Mbak Indah berpamitan pada Ibuk. Indra masuk untuk mandi dan bersiap. Ketika dia berangkat, Ibuk memberikannya payung untuk berjaga-jaga. Benar juga, begitu dia sampai di Gedung Pascasarjana, hujan mulai turun rintik-rintik. Jauh di dalam hatinya, alasan sebenarnya dia mengikuti seminar proposal adalah ingin melihat Bu Syasmala dari dekat. Dia tidak tahan untuk tidak melihat Bu Syasmala. Terakhir kali bertemu dengan Bu Syasmala adalah selasa minggu lalu. Indra bahkan tidak bisa menunggu esok hari untuk bertemu. Matanya berbinar dan senyuman tersungging di bibirnya ketika Bu Syasmala sudah duduk di kursi penguji. Walaupun Bu Syasmala memunggunginya, wajah Bu Syasmala yang rupawan terngiang di depan matanya. Tiba-tiba muncul ide di benaknya. Dia ingin mengajukan pertanyaan atau sanggahan untuk menarik perhatian Bu Syasmala. Indra berharap ketika dirinya mengajukan pertanyaan tersebut, Bu Syasmala akan menoleh kepadanya. Dengan cepat dibacanya manuskrip yang telah dibagikan dan mencari
Izzy masih duduk di kursi meja makan. Hening. Tidak ada seorangpun di meja tersebut kecuali dia. Telinganya hanya menangkap suara gemericik air terjun buatan yang mengaliri tembok yang ada di taman samping ruang makan. Papa dan Mamanya sudah berangkat pagi-pagi buta. Di rumah yang cukup untuk delapan lapangan futsal itu, hanya tinggal dirinya dan empat asisten rumah tangga yang tak tahu entah dimana.Selasa pagi ini tidak ada yang istimewa. Selasa pagi ini seperti hari biasa. Tetapi, ada yang istimewa di siang nanti, yaitu bertemu Indra.Tangannya mengetuki piring yang berisi sarapannya yang sama sekali belum masuk ke mulutnya. Bukan karena sarapannya yang tidak enak, tetapi karena tenggorokannya susah untuk diajak menelan. Mulutnya juga kering. Dari mata yang memandang kosong ke depan, sesekali mengalir air mata.Izzy letakkan begitu saja sendoknya ke piring hingga membuat suara berdecing yang keras. Dia meraih ponselnya dan membuka aplikasi Whatsapp. Ada satu pesan yang disematkan d
Perut Caca kenyang meskipun belum menyentuh dua paket makanan yang ada di depannya. Digaruknya punggung tangannya meskipun tidak terasa gatal. Kakinya tidak bisa diam, mengetuki lantai. Akhirnya, dirinya bangkit dari duduknya dan berjalan menutup pintu ruangan kerjanya yang ada di Gedung Rektorat lantai tiga. Sekarang aman, tidak ada seorang pun yang bisa melihat dirinya yang sedang rentan. Paket itu berisikan makanan dari sebuah resto terkenal. Tanpa membuka pun, Caca tahu isinya adalah makan siang dan kukis untuknya yang dikirimkan oleh Satrio. Perutnya yang lapar meronta minta diisi. Sedangkan pikirannya menolak ide tersebut. Bahkan dia sendiri tidak tahu kenapa dia menolak makanan tersebut. “Bodoh.” kutuknya, “Seharusnya tadi aku tidak bilang kalau aku belum makan.” Caca mengambil ponselnya dan menghubugi Jasmine. Dalam waktu kurang dari lima menit, Jasmine sudah ada di ruangannya. “Ya Bu Kapolres, ada apa?” “Saya ada sedikit rejeki. Mohon diberikan pada Si Kembar ya?” tangan
Caca sampai di rumah ketika adzan Maghrib berkumandang. Ketika menuju ke kamarnya, Caca mencium bau harum masakan Mama. Biasanya hal itu akan segera membangkitkan selera makannya. Tetapi kali ini tidak. Dia langsung masuk ke kamarnya. Caca sama sekali tidak merasakan lapar. Meskipun hari ini dia hanya makan seperempat piring makanan. Setelah mandi dan sholat, Caca rebahan di kasurnya. Caca memikirkan usul Jasmine tadi. Caca harus lebih frontal dalam memberikan kode pada Indra. Tapi Caca tidak tahu, kode apa yang bisa diberikan. Terlebih lagi, jauh di dalam hati, Caca tidak setuju bahwa perempuan harus berperan aktif dalam mengejar cinta. Perempuan itu semestinya pasif dalam mengejar cinta dan menyerahkan pada lelaki untuk aktif dalam hal pengejaran cinta. “Tidak” bantah logikanya. Logikanya berkata bahwa perempuan seharusnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Bukankah hal itu yang dia yakini dan dia pelajari selama kuliah S1 sampai mengejar S3 di London? Bukankah C
Indra duduk di depan meja laptopnya. Matanya memandangi layar laptopnya. Kursor yang berkedip seolah-olah menantangnya berkelahi. Hanya ada dua kata di layar laptop itu, yaitu bab tiga. Di samping laptopnya ada manuskrip bab satu yang yang ditulisi Bu Caca “Mohon temui saya.” Pikirannya buntu. Indra tidak bisa berpikir dengan jernih. Padahal, bahan-bahan untuk menulis bab tiga sudah tersedia di mejanya. Tetapi, Indra merasakan otaknya tidak mampu diajak bekerja. Dia memutuskan untuk tiduran saja. Indra mengatur nafasnya yang tadi tersengal-sengal. Dirinya tahu persis kenapa nafasnya memburu. Dia bimbang dan cemas menimbang salah satu pilihan. Apakah dia akan mengajak Bu Caca berkencan atau tidak? Indra memang tidak pernah percaya pada cinta pada pandangan pertama. Dan dia tidak pernah mengalaminya. Baginya, cinta adalah sesuatu yang kompleks, tumbuh dan berkembang seiring waktu. Jatuh cinta merupakan suatu proses yang rumit dan tidak bisa terjadi dalam sekejap mata. Indra pikir, ja
Entah kekuatan darimana, Indra berdiri dan menawarkan bantuan. Bu Caca memberikan beban di tangan kanannya. “Silahkan duduk.” kata Bu Caca singkat. Indra menuruti perkataan Bu Caca. Dengan perlahan, Indra mendekati kursi yang ditunjuk oleh Bu Caca. Duak… Suara keras terdengar dari bawah, berasal dari kakinya. Indra melompat kaget. Sesaat kemudian dia sadar. Kakinya mengkhianatinya terlebih dahulu. Saat dia berjalan mendekati kursi untuk duduk, kakinya beradu dengan kaki kursi dengan keras. Suara beradu yang keras antara sepatunya dan kaki kursi membuatnya melompat dan berhasil membuatnya tampak konyol. Sepersekian detik, Indra melirik pada Bu Caca. Bu Caca juga tak kalah kaget. “Kamu kenapa?” tanya Bu Caca dengan wajah kaget. “Bodoh.” kutuk Indra dalam hati. “Tidak apa-apa Bu. Sepertinya saya terlalu bersemangat hari ini. Jadi kaki kursi yang sudah ada di sini terlebih dahulu dan tidak bersalah saya tending.” kata Indra berkelakar. Indra mencoba mengusir ciutnya nyali dengan b
Caca tersenyum lebar. Giginya yang putih dan tertata rapi seperti biji mentimun nampak dengan jelas. Kepalanya sedikit mendongak memperlihatkan lehernya yang jenjang dan mulus. Dadanya terasa ringan. Nafasnya terasa enteng dan mudah.“Kamu, apa yang kamu tawarkan pada Pak Warek agar proposal itu disetujui?” tanya Jasmine yamng berada di depan Caca keheranan.“Ck… Gampang. Merayu Bapak Warek yang ganteng bukan suatu masalah besar bagi Mak Lampir penguasa Biro Urusan Luar Negeri.”“Apa kok? Kamu membuatku penasaran.” Jasmine semakin tidak sabar.“Aku bilang bahwa kalau proposal ini tidak disetujui, aku akan mengajukan proposal ini pada pihak swasta.”“Kamu?” mata Jasmine terbelalak. “Ndak mungkin. Kamu gila.” Jasmine setengah berteriak, dan langsung menutup mulutnya.Caca mengangguk bangga, “Ya. Aku setengah mengancam pada Pak Warek. Aku bisa saja mengajukan proposal ini pada pihak swasta tetapi dengan resiko kalau semua hasil dari pertukaran doktor ini akan menjadi milik pihak swasta.”
Kelas yang Caca ajar selesai pukul sembilan lewat tiga puluh tujuh. Dengan berbagai pertimbangan, dia tidak jadi makan dan langsung menuju kantornya. Caca tidak mau terlambat bertemu dengan Indra. Selain tidak mencerminkan dirinya terlambat, dia ingin segera bertemu dengan Indra.Saat Caca melihat wajah Indra yang pucat dan serius, Caca bertanya-tanya apakah Indra sedang sakit. Namun, pikirannya salah ketika dia mendengar saat Indra bertanya.“Apakah Bu Caca bersedia makan malam dengan saya?”Bagaikan petir menyambarnya di siang hari terik. Caca mendengar jelas perkataan Indra tersebut. Tetapi karena kaget dan tidak tahu respon seperti apa yang akan Caca berikan, dengan bodohnya dia berkilah bahwa dia tidak mendengar kata-kata Indra.Indra mengajaknya makan malam. Caca tahu pasti makan malam itu adalah cara Indra untuk mendekatinya. Dengan kata lain, Indra juga menaruh hati padanya.Maka terjawab sudah bagi Caca, Indra yang tampak pucat bukan karena sakit. Indra grogi untuk menyatakan