Pria itu semakin menarik dagu istrinya mendekat, sampai kedua bibir mereka saling bersentuhan. Tok tok tok,"Tuan Rasyid memanggil anda ke ruang kerjanya sekarang, Tuan,"ucap seseorang yang berada dibalik pintu.Sebuah pesan yang bagaikan malaikat penolong untuk Syafa. Karena setelah mendengar pesan tersebut, Syarif langsung melepaskan cengkeramannya. Pria itu segera berjalan keluar kamar."Alhamdulillah, Ya Allah," gumam Syafa dengan perasaan sangat lega.Dengan gemetaran gafus itu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Tubuhnya masih terasa sangat lemas, dengan detak jantung yang tak beraturan. ***Hujan deras mengguyur kota Balikpapan sore ini. Suasana sedikit suram dan dingin. Syarif berdiri menatap keluar, dari balik jendela kaca besar ruang kerjanya. Pria itu baru saja selesai meeting dengan dewan direksi.Pertemuan yang membahas kerja sama yang akan mereka lakukan dengan pihak Swiss dan Austria. Besok pagi dia, Syafa dan beberapa orang tim dari Al-Hassan Energi & Batubara
"Oslo Gardermoen Airport," gumam Syafa ketika pesawat mereka memasuki area bandara."Kita tidak pulang?" tanya Syafa menatap suaminya."Kau ingin melihat Aurora, 'kan?" Syarif tersenyum menjawab pertanyaan istrinya.Sedangkan Syafa kembali menatap ke bawah. Melihat kesibukan yang berada di area bandara terbesar dan tersibuk di Norwegia tersebut."Dia menganggap ocehanku serius," bisik Syafa dalam hati.Gadis itu sudah curiga ada yang tidak beres, ketika masuk pesawat tadi pagi. Tim Al-Hassan yang berangkat bersama mereka, tidak ada dalam jet milik keluarga suaminya tersebut. Mereka hanya berdua, selain crew dan pilot pesawat."Kita hanya transit selama empat jam, untuk mengisi Avtur dan makan siang." Syarif seolah menjawab rasa penasaran Syafa. "Setelah itu kita langsung menuju Tromso-Langnes Airport," lanjutnya.Syafa hanya diam dan mendengarkan.Tetapi dalam hati gagus itu bersorak gembira, karena akan segera melihat Aurora. Sesuatu yang sejak lama dia inginkan. Syafa hanya terlalu
Lima hari berada di Tromso, Syafa seolah melupakan segala kegalauan dan kesedihannya. Sepanjang waktu dia begitu bersemangat berburu Aurora. Dengan mobil khusus yang di sewa Syarif. Mereka berkeliling desa, mencari spot-spot terbaik untuk menyaksikan keindahan Aurora. Gadis itu mengabadikan hampir setiap momen yang dia lalui di tempat itu. Sementara Syarif hanya tersenyum, memperhatikan dan menuruti semua keinginan istrinya. Karena setiap tour guide mereka bilang ada tempat bagus, Syafa langsung meminta untuk mengunjungi tempat itu. Suhu minus 25 derajat lebih, seolah tidak dihiraukannya. Dagis itu kedinginan, tetapi dia enggan kembali pulang ke cottage, sebelum puas.Sore itu cuaca tampak cukup cerah, sehingga Syafa mengajak Syarif pergi berdua tanpa tour guide. Niat awal mereka hanya untuk jalan-jalan di sekitar cottage dan memotret Aurora. Beberapa orang pengunjung juga melakukan hal yang sama. Mereka menikmati setiap momen di tempat itu. Sampai terdengar sirine tanda bahaya
Syafa perlahan membuka mata, tubuhnya masih terasa sakit dan kaku. Rasa dingin yang menyiksa sudah tidak terlalu ia rasakan, walau belum hilang sama sekali. Gadis itu mengerjab beberapa kali, sebelum benar-benar bisa melihat keadaan di sekitarnya. "Ya Allah," ucap Syafa pelan ketika menyadari sesuatu yang berbeda. Dokter muda itu, sudah tidak ada di cottage mereka. Ruangan hangat dan nyaman itu terasa asing baginya. Perlahan Syafa mencoba duduk dan memperhatikan semuanya lebih jelas lagi. Hal pertama yang dia rasakan adalah nyeri di bagian tubuh bawahnya. Kemudian nyeri di tangan kirinya yang terpasang selang infus. "Rumah sakit?" guman gadis itu pelan, ketika telah seratus persen sadar dimana dirinya saat ini. Manik mata birunya memindai seluruh ruangan. Sampai pandangannya berhenti pada sosok sang suami, yang tengah terlelap di sofa panjang tepat di samping tempat tidurnya. Syafa yang kembali merasakan nyeri dan tidak nyaman di beberapa bagian tubuhnya. Mencoba untuk kemba
"Kalian yakin akan pindah ke Bali? Bagaimana dengan pekerjaanmu, Nak?" Tuan Rasyid menatap putra keduanya dengan lekat. Baru saja satu hari mereka pulang dari Eropa, tetapi putranya sudah mengutarakan niat untuk pindah rumah. "Umar dan Amira dulu tinggal di sini selama dua tahun, sebelum memutuskan tinggal sendiri," ucap Ny. Annisa dengan wajah sedih. "Sekarang, kalian bahkan belum sampai dua bulan," lanjutnya. Syarif terdiam, pria itu tahu orang tuanya kecewa. Mereka sangat mengharapkan cucu pertama mereka lahir di mansion keluarga, sebelum memutuskan hidup mandiri. Namun, dia telah berjanji pada Syafa, dan itu tidak bisa dibatalkan. "Syafa baru saja mengalami hal buruk, Ummi, Abi." Syarif akhirnya mengeluarkan suara, setelah beberapa saat diam mendengarkan pendapat orang tuanya. Mereka berbicara di ruang kerja sang ayah setelah makan malam tadi. Syarif tahu istrinya sedang tidak baik-baik saja. Sehingga sang CEO tidak sampai hati untuk menunda keinginan istrinya. "Dia hampir k
"Syarif Abdullah, sungguh kebetulan yang menyenangkan." Wanita berwajah Arab itu, tersenyum menatap sang CEO. Sementara Syarif tampak acuh dan tidak berniat berbicara dengan wanita tersebut. "Aku dengar kau akhirnya menikah," ucapnya tersenyum, sambil melirik sekilas ke arah Syafa yang sedang duduk diam di kursi kelas bisnis, di samping Syarif."Jadi ini, seleramu?" Pandangan Syarif yang awalnya acuh, mendadak menajam saat mendengar ucapan wanita tersebut. Sang CEO tidak menyukai cara wanita itu meremehkan istrinya. Wanita yang beberapa tahun lalu, dia tolak dalam sebuah rencana perjodohan keluarga. "Aku pikir, kau memiliki selera yang sedikit lebih baik dariku. Ternyata,..." wanita bernama Almeera Hasyim itu, kembali melirik Syafa dengan senyum meremehkan. Dalam hati wanita cantik dengan bibir sensual itu merasa, level Syafa masih jauh dibawah dirinya.Sementara Syafa sama sekali tidak tertarik dengan wanita berparas cantik tersebut. Ia hanya mendengarkan sambil menyamankan pos
"Kau yang menata semua sendiri?" Syarif sedikit takjub, ketika tiba di rumah mereka. Setelah empat hari terakhir dia tinggal di Kalimantan untuk urusan pekerjaan. Tidak bisa dipungkiri, istrinya ternyata punya selera yang bagus. Rumah itu tampak nyaman dan elegan. "Aku hanya mendesain, para tukang yang mengangkat, menata, dan menyusunnya." Syafa tersenyum bangga. Dia melihat suaminya itu menatap takjub hasil kerja kerasnya, selama tiga Minggu terakhir. Rumah dua lantai itu, kini sudah tampak jauh lebih baik dan sangat rapi. "Aku senang kau menikmatinya, besok lusa pemindahan kantorku juga sudah beres. Apa kita perlu mengadakan pesta untuk kepindahan kita?" Syarif tersenyum menatap istrinya. "Tidak, aku tidak suka pesta," sanggah Syafa. "Kita adakan syukuran kecil dan mengundang keluarga saja. Itu akan jauh lebih baik," lanjutnya. "Kau benar, lagi pula kita juga belum mengabari Papa dan Mama, kalau kita pindah ke Bali," kata Syarif mengangguk setuju. Dia sendiri memang bukan
"katakan apa yang membuatmu seperti ini?"Syarif masih berusaha untuk mencari tahu tentang perubahan sikap istrinya yang terlalu mendadak. padahal tadi dia baik-baik saja."Aku tidak tahan lagi," Syafa berkata dengan nafas memburu. dia menatap Syarif dengan pandangan penuh kebencian. sesuatu yang semakin membuat Syarif tidak mengerti. "Malam itu, saat badai salju. Kau telah melakukan hal yang jahat padaku. Kau ingat?" Gadis itu memalingkan wajahnya dari Syarif. masih dapat dia ingat rasa sakit di tubuh dan hatinya, ketika dia tersadar di rumah sakit. tidak hanya sekali, Syafa sangat ingat sang CEO melakukannya beberapa kali. sebelum semuanya menjadi gelap."Malam badai salju?" Syarif bergumam pelan, sambil mengingat-ingat lagi kejadian beberapa Minggu lalu tersebut. Beberapa saat kemudian pria itu menghela nafas berat dan kembali menatap istrinya, dan berkata, "Bukankah kau sendiri yang memintanya?" Syafa seketika memutar pandangannya, menatap tajam sang suaminya. "Apa aku mem