"Maafkan aku, Maria. Aku janji, besok siang akan kutantemanimu ke mana pun kau mau. Kita selesaikan semuanya besok. Setuju?"Demi menjaga kedamaian, Bumi mengucapkan janji yang paling berat baginya—bersedia pergi bersama Maria mempersiapkan pernikahan mereka. Itu artinya ia tak bisa lagi mengulur waktu. Namun, sampai kapan ia harus terus menghindar? Delapan bulan sudah lebih dari cukup bagi seorang wanita untuk bertahan dalam ketidakpastian."Hmm... Termasuk ke rumah sakit juga?" tanya Maria. Suaranya lebih lirih dari biasanya. Bukan karena ia tak bersemangat, tapi pemeriksaan keperawanan bukanlah keinginannya. Itu syarat dari nenek Bumi, prasyarat mutlak sebelum mereka bisa menikah."Kau tak perlu melakukannya jika itu menyakitkan. Aku akan bicara lagi dengan Nek Becca," bisik Bumi lembut. Ia paham betapa hal seperti ini bisa melukai harga diri Maria."Tidak apa-apa, Bee. Aku rela. Hanya... bisakah kita melakukannya di rumah sakit kenalanku? Aku agak malu diperiksa dokter yang tak di
Delapan bulan telah berlalu. Dan di sepanjang waktu itu, dunia seakan berputar dengan cara yang berbeda bagi Gilea.Jika dulu ia hanya seorang perempuan yang berusaha melarikan diri dari masa lalunya, kini ia berdiri di atas kehidupannya sendiri—meski sebenarnya ia tidak pernah benar-benar sendirian.Daniel, yang jelas-jelas mendapat penolakan dari Gilea delapan bulan lalu kini menjelma menjadi tiang penopang di setiap langkah Gilea. Tidak hanya sebagai sahabat, tapi juga sebagai lelaki yang diam-diam mengorbankan begitu banyak hal.Siapa sangka, hubungan mereka malah berjalan dengan sangat baik dalam mode ini. tidak ada pernyataan cinta. Hanya ada tawa dan ketulusan seorang sahabat. Daniel tahu betul, Gilea belum siap memulai hubungan yang lebih intim dengan pria manapun. Entah itu karena hatinya yang terluka atau karena hatinya masih tertawan di sana. Tidak pernah ada yang tahu pasti jawabannya. Tapi bagi Daniel tidaklah mengapa menjadi sandaran tanpa nama bagi wanita yang dia say
Kafe kecil itu masih mempertahankan aroma kopi yang khas, bercampur dengan wangi kayu tua dan sedikit sentuhan vanilla dari lilin-lilin yang menyala di meja.Udara hangatnya seolah menahan waktu, membuat setiap langkah yang masuk ke sana terasa seperti memasuki sebuah kenangan.Dinding bata eksposnya dipenuhi foto-foto lawas—hitam putih, buram, beberapa mulai memudar. Di antara foto-foto itu, terselip satu bingkai yang tak pernah berubah posisinya: potret tiga remaja tersenyum lebar, berdiri di depan kafe ini, suatu sore bertahun-tahun lalu—Gilea, Daniel, dan Maria.Rak-rak buku tua berdiri di sudut, penuh novel dengan sampul yang warnanya sudah memudar. Beberapa di antaranya masih mengeluarkan aroma kertas tua yang khas.Gilea duduk di sudut favorit mereka dulu, jarinya memainkan sendok di atas meja kayu. Meja itu masih sama seperti dulu—masih ada goresan kecil di sudutnya, bekas ukiran nama mereka bertiga: Gilea, Daniel, Maria.Ukiran itu dulu dibuat diam-diam, di tengah tawa dan gu
Langkah Gilea tergesa, menyusuri lorong hotel yang sepi. Hiasan bunga di sisi dinding yang tadi indah, kini terasa seperti pagar yang mengekang geraknya. Nafasnya terengah, matanya terus melirik ke belakang. Nalurinya berteriak: Cari tempat bersembunyi. Sekarang.Entah mengapa, dia terlalu takut dirinya ketahuan oleh Bumi. Entah itu murni sebuah ketakutan yang tidak mendasar? Atau memang alarm hatinya yang me-warning dirinya. Sebab sejak saling beradu tatap tadi, sebelum ia sempat kabur, ada sesuatu di mata pria itu—tajam, namun penuh tanda tanya. "Sebaiknya aku sembunyi di sana saja?" bantin Gilea saat ia menemukan sebuah lorong kecil di dekat area pelayanan katering. Tanpa pikir panjang, ia masuk dan membungkuk di balik meja besar yang ditutupi kain panjang. Ruang itu cukup remang, bau campuran bunga segar dan parfum mewah masih menempel di udara.Belum sempat ia menarik napas lega, sebuah suara terdengar dari arah pintu masuk lorong.“Gilea…?” sapa seseorang yang suaranya tidak as
Langkah Gilea tergesa-gesa menyusuri lorong hotel mewah yang dipenuhi hiasan bunga segar. Napasnya memburu, jantungnya berdebar tak karuan. Ia hanya ingin keluar dari tempat itu sebelum semuanya menjadi terlalu rumit. Tapi saat berbelok di sudut ballroom, tubuhnya menabrak seseorang dengan cukup keras."Aduh!" suara nyaring itu terdengar, diikuti dentingan gelas yang pecah di lantai.Gilea terhuyung, hampir jatuh, tapi berhasil menahan diri. Ia menunduk, berusaha menghindari tatapan orang yang ditabraknya."Hei! Kau tidak lihat jalan, ya?" suara tajam itu menghardik, penuh amarah.Perlahan, Gilea menegakkan tubuhnya. Di depannya berdiri Maria, mengenakan gaun merah marun yang membalut tubuhnya dengan anggun. Wajah cantiknya kini dipenuhi kemarahan. Di sekeliling mereka, beberapa tamu mulai memperhatikan.Maria menatap Gilea dari ujung kepala hingga kaki. "Kau dari vendor bunga, ya? Astaga, bahkan untuk acara sebesar ini, mereka mengirim orang yang tidak tahu sopan santun!" sindirnya t
Sudah dua bulan sejak pertunangan Bumi dan Maria diumumkan ke publik. Di mata dunia, mereka adalah pasangan sempurna—pewaris bisnis besar dan sosialita cerdas yang selalu tampil memukau. Tapi di balik pintu kamar mewah mereka, kenyataan jauh dari sempurna.Maria duduk di tepi ranjang, mengenakan lingerie satin merah yang ia beli khusus dari butik Paris. Rambutnya digerai, bibirnya dipulas merah tua, dan aroma parfum mahal memenuhi ruangan. Ia sudah mencoba segalanya—makan malam romantis, pijatan lembut, bahkan mengajak Bumi berlibur ke Bali. Tapi malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Bumi hanya duduk di sofa, menatap lantai dengan mata kosong.“Bee,” panggil Maria lembut, mendekatinya. “Kau tidak lelah menolak aku terus?”Bumi menoleh, mencoba tersenyum. “Maaf. Aku hanya... tidak siap.”Maria duduk di pangkuannya, tangannya menyentuh wajah Bumi. “Kau sudah bertunangan denganku. Kita akan menikah. Apa yang kau tunggu?”Bumi menunduk. “Aku hanya lelah, Maria. Ada banyak sekali peke