เข้าสู่ระบบAgatha.Sebenarnya, nama wanita itu tidak pernah terlintas di benak Dirga sebagai sosok yang mampu melakukan hal menyeramkan ini. Ia mengenal Agatha sebagai bayangan, konstanta yang selalu ada di latar belakang hidupnya. Salah satu karyawan terlama yang sudah membantu membangun Ardawijaya Group dari nol, seorang wanita cerdas yang tahu seluk-beluk perusahaan bahkan mungkin lebih baik dari Dirga sendiri. Mereka bahkan berbagi ruang perpustakaan yang sama di universitas, menghabiskan malam mengerjakan tugas, sebuah persahabatan yang ia anggap wajar dan profesional.Tapi memang, dari dulu, Dirga tidak pernah memiliki pemikiran bahwa wanita itu menyimpan perasaan lebih dari sekadar rekan kerja atau teman. Ia buta, terlalu fokus pada membangun kerajaan dan menyembuhkan luka-luka masa lalu untuk melihat api yang menyala-nyala di mata Agatha setiap kali mereka bertatapan.Sampai pagi menjelang, Nora membuka matanya perlahan, disambut oleh pemandangan Dirga yang sudah duduk bersandar pada p
"BAGAIMANA BISA?!"Suara Dirga yang menggelegar memecah keheningan ruang tengah yang megah dan mencekam. Dari balik selimut tipis yang diberikan salah satu pelayan, dan segelas lemon hangat dalam genggaman yang terasa dingin, tubuh Nora terlonjak kaget. Awalnya, ia sudah diminta untuk masuk ke dalam kamar, untuk membiarkan Dirga mengurus masalah ini, melindunginya dari kengerian yang akan terjadi. Namun sekali lagi, bukan Nora namanya jika patuh pada perintah yang ia anggap sebagai upaya untuk menyisihkannya.Ia memutuskan untuk duduk di ruang tengah, di kursi makan yang terasa terlalu besar dan dingin, menyaksikan pemandangan yang jarang terlihat: Dirga, sang penguasa, tengah berjalan mondar-mandir di hadapan belasan pengawalnya yang berjejer rapi dengan kepala tertunduk dalam-dalam, seperti prajurit yang menunggu eksekusi."Saya bayar kalian buat apa kalau menjaga rumah saya saja kalian tidak becus?!" nada Dirga menurun, namun lebih berbahaya dari teriakan. Ia mengingat saat ini No
Makan malam itu berlangsung tanpa ada drama lanjutan. Di bawah cahaya redup restoran mewah dan pengawalan ketat, Nora berhasil menarik kembali kewarasan Dirga. Ia membuat lelaki itu tersenyum, tertawa kecil saat Nora menceritakan bagaimana Deanda, atasannya yang galak, kini berubah menjadi begitu baik kepadanya. Tak ada lagi nada keras, tak ada lagi amarah yang dahulu sering seperti ingin menelan Nora hidup-hidup. Dirga mendengarkan dengan antusias, matanya yang tadinya gelap dan jauh kembali bercahaya, meski Nora tahu itu hanya lapisan tipis di atas kegelutan yang ia sembunyikan."Mas Dirga beneran jadi negur Bu Deanda?" tanya Nora penasaran, sambil menyecap winenya.Jawaban lelaki itu hanya singkat, "Mungkin sekarang dia sudah melihat potensi di dalam diri kamu."Kebohongan kedua setelah jawaban 'Saya baik-baik saja' malam ini. Nora bisa merasakannya, sebuah getaran halus tidak jujur di balik suara Dirga yang tenang. Tapi Nora membiarkan hal itu, ia tidak ingin membuat Dirga kemb
Nora masih memegangi bibirnya, merasakan sensasi hangat dan sedikit bengkak yang tertinggal dari lumatan Dirga tadi pagi di dalam lift. Rasa itu begitu kuat, seperti sebuah tato tak kasat mata yang melekat di ingatannya, menolak untuk pudar. Bahkan saat Deanda, mentornya, tengah menjelaskan dengan detailnya tentang strategi pemasaran untuk buku terbaru dari penulis pemenang penghargaan, Nora tidak bisa fokus. Matanya menatap layar laptop, tapi pikirannya melayang jauh, kembali ke kaca lift yang memantulkan wajah mereka dan ciuman yang menghisap seluruh akal sehatnya.Sebuah kebiasaan buruk yang sulit untuk dirubah, melamun di tengah rapat penting."Nora?"Lamunan Nora buyar seketika. Ia menatap Deanda dengan kerjapan mata, mencoba mengumpulkan pecahan-pecahan konsentrasinya yang berserakan. "Iya, Bu?""Kamu dengar apa yang saya jelaskan, kan?" tanya Deanda, suaranya sedikit meninggi, menandakan kekesalannya yang ia coba tahan. "Tentang target pasar demografis A dan B, dan bagaimana k
Pagi itu tidak lagi terasa indah. Langit Jakarta yang semula cerah kini terasa tertutup awan kelabu, seolah ikut meratapi kekacauan yang baru saja meledak di dunia maya. Nora duduk di meja makan, dengan sisa sarapan yang sudah tidak lagi berselera di hadapannya. Jarinya gemetar saat menggeser layar tablet, membaca kembali headline yang membuat perutnya mual."SKANDAL DINASTI ARDAWIJAYA: MOTIF ASLI DIRGANTARA TERUNGKAP, GUGATAN AYAH DEMI HARTA WARISAN?"Di bawahnya, artikel itu merinci narasi yang keji dan licik dengan presisi yang menakutkan. Mereka menulis bahwa gugatan Dirga bukanlah tentang keadilan bagi ibunya dan korban lain, melainkan sebuah manuver licik yang diatur dari balik layar. Sumber "terpercaya" mereka mengklaim bahwa Ardawijaya, dalam sebuah surat wasiat terbaru, telah mengubah seluruh bagiannya. Seluruh asset perusahaan, properti, dan investasi—semuanya—akan disumbangkan kepada sebuah yayasan amal besar, dan tidak ada satu pun pun yang akan jatuh ke tangan Dirgantara
Pagi ini, langit Jakarta seolah ikut menahan napas, menyajikan sinar emas yang terlalu indah untuk sebuah drama keluarga yang kelam. Suasana indah itu menjadi latar yang ironis untuk persidangan kedua dari kasus kontroversial yang sudah berhasil menarik perhatian publik secara nasional. Kasus ini bukan sekadar gugatan biasa; ini adalah pertempuran darah di antara keluarga terkaya di negara ini, sebuah drama dinasti yang dipertontonkan di panggung pengadilan. Anak melawan ayah. Penerus tahta melawan sang raja. Inilah mengapa kasus ini menjadi yang paling banyak ditunggu hasilnya, sebuah cerita dari kalangan elite yang memuaskan rasa penasaran publik akan kehidupan di balik tembok istana.Kilau kamera kembali menyilaukan mata Dirga saat Matthew membukakan pintu mobil untuknya, sementara Lucas dengan sigap membukakan pintu untuk Nora di sisi lain. Sebelum melangkah menaiki anak tangga pengadilan yang dijaga ketat, Dirga memutar badan, menyambut Nora, dan menggenggam tangannya erat. Ini







