Silvana memutuskan untuk buka suara terkait hal itu setelah jeda yang cukup lama dari waktu yang dia ambil untuk menikmati wajah tampan dosen idamannya.
Leon hanya menyeringai mendengar pengakuan tersebut dari mahasiswi cantik dihadapannya. Ya, dia tahu itu. “Sejujurnya aku tahu itu, aku hanya berusaha untuk memperbaiki citramu. Silvana.”
“Kalau begitu, aku ingin mendengar hal macam apa yang kau bilang menjijikan tadi Sir. Aku rasa itu cukup menarik perhatianku sekarang.”
Netra kecoklatan milik Sir Leon kini bertemu dengan manik kebiruan milik Silvana. Dia benar-benar seperti boneka hidup dengan tampilannya yang seperti ini. “Tidak, mungkin lain waktu.”
Seringai nakal tiba-tiba saja muncul dari wajah gadis itu. “Hm~ begitukah? Sayang sekali ya.”
Sadar bahwa segalanya akan semakin sulit bagi pria itu, Leon memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan. Jika tidak, dia mungkin akan kesusahan untuk lari dari fantasi liarnya yang makin tidak terkendali di dalam otaknya. Bagaimana tidak, Leon bisa saja kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan melucuti pakaian yang sedang dikenakan oleh mahasiswi cantiknya ini di depan khalayak ramai.
Kepalanya mendengung. Gila, dia pasti sudah tidak waras sampai berpikir hingga kearah sana.“Kau mau kemana malam-malam begini?” tanya Leon.
Gadis itu memandang kearah jalan yang dia tapaki seolah itu lebih menarik hati. “Rumah, mungkin?” jawabanya. Dia kemudian memandang pada Leon lagi dengan tatapan seolah dia telah mengalami hal buruk sepanjang hari. “Padahal aku mau keluar dengan Jiyya, tapi gadis itu malah memilih pergi bersama dengan Dean dan juga Sir Joan. Ah~ aku kesepian sekali malam ini,” keluhnya dengan nada manja.
“Bagaimana dengan Jarvis? Bukankah kalian berdua cukup dekat?” tanya Leon. Diam-diam dia menggunakan kesempatan itu untuk mengobservasi keyakinannya lagi. Jarvis bilang padanya bahwa tingkah laku Silvana yang aneh itu bukan karena dia sedang menarik perhatian Jarvis, melainkan gadis itu sedang mencoba untuk menggodanya. Karena itulah Leon memutuskan untuk mengonfirmasi jawaban itu sendiri. Dia berharap spekulasi Jarvis itu salah, karena sejak saat itu dia jadi memikirkan Silvana dalam sudut pandang yang berbeda.
“Tidak terima kasih, aku tidak mau bersama dia. Dia teman masa kecilku dan aku bosan bila harus bersamanya terus,” balas Silvana sambil memutar bola matanya, ekspresi yang gadis itu buat seolah membuat angan Leon dilambung tinggi. Apakah itu berarti apa yang dikatakan oleh Jarvis benar adanya? Silvana benar-benar tertarik padanya? tapi kenapa? Kok bisa?
“Tapi bukannya wajar bagi teman masa kecil untuk menghabiskan waktu bersama?”
“Dia bukan teman yang cocok untuk aku ajak dalam urusan kesenangan, Sir. Dia tipe pemalas yang lebih memilih tidur dirumahnya daripada mau menghabiskan waktu bersenang-senang denganku.”
Leon tertawa menanggapi keluhan gadis itu. “Butuh teman untuk menemani kalau begitu?”
Tepat setelah berkata begitu, Leon refleks membungkam mulutnya rapat-rapat. Sial, dia salah mengucap. Perkataannya barusan terdengar seperti sebuah motif payah untuk merayu perempuan. Leon tidak habis pikir dia akan menggunakan kata itu terhadap mahasiswinya sendiri.
Sejujurnya dia takut untuk menanggapi lebih jauh lagi, namun reaksi yang dia lihat dari Silvana nyatanya lebih menggoda dirinya. Wajah gadis itu memerah malu. Ini adalah kali pertama dia melihat sisi lain Silvana begini, seingatnya gadis itu tidak pernah malu-malu dan selalu percaya diri terhadap apapun. Karenanya Leon jadi makin tertarik untuk menggodanya lebih jauh jika sudah begini.
“M-memangnya Sir Leon sedang …. Tidak sibuk malam ini?” cicit gadis itu.
Leon malah sengaja mendekatkan wajahnya pada Silvana. “Kalau boleh jujur sebenarnya aku benar-benar sedang bosan sekarang.”Silvana membulatkan kedua matanya, dia kemudian memandang tepat kearah kedai sushi yang sudah gadis itu ketahui menjadi tempat dimana Sir Leon-nya keluar beberapa saat yang lalu. “Kau bohong.”
“Aku sungguh-sungguh.”
“Kalau begitu dengan siapa Sir Leon pergi tadi? Aku yakin kalau kau tidak mungkin berkeliaran sendiri.”
“Bingo! Tebakanmu benar.”
“Jadi?”
“Ya, aku pergi dengan Ronald teman semasa kuliahku dulu dan juga Miss Kelly,” jawab Leon. Mendengar ada nama perempuan yang tersemat dari bibir Leon, air muka Silvana berubah masam.
“Lalu kenapa kau bilang sedang bosan? Mereka teman-temanmu kan? lagipula ada Miss Kelly, semua orang dikampus tahu kalau kalian cukup dekat meski hubungan kalian belum official.”
Leon hanya tersenyum kecil menanggapi suara Silvana yang berubah. Tingkahnya yang lucu saat ini seolah sedang menunjukan bahwa dia cemburu pada Kelly. Silvana sangat menggemaskan dimatanya. “Memangnya apa hubungannya teman-temanku dengan rasa bosanku?”
“Tentu saja ada. Kau benar-benar orang yang payah membuat alasan, Sir.”
“Aku tidak sedang membuat alasan Silvana. Itu memang benar, aku sedang bosan. Dan suasana hatiku beberapa saat yang lalu cukup buruk sampai aku bertemu denganmu.” Ah, lagi-lagi dia mengatakan kalimat murahan seperti ini. Ayolah, dia tahu bahwa pengalamannya bersama wanita bisa membuatnya lebih baik dalam berargumen. Tapi kenapa sejak tadi yang keluar dari mulutnya hanyalah sampah ? dia jadi terkesan seperti bocah kemarin sore yang baru mengenal cinta.
“Well, itu kedengaran bagus. Bukankah itu artinya aku baru saja menjadi moodbooster untukmu, Sir?”
“Ya, kurasa begitu.”
“Hmm… boleh kutanya sesuatu? Ada satu hal yang membuatku penasaran.”
“Apa?”
“Apa Sir Joan menyebut-nyebut soal Jiyya padamu?” tanya Silvana.
Seketika Leon memberikan pandangan ganjil kearah gadis itu. Kenapa tiba-tiba dia membawa nama oranglain? Itu cukup mengganggu tapi Leon memutuskan untuk menanggapinya dengan santai.“Dari yang aku ingat sepertinya tidak,” Dia memandang kearah lain sebelum akhirnya pandangannya bertumbuk pada kedua mata biru Silvana yang cantik. “Memangnya kenapa kau penasaran soal itu?”
Silvana hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak apa-apa. Tidak usah dipikirkan. Oh, atau lebih baik lupakan saja apa yang aku tanyakan.”
Ketika dia memutuskan untuk mengatakan hal itu, Leon justru malah terpancing untuk mencari tahu lebih jauh. Tapi sebelum pria itu buka suara untuk bertanya, Silvana telah lebih dulu menatap lurus kearah kedua bola matanya dengan cara yang sulit dia definisikan. Tapi yang jelas Silvana sekarang seperti seekor kucing kecil yang mencoba menarik perhatiannya.
“By the way, karena kau bilang sedang bosan apa artinya kau mau menemaniku berjalan-jalan?”
Leon tentu tidak bisa menolak ajakan ini. Dia pasti sudah gila bila dia melewatkan kesempatan ini. “Tentu saja, kenapa tidak?”Akhirnya ya mereka mulai bersama, berjalan beriringan layaknya kawan lama. Meskipun keduanya tidak melakukan kesalahan, tapi Leon jadi sedikit waswas. Berkali-kali pria itu melirik kesana kemari seolah dia baru saja melakukan sebuah tindakan tercela yang berdosa. Tingkahnya seperti seorang pria hidung belang yang membawa lari seorang gadis belia, dan takut ketahuan istrinya. Tapi tunggu dulu, kenapa dia harus menggunakan perumpaan seperti itu untuk dirinya sendiri? Leon benar-benar menghabiskan seluruh energinya hanya untuk berdebat dengan diri sendiri dilubuk hati.
Tidak akan terjadi apa-apa, tidak akan ada apa-apa diantara kami. Silvana memang barbar dan tipe gadis terus terang tapi dia tidak mungkin melakukan tindakan nekat. Sekali lagi Leon mencoba untuk berpikir positif.
Namun ketika dia melirik sedikit kearah Silvana yang berjalan disampingnya dan menemukan pipi gadis itu bersemu merah. Runtuhlah seluruh pikiran positif tersebut menjadi bayang-bayang kurang ajar lagi. Jika dipikir-pikir Silvana bukanlah gadis belasan, dia sudah memasuki usia legal dan bisa dikatan orang dewasa meski baru menapak pada tangga pertama. Terlebih hubungan cinta berbeda usia sudah lumrah sekarang ini, dia rasa tidak masalah. Lagipula dia tidak memaksa dan juga tidak melecehkan Silvana.
Namun… Leon tiba-tiba menghentikan seluruh pemikiran yang mampir di otaknya. Kenapa dia berpikir sejauh itu? Mereka memang sudah saling mengenal, dan sering keluar beberapa kali. Meski memang ini kali pertama bagi mereka berjalan berdua saja tapi status sebagai dosen dan mahasiswi diantara mereka tetap tidak berubah. Leon pasti benar-benar sudah tidak waras sekarang.
Terlebih kini dia menyadari bahwa mereka sudah melangkah jauh dari keramaian kota. Tidak banyak yang melewati jalanan ini, apa benar rumah Silvana melewati tempat terpencil seperti ini? seingatnya ini bukan jalan yang benar. Tapi dia tidak yakin.
Leon memang pernah mengantar Silvana sekali, sehingga meski menyadari bahwa mereka berjalan kearah yang salah Leon merasa dia sendiri tak yakin kemana jalan yang benar. Terlebih ketika gadis itu tiba-tiba saja berjalan sedikit lebih cepat. Dia seolah ingin memimpin dan tak ingin ditanyai. Semakin aneh lagi ketika mereka tiba-tiba saja berbelok kearah gang kecil yang sepi.
“Silvana, seingatku ini bukan jalan—” Omongan Leon terpotong sudah, pria itu tidak bisa melanjutkan kata-katanya lantaran bibirnya tiba-tiba saja sudah dibungkamnya dengan sebuah ciuman.
Bahkan belum cukup sampai disitu gadis itu berhasil memaksa Leon untuk mundur, hingga memojokan pria yang lebih tua darinya itu sampai punggungnya membentur dinding dibelakangnya. Ciuman gadis itu benar-benar penuh keputusasaan dan juga dipenuhi oleh seribu damba. Jemarinya yang panjang dan lentik bahkan berpartisipasi aktif menjamah rambut hitam Leon, meremasnya saat gadis itu berupaya melesakan lidahnya untuk memperdalam ciuman mereka.
Akal sehat Leon terputus, tanpa sadar pria itu menjawab sisi kebinatangan yang ada didalam dirinya. Dia merespon ciuman dari orang yang seharusnya tidak pernah berada dalam situasi ini bersamanya. Tapi seluruh pemikiran itu benar-benar musnah dan tergantikan dengan performa gaharnya membalas seluruh perbuatan mahasiswi cantiknya dengan balasan yang sepadan.
Beberapa detik berhasil terlewatkan, Leon kemudian melepaskan ciuman mereka. Menjauhkan tubuh gadis itu dari jangakuannya karena insting kelelakiannya sadar bahwa barusan adalah situasi yang cukup berbahaya. Dia tidak bisa melanggar garis yang ada. “Apa itu tadi? Kenapa kau melakukannya?”
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,