Arkana pun kembali ke meja tempat Luna duduk. Wanita itu masih dalam posisi yang sama, menunduk, jemarinya sibuk menari di atas layar ponsel. Tidak ada sapaan, tidak ada lirikan sedikit pun. Bagi Arkana, sikap itu bukan bentuk penolakan, tapi cara Luna menutupi kerinduannya. Dalam hati, ia tersenyum puas. Ia yakin seratus persen kalau Luna sedang berjuang menahan gejolak perasaan yang masih tertinggal di hatinya.Ia menyandarkan tubuh di kursi, memperhatikan setiap gerak Luna dengan tatapan yang penuh keyakinan. Ia bahkan sempat mengatur posisi duduknya agar terlihat lebih tegap, seolah ingin menunjukkan kalau dirinya masih menjadi pusat kehidupan bagi Luna. Arkana benar-benar percaya bahwa wanita di depannya itu tidak akan bisa hidup tanpa dirinya. Semua yang mereka lalui terlalu dalam untuk sekadar dilupakan oleh Luna.Setiap kali Luna menggigit bibir bawahnya, Arkana menafsirkan itu sebagai tanda rindu. Saat Luna menarik napas panjang, ia yakin itu bentuk kegugupan. Bahkan saat L
Senyum Arkana mengembang di wajahnya saat melihat Luna duduk di salah satu meja restoran. Tatapan pria itu tertuju penuh pada wanita yang menjadi pusat dunianya untuk saat ini. Hari ini Luna menghubunginya lewat pesan singkat dan mengajaknya bertemu di restoran ternama. Waktu yang dipilih pun pas, tepat ketika jam pulang kantor tiba.Dalam benaknya, Arkana merasa ini pertanda baik. Dia yakin Luna merindukannya. Selama ini Arkana selalu menunggu momen seperti ini, momen ketika Luna menghubunginya lebih dulu. Menurutnya, asal Luna mau menerima keberadaan Amel—yang kini tengah mengandung anaknya—itu sudah cukup membuat hidupnya terasa menjadi lelaki yang paling bahagia di dunia ini. Arkana berjanji dalam dirinya sendiri kalau dia akan berbuat adil untuk kedua istrinya. Dia juga tidak akan membiarkan Amel menyakiti atau merendahkan Luna lagi. Terlebih penampilan Luna saat ini jauh lebih menarik untuk dipandang ketimbang penampilan Amel. Mungkin dulu karena Luna terlalu sibuk mengurus pek
“Kalau kita nanti menikah, kamu pasti gak boleh kerja sama nenek,” ucap Devan. Keduanya sudah berada di apartemen. Devan memeluk Luna dari belakang, tangannya menyentuh dada sang sekretaris.Luna menghela napas berat, “sepertinya jalan kita menuju ke pelaminan akan sangat berat, Pak. Tak ada seorang nenek yang ingin cucunya menikahi janda. Bapak itu bukan orang biasa.” Luna tak cukup yakin dia akan diterima di keluarga Devan. Karena Devan pantas bersanding dengan wanita terhormat.Devan membalik tubuh Luna, menatap lekat wanita cantik di hadapannya ini dengan penuh cinta, “sudah kubilang Nene itu janda. Punya anak pula. Nasibnya sama persis sepertimu, dia selalu menjadi pelampiasan amarah suaminya. Nenek juga mengalami KDRT. Bedanya kamu sekretarisku, sementara nenek dan kakek dijodohkan oleh teman mereka. Kalau itu kakek juga sedang ada di puncak karir. Menurutku janda ataupun tidak bukanlah hal yang diutamakan oleh nenek. Nenek hanya ingin aku hidup bahagia dengan wanita yang ku cin
Jika Arkana sedang bermesraan dengan Briella, beda halnya dengan Amel yang kini sedang menerima tamu. Tamunya itu adalah Nyonya Wijaya. Sejak bel rumah berbunyi Amel sudah ngomel-ngomel karena kegiatannya terusik setelah bangun dari tidur siang. Sementara pelayan di rumah ya sedang disuruh keluar untuk berbelanja.Ceklek“Nyari siapa ya, Bu?” tanya Amel saat membuka pintu rumahnya. Wajahnya tampak datar, seolah enggan menyambut tamu yang datang.“Saya mau bertemu dengan Yuli,” jawab Nyonya Wijaya sambil memperhatikan Amel dari atas ke bawah.“Mau ngapain?” suara Amel terdengar ketus. Ia sama sekali tidak terlihat sopan pada wanita yang sudah jauh lebih tua darinya. Dalam hati, Amel merasa risih kalau ada orang datang menemui ibu mertuanya. Namun Nyonya Wijaya tidak terima dengan sikap itu, beliau membalas dengan ketus. “Terserah saya mau ngapain. Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kalau saya datang mencari pemilik rumah ini, tinggal kamu kasih tahu saja orangnya ada apa tidak,” sahut
“Bukan begitu maksud saya, Pak Devan,” potong Arkana, dia tak ingin tiba-tiba Devan mengadu pada Tuan Baron.“Tapi, selama saya memimpin perusahaan Wijaya Group, belum pernah saya merevisi kontrak kerja sama yang sudah ditanda tangani, Pak Arka. Jadi saran saya, kalau misalnya Bapak sibuk dengan bisnis lain, sebaiknya bilang terus terang pada Tuan Baron untuk mencarikan pengganti. Karena sekali lagi, saya di sini mempekerjakan puluhan ribu orang. Dan tentu saja, seperti yang tadi saya bilang, proyek yang perusahaan kami tangani bukan hanya proyek kerja sama dengan Amora Group.” Devan bicara penuh penekanan, ia sama sekali tidak memberi ruang pada Arkana untuk tawar-menawar.Arkana terdiam. Mulutnya sempat terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Tangannya yang sejak tadi menggenggam pulpen kini hanya dimainkan di atas meja. Dia jelas tersudut.“Pak, masa sih gak bisa direvisi? Kita kan proyeknya jangka panjang. Anda seharusnya bisa merubah sedikit saja untuk perjanjian yang sudah d
Orang-orang sudah menempati kursi masing-masing di ruang rapat. Berkas dan laptop terbuka di depan mereka, semua terlihat siap untuk mulai. Kursi di ujung meja sebelah kanan masih kosong, kursi itu memang disiapkan untuk Devan. Di sampingnya, Luna sudah duduk sejak tadi.Tepat di seberangnya, Arkana duduk bersama Briella. Arkana hanya menatap lurus ke depan, sementara Briella tampak lebih santai, sesekali merapikan rambutnya. Dua orang dari tim Arkana juga sudah siap, mereka menyalakan laptop dan membuka file yang akan dipresentasikan.Luna mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia memastikan semua perlengkapan rapat sudah lengkap. Ia melirik sebentar ke kursi kosong di sebelahnya, lalu kembali menatap berkas di depannya. Tidak ada yang membuka pembicaraan lebih dulu. Semua hanya menunggu tanpa komentar.“Pak Devan ikut rapak tidak, Bu?” Tanya salah satu tim dari Wijaya Group.“Beliau baru saja tiba, Pak. Harusnya sih tidak ikut karena pasti sangat lelah setelah perjalanan panjang, tapi