Rina memiringkan botol yang berisi air di campur kecap ke lantai. Tidak banyak, tapi cukup licin dan tepat berada di jalur kaki Alya.Rina segera mundur setengah langkah, pura-pura sibuk membuka ponselnya. Dari sudut matanya ia menunggu.Sret!Di saat tubuh Alya hampir terhuyung ke lantai, sebuah tangan sigap meraih lengannya. Nampan yang nyaris terlepas berhasil ditahan bersama-sama.Rafi, baru saja selesai membayar di kasir berdiri di sampingnya dengan wajah serius.“Hati-hati,” ucapnya singkat, namun cukup membuat beberapa mahasiswa di sekitar terdiam, tak jadi menertawakan.Alya menunduk, pipinya merah, antara malu dan lega. Ia menggenggam erat nampan itu, nafasnya masih memburu.Di kejauhan, Rina yang pura-pura sibuk dengan ponsel kini menatap tajam ke arah Rafi. Senyumnya yang tadi puas perlahan memudar, digantikan kilatan marah di matanya.Kelas terakhir hari itu akhirnya selesai. Ruangan yang tadinya riuh dengan suara dosen dan mahasiswa kini perlahan sepi.Alya duduk lebih la
Kursi Rina bergeser. Gadis itu tiba-tiba berdiri sambil memegang wadah cat yang warnanya mencolok, cat yang tadi dipakai untuk membuat poster kelompok. Plokk! Cat kental itu tumpah, membasahi baju putih Alya dari dada hingga perut. Warna merah pekatnya langsung menyerap ke kain, membuat beberapa mahasiswa terperangah. “Ups… nggak sengaja,” ucap Rina dengan nada ringan, tapi senyumnya tipis penuh sindiran. Alya terhenti, matanya menatap Rina tak percaya. “Kamu...” Pak Adi yang sedang mengamati kelompok lain menoleh cepat. “Rina! Apa-apaan kamu?!” suaranya meninggi, memecah suasana. Rina menoleh dengan ekspresi pura-pura polos. “Beneran nggak sengaja, Pak,” ucapnya sambil memegang wadah yang isi cat nya tinggal sedikit. Pak Adi menghela napas, tapi tatapannya dingin. “Saya nggak peduli itu sengaja atau tidak. Jangan cari masalah di kelas saya, mengerti?” “Iya, Pak,” jawab Rina singkat, tapi tatapan matanya saat kembali menoleh ke Alya penuh tantangan. Rafi yang duduk di
Tangan itu berhenti hanya beberapa sentimeter dari dadanya. Alya refleks menoleh, tatapan Revan dalam, penuh sesuatu yang sulit diartikan. Alya meneguk ludah, jantungnya berdetak tak karuan. Ia melihat tatapan Revan dalam, penuh sesuatu yang sulit di artikan. Ada kilatan nakal di sana, seolah ia sedang menimbang sesuatu. Namun sebelum Revan melakukan gerakan selanjutnya... Tiiin! Klakson dari mobil di belakang memecah momen itu. Alya langsung menoleh ke depan dan menyadari mobil mereka sedikit bergeser ke jalur kanan, hampir menutup jalan mobil lain. “Revan!” seru Alya spontan. Revan cuma terkekeh, mengembalikan mobil ke jalurnya dengan santai. “Salah kamu sih, bikin aku nggak fokus nyetir,” katanya dengan tatapan nakal, masih menyisakan senyum miring yang membuat Alya semakin panas dingin. Alya menghela napas, mencoba memalingkan wajah. Alya melirik sekilas dengan alis terangkat. “Emang kamunya aja yang modus,” ucapnya sambil bersedekap. Revan menoleh sebentar, sudut bibir
Revan tak langsung menjawab. Senyum liciknya semakin jelas, dan tatapan matanya menelusuri wajah Alya. Alya menelan ludah. Ia bersiap mundur selangkah, tapi tiba-tiba Revan mengangkat tangannya dan… Tuk! Suara gelas yang diletakkan di wastafel memecah tegangnya suasana. Revan masih berdiri dekat, bahunya hampir bersentuhan dengan Alya. Senyum licik terukir di bibirnya, sorot matanya tetap nakal. “Siapa juga yang aneh-aneh… orang aku mau naro gelas,” ucapnya santai, tapi terdengar seperti sindiran halus. Alya mendengus pelan, pura-pura tidak terpengaruh, padahal detak jantungnya tak karuan. “Ya udah, taro. terus minggir,” Bukannya mundur, Revan tetap di tempat. Satu tangannya bertumpu di wastafel, mengurung ruang gerak Alya. “Kenapa? Takut?” bisiknya pelan. Alya menelan ludah, matanya terpejam sesaat “Nggak… cuma risih,” jawabnya datar. Revan terkekeh kecil. “Risih tapi diam aja dari tadi, nggak geser-geser?” balasnya, pandangannya mengunci mata Alya. Alya menger
Tiba-tiba terdengar suara dari arah meja makan di bawah. Suara Arman yang cukup keras terdengar memecah keheningan. “Ada apa, Van? kok kayaknya ribut-ribut di situ” Revan sempat melirik ke arah tangga, tapi ekspresinya tetap santai. “Nggak apa-apa, Pa!” balasnya dengan nada tenang. Alya yang masih berada di dalam dekapan Revan langsung tersadar. Tanpa pikir panjang, ia mendorong dada pria itu dan bangkit berdiri, sedikit tersengal. “Nyari kesempatan banget sih!” serunya, nada suaranya setengah kesal setengah gugup. Revan hanya tersenyum licik, sorot matanya tetap nakal dan tajam menatap Alya. “Kan… selagi ada kesempatan,” balasnya santai, seolah tak ada yang salah. Alya mendecak pelan, lalu refleks memukul lengan Revan dengan telapak tangannya. “Ih, Revan!” katanya sambil melangkah menjauh. Revan hanya terkekeh pendek, seolah pukulan itu tak berarti apa-apa. Bahkan tatapan matanya masih sempat mengikuti langkah Alya. Alya langsung memalingkan wajah, lalu melangkah cepat
Tangan Revan terangkat dan semakin mendekat. Revan mengarahkan jarinya ke arah seat belt Alya, menekan tombol pelepasnya. “Sabuk pengaman mu miring, nggak nyaman kan?” ucapnya datar, lalu memposisikannya ulang. Alya mengerjap cepat, campuran lega dan entah kenapa sedikit kesal. “Kirain mau ngapain,” gumamnya pelan. Revan hanya tersenyum tipis sambil menyalakan mesin mobil lagi. “Kenapa? Berharap aku ngapain?” tanyanya, nada suaranya terdengar seperti ejekan yang samar. Alya memutar bola matanya. “Ih, siapa juga yang berharap.” Revan menoleh sekilas, senyumnya masih sama seperti tadi, tipis tapi kali ini matanya menyimpan kilatan nakal, seolah tahu persis bagaimana membuat Alya gelisah. “Padahal aku senang kalau kamu berharap,” ucapnya pelan,nadanya terdengar seperti menggoda Alya. Alya mengangkat dagunya sedikit, mencoba terlihat santai. “Itu mah maunya kamu,” ujarnya, pura-pura cuek. Revan melirik sebentar, senyumnya tipis tapi matanya jelas-jelas menggodanya. “Em