Hari ke hari, waktu terus berjalan. Hubungan Fredrinn dan Nina semakin baik, berkat kehadiran Brianna. Bahkan sesekali Fredrinn mengunjungi cucunya di apartemen yang Nina tinggali. Di sana, Fredrinn juga ikut mengobrol bersama dengan keluarga Nina.
Bryan yang melihatnya, semakin merasa bahagia. Akhirnya, sang ayah yang awalnya angkuh dan enggan menerima keluarga Nina lantaran miskin dan tidak sederajat dengannya, mulai membuka hatinya perlahan. Fredrinn mulai ikhlas menerima perbedaan yang ada. Fredrinn sangat menyayangi cucunya yang menggemaskan itu dan tidak mau melihatnya hidup susah.
Fredrinn bahkan memberikan uang dalam jumlah lumayan banyak kepada Nina. Fredrinn berpesan agar uang itu digunakan untuk keperluan Brianna. Fredrinn pun membantu mensponsori biaya pernikahan Bryan dan Nina, padahal Bryan sudah berulang kali menolak, tetapi Fredrinn tetap berpendirian teguh.
Fredrinn menyerahkan black card miliknya kepada Bryan, kartu yang hanya bisa dimiliki ole
Junot pun ikut memuji kecantikan kakak perempuannya itu. Junot lalu memeluk erat sang kakak saking bahagianya.“Kak Nina, kalau Bang Bryan nyakitin kakak, lapor sama aku ya! Biar aku tonjok dadanya!”Nina tertawa kecil mendengar ancaman yang keluar dari mulut adiknya yang masih duduk di bangku SMP itu.“Iya, iya. Nanti kakak laporin ke kamu ya, kalau suami kakak jahatin kakak!”Aliyah turut tersenyum mendengar percakapan anaknya itu.“Oh ya, Brianna sama siapa, Bu?” tanya Nina.“Brianna lagi digendong sama tantenya Bryan.”“Dia gak rewel, Bu?”“Dia kalem-kalem aja kok, Nak. Sepertinya Brianna juga tau kalau hari ini adalah hari bahagia orang tuanya. Brianna juga tersenyum dengan para tamu. Banyak tamu undangan mau minta foto bareng sama anak kamu, Nina!” celetuk Aliyah senang.Nina tersenyum mendengar cerita ibunya. Hatinya terasa ringan. Dia sangat
“Iya, Pak. Aku janji akan menjaga Nina sepenuh hati. Aku juga berjanji tidak akan menyakiti hati anak Bapak, karena kalau Nina terluka, aku pun ikut mengalami hal yang sama,” jawab Bryan.Rozak menganggukkan kepalanya, kemudian beralih kepada anak sulungnya. Rozak memeluk dan mencium kening putri kesayangannya itu. Rozak tak kuasa menahan air mata haru dan bahagia melepas anaknya itu.Begitu pula dengan Aliyah yang turut menjatuhkan air mata penuh harunya saking bahagianya, karena anak perempuannya itu akan memulai hidup baru bersama suaminya.“Tolong jaga anak ibu, ya!” ucap Aliyah pada menantunya.“Siap, Bu. Laksanakan.”Setelah sungkeman dengan orang tua Nina selesai, kedua mempelai beralih ke keluarga Bryan. Posisi ibu Bryan sudah tiada, kini digantikan oleh Jenna, tante Bryan sendiri.Jenna memeluk Nina erat-erat. “Selamat datang di keluarga Lawrence, ya. Jadilah istri yang baik dan penuru
Singkat cerita, Nina dan Bryan akhirnya mengganti kostum mereka untuk resepsi nanti malam. Tim MUA memperbaiki riasan Nina. Sedangkan asistent designer memakaikan gaun pengantin di tubuh Nina.Bryan tak henti-hentinya memandangi istrinya yang tampak memukau saat mengenakan gaun pengantin. Aura kecantikan Nina memancar dari dalam dirinya.Saat ini Nina mengenakan gaun pengantin rancangan seorang designer ternama. Gaun pengantin itu berbahan satin dengan detail lace di bagian sisi dan di bagian dadanya serta heart neckline yang terlihat elegan. Gaun itu terlihat mengembang sedikit dengan veil yang tidak terlalu panjang. Ditambah dengan mahkota yang membuat Nina tampak semakin cantik dan elegan. Tak lupa juga dengan buket bunga mawar segar sebagai pelengkap yang akan dibawa oleh Nina menuju ke pelaminan.Bryan sendiri terlihat gagah dengan tuxedo berwarna hitam, dihiasi bunga kecil di bagian dada kirinya. Tuxedo itu dipadu dengan kemeja putih serta dasi kupu-kupu b
Setelah beberapa lama, para tamu undangan sudah tak lagi naik ke atas panggung untuk memberikan ucapan selamat, mereka semuanya sudah pada sibuk sendiri, ada yang menikmati prasmanan, ada yang berdansa, ada yang selfie-selfie dan lain-lain. Nina dan Bryan bernapas lega, karena akhirnya mereka bisa turun dari pelaminan dan mengambil makan.Setelah keduanya makan, maka tiba saatnya mereka untuk berdansa di tengah ruangan. Tangan Bryan melingkari pinggang Nina. Sedangkan tangan Nina mengalung di leher kokoh Bryan. Mereka bergerak sangat pelan seirama dengan alunan suara musik. Musik romantis yang dialunkan oleh para pemain biola, mengiringi dansa mereka.“Kamu cantik sekali, sayang. Aku beruntung memilikimu,” bisik Bryan di telinga istrinya. Dia lalu mencium bibir istrinya yang sontak membuat para tamu undangan histeris dan bertepuk tangan.“Ya ampun, Mas. Ini kita sedang di tengah ruangan dan jadi perhatian banyak orang. Kamu mencium tidak lihat tempat!” sungut Ni
Nina tak kuasa menahan desahan kala tangan suaminya menyentuh gundukan kembar di dadanya. Tubuhnya terasa bergairah. Gelenyar panas mulai menari-nari dalam inti tubuhnya di bawah sana.“Mas… ahh,” desah Nina manja kala Bryan terus menyentuh dan meremas seluruh bagian tubuhnya.Bryan mengumpat kala melihat Nina menggeliat. Bergerak gelisah yang cukup menggoda walaupun lingerie hitam itu masih melekat pada tubuhnya.Bryan mengatur napasnya yang memburu, begitu juga dengan Nina. Tangan Bryan bergerilya ke seluruh tubuh sang istri. Tangan Bryan membelai lembut dan hal itu membuat istrinya mengerang nikmat. Mereka saling bersitatap dengan penuh gairah.“I want you tonight,” bisik Bryan parau. Dia lalu mencium bibir Nina kembali dan melumatnya.Bryan melepaskan lingerie hitam milik istrinya. Nina hanya pasrah saat satu per satu kain yang menutupi tubuhnya teronggok di lantai. Kini dirinya sudah tampil polos. Bryan menatap t
Nina terkekeh saat melihat Bryan yang menghela napas dan menurunkan kedua bahunya pasrah. Nina menatap anaknya yang kini menyusu dengan lahap. Mata Brianna masih segar dan entah sampai kapan anaknya ini akan terus terjaga.Bryan mengelus kening anaknya, berharap dengan elusan itu anaknya akan mengantuk. Namun ekspetasi tidak sesuai realita. Brianna menghalau tangan Bryan dari keningnya. Bayi berusia delapan bulan itu sepertinya tidak suka kalau tangan ayahnya ada di salah satu bagian wajahnya itu.“Ih, anak Papa ini! Papa mau kamu segera tidur, eh malah tangan Papa disingkirin!” Bryan tertawa kecil melihat anaknya yang spontan melirik ke arahnya tanpa melepas tautan bibirnya dari dada ibunya. Bryan lalu mencium kening anak itu gemas. Bryan kemudian turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah sofa. Bryan memilih untuk menunggu Nina selesai, sambil menonton tayangan televisi.Beberapa lama kemudian, Brianna akhirnya kenyang. Anak itu melepaskan bibirn
“Wah, Mama melamun ya?” goda Bryan dengan senyuman yang menghiasi wajah tampannya. “Aku tadi bilang, besok kita berangkat ke Prancis. Mama mau ke Prancis, kan? Atau Mama ada opsi lain? Papa ikut kemauan Mama aja deh.”Pipi Nina mendadak merah merona. Nina menundukkan wajahnya, menyembunyikan ekspresi saltingnya.“Kamu kok manggil aku ‘Mama’ sih, Mas?” gumam Nina sembari melirik ke arah Bryan.“Gak apa-apa dong. Lagian kita sudah menjadi suami istri dan punya anak. Apa salahnya manggil begitu?”Nina menggeleng pelan. “Malu, Mas. Panggil aku seperti biasa aja. Jangan pake Mama Papa segala. Lagian kita baru nikah kemarin sore. Menurut aku panggilan Mama Papa itu layaknya digunakan kalau usia pernikahan kita udah lama,” ucap Nina berpendapat.Bryan hanya menghela napas pasrah. “Oke deh, Nin. Terserah kamu ajalah.”“Lagian kita ke Prancis untuk apa, Mas? Apa
Singkat cerita, pasangan suami istri itu akhirnya pulang ke apartemen mereka. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Bryan akan numpang tinggal sementara bersama keluarga Nina di apartemen milik tantenya itu.Malam ini, Nina sedang sibuk berkemas-kemas barang apa saja yang akan mereka bawa untuk berbulan madu di Bali selama seminggu. Tiba-tiba sebuah lengan kekar melingkar di perutnya. Nina menoleh dan menerbitkan senyum kala melihat suaminya yang kini menenggelamkan wajahnya di leher jenjangnya.“Eh, Mas Bryan. Anak kita mana, Mas?”“Anak kita lagi main sama neneknya di ruang tengah, sayang.”Bryan menghirup aroma wangi dari leher jenjang Nina. “Kamu wangi banget, sayang.”“Aku baru kelar mandi, Mas.”“Ihh, kok kamu mandinya gak ngajak-ngajak sih, sayang?” protes Bryan kemudian melepaskan pelukannya di pinggul istrinya.“Kamu tadi sibuk gendong Brianna, Mas.”
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“
Dua minggu kemudian…Nina terkesiap ketika menatap kalender. Dia baru menyadari kalau saat ini dia telah terlambat datang bulan. Dalam perhitungannya, sudah ada dua bulanan dia tidak mengalami datang bulan. Seketika tangannya mengelus perut ratanya. Senyum merekah dari bibirnya yang ranum.Nina memang belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan untuk memastikan apakah benar dia hamil atau tidak. Namun, ciri-ciri kehamilan sudah dia alami saat ini. Dia sering mengantuk dan pusing pada pagi hari dengan disertai mual. Sehingga hal itu, membuat Nina yakin bahwa dirinya memang tengah mengandung buah hatinya.“Mas Bryan pasti senang kalau tau ada buah cinta kami di dalam sini. Nanti setelah Mas Bryan sampai, aku akan memintanya untuk menemaniku ke dokter kandungan. Dia pasti sangat antusias,” ucap Nina bermonolog.Sesuai janji yang pernah Bryan katakan sebelumnya, hari ini adalah hari kepulangan Bryan ke Jakarta. Saat ini Bryan sudah berad
Nina terdiam cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan anaknya. “Papa pasti pulang kok,” jawabnya penuh yakin di hadapan anak-anaknya.“Kalau misalnya Papa gak mau pulang gimana, Ma?”“Kenapa Lala ngomong gitu? Papa pasti pulang ke rumah.”“Siapa tau Papa ketemu anak-anak yang lebih baik dari kami. Makanya Papa gak mau nelpon dan bicara sama kami,” cetus Khaylila.“Lala kok bisa kepikiran seperti itu? Jangan pikir yang macam-macam ya, sayang. Papa di sana cuman kerja doang. Gak buat yang aneh-aneh.”“Soalnya di sekolah, Lala punya teman yang Mama Papanya udah pisah.”Kata-kata anak berusia empat tahun itu sukses membuat air mata Nina luruh seketika. “Kalau Papa ketemu anak-anak baru di sana, ya udah, berarti Mama juga harus cari Papa baru buat kalian. Bagaimana? Mantap kan rencana Mama?”“Tapi pilih Papa barunya jangan
Lima hari berlalu, Nina masih belum mendapatkan kabar dari Bryan. Setiap kali dirinya menghubungi Bryan, nomor suaminya itu selalu saja tidak aktif bahkan semua akun sosmednya terlihat seperti diblokir oleh Bryan. Dan kali ini, Nina berinisiatif menggunakan nomor baru untuk menghubungi nomor suaminya itu. Nina berkacak pinggang kala panggilannya tersambung ke nomor sang suami.“Ternyata benar dugaanku, kamu ngeblokir nomorku. Kurang ajar ya kamu, Mas!” ucap Nina bermonolog.“Kamu ini ke mana sih? Lama banget ngangkat teleponnya!” sungut Nina kesal.Setelah beberapa detik, panggilan suara itu pun terhubung ke si pemilik nomor. Tetapi Nina dibuat terkejut karena bukan Bryan yang menjawab panggilannya melainkan seorang wanita.“Hello. Can I help you?”Nina menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat kembali nomor yang dia hubungi, takutnya salah sambung. Tetapi sudah benar yang dia hubungi adalah nomor suaminya sendiri.‘Kenapa yang mengangkat telpon kamu malah orang lain? Siapa peremp
Nina pun kembali mengirimkan sebuah chat ke nomor Bryan.[Setidaknya ngasih kabar dong, walaupun satu chat saja. Aku cemas banget sama kamu, Mas]“Hmm, kok centang satu sih?” gumam Nina terheran-heran. “Seharusnya dari subuh dia udah sampai di apartemen. Tapi kok ceklis? Masa iya dia gak ada kuota atau wifi sih? Apa dia sengaja matiin data selulernya biar gak diganggu?”*Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Tetapi sampai detik ini juga, Bryan masih belum memberikan kabar. Bahkan nomornya saja masih centang satu. Nina semakin cemas dibuatnya. Tiba-tiba teleponnya berdering, membuatnya merasa lega.Nina segera mengecek ponselnya, berharap sang suami yang menghubunginya. Namun hatinya kembali diserang oleh rasa kecewa ketika orang lainlah yang menghubunginya.“Halo. Nina, apa kamu di rumah?” tanya seseorang di balik sana.“Iya. Tumben kamu menghubungi aku. Ada apa, Dicky?”Semenjak mengetahui bahwa Dicky telah menjalin hubungan dengan William, Bryan tidak mempermasalahkan lagi jika
Pukul 01.00 malam, Nina belum juga bisa tertidur. Dia bolak-balik mengecek ponsel, menantikan notifikasi dari suaminya.“Ini sudah 17 jam dari jam keberangkatan pesawat Mas Bryan. Harusnya sih dia udah sampai di Prancis. Tapi kok dia belum ngabarin aku? Apa dia masih di bandara ya?” Nina berusaha untuk berpikiran sepositif mungkin. “Ah ya sudahlah. Lebih baik aku tidur saja dulu. Siapa tau besok pagi sudah ada pesan darinya.”Entah sudah berapa dia memejamkan mata, memaksakan diri untuk tidur. Tetapi semuanya sia-sia. Kepalanya tidak bisa diajak kerja sama. Ada saja bayangan-bayangan buruk yang mengganggu pikirannya.Nina kembali mengecek layar ponselnya yang menunjukkan waktu semakin larut. Jujur saja, tubuhnya sangat lelah dan tak bertenaga, matanya pun mulai terasa berat. Namun ada saja yang membuatnya terjaga. Inilah yang sering kita sebut sebagai insomnia akibat overthinking.Karena susah tidur, Nina akhirnya memilih beranjak
Langkah Nina sedikit terganggu karena banyak orang yang juga berlalu-lalang berjalan melintasinya. Jarak mereka kian jauh. Nina semakin kehilangan jejak suaminya. Bahkan saking ramainya, Nina tak sengaja menabrak seseorang.“Maaf, Pak,” ucap Nina menyadari kesalahannya.“Kalau jalan lihat-lihat dong, Mbak!”“Iya-iya. Sekali lagi maaf, Pak.”Nina kembali melihat ke depan. Namun dia sudah tidak melihat suaminya lagi. Bahkan bayangannya saja sudah tidak ada. Nina kini pasrah. Pikirannya yang kacau, bercampur aduk.Nina masih syok dengan apa yang dia lihat barusan. Ini pertama kalinya Nina melihat suaminya bersama perempuan lain. Apalagi Bryan bahkan tidak memberontak saat perempuan itu menggandeng tangannya. Dan lebih membingungkan, ayah mertuanya pun tidak protes melihat anaknya sendiri sedang bersama wanita lain yang bukan istrinya.“Ada apa ini sebenarnya? Apa yang terjadi?”*Nin