Lei Tian merasakan ketegangan di sekelilingnya, napasnya semakin terengah. Setiap serangan bayangan yang datang semakin cepat dan tidak terduga. Ia bisa merasakan bayangan-bayangan itu bergerak lebih cerdas daripada klon-klonnya sendiri. Tidak hanya itu, bayangan-bayangan itu tampaknya punya kendali penuh atas dunia sekitar mereka, membuat ruang terasa semakin sempit."Kau harus lebih cepat, Lei Tian!" Bai Zhen berteriak dari luar lingkaran pertarungan, meski jelas ia tak bisa membantu. "Cari kelemahannya!"Dengan langkah cepat, Lei Tian berputar, menebas satu bayangan yang mencoba menyelinap di belakangnya. Namun pedangnya hanya menembus kabut hitam, tanpa ada jejak luka yang terlihat."Tidak mungkin...!" Lei Tian menggeram. Ia bisa merasakan energi dari bayangan-bayangan itu—semakin kuat, semakin mematikan.Mo Tianhai yang terdiam di tempat, masih terjebak dalam pengaruh Hei Luo, mulai bergumam. "Bayangan sejati... mereka terbuat dari jiwa yang hilang."Lei Tian menoleh, matanya men
Langkah kaki Hei Luo menggema dalam kegelapan, mengiringi munculnya puluhan bayangan baru yang jauh lebih besar dan lebih buas daripada sebelumnya. Setiap bayangan adalah roh pendendam yang telah dikorbankan demi ambisi gila Hei Luo untuk membangkitkan kekuatan terlarang Sekte Darah Hitam. Wajah-wajah mereka berlumur penderitaan, suara-suara mereka meringkik dalam bisikan yang bisa membuat bulu kuduk berdiri.Lei Tian berdiri di tengah, tubuhnya penuh luka, napasnya memburu. Namun, di matanya tidak ada lagi keraguan. Hanya amarah yang membara—amarah kepada mereka yang telah menyiksa rakyat, menghancurkan keluarganya, dan mempermainkan dunia persilatan seperti panggung sandiwara."Kau ingin menguasai dunia, Hei Luo? Dengan darah dan mayat orang tak bersalah?" Suara Lei Tian dalam dan parau, tetapi setiap kata mengandung kekuatan batin yang tidak bisa dipatahkan.Hei Luo menyeringai, matanya yang merah menyala menatap Lei Tian seperti seorang jagal menikmati jeritan korbannya. "Tidak se
Langit di atas gua yang runtuh tampak memerah. Debu belum sepenuhnya mengendap ketika sebuah sosok tersungkur di antara puing-puing batu yang hangus. Lei Tian tergeletak tak bergerak. Tubuhnya dipenuhi luka, pernapasannya terputus-putus seperti api kecil yang hampir padam.Namun hidup masih bertahan di dalam dirinya.Dari sela bebatuan, terdengar langkah kaki ringan namun pasti. Seorang wanita berbalut jubah putih muncul perlahan dari balik kabut yang masih menggantung. Matanya bening dan penuh kekhawatiran, rambutnya tergerai panjang dengan hiasan perak di dahinya berkilau terkena cahaya bulan."Lei Tian...!"Bai Zhen.Ia berlari dan berlutut di samping tubuh pemuda itu, kedua tangannya gemetar saat menyentuh wajahnya yang dingin dan kotor oleh darah serta tanah."Bertahanlah... aku mohon, bertahanlah..."Bai Zhen mengambil pil spiritual dari dalam lengan bajunya dan menyuapkannya ke mulut Lei Tian. Tapi pemuda itu tak kunjung membuka mata. Ia lalu menutup mata dan mulai menyalurkan
Bayangan gelap berlari cepat di antara pepohonan, tanpa suara. Lei Tian mengepalkan tangan saat rasa dingin menjalar di tengkuknya. Ia tahu, mereka tak sendirian."Tiga jejak berbeda, tapi langkahnya nyaris seragam. Ini bukan pembunuh bayaran biasa," gumamnya pelan.Xiao Yun yang berdiri tak jauh darinya ikut mendekat. "Apa kau yakin ini jejak para Raja Bayangan?" tanyanya, matanya menyapu tanah berdebu.Lei Tian mengangguk pelan. "Lihat sudut tekanan ini. Bayangan Pertama berjalan tanpa membiarkan tubuhnya menyentuh udara terlalu lama. Jejaknya seperti embusan asap. Bayangan Kedua lebih berat, tapi terlatih untuk menyesatkan. Yang ketiga—sangat licin. Bisa jadi itu Bayangan Pemecah Bentuk.""Kita tidak akan bisa mengejar mereka dengan cara biasa.""Tidak. Tapi aku bisa melacak getaran Qi mereka. Mereka meninggalkan sisa-sisa teknik Klon Bayangan. Aku bisa masuk ke dalamnya."Xiao Yun menatapnya tajam. "Kau mau menggunakan Ritual Pemanggilan Jejak? Itu bisa membuatmu terperangkap, Tia
Malam tiba dengan cepat di Gurun Bayi Merah. Angin menderu keras, membawa serpihan pasir berwarna jingga keemasan yang tampak seperti percikan darah di langit yang gelap. Lei Tian berdiri di puncak bukit pasir, mengenakan jubah hitamnya yang compang-camping, matanya menatap ke arah hamparan luas di bawah sana. Di tengah gurun itu, berdiri sebuah altar batu berdarah yang diyakini sebagai tempat para tetua Sekte Bayangan melakukan perjanjian terakhir mereka sebelum dibantai."Di sanalah semuanya dimulai... dan mungkin akan berakhir," gumamnya.Di belakangnya, Wu Qing—mantan pembunuh bayaran yang kini menjadi sekutu Lei Tian—muncul membawa dua kantung air dan segulung peta tua."Kita sudah dekat. Tapi aku merasa ada sesuatu yang tak beres di bawah sana. Seperti... sesuatu sedang menunggu kita."Lei Tian mengangguk. "Karena itu kita harus bergerak sekarang. Semakin lama kita menunggu, semakin banyak mata yang akan mengintai."Mereka menuruni bukit pasir. Setiap langkah seperti menusuk kul
Gurun Bayi Merah terdiam, hanya hembusan angin gurun yang terdengar di antara reruntuhan altar yang hancur. Lei Tian berdiri di tengah-tengah kehancuran itu, tubuhnya berdarah dan lelah, tetapi matanya tetap tajam. Ia baru saja mengalahkan bayangan dirinya sendiri, namun sesuatu yang lebih besar, lebih mengerikan, mulai mengintainya. Sesuatu yang jauh lebih gelap daripada apa yang pernah ia bayangkan.Tang Kwan dan wanita muda itu berdiri tidak jauh darinya, mengamatinya dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita muda itu melangkah maju, matanya berkilau seperti perak di bawah sinar matahari yang redup. Ia tersenyum tipis, senyuman yang penuh dengan makna yang hanya dimengerti oleh mereka yang tahu rahasia gelap dunia ini."Kau telah berhasil melewati ujian altar ini," kata Tang Kwan dengan suara datar. "Namun, itu hanya permulaan. Sebenarnya, tantangan sesungguhnya baru akan dimulai."Lei Tian menatap mereka dengan waspada, tahu bahwa mereka tidak datang hanya untuk mengamati kekalahan
Lei Tian terus berjalan di tengah gurun yang sepi, langkah kakinya terasa berat meskipun tubuhnya telah menahan rasa sakit dan kelelahan. Matahari terbenam perlahan, meninggalkan langit merah yang memudar. Gurun Bayi Merah yang sebelumnya sepi, kini terasa penuh dengan ancaman. Langit yang gelap memberi pertanda bahwa malam ini tidak akan biasa.Ia memutar tubuhnya, merasakan tekanan yang datang dari arah yang tak tampak. Sekte Bayangan Sejati tidak akan berhenti begitu saja, dan mereka pasti akan mengejarnya. Lei Tian tahu, tak ada lagi tempat aman baginya. Mereka yang menginginkan kekuatan kitab itu tidak akan menyerah hanya karena satu penolakan.Di balik pasir yang tertiup angin, sebuah bayangan muncul perlahan. Tang Kwan dan wanita muda itu kini berdiri tak jauh darinya, memblokir jalannya. Hanya ada satu jalan menuju kebebasan, dan itu adalah melewati mereka.“Kau benar-benar keras kepala, Lei Tian,” suara Tang Kwan terdengar pelan namun tajam. “Kami sudah memberikanmu kesempata
Gurun Bayi Merah terhampar luas, pasirnya berkilauan di bawah cahaya rembulan yang memudar. Angin panas yang datang dari arah barat menggerakkan ujung-ujung jubah mereka yang berantakan, menciptakan suasana tegang di udara. Lei Tian, meski kelelahan, berdiri tegak di tengah pertempuran. Matanya tajam, dan napasnya terengah-engah, menandakan bahwa tubuhnya hampir habis dikeroyok. Tetapi tekad di hatinya tak goyah.Di hadapannya, wanita muda itu, dengan pedang berkilau di tangan, berdiri dengan sikap siap tempur. Ekspresinya serius, dan meskipun ia menunjukkan wajah yang dingin, gerakan tubuhnya jelas menunjukkan bahwa ia menghormati kekuatan Lei Tian. Tang Kwan berdiri di sampingnya, tangannya diletakkan dengan santai di sabuk, namun matanya tetap mengawasi setiap gerakan Lei Tian.“Masih ingin bertarung, Lei Tian?” wanita muda itu berkata, suaranya tenang, tapi ada nada tajam yang tersirat. “Kami bukan orang yang mudah dihadapi.”Lei Tian mengalihkan pandangannya kepada mereka berdua,
Lei Tian mencengkeram gagang pedangnya. Matanya berkilat. “Bayangan sudah mulai bergerak.”Dari balik celah bebatuan, sesosok tubuh samar muncul—tingginya hampir dua meter, wajahnya tanpa mata, hanya lubang hitam dengan suara dengung mengerikan keluar dari mulutnya. Makhluk itu melayang di atas tanah, tangan-tangannya seperti ranting kering menggapai. “Bayangan luka,” gumam Jin Wu. “Ini yang terbentuk dari jiwa-jiwa yang menolak diampuni.”Lei Tian maju tanpa ragu. “Biarkan aku yang hadapi. Kalian terus naik.” “Jangan bodoh,” seru Yara. “Kita bertiga!”Lei Tian menoleh, tatapannya tajam namun ada ketulusan di sana. “Yara. Aku butuh kau menjaga Jin Wu. Di atas sana… hanya satu dari kita yang boleh membaca mantra.” “Apa maksudmu?!” Jin Wu memutar tubuhnya. “Kau bilang kita bertiga—” “Aku bohong.”Hening. Hanya desau angin dan suara napas tercekat Yara
Suasana membeku. Lei Tian memejamkan mata, menundukkan kepala.“Aku tak minta dimaafkan. Tapi aku ingin kau tahu… aku pun tak pernah tidur nyenyak sejak hari itu.”Jin Wu menarik napas panjang, lalu menenggak arak dari cangkirnya. Ia menghela napas keras, lalu berkata lirih:“Tiga tahun lamanya aku ingin membunuhmu.”Mendengar itu Lei Tian tak terkejut. Ia hanya menatap lurus ke depan, tenang. “Kenapa tidak sekarang saja? Hentikan semua ini sebelum aku berubah menjadi sesuatu yang lebih buruk dari Chaos.”Jin Wu beralih memandangnya. Untuk pertama kalinya, wajahnya menampakkan luka yang tak terlihat—rasa kecewa, kehilangan, dan keraguan.“Karena… meski aku membencimu, aku juga tahu… kau satu-satunya yang bisa menyelamatkan dunia ini,” katanya sambil menatap jauh.Lei Tian perlahan berdiri. Debu tanah menempel di lutut jubahnya. Angin berembus pelan, mengibarkan helai
Lei Tian mengangguk pelan. “Mereka tidak tahu… kegelapan belum benar-benar pergi.”Yara menyusul dari belakang, rambutnya dikepang dua, wajahnya lebih tenang dari biasanya. Ia membawa sekantong kue kacang dan menyerahkannya ke Lei Tian.“Untuk kenangan. Ini dari bibi tua penjual di ujung jalan. Dia bilang kamu dulu sering ngutang.” Lei Tian terkekeh kecil, menerima kantong itu. “Aku ingat… waktu itu aku kabur dari kejaran penjaga karena tak bayar.”Semuanya tertawa. “Kamu tidak pernah berubah,” sindir Yara, tersenyum tipis.Lei Tian membuang wajah, “Tapi aku takkan pernah punya waktu untuk berubah lebih jauh lagi, bukan?”Yara terdiam. Suasana beku sesaat. Matanya sedikit redup. Ia menggigit bibirnya sebelum berkata: “Jadi kau benar-benar akan pergi… ke dimensi bayangan?”Lei Tian menatap langit. “Jika aku tetap di sini, aku akan menjadi ancaman seperti Chaos
Udara terasa sunyi, namun bukan hening yang damai—melainkan kosong, seolah dunia masih belum percaya bahwa Raja Chaos benar-benar musnah. Awan yang sebelumnya selalu kelabu kini membuka celah, dan sinar matahari perlahan menembus permukaan bumi yang hancur dan menghitam.Lei Tian masih berlutut, bahunya naik-turun. Napasnya berat. Tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena beban kekuatan yang belum sepenuhnya ia pahami.Jin Wu mendekat, berlutut di sampingnya, menepuk pelan punggungnya. “Hei… masih hidup, pahlawan?”Lei Tian mengangkat kepalanya. Wajahnya penuh keringat dan debu, tapi matanya—emas dan hitam—masih bersinar. “Rasanya… seperti ada seluruh galaksi yang mendesak di balik mataku.” “Kau tampak seperti seseorang yang baru saja mencicipi neraka dan kembali dengan sepotong surga,” sahut Yara, berdiri sambil membersihkan ujung jubahnya yang robek.Yara kemudian berj
“Aku hanya ingin... dikenang.”Lei Tian menyentuh kepala anak itu. Cahaya menyebar dari telapak tangannya.“Kalau begitu, biarkan aku... mengakhirinya dengan tenang.”Dan dalam sekejap, dunia dalam kesadaran itu hancur—bukan karena kebencian, tapi karena penerimaan.-Kabut itu menjerit.Begitu kesadaran Lei Tian masuk lebih dalam dan menyentuh inti Raja Chaos, dunia bayangan mulai retak seperti cermin dihantam palu. Retakan itu menyebar cepat, memecah lapisan demi lapisan dimensi yang melilit makhluk purba itu selama ribuan tahun.Tubuh raksasa Raja Chaos menggeliat liar di dunia luar. Dari setiap pori tubuhnya, semburan bayangan keluar bagaikan darah kotor. Jin Wu dan Yara terus bertahan, tapi napas mereka kini berat, gerakan mereka tersendat. Luka mulai menghiasi tubuh keduanya.“Dia... dia sekarat!” teriak Yara, sembari mengayunkan tongkatnya yang berpendar makin redup.
Langkah kaki Lei Tian terhenti saat tanah di bawahnya menggeliat seperti makhluk hidup. Setiap jejak yang ia tinggalkan mengeluarkan suara lengket dan basah. Dunia di dalam Gerbang Ketiga ini bukan hanya gelap—ia hidup, dan ia menolak kehadiran cahaya.Yara menggenggam tongkatnya erat. Ujungnya menyala redup, mengusir sebagian kabut kelabu yang menggantung. Jin Wu berada di belakang mereka, sorot matanya tajam, tapi ada kegamangan yang tak biasa di wajahnya.“Ini… bukan dunia,” bisik Yara. “Ini... kesadaran.”Lei Tian mengangguk perlahan. “Kesadaran Raja Chaos. Inilah bentuk pikirannya… sebelum ia terperangkap ribuan tahun lalu.”Langit di atas mereka terus berdenyut seperti dinding jantung, dan dari segala arah terdengar bisikan tak berujung.“Kembali… kembali… darahmu adalah milik kami…”Tiba-tiba, tanah di depan mereka membelah, dan dari celah itu muncul sosok yang begitu tinggi hingga menyentuh l
Hening.Setelah ledakan cahaya yang menyelimuti puncak altar, dunia seolah menahan napas. Debu masih berjatuhan perlahan. Angin berhenti berhembus. Burung-burung bayangan yang biasa berputar di atas langit Bayangan Timur menghilang—lenyap ke celah realitas.Lei Tian berdiri pelan dari reruntuhan. Napasnya berat. Luka-luka di tubuhnya menghitam dan pulih sendiri—bukti bahwa kekuatan Raja Bayangan masih mengalir dalam nadinya.“Kau menang, untuk saat ini,” bisik suara bayangan dalam benaknya. Bukan dari Raja Bayangan, tapi dari warisan kekuatan yang kini menyatu dengannya.Lei Tian menatap tangannya. Urat-uratnya tampak seperti aliran tinta hitam di atas kulit. Sesekali berkilat samar keemasan. Cahaya dan kegelapan itu belum sepenuhnya berdamai. Tapi untuk saat ini, dia bisa mengendalikannya.Tiba-tiba…DUM!Suara guntur meledak dari langit. Tapi bukan suara biasa—melainkan gema dari dimensi lain. Langit di atas altar mulai menghitam, lalu robek perlahan seperti kain tua. Retakan bercah
: Langkah kaki Lei Tian terdengar berat di tengah kehancuran altar. Debu dan sisa-sisa segel beterbangan ditiup angin malam yang tajam. Matanya tak lepas dari sosok Raja Bayangan yang berdiri gagah di tengah pusaran energi hitam yang terus tumbuh dan meliuk-liuk seperti ular lapar.Raja Bayangan membuka kedua lengannya, seolah menyambut sesuatu. “Akhirnya, darahku dan darah mereka yang mengkhianatiku... bertemu dalam satu tubuh.”Lei Tian menggertakkan giginya. Nafasnya memburu, dan tangan kirinya sedikit bergetar. Bukan karena takut, tapi karena hawa jahat yang menyerang pikirannya, mencoba menyusup masuk ke dalam batinnya.“Aku bukan penerusmu!” seru Lei Tian lantang.Raja Bayangan tertawa. Suaranya berat dan bergema, membuat tanah bergetar pelan. “Oh, kau salah, anak muda. Kau adalah jelmaan sempurna antara terang dan gelap. Dilema abadi yang kubutuhkan untuk membuka Gerbang Ketiga.”Lei Tian melangkah maju dengan mata menyala. “Gerbang Ketiga itu akan menghancurkan dunia nyata.
Gelap.Namun bukan gelap biasa. Ini adalah gelap yang terasa hidup. Gelap yang bernapas.Lei Tian mendadak kehilangan kesadaran atas tubuhnya. Saat dia membuka matanya, dunia di sekeliling telah berubah. Langitnya berwarna merah darah, tanahnya menghitam seperti arang, dan udara terasa berat seperti ditarik ke dalam pusaran waktu.“Apa ini…?” gumamnya, berdiri dengan langkah limbung.Sebuah suara menggema dari langit—serak, tua, dan berlapis gema aneh.“Kau dipanggil… oleh ingatan yang terikat darah. Karena kau adalah garis terakhir dari mereka yang memenjarakan Raja Bayangan.”Kata-kata itu terulang-ulang dan suaranya menggema.Dunia sekitar bergerak. Tanah bergetar dan terbuka, menampilkan sepotong kenangan: sebuah medan perang purba. Ribuan pasukan berjubah gelap berdiri melawan cahaya—pasukan bayangan melawan serdadu kerajaan langit. Suara pedang, teriakan, dan sihir memecah langit.Lei Tian terdiam, tubuhnya gemetar. “Ini… perang dimensi kuno…”Seseorang berdiri di tengah medan t