“Aku lelaki mandiri Buk. Aku tidak bisa menggantungkan hidupku pada orang lain meskipun itu istriku. Aku mau bekerja. Harga diri seorang lelaki itu terletak pada pekerjaannya. Meskipun pekerjaanya remeh temeh dan gajinya kecil tapi dia tetap berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya, maka dia adalah seorang lelaki yang terhormat.”“Lah, tapi dosenmu itu lebih tua. Dosenmu itu juga pasti derajatnya lebih tinggi daripada kamu. Kamu nggak ingat apa yang diperbuat Pakdemu pada keluarga kita? Kamu masih ingat nasehat Ibuk soal cari istri?”Indra terdiam sesaat. Bagaikan adegan film yang cepat, kenangan pahit dihina, direndahkan, diolok-olok tampil di otaknya. Hatinya semakin sakit. Tangannya menggenggam erat.“Ya Buk, aku masih ingat. Orang yang derajatnya lebih tinggi biasanya melihat kita dengan sebelah mata dan meremehkan kita. Ibuk juga bilang kalau cari istri yang sederajat atau yang derajatnya lebih rendah daripada kita.” Kata Indra dengan sekuat tenaga menahan agar suaranya tidak terd
Senin pagi, Satrio terpaku di ruangannya menghadapi tugas-tugas administrasi. Tangannya membolak-balik setumpukan kertas sembari memberikan koreksi di sana-sini. Tak jarang pula, tangannya mengaru-garuk dahi.Setelah hampir satu jam berkutat dengan kertas-kertas itu, Satrio menyandarkan punggungnya ke kursinya. Tangannya memijat pangkal hidungnya untuk meredakan matanya yang lelah, meskipun dia tahu, hal itu sama sekali tidak membantu.Saat itulah kenangan Satrio tertuju pada kelanjutan perbincangan dengan Kakek kemarin.“Jadi, Kakek senang sekali kamu ingin segera menikah. Ya memang selain karena kamu sudah harus menikah, ya karena untuk menyelamatkan rumah sakit. Bondan harus segera dilengserkan dari direktur. Hari ini kamu menikah, besoknya Kakek akan langsung mengadakan rapat komite membahas kelakuan Bondan.”Satrio mengangkat bahunya, tidak tahu harus menjawab apa. Walau begitu, hatinya lega, jajaran rumah sakit itu akan segera bersih dari praktek-praktek penggelapan uang.Kakek
“Mas Satrio ada di kantor?” tanya Izzy di seberang telepon.“Iya. Ada apa Zy?” tanya Satrio penasaran.“Izzy bisa bertemu dengan Mas Satrio hari ini? Izzy ada perlu penting banget.”Satrio mengernyitkan dahinya. Keperluan penting apa yang membuat Izzy ingin menemui dirinya. Untuk pertama kalinya dalam hidup Satrio dan pertama kalinya sejak Satrio mengenal Izzy, Izzy mengin“Iya bisa Zy…” Satrio melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Sekarang bisa? Soalnya setelah ini aku harus visitasi.”“Kebetulan Mas. Izzy sudah ada di lobby bawah. Lima menit lagi Izzy sampai di ruangan Mas.”Sesaat, Satrio merasakan firasat yang tidak beres. Walau begitu, Satrio tidak bisa menjelaskan firasat aneh apa yang dirasakannya.Benar, tak sampai lima menit, Izzy sudah mengetuk pintu ruangannya.“Masuk Zy, biarkan saja pintunya terbuka.” Kata Satrio yang masih duduk di meja kerjanya.“Duduk saja di sofa.” Kata Satrio seraya menunjuk ke arah sofa dengan jempol kanannya.Setelah Izzy dud
Penyakit bagi Caca menjelang akhir semester adalah kemalasan. Caca menyebutnya sindrom akhir semester. Rasa lelah, capek, dan jenuh karena mengajar satu semester ditambah dengan urusan-urusan administrasi membuatnya tidak ingin melakukan apapun.Caca menertawakan orang-orang yang dengan mudahnya bilang bahwa jika tidak mendapatkan pekerjaan maka mengajar adalah pilihan paling mudah. Mereka tidak tahu bahwa mengajar itu susah, butuh tekad dan semangat membara untuk menghadapi sekian ratus siswa, yang notabene anak orang, dengan berbagai karakter, untuk mengajari mereka tentang sesuatu.Mengajar bukanlah suatu pekerjaan mudah.Jadi kalau ada orang bilang jika tidak mendapatkan pekerjaan maka menjadi guru atau pengajar saja, maka mereka adalah orang-orang yang abai terhadap mengajar dan pendidikan.Walaupun bukan seorang pengamat pendidikan, Caca tahu kenyataan dunia pendidikan sekarang. Bagaimana pendidikan maju jika misalkan seorang lulusan sejarah murni mengajar mata pelajaran Bahasa
Tangan Caca gemetar memegang ponselnya. Keringat muncul di dahinya. “Ada satu, jenjang S1. Dia semester sepuluh, aku pembimbing satu. Tapi dari catatanku ini, dia terakhir kali bimbingan sudah bab empat dan di bulan lalu. Dari catatanku juga, dia lancar bimbingan ke aku. Aku tidak pernah membuatnya revisi lebih dari empat kali.” “Siapa namanya?” Caca menyebutkan satu nama lelaki. “Eh, itu aku pembimbing duanya. Dia kuliah sambil kerja makanya agak terlambat. Aku yakin bukan dia yang melapor.” Caca menyandarkan tubuhnya ke kursi. Matanya terpejam, “Mbak dengar dari orang jurusan?” Jasmine mengangguk, “Iya. Sudahlah, kamu nanti juga akan tahu. Biasanya kalau ada komplain seperti ini ‘kan si pelapor akan dipindahkan bimbingannya. Nanti juga ketahuan siapa yang melapor ketika mahasiswa itu pindah bimbingan.” “Loh, kok langsung pindah bimbingan?” “Ini kasus pertama kamu, bisa jadi langsung ditindaklanjuti. Kalau Pak Tsaqiif tidak mungkin ditindaklanjuti karena ya memang Beliau begit
Caca menutup sambungan telepon itu dengan pikiran yang masih berkecamuk. Ponselnya dilemparkan begitu saja ke atas mejanya.Caca sama sekali tidak tahu apa yang Satrio mau. Kenapa Satrio tiba-tiba ingin bertemu dengan Papa? Kenapa juga mendadak? Kalau seperti ini, Caca harus memilih satu diantara dua, Satrio atau Indra.Pilihan yang sebenarnya sangat mudah bagi Caca. Tapi selama ini Caca membuat pilihan itu runyam dan rumit. Jauh dari lubuk hati Caca, dia tidak menginginkan untuk memilih satu diantara dua itu sekarang.Namun, rencananya tidak berjalan sesuai keinginannya. Caca harus membuat pillihan kecil itu sekarang. Pilihan kecil yang akan berdampak pada pilihan besarnya nanti.Caca membanting tubuhnya di kursi. Pandangannya masih kosong menatap tumpukan manuskrip. Caca menggaruk punggung tangan kirinya.Dengan mengambil nafas panjang, Caca mengambil ponselnya. Jari-jemarinya dengan cepat mengulir layar ponsel, mencari sebuah nama untuk dihubungi. Tangannya berhenti sebentar, dia r
“Begini, bukannya Mas mau mengekang Adik, Mas tahu kita sekarang belum ada ikatan apapun. Tapi, meskipun begitu, Mas sudah siap menikahi Adik, seharusnya itu sudah menjadi komitmen diantara kita berdua.”Caca tidak paham sama sekali apa yang dikatakan oleh Satrio.“Mas sudah berkomitmen untuk menikahi Adik dalam waktu dekat. Meskipun sebenarnya Mas bisa kapanpun menikahi Adik termasuk sekarang juga, tapi tampaknya kita tidak bisa melaksanakan hal tersebut.”Sejenak Caca tertegun. Caca tidak percaya dengan telinganya sendiri bahwa dia mendengar Satrio mengajaknya menikah saat ini juga. Hati kecil Caca bertanya apakah Satrio sudah gila untuk merubah rencana yang telah ditetapkan dan berniat untuk menikahinya saat ini juga? Pernikahan macam apa yang dilaksanakan mendadak tanpa ada persiapan sama sekali?“Mas, mohon jangan berbelit-belit. Langsung saja ke intinya.” Sergah Caca.“Mas akan tiba ke intinya sebentar lagi. Mohon Adik sabar sebentar.”Satrio mengambil nafas, “Mas sudah bicara p
Indra memutar-mutarkan cangkir kopinya dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menahan pipi kirinya di meja. Kegiatan itu sudah dia lakukan selama lebih dari sepuluh menit.Plok…Satu tepukan mendarat di punggungnya. Tepukan tersebut, meskipun pelan, cukup untuk membuat Indra terlonjak dan menumpahkan sebagian isi cangkirnya ke meja.“Nggak bagus pagi-pagi nglamun Ndra.” kata Ibuk.“Yang melamun siapa Buk? Aku tidak melamun.” kilah Indra sembari mengelus dadanya berusaha membuat detak jantungnya normal.“Terus yang kamu lakukan tadi apa? Meramal?” tanya Ibuk seraya menyerahkan lap meja pada Indra.Indra menghela nafasnya lalu mengambil lap meja dan mengelap tumpahan kopinya.“Ada apa Ndra?”Indra masih terdiam. Tangannya reflek menggaruk bagian belakang kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.“Bingung Buk.” jawab Indra singkat.Dahi Ibuk berkerut, mengambil duduk di samping Indra, dan bertanya, “Apa yang dibingungi?”Bibir Indra mengecap. Pandangannya kosong menatap dinding di