"Jadi ini alasan Papa memintaku pulang?"
Syafa, gadis bermata cokelat bening itu menatap sang ayah dengan kekecewaan yang tergambar jelas di wajah manisnya. Ia baru saja pulang ke rumah karena permintaan orang tuanya.
Namun, sang ayah justru langsung menjatuhkan angannya tepat setelah Syafa tiba di kediaman mereka.
"Bukankah ini kabar yang menyenangkan, Nak? ucap sang ayah dengan wajah berbinar. "Keluarga Abdullah Al-Ghifary adalah salah satu keluarga paling berpengaruh di Asia. Mereka bukan orang sembarangan.
Pria 55 tahun itu, merasa begitu terhormat dan tersanjung karena seorang Rasyid Abdullah Al-Ghifary, miliarder yang menguasai bisnis pertambangan dan properti hampir di seluruh Indonesia dan sebagian Asia-Eropa. mengirimkan lamaran untuk putri semata wayangnya!
Hal yang sama sekali tidak pernah pria tua itu bayangkan akan terjadi padanya.
"Tentu saja ini kabar yang sangat baik untuk Papa. Tapi bukan untukku!" sanggah Syafa.
Musthofa Altaf, sang ayah, menautkan kedua alis tebalnya ketika mendengar jawaban putrinya. Pria berdarah Turki-Bali itu, tidak menduga jika putrinya ternyata tidak menyukai perjodohan ini.
Padahal dia telah setuju dan mengatur pertemuan keluarga minggu depan. Karena itulah dia meminta sang putri yang tengah menjalani program internship di National University Hospital Singapura segera pulang ke Indonesia.
"Apa maksudmu, Nak? Kau tidak menyetujui perjodohan ini?" tanya sang ayah dengan wajah kecewa.
"Apa Papa tahu? Seharusnya hari ini aku datang dengan pria yang aku cintai." Syafa tersenyum sarkas. "Kami berencana datang berdua untuk meminta restu. Sayangnya dia mendadak harus menangani pasien darurat, sehingga tidak dapat datang sekarang. Tapi ironisnya, Papa. Pernikahanku ternyata sudah ditetapkan."
Gadis ceria yang baru saja memulai program intership kedokteran beberapa bulan lalu itu. harus menelan pil pahit, ketika kenyataan ternyata mempermainkannya.
Hari di mana dia ingin mengejutkan orang tuanya dengan membawa calon suami justru berubah menjadi mimpi buruk dalam hidupnya.
"Berapa lama kalian berhubungan?" tanya sang Ibu yang dari tadi hanya mendengar pembicaraan suami dan putrinya.
"Hampir satu tahun. Dia salah satu profesor dan dokter ahli jantung," jawab Syafa tegas. "Dia dosenku, juga yang merekomendasikanku untuk bisa mengambil program intership sekarang ini."
Gadis itu memang selalu tahu dan tidak pernah ragu atas semua keinginannya. Sejak kecil dia dididik agar jadi wanita tangguh dan tegas. Karena sebagai anak tunggal, Syafalah yang akan mewarisi semua aset dan bisnis orang tuanya. Terlebih keluarga mereka memiliki sebuah rumah sakit bertaraf internasional yang cukup terkenal di Bali.
"Kalau begitu katakan pada kekasihmu, jangan datang!" ucap sang ayah dengan nada yang tidak bisa dibantah. "Dan lagi, kami tidak mengizinkanmu untuk kembali melanjutkan program intershipmu di sana."
Perkataan itu membuat kedua netra Syafa membulat sempurna.
Bagaimana mungkin ayahnya tega melakukan semua itu? Tinggal selangkah lagi perjuangannya untuk mendapatkan gelar dokter dan izin praktek.
Kini, hanya karena lamaran dari orang asing itu, sang ayah tega membuat semua mimpinya hancur?
Haruskan perjuangannya belajar di Singapura selama hampir delapan tahun ini berakhir begitu saja, hanya demi sebuah lamaran? Memangnya sehebat apa keluarga Al-Ghifary itu, sampai membuat ayahnya rela mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.
"Papa bercanda, kan? Hanya beberapa bulan lagi aku mendapatkan izin praktek dokterku," kata Syafa dengan air mata yang tidak mampu dia bendung lagi. "Ini tidak adil!"
Gadis itu benar-benar tidak paham kenapa ayahnya berubah seperti ini.
Pria yang tidak pernah mengatakan tidak atas semua keinginannya. mendadak menjadi begitu egois dan pemaksa. Sesuatu yang sangat tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Sang ayah menghela napas. "Nak," ucapnya dengan nada lebih lembut. "Sebenarnya, kita sedang mengalami krisis finansial. Sejak wabah, manajemen rumah sakit mulai terganggu."
Syafa menatap ayahnya ketika mendengar informasi tersebut.
"Ditambah beberapa masalah internal lain, yang membuat kita hampir bangkrut," lanjut sang ibu. Wanita 50 tahun berdarah Bali tersebut menambahkan, "Al-Hassan Group menawarkan bantuan dana, mereka bersedia membantu kita keluar dari masalah ini."
"Tetapi secara bersamaan, mereka memintamu untuk menjadi menantu mereka," jelas Musthofa Altaf dengan suara berat.
Syafa terdiam, dia tidak tahu lagi harus berkata apa.
Selama ini rumah sakit Ibnu Sina telah didirikan oleh kakek buyutnya dengan penuh perjuangan. Sehingga dapat berkembang dan menjadi salah satu yang terbaik di negaranya. Tentu saja orang tuanya tidak akan membiarkan, apa yang telah dibangun oleh keluarga mereka hancur begitu saja. Meskipun dia harus menjadi tumbal dari semua masalah yang terjadi dalam bisnis keluarganya tersebut.
Kini, Syafa mulai paham kemana tujuan sang ayah sebenarnya. Menyelamatkan bisnis keluarga dengan cara yang paling baik.
"Mama harap kau mengerti, Nak," kata sang ibu lagi. "Ini juga berat untuk kami."
Syafa kembali menghela napas berat sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Dia mengusap wajah manisnya dengan gusar. Tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk keluar dari masalah yang sedang terjadi saat ini.
"Tapi bagaimana mereka bisa memilihku?" Syafa bergumam pelan. "Seingatku kita tidak pernah berhubungan dengan keluarga Al-Ghifary. Bagaimana mereka juga tahu jika keluarga kita sedang butuh dana?"
"Tuan Rasyid Abdullah Al-Ghifary tertarik padamu saat kau merawatnya di rumah sakit dua bulan lalu," jawab Musthofa Altaf untuk pertanyaan sang putri. "Untuk keluarga berkuasa seperti mereka … rasanya mencari informasi mengenai kesulitan kita, tentu cukup mudah,"
Sekarang Syafa ingat seorang pria paruh baya yang sempat beberapa kali dia temui di ruang khusus rumah sakit itu. Beberapa kali pria tersebut memang menanyakan tentang hal pribadi padanya.
Namun, dia sama sekali tidak menyangka bahwa pasien itu tertarik untuk menjadikan dirinya sebagai menantu.
Apalagi mendengar cerita dari sang ayah, tentang kemampuan mereka menyelidiki dan menelusuri apa yang mereka inginkan. Menjadi bagian keluarga itu, terasa menakutkan bagi Syafa.
Jika mereka bisa dengan mudah menemukan keluarga dan mengetahui identitasnya. Bisa dibayangkan, betapa hidupnya akan penuh dengan batasan setelah menjadi anggota keluarga mereka. Sedangkan gadis bertubuh ramping itu paling tidak suka dikekang.
Perlahan, Syafa kembali berkata, "Tapi … aku tidak mencintainya."
***
"Ini mustahil, aku tidak bisa menerima semua ini begitu saja, bukankah kita sudah berjanji? Aku hanya terlambat seminggu, dan kau sudah akan menikah dengan orang lain?" Suara Ben terdengar marah dan kecewa dari balik sambungan ponsel.
Malam ini mau tidak mau Syafa harus mengatakan semua pada dokter ahli jantung tersebut. Kenyataan bahwa hubungan mereka tidak mungkin dapat dilanjutkan lagi, sudah sangat jelas.
"Aku sudah menjelaskan semua alasannya, Ben. Aku tahu ini menyakitkan, tetapi aku tidak punya pilihan." Sekuat tenaga Syafa menahan tangis agar Benjamin Azhar tak mendengar kelemahannya.
Meski hatinya hancur, Syafa tidak sekali pun, mau memperlihatkan kelemahan dan kesakitannya. Baginya semua hal terjadi sesuai takdir Allah.
Maka dirinya tidak boleh mengeluh dengan semua ketetapan Sang Pencipta.
"Aku akan mengganti uang yang diberikan oleh keluarga itu!" Ben masih tidak ingin menyerah. "Katakan berapa jumlahnya. Besok aku akan terbang ke Bali."
"Besok aku akan terbang ke Bali!"Syafa menghela napas."Ini bukan tentang uang, Ben," ucap gadis itu. "Masalahnya papaku telah menerima lamaran mereka. Tolong mengerti.""Syafa, aku–""Mungkin jodoh kita hanya sampai di sini," potong Syafa buru-buru. "Terima kasih untuk delapan bulan yang menyenangkan. Tolong lupakan aku. Maaf, Ben."Setelahnya, Syafa langsung memutus panggilan.Gadis itu sudah tidak mampu lagi menahan isakannya. Dadanya sudah terasa sesak oleh kesedihan. Dalam satu hari, mimpi dan hidupnya seolah direbut paksa. Membuatnya seolah terlempar jauh ke dalam jurang yang dalam.Dalam gamang hatinya itu, Syafa segera mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Dia bersimpuh dengan penuh kepasrahan, mengadu kepada Sang Khaliq tentang kerisauannya.Di satu sisi dia percaya tidak ada sebuah kebetulan di dunia ini. Semua sudah ada yang mengatur.Namun, sebagai manusia biasa, tentu dia merasa sangat sedih dan kecewa.[Aku tidak percaya kau merperlakukanku seperti ini set
“Kau menuduhku berzina!?”Usai mengucapkan itu, tanpa menunggu respons dari Syarif, Syafa melanjutkan, "Dengar, Tuan! Aku memang mencintai Ben dan kami berpacaran. Tapi aku masih cukup waras untuk tidak melakukan hal bejat itu." Nada suara gadis itu meninggi."Orang tuaku mendidikku dengan sangat baik, jadi aku tidak akan melakukan hal serendah itu!"Sorot mata Syafa tampak tajam, menghunjam tepat di manik mata Syarif, sementara pria itu masih duduk dengan santai di hadapannya.Bahkan, kini Syarif justru tersenyum!Ada gurat kelegaan dalam senyum pria berusia 33 tahun tersebut."Baiklah," ucap Syarif dengan tenang. "Aku paham."Syafa mengernyit. Apakah pria itu paham sanggahannya tentang apa yang ia tuduhkan tadi, atau mengerti bahwa Syafa ingin perjodohan ini dibatalkan?Jawaban dari pertanyaan dalam kepala Syafa tersebut langsung ia dapatkan beberapa saat kemudian.“Saya menerima perjodohan ini.”Bahu Syafa langsung turun, tubuhnya melemas. Gadis itu bagaikan disambar petir di sia
“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”"Baik," jawab Syarif dengan singkat dari seberang sana.Setelah itu panggilan diputuskan secara sepihak. Membuat Syafa kembali merasa kesal. Setiap kali dia berusaha untuk berbicara dan berinteraksi dengan calon suaminya itu. Selalu saja gagal, Syarif hampir tidak pernah membalas pesan dan mengangkat teleponnya.Meskipun Syafa tahu pria itu sedang sibuk bekerja. Dia pikir bukankah akan lebih baik jika mereka meluangkan waktu untuk saling mengenal. Agar hubungan mereka tidak terlalu kaku? Toh mereka akan menikah juga akhirnya. Untung saja malam ini dia menerima panggilannya. Jika tidak Syafa berencana nekad menemuinya di hotel tempatnya menginap.Benar saja kurang dari satu jam, Syarif telah tiba di rumahnya sendirian. Pria itu tampak gagah dengan balutan kemeja biru dan celana jeans hitam. Penampilannya sederhana seperti biasa, tetapi Syarif memang memiliki aura dan pesona yang kuat. Segala gerak gerik putra kedua keluarga Abdullah Al-Ghif
“Kita akan menikah, bukan bermain drama.”Syafa yang tadinya merasa percaya diri dengan rencananya kini terdiam. Perlahan semua keberaniannya memudar, saat melihat bagaimana calon suaminya itu bersikap. Di satu sisi pria itu tenang dan datar, tetapi dia tegas dan mengintimidasi dalam waktu yang bersamaan."Aku sudah tanda tangan, sekarang apa masih ada lagi syarat yang ingin kau ajukan?" tanya Syarif sambil meletakkan kembali map dan pena di meja."Tidak," jawab Syafa singkat."Kalau begitu, aku akan kembali ke hotel," ucap Syarif sambil berdiri. “Asalamualaikum.”"Wa alaikumsalam," jawab Syafa pelan, masih tetap duduk di tempatnya.Membiarkan Syarif melangkah menuju pintu, dan memutar kunci. Pria itu keluar dari ruang perpustakaan dengan diam. Meninggalkan Syafa yang masih tak bergeming ditempatnya.Setelah beberapa saat, gadis itu baru bisa kembali tenang. Perlahan dia membuka map berisi perjanjian pranikah yang dia siapkan tadi. Syarif telah menandatangani tepat di atas materinya.
Malam ini rombongan keluarga Abdullah Al-Ghifary terbang meninggalkan Bali. Semua orang harus kembali bekerja besok, setelah cuti seminggu penuh. Hanya tinggal Syarif dan Syafa yang masih tinggal di kediaman keluarga Musthofa Altaf. Mereka akan kembali ke Kalimantan besok siang."Kau ingin mampir dulu, atau langsung pulang?" tanya Syarif, ketika mobil mereka baru saja keluar dari tempat parkir bandara.Syarif memutuskan untuk menyetir, agar mereka memiliki waktu pribadi. Sehingga dapat mengutarakan isi hati tanpa takut terdengar oleh siapapun. Seperti ketika berada di rumah keluarga Musthofa Altaf selama dua hari terakhir."Pulang saja, kepalaku pusing," jawab Syafa sambil memijat pelipisnya.Ucapan ibu mertuanya tadi masih terus terngiang di kepalanya. Sesaat sebelum mereka masuk kedalam pesawat pribadi. Wanita itu membisikan sesuatu yang membuatnya merasa frustasi."Berikan kami bayi lucu dan sehat."Perkataan itu seilah terus berulang di benaknya. Membuat Syafa semakin tertekan dan
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Syarif dari balik pintu.Pria itu sejak tadi menunggu istrinya keluar dari kamar mandi.Namun, sudah hampir satu jam, Syafa belum juga keluar. Sehingga membuat Syarif merasa sedikit khawatir, karena tidak biasanya Syafa berlama-lama di kamar mandi."A-aku baik," ucap Syafa gugup."Apa kau masih lama? Aku butuh ke kamar mandi," kata Syarif lagi, setelah yakin istrinya memang baik-baik saja."Sebentar." Syafa kembali berteriak dari dalam.Dia segera menyelesaikan ritual mandinya, dan buru-buru berpakaian.Setelah lima belas menit, gadis itu keluar dengan hanya memakai dress selutut berlengan pendek.Sebenarnya Syafa tidak ingin memakai baju itu, tetapi tadi dia terlalu buru-buru mengambil baju ganti, sehingga tidak teliti.Syarif menatap istrinya, pria itu selalu merasakan getaran aneh tiap kali melihat Syafa tanpa hijab. Sesuatu yang selalu membuat hati dan otaknya sulit untuk dikendalikan.Syarif segera masuk ke kamar mandi, untuk menutupi kegugupannya
"Kita berangkat lusa," kata Syarif sambil memberikan amplop coklat pada istrinya.Malam itu seperti biasa setelah sholat Isyak berjamaah di kamar, mereka duduk sambil sibuk dengan ponsel masing-masing.Syafa membuka amplop tersebut, yang ternyata berisi visa Schengen untuknya.Syafa sedikit terkejut, karena Syarif bisa mengurus semua ini dengan sangat cepat. Tidak sampai dua hari. Padahal biasanya akan butuh waktu lama untuk seseorang bisa mendapatkan bisa visa tersebut."Ternyata memang benar, uang bisa melancarkan segalanya," ucap Syafa dengan senyum sarkas. "Terima kasih," lanjutnya.Syarif tidak tertarik untuk menjawab perkataan istrinya. Dia hanya fokus di depan laptop, sambil sesekali melihat ponsel. Pria itu tidak akan pernah beralih fokus, ketika sedang bekerja.Sementara Syafa, segera menyimpan mengambil koper besar miliknya, dan bersiap mengepak berbagai barang keperluannya sendiri. Karena Syarif sudah seminggu lebih menyiapkan keperluannya. Syafa memang pernah berkunjung k
Pria itu semakin menarik dagu istrinya mendekat, sampai kedua bibir mereka saling bersentuhan. Tok tok tok,"Tuan Rasyid memanggil anda ke ruang kerjanya sekarang, Tuan,"ucap seseorang yang berada dibalik pintu.Sebuah pesan yang bagaikan malaikat penolong untuk Syafa. Karena setelah mendengar pesan tersebut, Syarif langsung melepaskan cengkeramannya. Pria itu segera berjalan keluar kamar."Alhamdulillah, Ya Allah," gumam Syafa dengan perasaan sangat lega.Dengan gemetaran gafus itu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Tubuhnya masih terasa sangat lemas, dengan detak jantung yang tak beraturan. ***Hujan deras mengguyur kota Balikpapan sore ini. Suasana sedikit suram dan dingin. Syarif berdiri menatap keluar, dari balik jendela kaca besar ruang kerjanya. Pria itu baru saja selesai meeting dengan dewan direksi.Pertemuan yang membahas kerja sama yang akan mereka lakukan dengan pihak Swiss dan Austria. Besok pagi dia, Syafa dan beberapa orang tim dari Al-Hassan Energi & Batubara