Gurun Bayi Merah terhampar luas, pasirnya berkilauan di bawah cahaya rembulan yang memudar. Angin panas yang datang dari arah barat menggerakkan ujung-ujung jubah mereka yang berantakan, menciptakan suasana tegang di udara. Lei Tian, meski kelelahan, berdiri tegak di tengah pertempuran. Matanya tajam, dan napasnya terengah-engah, menandakan bahwa tubuhnya hampir habis dikeroyok. Tetapi tekad di hatinya tak goyah.Di hadapannya, wanita muda itu, dengan pedang berkilau di tangan, berdiri dengan sikap siap tempur. Ekspresinya serius, dan meskipun ia menunjukkan wajah yang dingin, gerakan tubuhnya jelas menunjukkan bahwa ia menghormati kekuatan Lei Tian. Tang Kwan berdiri di sampingnya, tangannya diletakkan dengan santai di sabuk, namun matanya tetap mengawasi setiap gerakan Lei Tian.“Masih ingin bertarung, Lei Tian?” wanita muda itu berkata, suaranya tenang, tapi ada nada tajam yang tersirat. “Kami bukan orang yang mudah dihadapi.”Lei Tian mengalihkan pandangannya kepada mereka berdua,
Kehidupan di Gurun Bayi Merah terasa semakin menegangkan. Angin panas yang menghembus tidak hanya mengeringkan keringat mereka, tetapi juga membawa ketegangan yang semakin terasa di udara. Lei Tian memandang pria misterius itu dengan penuh kebingungan. Siapa dia? Apa tujuannya? Dan mengapa dia datang tepat saat pertempuran mencapai titik krisis?Pria itu, yang tubuhnya bagaikan gunung yang tak tergoyahkan, berdiri tegak dengan tatapan dingin, seolah menilai setiap inci dari tanah yang mereka pijak. Tatapannya beralih dari Lei Tian ke Tang Kwan dan wanita muda itu, dan sesaat seluruh dunia terasa hening. Tidak ada suara selain desiran angin yang terus berputar, membawa pasir-pasir halus yang berterbangan.“Apa maksudmu dengan semua ini?” Tanya wanita muda itu, suaranya bergetar meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Tentu saja, mereka tahu siapa pria ini—seorang legenda di dunia persilatan, namun melihatnya muncul begitu mendalam di tengah pertempuran ini, membuat keduanya merasa tid
Suasana di Gurun Bayi Merah berubah drastis. Angin menggulung pasir, menciptakan pusaran ganas yang berputar-putar mengelilingi medan tempur. Langit tampak muram, seolah-olah ikut murka atas bangkitnya kekuatan terlarang dari tubuh Lei Tian.Tubuh Lei Tian kini dibalut bayangan pekat yang menjalar liar seperti akar hidup. Bayangan itu menyatu dengan tanah, merambat ke segala arah, merobek permukaan gurun dan menelan cahaya di sekitarnya. Sosoknya kini tampak lebih menyerupai dewa kegelapan daripada pendekar biasa.Pria misterius itu—yang kini berdiri dengan sikap bertahan, rahangnya mengeras—memijakkan satu kakinya lebih dalam ke tanah, seolah siap menahan gempa. “Berhenti sebelum semuanya terlambat, Lei Tian!” serunya keras, namun tak dihiraukan.Tang Kwan, yang berdiri dengan napas tersengal dan luka di pelipisnya, menatap bayangan di belakang Lei Tian. "Itu... ajian Bayangan Leluhur. Tapi kekuatannya tidak murni. Itu... tercemar."Sementara itu, wanita muda yang sebelumnya mengacun
Pasir di Gurun Bayi Merah mendadak bergetar lagi, pelan namun pasti. Retakan kecil mulai muncul dari bekas medan pertempuran, menjalar seperti urat nadi kematian. Lei Tian yang masih terbaring di tanah menoleh perlahan, menyipitkan mata ke arah pusat pusaran itu.Tang Kwan langsung menarik tubuhnya. "Kita belum selesai rupanya..."Sementara itu, si wanita muda—Lian Xue—menegang. Telinganya menangkap suara lirih dari bawah tanah: suara erangan bercampur bisikan tua, seperti suara orang menggumam mantra dari dasar liang lahat."Altar itu... belum sepenuhnya terkunci!" Lian Xue berteriak. Ia mencabut jimat dari balik pakaiannya dan menggigit ibu jarinya hingga berdarah. Dalam sekejap, darahnya ditorehkan ke tanah membentuk simbol segel, namun bayangan dari altar terus mendesak.Tanah akhirnya menganga. Dari retakan itu, muncul tangan besar berwarna kehitaman—berlapis sisik dan tulang—sebuah tangan yang tak mungkin berasal dari makhluk dunia fana.Dari sela-sela pasir, muncul wajah raksas
Cahaya senja menggurat cakrawala Gurun Bayi Merah dalam semburat jingga keemasan. Angin membawa debu dan aroma darah yang belum sempat mengering. Gurun itu kembali sunyi, namun keheningannya menyimpan banyak kematian dan satu rahasia besar yang nyaris bangkit.Lei Tian duduk bersandar pada sebuah batu besar, wajahnya pucat, nafasnya berat, dan pakaian yang dikenakannya compang-camping berlumur darah. Di balik luka dan kelelahan itu, matanya menyala dengan bara tekad yang tak padam.Tang Kwan mengikat perban seadanya di lengan Lei Tian. Gerakannya cepat namun lembut, sementara sesekali matanya melirik sekitar dengan kewaspadaan. "Jangan banyak bicara dulu. Energi internalmu masih kacau. Kau bisa mati kalau memaksa aliran qi kembali.”Lei Tian tersenyum tipis. "Mati sudah biasa mengintai. Tapi dunia ini belum selesai menuntut darahku, bukan?"Lian Xue berdiri di tepi batu, rambut panjangnya berkibar diterpa angin malam. Mata beningnya menatap langit yang mulai meredup. Di tangan kananny
Angin malam di Gurun Bayi Merah membawa aroma darah dan kematian. Di tengah luasnya padang pasir, cahaya redup bulan membentuk siluet pada struktur batu raksasa yang menyerupai gerbang purba. Di sanalah Lei Tian berdiri, tubuhnya tegap meski napasnya masih terengah akibat pertempuran sebelumnya.Darah mengering di sisi wajahnya. Ia melirik ke bahunya yang robek akibat sabetan pedang bayangan milik Jenderal Lu Shao. Namun luka itu bukan yang paling menyiksa—tatapan hampa pada altar di belakang gerbang itu jauh lebih menyakitkan.“Ini... tempat terakhir ayahku,” gumam Lei Tian. Suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin gurun.Di belakangnya, Yan Mei meraba nisan setengah tenggelam di pasir. “Jejak energi jiwa sangat kuat di sini. Tapi... ada sesuatu yang menghalangi akses ke dimensi batin.”Lei Tian mendekat ke gerbang batu. Di atas lengkungannya terukir simbol kuno—sebuah mata hitam terbelah dua. Ia mengangkat tangan dan menempelkan telapak tangannya ke batu itu. Seketika tubuhnya ter
Langit bergulung kelam di atas Tebing Tak Bernama. Awan-awan hitam menggantung rendah, seolah hendak menelan dunia. Angin gurun meniupkan aroma besi dan bunga kering, membawa kabar petaka. Lei Tian berdiri di tepi tebing, wajahnya keras dan penuh tanya. Di belakangnya, Bayangan Kembar berjaga dalam formasi waspada."Kau yakin tempat ini menyimpan jawabannya?" tanya Xiu Lan pelan, mata tajamnya menelusuri celah-celah batu yang ditumbuhi lumut darah.Lei Tian mengangguk pelan. "Setiap malam... suara itu memanggil dari tempat ini. Aku mengenal suara ibu."Di balik dinding tebing yang menghitam, tersembunyi celah sempit. Lei Tian melangkah masuk lebih dulu, jari-jarinya menyentuh dinding yang hangat aneh, seperti kulit makhluk hidup. Xiu Lan mengikutinya, sementara Bayangan Kembar tetap berjaga di luar.Di dalam lorong batu, udara begitu berat, seolah ada tekanan jiwa yang menahan setiap langkah. Cahaya dari batu giok yang dibawa Lei Tian menyorot dinding yang dipenuhi ukiran kuno: gambar
Langit jingga menyelimuti Kota Hantu saat Lei Tian dan Mei Hua tiba di gerbangnya. Angin panas berdesir dari gurun, membawa aroma kematian dan pasir yang asin. Kota itu, dulunya pusat perdagangan para pemburu artefak, kini ditinggalkan setelah wabah misterius menghantamnya belasan tahun silam. Namun menurut catatan dalam Kitab Seribu Bayangan, di tempat inilah darah terakhir dari Sekte Bayangan Tua tertumpah.Mei Hua menggenggam erat gagang pedangnya. "Kau yakin altar darahnya ada di sini?"Lei Tian mengangguk perlahan, matanya menyapu reruntuhan bangunan yang dipenuhi lumut dan bayang-bayang. "Kita mencari kuil tua di tengah kota. Di situlah pemimpin terakhir Sekte Bayangan dibantai."Langkah mereka menggema pelan di antara lorong-lorong sunyi, suara debu yang beterbangan menjadi musik latar yang suram. Bangunan-bangunan batu menjulang seperti kuburan, dengan jendela-jendela menganga seperti mata mayat yang menatap kosong.Tiba-tiba, langkah Mei Hua terhenti. Ia mengangkat tangan, is
Namun, Yara tidak goyah. Ia merasakan bahwa inilah saat yang menentukan, saat di mana segala perjuangan, segala pengorbanan yang telah ia lakukan, akan diuji. Menguatkan niatnya, ia menatap ke depan dengan mata yang penuh tekad.Yara memusatkan energi dalam dirinya, tubuhnya mulai memancarkan aura yang lebih besar, lebih kuat, menyinari kegelapan yang mengelilinginya. Cahaya itu semakin intens, menyorot dengan kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Tiba-tiba, dengan kecepatan luar biasa, bayangan itu meluncur ke arah Yara. Namun, Yara sudah siap. Ia mengangkat kedua tangannya, memusatkan energi dengan kuat, dan mengarahkan cahaya yang begitu terang menuju bayangan yang mengarah padanya. Dalam sekejap, cahaya itu bertabrakan dengan bayangan tersebut, menghasilkan ledakan energi yang mengguncang seluruh gunung.Jin Wu memejamkan mata, merasakan getaran yang begitu hebat, hampir membuat tubuhnya terhempas. Ketika ia membuka mata, yang terlihat
“Aku adalah bagian dari bayangan yang tidak bisa kau hancurkan. Kau sudah menutup satu jalan, tapi yang lainnya sudah terbuka. Dan kini, kau akan merasakannya.”Jin Wu mengangkat tombaknya, siap untuk menyerang, tetapi tubuhnya terasa terikat oleh kekuatan tak terlihat yang mengalir dari sosok itu. Ia berusaha bergerak, namun seolah terhimpit oleh kekuatan yang jauh lebih besar.“Jin Wu… jaga dirimu,” kata Yara dengan tegas, meskipun suaranya terdengar lemah. “Kita harus menghadapinya bersama.”Sosok itu melangkah maju, tubuhnya melayang di atas tanah seperti bayangan yang hidup. Saat ia bergerak, langit semakin gelap, dan angin berputar lebih kencang, menciptakan tornado mini di sekitar altar. “Kau masih belum mengerti, Yara,” suara itu semakin jelas dan menembus pikiran mereka. “Kau bukan hanya berhadapan dengan bayangan yang kau kenal. Kau sedang berhadapan dengan takdir yang lebih besar. Dan takdirmu… adalah menjadi
Bayangan itu meraung, melangkah maju, dan tiap pijakan membuat tanah pecah. Jin Wu segera berdiri di antara altar dan makhluk itu, mengangkat tombaknya. “Kalau kau adalah sisi gelap Tian… maka aku yang harus menghentikanmu. Demi dia. Demi kami.”Bayangan mengangkat tangan besar dan mencengkeram udara. Dari kehampaan, sebuah pedang gelap muncul, berkilat seperti obsidian cair.Jin Wu menelan ludah, lalu melompat—dua bayangan bertabrakan. Tombak dan pedang beradu, menimbulkan gelombang kejut yang mengguncang seluruh puncak gunung. Batu-batu runtuh dari tebing, namun Yara tetap fokus, menggumamkan tiap bait mantra dengan mata tertutup. “Jiwa yang tercerai... terang yang tersimpan dalam gelap... kembalilah…”Darah mengucur dari lengan Jin Wu. Pedang bayangan itu membelah udara seperti kilat, melukai tubuhnya tanpa ampun. Tapi ia terus menyerang, dengan seluruh kekuatan dan tekad yang Lei Tian wariskan padanya.
Lei Tian mencengkeram gagang pedangnya. Matanya berkilat. “Bayangan sudah mulai bergerak.”Dari balik celah bebatuan, sesosok tubuh samar muncul—tingginya hampir dua meter, wajahnya tanpa mata, hanya lubang hitam dengan suara dengung mengerikan keluar dari mulutnya. Makhluk itu melayang di atas tanah, tangan-tangannya seperti ranting kering menggapai. “Bayangan luka,” gumam Jin Wu. “Ini yang terbentuk dari jiwa-jiwa yang menolak diampuni.”Lei Tian maju tanpa ragu. “Biarkan aku yang hadapi. Kalian terus naik.” “Jangan bodoh,” seru Yara. “Kita bertiga!”Lei Tian menoleh, tatapannya tajam namun ada ketulusan di sana. “Yara. Aku butuh kau menjaga Jin Wu. Di atas sana… hanya satu dari kita yang boleh membaca mantra.” “Apa maksudmu?!” Jin Wu memutar tubuhnya. “Kau bilang kita bertiga—” “Aku bohong.”Hening. Hanya desau angin dan suara napas tercekat Yara
Suasana membeku. Lei Tian memejamkan mata, menundukkan kepala.“Aku tak minta dimaafkan. Tapi aku ingin kau tahu… aku pun tak pernah tidur nyenyak sejak hari itu.”Jin Wu menarik napas panjang, lalu menenggak arak dari cangkirnya. Ia menghela napas keras, lalu berkata lirih:“Tiga tahun lamanya aku ingin membunuhmu.”Mendengar itu Lei Tian tak terkejut. Ia hanya menatap lurus ke depan, tenang. “Kenapa tidak sekarang saja? Hentikan semua ini sebelum aku berubah menjadi sesuatu yang lebih buruk dari Chaos.”Jin Wu beralih memandangnya. Untuk pertama kalinya, wajahnya menampakkan luka yang tak terlihat—rasa kecewa, kehilangan, dan keraguan.“Karena… meski aku membencimu, aku juga tahu… kau satu-satunya yang bisa menyelamatkan dunia ini,” katanya sambil menatap jauh.Lei Tian perlahan berdiri. Debu tanah menempel di lutut jubahnya. Angin berembus pelan, mengibarkan helai
Lei Tian mengangguk pelan. “Mereka tidak tahu… kegelapan belum benar-benar pergi.”Yara menyusul dari belakang, rambutnya dikepang dua, wajahnya lebih tenang dari biasanya. Ia membawa sekantong kue kacang dan menyerahkannya ke Lei Tian.“Untuk kenangan. Ini dari bibi tua penjual di ujung jalan. Dia bilang kamu dulu sering ngutang.” Lei Tian terkekeh kecil, menerima kantong itu. “Aku ingat… waktu itu aku kabur dari kejaran penjaga karena tak bayar.”Semuanya tertawa. “Kamu tidak pernah berubah,” sindir Yara, tersenyum tipis.Lei Tian membuang wajah, “Tapi aku takkan pernah punya waktu untuk berubah lebih jauh lagi, bukan?”Yara terdiam. Suasana beku sesaat. Matanya sedikit redup. Ia menggigit bibirnya sebelum berkata: “Jadi kau benar-benar akan pergi… ke dimensi bayangan?”Lei Tian menatap langit. “Jika aku tetap di sini, aku akan menjadi ancaman seperti Chaos
Udara terasa sunyi, namun bukan hening yang damai—melainkan kosong, seolah dunia masih belum percaya bahwa Raja Chaos benar-benar musnah. Awan yang sebelumnya selalu kelabu kini membuka celah, dan sinar matahari perlahan menembus permukaan bumi yang hancur dan menghitam.Lei Tian masih berlutut, bahunya naik-turun. Napasnya berat. Tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena beban kekuatan yang belum sepenuhnya ia pahami.Jin Wu mendekat, berlutut di sampingnya, menepuk pelan punggungnya. “Hei… masih hidup, pahlawan?”Lei Tian mengangkat kepalanya. Wajahnya penuh keringat dan debu, tapi matanya—emas dan hitam—masih bersinar. “Rasanya… seperti ada seluruh galaksi yang mendesak di balik mataku.” “Kau tampak seperti seseorang yang baru saja mencicipi neraka dan kembali dengan sepotong surga,” sahut Yara, berdiri sambil membersihkan ujung jubahnya yang robek.Yara kemudian berj
“Aku hanya ingin... dikenang.”Lei Tian menyentuh kepala anak itu. Cahaya menyebar dari telapak tangannya.“Kalau begitu, biarkan aku... mengakhirinya dengan tenang.”Dan dalam sekejap, dunia dalam kesadaran itu hancur—bukan karena kebencian, tapi karena penerimaan.-Kabut itu menjerit.Begitu kesadaran Lei Tian masuk lebih dalam dan menyentuh inti Raja Chaos, dunia bayangan mulai retak seperti cermin dihantam palu. Retakan itu menyebar cepat, memecah lapisan demi lapisan dimensi yang melilit makhluk purba itu selama ribuan tahun.Tubuh raksasa Raja Chaos menggeliat liar di dunia luar. Dari setiap pori tubuhnya, semburan bayangan keluar bagaikan darah kotor. Jin Wu dan Yara terus bertahan, tapi napas mereka kini berat, gerakan mereka tersendat. Luka mulai menghiasi tubuh keduanya.“Dia... dia sekarat!” teriak Yara, sembari mengayunkan tongkatnya yang berpendar makin redup.
Langkah kaki Lei Tian terhenti saat tanah di bawahnya menggeliat seperti makhluk hidup. Setiap jejak yang ia tinggalkan mengeluarkan suara lengket dan basah. Dunia di dalam Gerbang Ketiga ini bukan hanya gelap—ia hidup, dan ia menolak kehadiran cahaya.Yara menggenggam tongkatnya erat. Ujungnya menyala redup, mengusir sebagian kabut kelabu yang menggantung. Jin Wu berada di belakang mereka, sorot matanya tajam, tapi ada kegamangan yang tak biasa di wajahnya.“Ini… bukan dunia,” bisik Yara. “Ini... kesadaran.”Lei Tian mengangguk perlahan. “Kesadaran Raja Chaos. Inilah bentuk pikirannya… sebelum ia terperangkap ribuan tahun lalu.”Langit di atas mereka terus berdenyut seperti dinding jantung, dan dari segala arah terdengar bisikan tak berujung.“Kembali… kembali… darahmu adalah milik kami…”Tiba-tiba, tanah di depan mereka membelah, dan dari celah itu muncul sosok yang begitu tinggi hingga menyentuh l