Jasmine menepuk tangannya bersemangat. “Bukankah dia mahasiswa bimbinganmu? Bukankah lebih mudah memberikan kode pada dia ketika bimbingan thesis?” tanya Jasmine berapi-api laksana panglima perang mengobarkan semangat pada prajurit. “Mbak tahu sendiri kalau caraku melakukan bimbingan …” Jasmine menunggu Caca menyelesaikan kalimatnya. Tetapi, ketika sepertinya Caca tidak berniat menyelesaikannya, Jasmine menyarankan, “Ya diubah caramu melakukan bimbingan.” Caca tidak merespon apapun. Bahkan Caca berdiri dan berkata hal lain, “Aku mau menguji seminar proposal thesis dulu.” “Kamu nggak makan?” Caca menjawab hanya dengan gelengan kepalanya, “Aku sedang tidak ingin makan. Tidak ada nafsu makan.” “Kamu menguji di Gedung Pascasarjana?” Caca mengangguk. “Bawa payung. Takutnya hujan.” Kata Jasmine seraya melihat keluar jendela dan menunjuk mendung yang sudah bergerombol berat. Caca mengambil payung kecil dan memasukkannya ke dalam tas yang dia tenteng. Di ruang sidang seminar proposal
Selasa minggu lalu. Bluk. Suara kepalan tangan Indra memukul meja sofa. Tangannya mengepal erat, semakin lama kepalan itu semakin keras. Jantungnya berdetak kencang dan cepat. Kepalanya terasa berdenyut. Nafasnya memburu. “Sudah Buk, Ibuk pindah kesini saja. Hidup sama aku. Mentang-mentang kaya, seenaknya sendiri menghina, merendahkan, dan mengusir orang. Dia itu iri. Anaknya tidak ada yang sekolah tinggi, hanya lulusan SMA. Berbeda dengan anak-anak Ibuk yang sekolahs sampai kuliah. Lagipula Buk, Ibuk tahu kenapa dia berbuat seperti itu? “Kalau Ibu pindah, rumah ini bakalan diambil dan diakui paksa sama Pakdemu. Kalau begitu, sama saja dengan menyerah. Ibuk tidak mau rumah ini dijual dan diakui paksa sama Pakdemu.” “Aku tidak peduli Buk. Aku sudah punya rumah. Mbak Indah juga sudah punya rumah.” “Nggak bisa Ndra. Ini rumah peninggalan Mbahmu. Kenangan-kenangan bersama Mbah dan Bapakmu ada di rumah ini. Rumah ini memang sudah tua dan reyot, tapi kenangannya terlalu banyak. Bagi or
Indra berdiri dan melemparkan ponselnya ke sofa. Nafasnya tersengal-sengal. Terlebih lagi, dia berbohong pada Ibunya. Ada hal yang mengganjal di hatinya namun dia tak sanggup mengungkapkannya. Dengan pikiran yang masih melayang-layang di kepalanya tentang bagaimana cara terbaik untuk membalas perlakuan Pakdenya kepada Ibunya dan rasa bersalah atas kebohongannya, Indra meraih handuk dan mandi. Mandi ternyata tidak membuat pikirannya tenang. Pikiran itu semakin menjadi-jadi. Dia berencana ke perpustakaan hari ini sebelum kuliah pada awalnya. Namun, karena kejadian ini tadi, dia menjadi tidak yakin apakah ke perpustakaan adalah ide yang bagus. Kepalang tanggung, dia akhirnya jadi pergi ke perpustakaan. Ternyata yang membuat dia tidak bisa berpikir jernih bukan masalah Ibuknya tadi, namun temannya sekelas, Izzy. “Mas.” suara yang kencang dan kenes ditambah dengan tepukan di bahu Indra berhasil membuat Indra hampir melompat dari duduknya. “Sudah lama disini?” “Kamu itu, hampir saja mem
“Mbak, Njenengan mau pulang sekarang?” tanya Indra pada Mbak Indah yang sedang memasukkan ponselnya ke dalam tas. Indra dan Mbak Indah memang baru saja menjemput Ibuk dari rumah yang ada di kaki Gunung Semeru. Dengan segala daya dan upaya Indra merayu Ibuk untuk pindah. Indra tidak sendirian. Indra juga meminta Mbak indah untuk merayu Ibuk agar mau meninggalkan rumah itu. Untuk sementara rumah itu dipasrahkan kepada salah satu kerabat jauh Ibuk yang memang sedari dulu membantu Ibuk. Bisa dibilang kerabat ini adalah asisten rumah tangga yang bekerja paruh waktu. Bukan tanpa perlawanan Ibuk bisa dibawa ke rumah Indra. Indra harus menjemput Ibuk bersama Mbak Indah tanpa pemberitahuan. Indra sudah memberi tahu si kerabat jauh agar mau membantu usaha ini. Urusan mudah untuk merayu si kerabat jauh. Mereka mempunyai musuh yang sama, yaitu Pakde. Mbak Indah mengangguk, “Iyo. Mendung kayak gitu takutnya kehujanan.” “Eh, ya sudah kalau begitu.” dengus Indra. Mbak Indah mengernyit, menghela
Mbak Indah berpamitan pada Ibuk. Indra masuk untuk mandi dan bersiap. Ketika dia berangkat, Ibuk memberikannya payung untuk berjaga-jaga. Benar juga, begitu dia sampai di Gedung Pascasarjana, hujan mulai turun rintik-rintik. Jauh di dalam hatinya, alasan sebenarnya dia mengikuti seminar proposal adalah ingin melihat Bu Syasmala dari dekat. Dia tidak tahan untuk tidak melihat Bu Syasmala. Terakhir kali bertemu dengan Bu Syasmala adalah selasa minggu lalu. Indra bahkan tidak bisa menunggu esok hari untuk bertemu. Matanya berbinar dan senyuman tersungging di bibirnya ketika Bu Syasmala sudah duduk di kursi penguji. Walaupun Bu Syasmala memunggunginya, wajah Bu Syasmala yang rupawan terngiang di depan matanya. Tiba-tiba muncul ide di benaknya. Dia ingin mengajukan pertanyaan atau sanggahan untuk menarik perhatian Bu Syasmala. Indra berharap ketika dirinya mengajukan pertanyaan tersebut, Bu Syasmala akan menoleh kepadanya. Dengan cepat dibacanya manuskrip yang telah dibagikan dan mencari
Izzy masih duduk di kursi meja makan. Hening. Tidak ada seorangpun di meja tersebut kecuali dia. Telinganya hanya menangkap suara gemericik air terjun buatan yang mengaliri tembok yang ada di taman samping ruang makan. Papa dan Mamanya sudah berangkat pagi-pagi buta. Di rumah yang cukup untuk delapan lapangan futsal itu, hanya tinggal dirinya dan empat asisten rumah tangga yang tak tahu entah dimana.Selasa pagi ini tidak ada yang istimewa. Selasa pagi ini seperti hari biasa. Tetapi, ada yang istimewa di siang nanti, yaitu bertemu Indra.Tangannya mengetuki piring yang berisi sarapannya yang sama sekali belum masuk ke mulutnya. Bukan karena sarapannya yang tidak enak, tetapi karena tenggorokannya susah untuk diajak menelan. Mulutnya juga kering. Dari mata yang memandang kosong ke depan, sesekali mengalir air mata.Izzy letakkan begitu saja sendoknya ke piring hingga membuat suara berdecing yang keras. Dia meraih ponselnya dan membuka aplikasi Whatsapp. Ada satu pesan yang disematkan d
Perut Caca kenyang meskipun belum menyentuh dua paket makanan yang ada di depannya. Digaruknya punggung tangannya meskipun tidak terasa gatal. Kakinya tidak bisa diam, mengetuki lantai. Akhirnya, dirinya bangkit dari duduknya dan berjalan menutup pintu ruangan kerjanya yang ada di Gedung Rektorat lantai tiga. Sekarang aman, tidak ada seorang pun yang bisa melihat dirinya yang sedang rentan. Paket itu berisikan makanan dari sebuah resto terkenal. Tanpa membuka pun, Caca tahu isinya adalah makan siang dan kukis untuknya yang dikirimkan oleh Satrio. Perutnya yang lapar meronta minta diisi. Sedangkan pikirannya menolak ide tersebut. Bahkan dia sendiri tidak tahu kenapa dia menolak makanan tersebut. “Bodoh.” kutuknya, “Seharusnya tadi aku tidak bilang kalau aku belum makan.” Caca mengambil ponselnya dan menghubugi Jasmine. Dalam waktu kurang dari lima menit, Jasmine sudah ada di ruangannya. “Ya Bu Kapolres, ada apa?” “Saya ada sedikit rejeki. Mohon diberikan pada Si Kembar ya?” tangan
Caca sampai di rumah ketika adzan Maghrib berkumandang. Ketika menuju ke kamarnya, Caca mencium bau harum masakan Mama. Biasanya hal itu akan segera membangkitkan selera makannya. Tetapi kali ini tidak. Dia langsung masuk ke kamarnya. Caca sama sekali tidak merasakan lapar. Meskipun hari ini dia hanya makan seperempat piring makanan. Setelah mandi dan sholat, Caca rebahan di kasurnya. Caca memikirkan usul Jasmine tadi. Caca harus lebih frontal dalam memberikan kode pada Indra. Tapi Caca tidak tahu, kode apa yang bisa diberikan. Terlebih lagi, jauh di dalam hati, Caca tidak setuju bahwa perempuan harus berperan aktif dalam mengejar cinta. Perempuan itu semestinya pasif dalam mengejar cinta dan menyerahkan pada lelaki untuk aktif dalam hal pengejaran cinta. “Tidak” bantah logikanya. Logikanya berkata bahwa perempuan seharusnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Bukankah hal itu yang dia yakini dan dia pelajari selama kuliah S1 sampai mengejar S3 di London? Bukankah C