan terima kasih atas makanan yang Bu Hari berikan padanya."Enak?" Secara tak sengaja Gendis bertanya pada Galuh. Pria yang saat ini sedang duduk dilantai beralaskan karpet dan menyadarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Membiarkan jemari Gendis memijat kepalanya. "Hm," gumam Galuh dengan senyum yang terus berpendar pada parasnya. Di tengah temaram cahaya, rayuan angin yang menyapa kulit serta aroma terapi yang memenuhi ruangan, Galuh tak menyangka ia akan mendapat sebuah kejutan seperti sekarang ini. Sikap Gendis sedikit lunak, dan sekarang ia mendapatkan kembali rutinitas malam yang selalu Gendis lakukan padanya dulu. Ibu jari Gendis sedikit menekan area belakang leher Galuh, menarik kaos polos pria itu agar sedikit ke bawah dan membuat dirinya semakin leluasa memijat Galuh. "Ini apa?" tanya Gendis datar. Ada goresan yang terlihat jelas. Dahi Gendis berkerut, melihat dengan seksama goresan itu. Sedikit panjang namun tak begitu lebar. Itu ... seperti bekas jahitan! Ya ... itu bekas jahitan. Dulu Galuh tak memiliki luka p
Suasana hening semenjak beberapa menit yang lalu. Gendis fokus pada tampilan layar laptop milik Ririn, nampak seorang wanita yang bermain panas dengan dua pria sekaligus di sana. Kulit yang berkilau di bawah temaram cahaya, desahan halus yang terkadang bercampur rengekan manja, juga pukulan panas yang semakin membuat suasana membara. Gendis meringis, hidungnya mengkerut dengan ekspresi tak percaya juga jijik sekaligus. "Parah Men," gumamnya yang jelas masih di dengar oleh Ririn. "Udah, Aku nggak kuat Rin. Jijik banget. Pen muntah." Tangan Gendis mendorong benda elektronik di depannya. "Faktanya ini Video editan Dis," beritahu Ririn, jemari wanita itu kembali mengutak-atik laptopnya untuk kemudian ia geser kembali ke hadapan Gendis. "Ini aslinya." "WHAT!" "Total ada delapan video panas, dan pemeran laki-lakinya juga beda Dis." "Astaga! Seriusan?!" seru Gendis dengan dua netra yang melotot horor. Satu video saja Gendis sudah ngeri-ngeri tak sedap melihatnya. Apalag
"Nia pulang," pamit Sonia. Gendis berdeham. Ke dua maniknya mengiringi bayang adik iparnya tersebut sampai gocar yang Sonia pesan menghilang dari pandangannya. Sudah dua hari gadis itu menginap, dan entah mengapa meskipun hanya ada perdebatan dan keributan dalam komunikasi mereka, Gendis merasa curiga. Aneh, bahkan kemarin Gendis memergoki Sonia ketika gadis itu mendapat telpon yang katanya dari temannya itu. Tiap gerak gerik yang Sonia lakukan menurutnya sangat aneh. "Dek, ayo ke dalem. Anginnya lumayan kenceng nanti Kamu masuk angin lagi." Bariton tebal namun lembut itu menyadarkan Gendis dari lamunannya, ia bergegas ke dalam karena angin malam memang lumayan kencang. Membuat pori-pori kulitnya mengerucut seketika. "Mas minta maaf soal kemarin." Gendis tak menjawab, terus berjalan dengan Galuh yang senantiasa selalu mengikuti langkah kaki sang istri. "Dek ...." "Apa sih, orang salahnya sama Nia kenapa minta maafnya sama Gue." Galuh menghela napas, mengacak-acak
Belum seminggu tinggal di rumah yang awalnya Gendis kira kediaman Rena, eh sekarang malah ada satu saudara menyebalkan yang bertamu. Hari masih pagi, masih begitu dini untuk memulai sebuah perang antar ipar yang sebenarnya sangat tidak berfaedah baginya. "Apa?" tanpa basa basi Gendis menembak Sonia. Perempuan yang masih sama. Masih sama dengan menunjukkan raut tak suka padanya. Siapa peduli, Gendis juga sudah kebal dengan tingkah laku Sonia yang seperti itu. "Kenapa Mbak ikut Mas Galuh pulang. Harusnya Mbak tuh nggak usah balik, nggak pantes seorang artis sensasional seperti Mbak Gendis jadi pendamping Mas Galuh. Turun martabat Mas Galuh kalau Mbak jadi istrinya." Benarkan? Salah satu sudut bibir Gendis terangkat, tersenyum sinis dengan dengusan kasar yang membuat Sonia semakin meradang. Gadis itu tak peduli dianggap sebagai ipar adalah maut atau embel-embel sebutan yang lain. Jelasnya dia ingin Galuh kembali pada Anindya. "Udah ... kemarin juga Gue kok yang ngehambu
"Pagi ...." Sebuah kecupan beserta bisikan manis menghampiri Gendis. Wanita itu baru saja membuka mata lalu disambut sikap Galuh yang lagi-lagi membuat Gendis risih. Pria itu duduk di samping tempat tidur dengan tatapan mengunci wajah Gendis. Menikmati tiap ekspresi Gendis yang ternyata sangat ia sukai. "Subuh," sahut Gendis sekenanya. "Sholat bareng yuk. Mas udah siapin sajadahnya," ajak Galuh. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya Gendis lekas memindahkan selimut. Bergerak perlahan karena perut membuncitnya sudah cukup menyulitkan Gendis. "Ini sendalnya," ucap Galuh memberitahu dengan tangan yang sigap meletakkan sepasang sandal bulu pada lantai yang akan Gendis pijak. Wanita itu menutup matanya, kemudian satu tangannya terangkat menahan pergerakan Galuh yang hendak membantunya untuk berdiri. "Bisa nggak sih, Lo itu diem? Atau maksimal jangan nunjukin muka gitu," ungkap Gendis datar. Tak peduli dengan ekspresi Galuh yang kehilangan senyumnya Gendis lekas berdiri dan b
"Papa nggak bakal lepas Kamu begitu saja kalau nggak ada jaminannya Mbak. Ini bukan tentang mendorong Kamu ke jurang yang sama. Melainkan memberikan Kamu kesempatan untuk membalas suamimu itu," jelas Arjuna dengan suara tebalnya. Gendis mendengus kasar. Sejak sore tadi ia sudah berdebat dengan Rahayu dan Arjuna. Jelas ia kalah! Dua lawan satu. Apalagi kedudukan keduanya adalah orang tua Gendis yang mana Gendis tak boleh menaikkan suaranya. "Ya meskipun nggak seberapa total hartanya setidaknya kalau dia macam-macam lagi, Kamu bisa kutuk dia jadi gembel." Sudut matanya melirik Galuh yang masih berekpresi santai meskipun baru saja Arjuna melontarkan kalimat yang cukup tak baik untuk didengar. Memang Galuh punya pekerjaan sampingan? Ah ... tidak, Gendis menggeleng pelan namun terdiam lagi setelah memikirkan mungkin Gendis saja yang tidak tahu bahwa Galuh memiliki bisnis. Sudahlah, Gendis juga bukan wanita mata duitan. Warisan dari Arjuna, juga penghasilan dari bangunan aparte