Hari demi hari, Nina lewati hari-harinya dengan tangisan. Bagaimana tidak, semenjak suaminya itu mengetahui bahwa dirinya sedang hamil anak orang lain, dirinya selalu mendapat perlakuan kasar. Bahkan tak jarang, Nina dijambak, dipukul oleh suaminya itu. Nina juga selalu dibentak-bentak. Ilham selalu memakai kata-kata kasar saat berbicara dengan Nina. Meskipun begitu, Nina tetap bertahan di sisi suaminya.
Di dalam hati kecilnya, Nina ingin pergi dari sana, meninggalkan suaminya. Tetapi apa yang akan dikatakan oleh kedua keluarga mereka dan juga tetangga apabila dia kabur dari rumah? Nina takut akan dicap sebagai istri durhaka jika dia kabur. Ingin meminta cerai pun rasanya mustahil, pernikahan mereka masih seumur jagung. Pastilah para tetangga akan bertanya-tanya kenapa mereka bercerai, apalagi dalam keadaan hamil seperti ini. Bisa jadi Nina akan dijadikan bahan pergunjingan oleh warga sekitar.
Pagi ini, Nina meminta uang nafkah kepada suaminya. Tabungan Nina benar-bena
Malam hari, Bryan memilih pulang ke rumah. Kini gilirannya untuk beristirahat dan bagian mertuanya yang bertugas mendampingi Nina di rumah sakit.“Jadi bagaimana kondisi Riko sekarang? Dia baik-baik saja, kan?” tanya Bryan kepada orang kepercayaannya melalui panggilan suara yang baru saja tersambung.“Maaf, Pak Bryan. Alamat yang Bapak kirimkan ke saya itu kosong. Saya tidak menemukan siapa-siapa di alamat itu.”“Heh? Iyakah?”“Iya, Pak.”“Kamu sudah tanya tetangga rumahnya?”“Sudah, Pak. Kata mereka, si penghuni rumah itu sudah pergi. Tapi mereka tidak tau jelas pergi ke mana. Intinya Riko Parengkuan sudah tidak mengontrak di situ lagi, Pak.”Bryan tidak ambil pusing. Lagian dia juga tidak terlalu peduli dengan Riko. Dia bisa saja membohongi Nina nantinya, mengatakan bahwa Riko baik-baik saja dan tidak ada yan
“Apa kabar dengan Pak Riko, Mas? Dia baik-baik saja, kan?” tanya Nina setelah Bryan kembali masuk ke dalam ruangan.Bryan mendadak menatap Nina tidak senang. “Kamu ini kenapa masih sempat-sempatnya mikirin dia sih? Mending mikirin diri kamu sendiri dulu!”“Aku khawatir, Mas. Aku takut kalau Pak Riko kenapa-kenapa. Apalagi kemarin dia dibuat babak belur sama anak buah William.”“Dia cuman babak belur. Lah kamu? Kamu tertembak! Dan ini semua gara-gara bocah ingusan itu!” dengkus Bryan.Nina melihat sorot mata Bryan yang mendadak dingin. “Kamu marah sama Pak Riko, Mas? Atau… jangan-jangan kamu marah sama aku?” tebak Nina.Bryan menggeleng pelan. “Tidak keduanya.”“Terus kamu kenapa? Kenapa raut wajah kamu berubah? Suara kamu juga tiba-tiba ketus gini.”“Jangan dibahas dulu ya. Kamu baru si
Setelah tiga hari, akhirnya kondisi Nina sudah tidak kritis dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Dan malam ini, Bryan kembali memberanikan diri menjenguk istrinya itu di rumah sakit.“Apa tidak terlalu berbahaya jika kamu berada di sini, Nak Bryan?” tanya Aliyah, ibu mertuanya.Bryan menghela napas. “Sebenarnya bahaya, Bu. Tapi mau bagaimana lagi, aku juga tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara istriku butuh aku di sini.”“Pulanglah, Nak. Lagian kan ada ibu dan bapak yang siap menjaga istrimu,” sambung Aliyah.“Iya, Bryan. Pulanglah. Terlalu berisiko jika kamu terus-terusan keluar rumah. Bisa-bisa kamu kembali dipenjara karena melanggar aturan dari polisi!” ujar Rozak, mengingatkan sang menantu.Bryan berpendirian teguh. Tidak ada niatan sama sekali untuk beranjak pergi dari ruang rawat inap istrinya itu. “Tidak masalah. Kalau aku kembali dipenj
Bryan memutuskan untuk kembali ke rumah karena sangat berbahaya baginya jika kelamaan berada di luar rumah. Begitupun dengan Riko yang juga memilih untuk pulang karena ingin beristirahat. Dan yang mendampingi Nina di rumah sakit adalah Aliyah dan Rozak.“Mama mana, Pa? Kok Papa baliknya sendirian aja sih? Katanya mau jemput Mama pulang?” tanya Brianna ketika melihat Bryan di ruang tengah, sedang duduk melamun.Bryan menoleh dan memasang senyum tipis yang dipaksakan. “Mama belum bisa pulang, Nak. Mama sibuk bekerja,” jawab Bryan sengaja berbohong.Brianna menghampiri ayahnya dan duduk di pangkuannya. “Kenapa gak Papa saja yang bekerja? Kan biasanya Papa yang ke kantor.”“Untuk sementara Papa gak boleh bekerja dulu, makanya Mama yang gantiin.”Brianna mengangguk pelan, seolah-olah paham dengan perkataan ayahnya. “Okelah, Pa. Aku mau lanjut main dulu.&r
“Operasi pengangkatan peluru di perut pasien telah berhasil, tetapi pasien kehabisan banyak darah dan butuh donor segera. Sayangnya, stok darah yang cocok untuk pasien masih kurang.”Bryan segera menawarkan dirinya untuk menjadi pendonor.“Saya periksa dulu ya, Pak. Apakah golongan darah Bapak cocok untuk pasien, dan apakah Bapak layak untuk melakukan donor darah,” imbuh dokter.Tidak hanya Bryan, Riko pun menawarkan dirinya. Mau bagaimanapun, Riko berutang nyawa pada Nina.“Mari kalian berdua ikuti saya ke ruang pemeriksaan,” kata dokter yang diangguki oleh Bryan dan Riko.Setelah diperiksa, ternyata Bryan tidak bisa mendonorkan darahnya pada Nina sebab penyakit kanker yang pernah dia derita. Hanya Riko-lah yang diperbolehkan untuk menyumbangkan darahnya.“Tapi saya sudah sembuh, Dok,” ujar Bryan tak terima dengan keputusan dokter.D
“Pak Bryan, tolong jangan marah. T-tapi—”“Berikan hp ini ke istri saya! Saya mau bicara dengannya!” desak Bryan. Pikirannya tak karuan. Bryan berprasangka buruk pada istrinya sendiri. Bryan mengira bahwa semalam Nina tidaklah bersama dengan teman sekolahnya, melainkan menghabiskan malam bersama Riko.“Pak Bryan, maaf. Tapi saat ini Bu Nina sedang dioperasi,” ucap Riko yang akhirnya berani berani berkata jujur.Sontak Bryan mendadak syok mendengar kabar demikian. “Apa?? Operasi? K-kenapa bisa? Apa istri saya habis kecelakaan?”“T-tidak, Pak. Bu Nina habis tertembak,” jawab Riko dengan suara yang bergetar saking takutnya.Bryan semakin syok. “A-apa?! Tertembak?”“I-iya, Pak.”“Lalu di mana istri saya sekarang?”Riko kemudian memberitahukan nama rumah sakit tempat Nina dirawat.Bryan bergegas mendatangi rumah sakit itu. Di