“Mau melakukan apa?” tanya Bryan dingin.
“Mencicipi punya, Tuan. Jangan marah-marah lagi ya, Tuan. Nanti gantengnya hilang,” goda Nina dengan terpaksa. Ia melakukannya agar Bryan tidak murka padanya. Nina takut jika dirinya dipecat dari kerjaan.
Nina merasa lega saat Bryan menampakkan senyum tipis.
“Anak pinter. Lain kali jangan berani menolak permintaanku lagi, ya.”
“I-iya, Tuan. Saya janji.”
“Sekarang kamu jongkok dan buka celanaku.”
Tanpa melawan lagi, Nina menuruti semua permintaan Bryan. Ia perlahan membuka celana milik Bryan. Pipi Nina seketika merah merona saat berhadapan dengan alat tempur Bryan. Meskipun masih menciut, barang itu masih menunjukkan keperkasaannya.
“Bangunkan dia, sayang. Perlakukan dia dengan lembut. Berikan sentuhan terbaikmu.”
Nina meneguk ludah susah payah. Ia sangat malu dan tidak mau melakukan hal ini. Nina mendongakkan kepala
Bukannya menjawab, Bryan tidak ambil pusing. Lelaki itu melanjutkan kembali memompa batangnya ke milik Nina.“Tuan Bryan, berhenti, Tuan. Saya takut.”“Dia cuman pembantu, Sayang. Kenapa harus takut?”“Saya takut keciduk, Tuan.”“Ah, jangan gugup, Nina. Dia bisa apa di hadapanku? Kalau ketahuan, aku pecat saja dia dari sini. Gampang, kan?”Rasa panik, gugup, takut, dan nikmat bercampur menyatu dalam diri Nina. Ingin rasanya mendesah, namun ia menahan diri. Samar-samar Nina masih mendengar suara Laras yang masih mencari dirinya.“Aaahhh.. hngg.. mmpss.. pe-pelan-pelan, Tuan… ouhh…” Nina tak kuasa menahan desahannya lagi karena Bryan semakin menusuknya lebih dalam dan bergoyang lebih cepat.Sementara Laras sadar, ia seperti mendengar suara percikan air dari dalam toilet di ujung dapur. Tidak hanya itu, Laras pun samar-samar mendengar suara wanita dan hantaman enta
“Hmm… sebenarnya belum. Tapi aku gak mau mempersulit keadaan kamu. Kita berhenti dulu. Kamu lanjut pekerjaanmu, sebelum Laras kembali ke sini,” ucap Bryan menyuruh Nina keluar dari toilet.Nina pun mengangguk pelan dan bergegas memasang kembali pakaiannya dengan lengkap. Sementara Bryan masih berada dalam toilet sekaligus mandi sembari menunggu Laras datang membawakan handuk untuknya.Tidak lama kemudian Laras kembali dengan sebuah handuk di tangan, ia lalu melihat Nina yang sudah berada di dapur tengah sibuk memotong-motong sayuran.‘Sialan itu anak. Dari mana saja dia?’Tok Tok Tok“Permisi, Tuan Muda. Ini handuknya, Tuan.”Tanpa panjang lebar, Bryan membuka pintu dan hanya menampakkan tangannya. Ia pun langsung mengambil handuk itu dan melanjutkan membersihkan tubuhnya.‘Huftt.. cuek banget sih dia. Bilang terima kasih kek, apa kek. Ini main ambil-ambil aja tanpa ngomong! Susah ya pu
Malam hari, tepatnya pukul dua belas malam. Nina masih terbangun. Ia duduk sambil terus-terusan menatap layar hp miliknya, menantikan pesan masuk dari sang majikan. Walaupun matanya sudah tampak sayu karena menahan ngantuk, namun Nina berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tertidur.Bryan sudah berpesan padanya sejak sore hari untuk menunggunya pulang dari rumah sakit. Sore tadi Bryan berkunjung melihat keadaan Rosalina ditemani dengan Fredrinn yang sudah lebih dulu berada di sana.“Huh, Tuan Bryan lama sekali. Aku udah ngantuk banget,” keluhnya. “Apa aku tidur aja dulu, ya?”Nina memutuskan untuk tidur sebentar dan memasang alarm untuk 30 menit ke depan. Nina pun merebahkan dirinya di atas kasur tipisnya dan tak berselang lama Nina telah berada di alam bawah sadar.30 menit kemudian, alarm hp milik Nina berbunyi keras. Tetapi, Nina tidak kunjung bangun saking ngantuk beratnya dia.Di sela-sela mimpinya yang indah, terdenga
Bryan semakin melebarkan kedua paha Nina dan memegang erat. Bryan menuntun pinggul Nina untuk terus bergerak aktif dan cepat. Ditambah dengan dorongan pinggul dari Bryan.“Aaahh… ahh.. Tuan…” Nina meringis kesakitan karena sensasi yang melanda dirinya.“Kenapa, Baby? Enak, kan?”Walaupun terhitung empat kali Nina melakukannya, tetapi rasa sakit di bagian liangnya itu masih terasa.Desahan lembut dari Nina membuat Bryan semakin memasukkan kejantanannya lebih dalam dan bermain cepat. Pinggul Nina digerakkan secara memutar lalu berubah naik turun dengan ritme yang tidak beraturan.“Oh, God!! You are so sexy,” puji Bryan lagi dengan suaranya yang sudah serak. Ia menarik badan Nina agar mendekat. Bryan mengangkat sedikit kepalanya mengarah ke buah dada Nina yang tampak menawan lalu mengulumnya.“Aaahh, Tuan, saya gak tahan lagi, Tuan.” Nina semakin mendesah ketika mer
Pukul 04.00 Subuh…Nina terbangun saat alarm yang ia pasang berbunyi. Matanya enggan terbuka total dan tubuhnya terasa berat sekali untuk bergerak. Malam ini terasa berbeda dari malam sebelumnya. Karena ia beristirahat dengan nyaman di kamar milik Bryan. Saking nyamannya membuatnya berniat melanjutkan tidurnya.Saat memejamkan matanya kembali, hp milik Nina kembali berdering.‘Huh. Ini jam berapa sih. Kok rasanya cepat banget,’ gerutunya dalam hati.Nina menoleh dan melihat tuan mudanya masih tertidur pulas di sampingnya sambil memeluk tubuhnya. Mereka berdua tidur di satu ranjang dalam balutan selimut yang sama. Nafas hangat yang menyapu lehernya memberikan hawa lain untuknya.Nina memandangi Bryan lekat. Wajah tampan dengan rahang yang tegas. Cambang tipis yang ada di wajah Bryan membuat pria itu terlihat semakin manis. Juga bibir yang amat mempesona membuat Nina senyum-senyum sendirian di samping Bryan.‘Dia kelih
Bryan tidak menghiraukan kata-kata Nina selanjutnya, lelaki itu justru kembali memejamkan matanya dan berbalik badan, membelakangi Nina.Setelah berpikir panjang, Nina akhirnya bersuara.“Baiklah, Tuan. Ayo kita mandi bersama.”“Gadis pintar.”Bryan pun tersenyum tipis dan meminta Nina untuk membantunya bangun dari tempat tidur.Nina mengoceh dalam hatinya melihat tingkah laku Bryan yang sangat manja.‘Huh! Padahal dia bisa bangun sendiri. Malah nyuruh-nyuruh aku segala.’Keduanya pun berjalan masuk ke dalam kamar mandi.“Bukain baju aku.”‘Astaga yang bener aja? Orang ini benar-benar manja. Kayak anak kecil.’“Kok bengong?!” tegur Bryan kala melihat keterdiaman Nina.“Eh? M-maaf, Tuan.” Nina pun membantu Bryan membuka baju dan celananya. Kini pria itu tampil polos. Kemudian Nina menyalakan keran air hangat yang ada di bathub dan menunggunya terisi sampai penuh.“Kenapa kamu diam saja?”Pertanyaan Bryan membuat Nina semakin bingung. Apa yang harus dia lakukan?“Sa-saya kan nungguin air
“Husshh!! Sembarangan kamu kalau ngomong!”“Mbak Sarah gak percaya? Saya ngelihat sendiri loh dengan mata kepala saya. Tadi malam mereka berdua naik ke lantai atas. Mana pake acara gandengan tangan lagi,” sambung Laras.“Kamu salah liat kali!”“Ihh, Mbak Sarah gak percayaan banget sama saya. Oh iya, kemarin siang juga saya dengerin suara Nina di toilet di ujung dapur itu, eh pas saya ketokin pintunya, ternyata Tuan Muda yang keluar. Terus itu si Tuan gak mau ngebukain pintunya lebar-lebar, padahal kan saya mau memastikan! Eh malah saya disuruh ambilin handuk di lantai atas. Habis itu, saya ke bawah lagi, si Nina udah ada di dapur! Mencurigakan banget kan, Mbak?”Sarah hampir termakan omongan Laras yang terdengar meyakinkan. Tetapi dirinya belum sebenarnya percaya dengan apa yang dikatakan Laras. Sarah meyakini bahwa Nina adalah anak baik-baik dan juga tuan mudanya itu tidak mungkin melakukan hal yang aneh-an
Dada Nina terasa sesak. Semua tuduhan yang Laras katakan itu benar apa adanya. Nina semakin gugup karena Laras sudah mencurigainya.‘Matilah aku. Aduh. Bagaimana ini?’“Nina, jawab! Kamu tidur bareng Tuan Muda, ya?”Nina hanya diam membisu. Matanya mulai memanas. Ingin rasanya ia mengeluarkan air mata saking takutnya, tetapi Nina berusaha menahannya.Laras yang semena-mena langsung menjambak rambut Nina kuat-kuat dan kembali membentak Nina. Wajah Nina kelihatan panik dan ketakutan mendapatkan perlakuan buruk dari Laras.“Bener, kan? Kamu tidur bareng Tuan Muda? Kamu pelet dia, ya?!! Kok dia mau sih tidur bareng sama gadis jelek kayak kamu?!”Sarah berusaha melerai Laras dan menetralkan suasana.“Laras, hentikan! Kamu buat Nina ketakutan!”“Anak ini sudah keterlaluan loh, Mbak! Dia ngasih pelet ke Tuan Muda!” hardik Laras.“Apa benar yang dikatakan sama Lar
“J-jangan marah ya, Mas. Aku beneran gak sengaja. Maaf, aku ceroboh,” lanjut Nina enggan menatap suaminya. Dia takut dan merasa bersalah karena telah merusak mobil baru milik Bryan yang kata Pak Jaka harganya tembus ratusan milliar.Bryan menghela napas pasrah. “Ya sudahlah, gak apa-apa. Lagian cuman penyok sedikit, kan? Untung saja kita gak mati.”Bryan kembali merebahkan tubuhnya di ranjang perawatan. “Terus anak-anak gimana kabarnya? Di mana mereka sekarang?”“Mereka masih sekolah, Mas. Ini masih jam sembilan pagi,” jawab Nina.Bryan termenung sejenak sembari menatap istrinya yang sedang duduk tepat di samping ranjangnya. “Nina… aku ingin jujur tentang semuanya.”Kini Nina memberanikan diri menatap sang suami. Tatapan mereka saling bertemu. Manik mata Bryan tampak berkaca-kaca.“Aku sudah tau semuanya, Mas. Aku tau dari dokter tentang penyakitmu ini.”&l
“Mas, jawab aku! Kamu tuh sebenarnya ada apa? Jawab aku dengan jujur! Jangan diam aja kayak orang bisu gini!” desak Nina. “Kamu cuman akting ya, Mas? Biar aku merasa kasihan dan bisa memaafkan kamu dengan mudah? Begitu ya?”Nina pasrah melihat keterdiaman suaminya. Bryan masih saja enggan terbuka. “Kalau kamu masih tertutup begini, aku beneran akan pergi. Aku muak, Bryan! Urus saja hidupmu sendiri! Aku pun akan mengurus hidupku sendiri!”Nina kembali melangkah menjauhi suaminya. Dia benar-benar kecewa berat dan marah.“Nina, stop! Jangan pergi, Nina. Kembali, sayangku. Please. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku tidak sanggup hidup tanpamu,” teriak Bryan kepada Nina yang semakin jauh.“Urus saja hidupmu sendiri, Bryan! Aku tidak peduli lagi denganmu!” balas Nina dengan teriak pula.Saat Nina hendak melanjutkan langkahnya, Bryan justru mendadak diam seperti patung. Bryan lalu memegangi da
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“