"Besok aku akan terbang ke Bali!"
Syafa menghela napas.
"Ini bukan tentang uang, Ben," ucap gadis itu. "Masalahnya papaku telah menerima lamaran mereka. Tolong mengerti."
"Syafa, aku–"
"Mungkin jodoh kita hanya sampai di sini," potong Syafa buru-buru. "Terima kasih untuk delapan bulan yang menyenangkan. Tolong lupakan aku. Maaf, Ben."
Setelahnya, Syafa langsung memutus panggilan.
Gadis itu sudah tidak mampu lagi menahan isakannya. Dadanya sudah terasa sesak oleh kesedihan. Dalam satu hari, mimpi dan hidupnya seolah direbut paksa. Membuatnya seolah terlempar jauh ke dalam jurang yang dalam.
Dalam gamang hatinya itu, Syafa segera mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Dia bersimpuh dengan penuh kepasrahan, mengadu kepada Sang Khaliq tentang kerisauannya.
Di satu sisi dia percaya tidak ada sebuah kebetulan di dunia ini. Semua sudah ada yang mengatur.
Namun, sebagai manusia biasa, tentu dia merasa sangat sedih dan kecewa.
[Aku tidak percaya kau merperlakukanku seperti ini setelah semua yang kita lalui.]
Sebuah pesan masuk dari Ben. Namun, Syafa tidak membalasnya.
Hampir seminggu kemudian, Syafa mencoba bertahan hari demi hari dengan berbagai macam pesan menyakitkan dari Ben.
[Aku pikir kau wanita baik-baik, Syafa. Tapi ternyata tidak!]
Pria itu benar-benar merasa kecewa, marah, dan patah hati, dengan apa yang terjadi saat ini. Dokter 39 tahun tersebut, sama sekali tidak menyangka cinta pertamanya harus kandas, dengan cara yang tidak masuk akal.
Akhirnya karena tidak tahan dengan semua itu, Syafa memutuskan untuk memblokir nomor mantan kekasihnya.
Bahkan gadis itu menutup semua akun media sosialnya, karena tidak ingin berhubungan dengan dunia luar untuk sementara. Dia bahkan mengganti SIM-card-nya agar terbebas dari pertanyaan apa pun.
Kini, dirinya sudah memproses pengunduran dirinya dari program internship yang ia jalani. Ia enggan menjelaskan apa yang membuatnya mengambil keputusan mendadak tersebut kepada semua orang.
Pun, ia tidak sanggup.
Memutus semua jaringan dan akses pada dirinya dari dunia luar. Adalah hal yang tepat. Setidaknya untuk sementara waktu, itu adalah cara terbaik untuk menenangkan diri.
"Malam ini keluarga Abdullah Al-Ghifary akan datang ke rumah kita," ucap Ny. Fatima Altaf, ibu Syafa, kepada putrinya. "Kau harus bersikap sopan, Nak. Mama tahu ini sulit, tapi percayalah, jika ini adalah jalan terbaik dari Tuhan."
Syafa menatap sang ibu dengan pandangan sendu.
"Sekarang bersiaplah, mereka sudah dalam perjalanan dari hotel. Kita akan menyambut mereka," ucap sang ibu dengan senyum menenangkan.
Syafa hanya mengangguk, dia tidak lagi tahu harus mengatakan apa.
Saat ini dia berharap semoga semua berjalan dengan baik. Karena menentang adalah cara yang paling konyol jika dilakukan sekarang.
Setengah jam kemudian Syafa sudah siap untuk menghadapi semuanya. Saat sang ibu datang untuk mengajaknya keluar kamar, gadis itu hanya menghela napas berat beberapa kali.
"Bismillah," ucapnya lirih, sambil berdiri dan berjalan mengikuti langkah sang ibu.
Ada 5 orang yang saat ini telah duduk di ruang keluarga. Mereka adalah Tuan Rasyid Abdullah Al-Ghifary dan sang istri, Ny. Annisa Abdullah. Selain itu ada juga putri bungsu mereka, Az-Zahra Nayla, serta adik kandung Tuan Rasyid.
Dan tentu saja sang putra kedua, Muhammad Syarif Abdullah Al-Ghifary.
Mereka semua datang dengan wajah berseri dan senyum tulus.
Dari pakaian dan dandanan mereka yang tampak sederhana, Syafa bisa merasakan aura keramahan dari tatapan mereka padanya. Sesuatu yang sedikit membuatnya lega.
Tadinya Syafa berpikir bahwa mereka adalah keluarga konglomerat yang berpenampilan glamor, sesuai dengan posisi mereka.
Namun, gadis itu salah besar, orang-orang yang tergabung dalam Al-Hassan Group itu, ternyata cukup membumi. Terlihat dari gaya mereka yang masih wajar, bahkan terkesan cukup sederhana.
"Perkenalkan, ini putri kami, Syarifah Farzana. Kami memanggilnya Syafa." Suara lembut dan sopan sang ibu memecah lamunan calon dokter tersebut, membuat pipinya bersemu merah karena malu.
"Asalamualaikum, Nak." Suara berat tuan Rasyid, membuat Syafa merasa gugup.
"Kau pasti ingat, kita pernah beberapa kali bertemu, bukan?"
Sorot mata ramah dan senyum tulus itu tidak mampu menyembunyikan wibawa dari suara pria 65 tahun tersebut. Siapa pun pasti merasa segan setiap mendengar suara sang Billionaire.
Benar-benar menggambarkan posisinya sebagai pemilik Al-Hasan Group.
"Wa alaikum salam, Tuan. Tentu saja saya masih ingat," jawab Syafa gugup.
Mereka akhirnya duduk dan saling berkenalan.
Suasana yang tadinya canggung perlahan sedikit mencair. Terlebih ketika semua mata tertuju pada pria berusia 33 tahun, yang saat ini tertangkap basah, sedang memandangi Syafa, tanpa berkedip.
Sejak kedatangan Syafa, Syarif seolah terbius oleh pesona gadis 25 tahun itu.
"Rif, Bagaimana?" tanya sang ibu, sambil tersenyum melihat ekspresi wajah putra keduanya tersebut.
"Syarif pasti setuju, Mi. Aku tahu dan sangat memahami putraku," ucap Tuan Rasyid yang membuat Syarif tersenyum tipis.
Semua orang tersenyum bahagia, bahkan ibunya Syafa merasa senang ketika melihat reaksi Syarif pada putrinya.
Mereka semua akhirnya membicarakan tentang lamaran dan pernikahan. Sambil menikmati jamuan makan malam.
"Oh ya. Bagaimana kalau kedua calon yang kita jodohkan ini bicara berdua? Agar makin akrab dan dekat."
Ucapan Ny. Annisa, seketika membuat Syafa membeku.
***
Hening,
Tidak ada sepatah kata pun, yang keluar dari kedua orang tersebut. Baik Syarif dan Syafa seperti sedang berada di dunia yang berbeda. Meskipun keduanya tengah duduk berhadapan, di teras samping kolam renang.
Setelah beberapa saat, akhirnya Syafa buka suara.
"Aku sudah punya pacar," ucap Syafa. "Namanya Ben. Dia dokter ahli jantung di tempatku menjalani program internship. Kami bahkan sudah berencana menikah, sebelum akhirnya semuanya gagal karena lamaran dari keluargamu."
Usahanya yang terakhir, menurut Syafa. Gadis itu berusaha membuat pria ini membatalkan perjodohan mereka.
Jika dirinya tidak mampu, seharusnya Syarif mampu, bukan? Toh pria ini lebih berkuasa.
Syafa melanjutkan, "Papa bahkan melarangku melanjutkan pendidikan secara sepihak, karena tahu aku memiliki hubungan dengan dokter di sana." Syafa tersenyum miris dan melanjutkan kalimatnya, "Padahal hanya tinggal dua bulan lagi, aku mendapatkan izin praktek."
Suasana kembali hening, karena Syarif seolah tidak berniat membuka bibirnya.
"Bagaimana rasanya menjadi penyebab perpisahan dari dua orang kekasih yang saling mencintai? Juga menjadi orang yang menghancurkan mimpi orang lain?" tanya Syafa tegas.
Alih-alih berbicara sopan dan lembut, ucapan gadis itu cukup pedas. Tatapan matanya tampak tegas dan tidak terintimidasi oleh sikap dingin pria di hadapannya saat ini.
Akan tetapi, respons Syarif tetap saja di luar dugaan.
"Itu bukan urusanku," jawab Syarif singkat.
Suara serak bariton-nya terdengar tidak acuh, otomatis membuat Syafa kesal, karena pria itu sepertinya tidak tertarik dengan kisahnya.
"Apa kau mau menikah dengan gadis yang telah mencintai pria lain?" tanya Syafa lagi.
Syarif hanya tersenyum tipis, tetapi kilat matanya tampak bahwa ia sedang merasa terhibur.
Selama ini, banyak gadis yang mencoba untuk merayu dan menggodanya, tapi tidak satu pun, dari mereka yang menarik perhatian sang putra Taipan tersebut.
Sementara, gadis yang tengah bersamanya ini menarik. Meskipun Syafa tidak menunjukkan ketertarikan yang sama, bahkan mencintai pria lain–
Tiba-tiba senyum Syarif menghilang.
"Tunggu. Apa kalian sudah ...?" Pertanyaan Syarif terhenti. Pria itu menatap Syafa dengan pandangan curiga.
Mendengar hal tersebut, Syafa langsung membulatkan kedua netranya. Ekspresi kesalnya, berganti dengan kemarahan yang tampak jelas. Napasnya sedikit memburu, seolah tidak tahan lagi ingin memaki dan berkata kasar.
Namun, sekuat tenaga gadis itu mencoba untuk lebih bersabar.
"Kau” sergah Syafa, “menuduhku berzina!?"
“Kau menuduhku berzina!?”Usai mengucapkan itu, tanpa menunggu respons dari Syarif, Syafa melanjutkan, "Dengar, Tuan! Aku memang mencintai Ben dan kami berpacaran. Tapi aku masih cukup waras untuk tidak melakukan hal bejat itu." Nada suara gadis itu meninggi."Orang tuaku mendidikku dengan sangat baik, jadi aku tidak akan melakukan hal serendah itu!"Sorot mata Syafa tampak tajam, menghunjam tepat di manik mata Syarif, sementara pria itu masih duduk dengan santai di hadapannya.Bahkan, kini Syarif justru tersenyum!Ada gurat kelegaan dalam senyum pria berusia 33 tahun tersebut."Baiklah," ucap Syarif dengan tenang. "Aku paham."Syafa mengernyit. Apakah pria itu paham sanggahannya tentang apa yang ia tuduhkan tadi, atau mengerti bahwa Syafa ingin perjodohan ini dibatalkan?Jawaban dari pertanyaan dalam kepala Syafa tersebut langsung ia dapatkan beberapa saat kemudian.“Saya menerima perjodohan ini.”Bahu Syafa langsung turun, tubuhnya melemas. Gadis itu bagaikan disambar petir di sia
“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”"Baik," jawab Syarif dengan singkat dari seberang sana.Setelah itu panggilan diputuskan secara sepihak. Membuat Syafa kembali merasa kesal. Setiap kali dia berusaha untuk berbicara dan berinteraksi dengan calon suaminya itu. Selalu saja gagal, Syarif hampir tidak pernah membalas pesan dan mengangkat teleponnya.Meskipun Syafa tahu pria itu sedang sibuk bekerja. Dia pikir bukankah akan lebih baik jika mereka meluangkan waktu untuk saling mengenal. Agar hubungan mereka tidak terlalu kaku? Toh mereka akan menikah juga akhirnya. Untung saja malam ini dia menerima panggilannya. Jika tidak Syafa berencana nekad menemuinya di hotel tempatnya menginap.Benar saja kurang dari satu jam, Syarif telah tiba di rumahnya sendirian. Pria itu tampak gagah dengan balutan kemeja biru dan celana jeans hitam. Penampilannya sederhana seperti biasa, tetapi Syarif memang memiliki aura dan pesona yang kuat. Segala gerak gerik putra kedua keluarga Abdullah Al-Ghif
“Kita akan menikah, bukan bermain drama.”Syafa yang tadinya merasa percaya diri dengan rencananya kini terdiam. Perlahan semua keberaniannya memudar, saat melihat bagaimana calon suaminya itu bersikap. Di satu sisi pria itu tenang dan datar, tetapi dia tegas dan mengintimidasi dalam waktu yang bersamaan."Aku sudah tanda tangan, sekarang apa masih ada lagi syarat yang ingin kau ajukan?" tanya Syarif sambil meletakkan kembali map dan pena di meja."Tidak," jawab Syafa singkat."Kalau begitu, aku akan kembali ke hotel," ucap Syarif sambil berdiri. “Asalamualaikum.”"Wa alaikumsalam," jawab Syafa pelan, masih tetap duduk di tempatnya.Membiarkan Syarif melangkah menuju pintu, dan memutar kunci. Pria itu keluar dari ruang perpustakaan dengan diam. Meninggalkan Syafa yang masih tak bergeming ditempatnya.Setelah beberapa saat, gadis itu baru bisa kembali tenang. Perlahan dia membuka map berisi perjanjian pranikah yang dia siapkan tadi. Syarif telah menandatangani tepat di atas materinya.
Malam ini rombongan keluarga Abdullah Al-Ghifary terbang meninggalkan Bali. Semua orang harus kembali bekerja besok, setelah cuti seminggu penuh. Hanya tinggal Syarif dan Syafa yang masih tinggal di kediaman keluarga Musthofa Altaf. Mereka akan kembali ke Kalimantan besok siang."Kau ingin mampir dulu, atau langsung pulang?" tanya Syarif, ketika mobil mereka baru saja keluar dari tempat parkir bandara.Syarif memutuskan untuk menyetir, agar mereka memiliki waktu pribadi. Sehingga dapat mengutarakan isi hati tanpa takut terdengar oleh siapapun. Seperti ketika berada di rumah keluarga Musthofa Altaf selama dua hari terakhir."Pulang saja, kepalaku pusing," jawab Syafa sambil memijat pelipisnya.Ucapan ibu mertuanya tadi masih terus terngiang di kepalanya. Sesaat sebelum mereka masuk kedalam pesawat pribadi. Wanita itu membisikan sesuatu yang membuatnya merasa frustasi."Berikan kami bayi lucu dan sehat."Perkataan itu seilah terus berulang di benaknya. Membuat Syafa semakin tertekan dan
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Syarif dari balik pintu.Pria itu sejak tadi menunggu istrinya keluar dari kamar mandi.Namun, sudah hampir satu jam, Syafa belum juga keluar. Sehingga membuat Syarif merasa sedikit khawatir, karena tidak biasanya Syafa berlama-lama di kamar mandi."A-aku baik," ucap Syafa gugup."Apa kau masih lama? Aku butuh ke kamar mandi," kata Syarif lagi, setelah yakin istrinya memang baik-baik saja."Sebentar." Syafa kembali berteriak dari dalam.Dia segera menyelesaikan ritual mandinya, dan buru-buru berpakaian.Setelah lima belas menit, gadis itu keluar dengan hanya memakai dress selutut berlengan pendek.Sebenarnya Syafa tidak ingin memakai baju itu, tetapi tadi dia terlalu buru-buru mengambil baju ganti, sehingga tidak teliti.Syarif menatap istrinya, pria itu selalu merasakan getaran aneh tiap kali melihat Syafa tanpa hijab. Sesuatu yang selalu membuat hati dan otaknya sulit untuk dikendalikan.Syarif segera masuk ke kamar mandi, untuk menutupi kegugupannya
"Kita berangkat lusa," kata Syarif sambil memberikan amplop coklat pada istrinya.Malam itu seperti biasa setelah sholat Isyak berjamaah di kamar, mereka duduk sambil sibuk dengan ponsel masing-masing.Syafa membuka amplop tersebut, yang ternyata berisi visa Schengen untuknya.Syafa sedikit terkejut, karena Syarif bisa mengurus semua ini dengan sangat cepat. Tidak sampai dua hari. Padahal biasanya akan butuh waktu lama untuk seseorang bisa mendapatkan bisa visa tersebut."Ternyata memang benar, uang bisa melancarkan segalanya," ucap Syafa dengan senyum sarkas. "Terima kasih," lanjutnya.Syarif tidak tertarik untuk menjawab perkataan istrinya. Dia hanya fokus di depan laptop, sambil sesekali melihat ponsel. Pria itu tidak akan pernah beralih fokus, ketika sedang bekerja.Sementara Syafa, segera menyimpan mengambil koper besar miliknya, dan bersiap mengepak berbagai barang keperluannya sendiri. Karena Syarif sudah seminggu lebih menyiapkan keperluannya. Syafa memang pernah berkunjung k
Pria itu semakin menarik dagu istrinya mendekat, sampai kedua bibir mereka saling bersentuhan. Tok tok tok,"Tuan Rasyid memanggil anda ke ruang kerjanya sekarang, Tuan,"ucap seseorang yang berada dibalik pintu.Sebuah pesan yang bagaikan malaikat penolong untuk Syafa. Karena setelah mendengar pesan tersebut, Syarif langsung melepaskan cengkeramannya. Pria itu segera berjalan keluar kamar."Alhamdulillah, Ya Allah," gumam Syafa dengan perasaan sangat lega.Dengan gemetaran gafus itu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Tubuhnya masih terasa sangat lemas, dengan detak jantung yang tak beraturan. ***Hujan deras mengguyur kota Balikpapan sore ini. Suasana sedikit suram dan dingin. Syarif berdiri menatap keluar, dari balik jendela kaca besar ruang kerjanya. Pria itu baru saja selesai meeting dengan dewan direksi.Pertemuan yang membahas kerja sama yang akan mereka lakukan dengan pihak Swiss dan Austria. Besok pagi dia, Syafa dan beberapa orang tim dari Al-Hassan Energi & Batubara
"Oslo Gardermoen Airport," gumam Syafa ketika pesawat mereka memasuki area bandara."Kita tidak pulang?" tanya Syafa menatap suaminya."Kau ingin melihat Aurora, 'kan?" Syarif tersenyum menjawab pertanyaan istrinya.Sedangkan Syafa kembali menatap ke bawah. Melihat kesibukan yang berada di area bandara terbesar dan tersibuk di Norwegia tersebut."Dia menganggap ocehanku serius," bisik Syafa dalam hati.Gadis itu sudah curiga ada yang tidak beres, ketika masuk pesawat tadi pagi. Tim Al-Hassan yang berangkat bersama mereka, tidak ada dalam jet milik keluarga suaminya tersebut. Mereka hanya berdua, selain crew dan pilot pesawat."Kita hanya transit selama empat jam, untuk mengisi Avtur dan makan siang." Syarif seolah menjawab rasa penasaran Syafa. "Setelah itu kita langsung menuju Tromso-Langnes Airport," lanjutnya.Syafa hanya diam dan mendengarkan.Tetapi dalam hati gagus itu bersorak gembira, karena akan segera melihat Aurora. Sesuatu yang sejak lama dia inginkan. Syafa hanya terlalu