Nina Anatasya yang masih berusia 18 tahun dan baru lulus dari sekolah menengah atas, memilih untuk bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga di sebuah rumah mewah milik pengusaha terkenal demi mengumpulkan biaya kuliah. Semua baik-baik saja hingga seminggu kemudian ia mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan di tempatnya bekerja. Semua berubah saat anak majikannya alias tuan muda bernama Bryan baru saja datang ke rumah dan memperkosanya di saat semua orang di rumah sudah terlelap.
*
Sebelum kejadian…
Pagi hari, pukul 10.00, Bryan akhirnya tiba di Jakarta setelah penerbangannya selama dua jam dari Singapura. Hanya tiga puluh menit dari Bandara Soetta, Bryan pun sampai di rumahnya yang berada di kawasan perumahan elit.
“Thank you, Pak,” ucap Bryan kepada sopir yang membukakan pintu untuknya.
“Sama-sama, Tuan Muda.”
Baru saja turun dari mobil, Bryan melihat papanya sedang terburu-buru menuju mobil pribadinya.
“Papa mau ke mana?” tanya Bryan, namun pertanyaannya itu tidak digubris sama sekali oleh Fredrinn (Papa Bryan).
Pria berusia 49 tahun itu pun bergegas masuk ke dalam mobil Porsche edisi terbatas miliknya dan melaju ke rumah sakit, tempat sang istri dirawat. Rosalina, ibu Bryan mengidap penyakit kanker hati dan diharuskan menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Bryan membuang napas kasar. Lagi-lagi papanya selalu saja menganggap dirinya tidak ada. Bryan pun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan langsung disambut oleh empat orang pelayan, termasuk Nina.
Bryan menatap lekat-lekat Nina. Wajah baru di rumahnya. Nina baru semingguan bekerja di rumah itu. Tentu saja Bryan tidak mengenalnya.
“Selamat datang kembali, Tuan Muda. Apa Tuan mau makan?” tanya Bi Lastri, asisten rumah tangga yang sudah berusia senja. Ia telah bekerja di rumah itu kira-kira lima belas tahun lamanya.
“Gak usah, Bi. Aku sudah makan di perjalanan tadi,” jawab Bryan dingin. Keempat pembantunya sudah kembali dalam pekerjaan mereka masing-masing. Hanya Bi Lastri yang masih berdiri di sisi Bryan. Bi Lastri sudah mengenal karakter Bryan yang manja. Dia tidak akan pergi sebelum Bryan mengucapkan sesuatu yang dibutuhkannya.
“Apa Tuan Muda mau dibikinkan es kopi susu?” tawar Bi Lastri.
“Boleh deh, Bi.” Segera Bi Lastri melangkah ke dapur untuk menyiapkan es kopi susu favorit Bryan.
Bryan berjalan menuju ruang keluarga sembari mengibas-ngibaskan tangannya karena gerah. “Jakarta makin hari makin panas saja!” keluhnya. Bryan lalu membuang badannya ke sofa empuk yang ada di ruangan itu untuk beristirahat sejenak. Tiba-tiba seorang pelayan, tak lain adalah Nina berjalan melewati ruangan tersebut untuk mengambil sesuatu.
“Hey kau!” pekik Bryan memanggil Nina. “Kau pembantu baru di sini ya?”
Nina menunduk kemudian menghampiri Bryan. “Iya, Tuan Muda. Ada yang bisa saya bantu?”
“Kau tidak lihat aku sangat keringatan di sini?!”
Nina terdiam. Tidak paham dengan kalimat Bryan. Sesaat kemudian, Nina akhirnya paham maksud tuannya. Nina mengambil remote control untuk menyalakan AC di ruangan tersebut.
“Aku tidak menyuruhmu menyalakan AC itu!”
“M-maaf, Tuan Muda. Jadi apa yang harus saya lakukan, ya?” tanya Nina kebingungan.
“Kemari. Buka bajuku dan lap keringatku.”
Nina sempat diam beberapa detik dan membatin, ‘Apa dia tidak bisa melakukannya sendiri, ya? Kenapa harus menyuruh aku segala?’
“Heh, cepat!”
“B-baik, Tuan Muda.” Mau tidak mau, Nina membuka kemeja Bryan yang sedikit basah akibat keringat dan mengelapnya menggunakan handuk kecil yang tersedia di ruangan itu.
Setelah Nina menyelesaikan tugasnya, Bryan menyuruhnya untuk pergi. Tidak lama, Bi Lastri pun datang membawakan segelas es kopi susu kesukaannya. Sangat nikmat diminum ketika cuaca terik seperti sekarang.
“Bi, kenapa Papa menambah pembantu lagi?” tanya Bryan kebingungan. Bi Lastri yang tau segala sesuatunya pun menjawab.
“Hum, iya, Tuan Muda. Tuan Fredrinn sengaja mempekerjakan pembantu baru, soalnya Mbak Inem kan sudah resign. Pulang kampung, katanya mau ikut suaminya aja kerja di Indramayu,” jelas Bi Lastri dibalas dengan anggukan kecil dari Bryan.
“Tapi kok kayaknya dia masih muda banget ya, Bi?”
“Ya jelas, Tuan. Wong umurnya aja masih 18 tahun, Tuan.”
Bryan tampak terkejut. Sebab selama ini, jika papanya mencari seorang pekerja rumah tangga haruslah yang berusia 30 tahun ke atas atau yang sudah berkeluarga. Semua itu adalah permintaan dari Rosalina (ibu Bryan) agar meminimalisir kejadian yang tidak diharapkan dalam rumah tangga mereka.
“Tumben Papa nyari pembantu yang muda,” sahut Bryan.
“Ya, Tuan Muda. Si Nina itu baru aja lulus SMA. Dia jauh-jauh dari kampung sengaja merantau ke Jakarta buat cari kerja, tambahan biaya kuliah. Kata dia, sengaja jadi pembantu yang tinggal di dalam, jadi bisa hemat, gak perlu keluar biaya buat bayar kosan dan makan pun ditanggung kalau jadi ART. Makanya Tuan Fredrinn rada kasian sama anak itu. Jadi diterima kerja di sini deh, walaupun masih muda banget.”
Bryan mengelus dagunya sambil tersenyum licik. ‘Oh jadi anak itu kepengen kuliah, ya. Sepertinya aku bisa membantunya,’ batinnya.
FLASHBACK OFF
*
Bryan langsung terbangun ketika ia merasa Nina sudah pergi dari kamarnya. Dengan cepat Bryan menyusuli Nina yang sudah berada beberapa langkah dari pintu kamarnya. Bryan langsung menarik lengan Nina agar gadis itu kembali masuk ke dalam ruangan.
“Tuan mau berbuat apa lagi ke saya, huh?!!” tanya Nina pasrah diiringi tangisan.
Bryan pun mengunci pintu kamarnya agar tidak ada orang yang bisa melihat mereka. “Ssstt!! Diam kamu, Nina! Jangan berisik, nanti yang lain terbangun kayak mana?”
“Saya salah apa sama Tuan? Kenapa tega sekali membuat saya sengsara. Huhuhu.” Nina berbicara dengan bibir bergetar sembari sesekali memegangi dadanya yang sesak.
Bryan segera menutup mulut Nina menggunakan tangannya. “Jangan menangis lagi, bodoh! Dikasih yang enak-enak kok hebohnya minta ampun! Justru aku lihatnya kamu yang keenakan banget.”
Nina kembali berbicara setelah Bryan menjauhkan tangannya dari mulutnya. “Tuan yang maksa saya! Saya gak mau melakukan ini!” protes Nina. Air mata gadis itu mulai berhenti dan mengering. Justru saat ini Nina merasa sangat kesal terhadap Bryan.
“Tapi kamu juga menikmati, kan?” tanya Bryan. Bryan mulai panas, kembali ia memegangi leher Nina dan merabanya. Nina langsung menahan tangan sang majikan dan membuangnya dengan kasar.
“Sudahlah, Tuan! Jangan lakukan ini lagi! Atau saya akan melaporkan ini ke polisi!” ancam Nina tegas. Berusaha sok kuat dan berani di depan Bryan, walaupun sebenarnya ia sangat takut apabila Bryan melakukan hal itu lagi kepadanya.
Bryan tertawa sumbang terdengar mengejek. “Hahaha. Seorang sepertimu? Mau melapor ke polisi? Apa aku gak salah dengar? Polisi pasti hanya menertawakanmu! Apa kau punya bukti kuat bahwa aku yang memaksamu? Apa kau punya rekaman peristiwa tadi? Tidak ada, Sayang! Tidak ada!”
Hati Nina kembali menciut. Benar juga apa kata Bryan. Dia tidak punya bukti apa pun soal kejadian ini. Terlebih lagi dirinya bukan orang yang berkuasa, bahkan tidak punya uang untuk menyelesaikan kasus ini di ranah hukum.
“Aku akan melapor ke Tuan Fredrinn!” kata Nina lagi.
“Coba saja lapor kalau kau berani! Ingat ya, kau bekerja di rumah siapa? Yang mempekerjakanmu itu adalah papaku sendiri! Tidak mungkin dia percaya omongan dari seorang pembantu sepertimu! Baginya kau hanyalah sampah yang harus dibuang!”
Nina tertegun. Kali ini dia kalah telak dengan tuan mudanya.
“Aku punya penawaran baik untukmu,” ucap Bryan.
Nina menerima uluran tangan itu dengan senyuman manis.“Aku ingin kita menikmati malam ini dengan berdansa dan diakhiri dengan bergoyang pinggul sampainya ranjang patah-patah dan dengkul bergetar,” bisik Bryan secara brutal anti sensor club.Sebelum berdansa, Bryan menyetel musik terlebih dahulu. Musik yang begitu romantis dengan alunan nada merdu.Cinta satu malam, oh indahnyaCinta satu malam, buatku melayangWalaupun satu malam, akan selalu ku kenang dalam hidupku“Hm, Mas? Apa kamu gak salah lagu? Masa iya cinta satu malam? Kan cinta kita sampai akhir hayat, bukan satu malam doang,” tegur Nina membuat Bryan tersadar.“Eh iya. Salah setel.”Akhirnya Bryan menyetel lagu yang cocok untuk dipakai berdansa malam ini.Pasangan suami istri itu pun berdansa mengikuti ritme. Bryan membuat Nina berputar sesuai alunan nada hingga vertigonya kambuh. Wkwkw.
“Ashiaapp!!” sahut Rozak ala-ala Atta Halilintar.“Iya, Pak. Mampir kapan saja, pintu rumah selalu tertutup bahkan tergembok untuk Bapak Rozak,” ujar Fredrinn berniat ngejokes ala Bapack-bapack. Sayangnya jokesnya itu tidak lucu sama sekali. Namun Rozak justru tertawa.Akhirnya pamit juga Rozak dan Aliyah.Fredrinn dan Adelina juga berpamitan dari hadapan yang lainnya. Mereka ingin beristirahat di kamar. Begitu pula dengan para ART yang izin mundur diri.Kini hanya tersisa Nina, Bryan, Riko beserta empat bocil di ruang makan itu.“Ayo anak-anak. Kalian juga masuk ke kamar! Cuci tangan, cuci kaki, cuci muka dan jangan lupa gosok gigi!” seru Nina yang diangguki oleh keempat anaknya itu.Riko tersenyum lebar melihat keempat ponakannya yang mudah sekali diatur oleh Nina.“Mereka ini penurut sekali,” puji Riko. “Pasti kakak mendidik mereka dengan sangat baik. Makanya mereka semua bisa j
Keesokan paginya, Nina melihat Bryan sedang menyetrika pakaian kerjanya. Hari masih pagi buta, tapi Bryan sudah sibuk bersiap-siap menuju kantor.“Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Nina yang baru saja terbangun dari tidurnya. Bahkan matanya belum terbuka dengan sempurna.“Mulai hari ini aku akan ke kantor, sayang. Aku akan bekerja seperti biasa sebagai direktur,” jawab Bryan dengan pandangan mata yang masih terfokus pada setrikaannya.Nina bangkit dari tidurnya, mengubah posisi menjadi duduk. Dia masih menguap sesekali. Jujur saja rasanya ingin sekali dia melanjutkan tidur, tapi tidak enak karena suaminya sendiri lagi sibuk-sibuknya.“Kamu yakin mau bekerja seperti biasa, Mas? Aku kira status kamu masih jadi tahanan rumah. Kalau kamu ditangkap lagi oleh polisi karena ketahuan melanggar peraturan, bagaimana dong?”“Dari kemarin-kemarin aku kan sudah melanggar peratur
Dua minggu kemudian.Setelah dua mingguan lebih dirawat di rumah sakit, Nina sudah diperbolehkan pulang ke rumah dengan catatan tidak boleh banyak bergerak agar luka tembaknya di perut itu segera pulih dengan baik.Malam itu, Bryan sedang membantu Nina memakai pakaiannya. Namun tiba-tiba Nina menyambar bibir Bryan dengan mendaratkan sebuah ciuman ringan di bibir suaminya itu..“Eh, sayang. Jangan memancing dong.”“Mas, aku pengen,” bisik Nina. “Sudah lama kita gak begituan.”Bryan paham dengan kode istrinya itu. “Tapi luka kamu kan belum kering seratus persen, sayang.”Nina melirik luka di perutnya yang masih diperban. Ya, dia akui walaupun sudah tak terasa nyeri, tapi dia belum bisa bergerak dengan leluasa. Dan hal itu akan mempengaruhi mereka nantinya jika melakukan hubungan suami istri.“T-tapi aku udah gak bisa nahan gimana dong, Mas?”Nina memasang wajah manjanya,
“Kita ke rumah sakit dulu ya. Soalnya Bryan ada di sana,” ujar Fredrinn kepada Riko yang tengah mengemudi mobil.“Loh, siapa yang sakit? Bryan?” tanya Adelina yang mendadak khawatir.“Bukan. Tapi menantuku,” jawab Fredrinn.“Oh. Bryan ternyata sudah menikah, ya?” tanya Adelina lagi.“Iya. Bahkan sudah punya anak empat.”Adelina kemudian melirik ke Riko. “Kalau kamu kapan rencana nikah, Nak?”Bless! Hati Riko terasa tertancap duri saat mendapatkan pertanyaan menohok seperti itu.“Mama nih apaan sih? Kok langsung nanya begitu?” balas Riko tidak terima ditanya demikian.“Mama kan cuman nanya. Gak salah toh?”“Salah dong! Salah banget malah!”“Salahnya di mana?”“Jelas salah. Tidak seharusnya Mama bertanya seperti itu.
Keesokan harinya, Fredrinn mengajak Riko mengunjungi kantor cabang Lawrence Company. Di sana, Fredrinn memperkenalkan Riko sebagai anaknya sekaligus penerusnya dalam mengelola perusahaan itu.“Saya kira anak Pak Fredrinn cuman Pak Bryan,” celetuk salah satu karyawan yang terdengar jelas di telinga Fredrinn.“Tidak. Riko juga anak saya. Cuman baru terungkap sekarang,” jawab Fredrinn santai.“Semacam program investigasi ya, Pak. Baru terungkap sekarang.”“Iya, begitulah.”Setelah selesai memperkenalkan Riko kepada semua karyawan di kantor itu, Fredrinn lalu mengajak Riko untuk menemui Adelina, ibu kandungnya.“Kenapa Papa mengajak aku ke tempat ini?” tanya Riko setelah mereka tiba di rumah Adelina.“Ini adalah rumah mama kandung kamu. Walaupun kamu tidak tertarik untuk mengetahui siapa mama kamu, tapi tetap saja kamu h