Share

7. Sisi Lain Sang Billionaire.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Syarif dari balik pintu.

Pria itu sejak tadi menunggu istrinya keluar dari kamar mandi.

Namun, sudah hampir satu jam, Syafa belum juga keluar. Sehingga membuat Syarif merasa sedikit khawatir, karena tidak biasanya Syafa berlama-lama di kamar mandi.

"A-aku baik," ucap Syafa gugup.

"Apa kau masih lama? Aku butuh ke kamar mandi," kata Syarif lagi, setelah yakin istrinya memang baik-baik saja.

"Sebentar." Syafa kembali berteriak dari dalam.

Dia segera menyelesaikan ritual mandinya, dan buru-buru berpakaian.

Setelah lima belas menit, gadis itu keluar dengan hanya memakai dress selutut berlengan pendek.

Sebenarnya Syafa tidak ingin memakai baju itu, tetapi tadi dia terlalu buru-buru mengambil baju ganti, sehingga tidak teliti.

Syarif menatap istrinya, pria itu selalu merasakan getaran aneh tiap kali melihat Syafa tanpa hijab. Sesuatu yang selalu membuat hati dan otaknya sulit untuk dikendalikan.

Syarif segera masuk ke kamar mandi, untuk menutupi kegugupannya dari Syafa.

Akan sangat memalukan, jika sampai gadis itu tahu, dirinya tengah mati-matian menahan hasrat.

Selepas sholat Isyak berjamaah di mushola keluarga, mereka semua berkumpul di gazebo samping. Yang berada di tengah kolam ikan koi.

Semua di tata ala warung makan lesehan. Bahkan menunya pun, sengaja di pilih menu-menu tradisional. Yang membuat suasana terasa semakin hangat dan akrab.

"Selamat datang di keluarga kita, Dek. Aku harap kau kuat menghadapi Mr. Workaholic satu ini," kata Amira tersenyum memeluk adik ipar perempuannya.

Wajah wanita 32 tahun itu tampak cantik dan ramah. Dari wajahnya Syafa bisa menebak jika istri dari kakak Syarif itu, memiliki darah Arab juga.

"Rasanya seperti berada di timur tengah," bisik hati Syafa.

Karena hampir semua orang di sini berwajah blasteran Arab-Turki termasuk dirinya.

"Terima kasih, Mbak." Syafa menjawab dengan wajah malu.

"Amira, panggil saja, Mbak Mira!" jelas menantu pertama keluarga Al-Ghifary tersebut.

"Hilangkan sikap dingin dan acuhmu, Rif. " Amira memperingatkan adik suaminya tersebut. "Katakan saja padaku, jika si tuan antisosial ini mengabaikan dan mendiamkanmu," katanya lagi.

Syafa hanya tersenyum malu dan menunduk, tidak tahu harus mengatakan apa.

Mengingat betapa menyebalkannya sikap Syarif padanya. Syafa tidak menyangka, jika pria itu sangat akrab dan dekat dengan seluruh keluarganya. Bahkan Syarif tampak hangat dan menyayangi kedua keponakannya.

"Apa kau akan terus mengajak adik iparku mengobrol, Sayang?" Suara Umar memecah fokus mereka. "Cepat kemari kita sudah lapar," sambungnya memanggil sang istri.

"Baiklah, kami akan segera kesana," jawab Amira tersenyum.

Dia menggandeng Syafa dan mengajaknya masuk ke gazebo dan duduk disampingnya.

Kehangatan dan kesederhanaan keluarga Syarif, benar-benar membuat Syafa merasa takjub.

Bagaimana tidak, dengan status sosial mereka di luar sana. Syafa tidak pernah membayangkan, akan menemukan sebuah definisi keluarga yang sebenarnya. Seluruh penilaian dan kecurigaannya tentang keluarga suaminya itu, seolah terpatahkan dengan semua hal yang saat ini disuguhkan dihadapannya.

Semua orang sangat dekat satu sama lain. Mereka saling mengenal dan mengerti sifat dan karakter masing-masing.

"Mbak Syafa, kok malah bengong? Makan, Mbak," kata Zahra yang sejak tadi memperhatikan kakak ipar barunya itu, hanya diam menatap mereka semua, tanpa menyentuh makanannya.

"Ah, iya," jawab Syafa tersenyum malu-malu, menyadari dirinya diperhatikan.

"Makan yang banyak, kau terlalu kurus, Nak. Tubuhmu hampir tidak terlihat disamping Syarif," kata Ny. Annisa tersenyum.

Membuat Syafa semakin tersipu, dia hanya mengangguk dan mulai memasukkan makanan ke mulutnya.

"Bukan tubuhku yang kurus, pria ini saja yang terlalu besar," ujar Syafa dalam hati.

Perawakan Syarif memang seperti rata-rata orang Timur Tengah. Tinggi, tegap, dan bongsor, sehingga dirinya yang hanya setinggi 165cm dan berat 48 kg, nampak terlalu kecil. Jika disandingkan dengan sang CEO.

***

"Jadi kapan, kita pindah dari sini?" tanya Syafa. "Aku juga sudah ingin kembali mengajukan program intership-ku yang tertunda." Dia tidak mau lagi menunggu terlalu lama.

Sudah seminggu mereka tinggal di mansion keluarga Abdullah Al-Ghifary. Namun, suaminya itu sudah kembali sibuk bekerja, sehari setelah mereka tinggal disana. Membuat Syafa merasa sangat bosan dan bingung.

"Tunggu setelah aku selesai dengan Eropa," kata Syarif singkat, sambil mendaratkan bokongnya di sofa.

"Kapan kau akan ke Eropa, dan berapa lama?" tanya Syafa.

"Minggu depan. Sekitar dua atau tiga Minggu," jawab Syarif singkat.

Pria itu menatap istrinya yang sedang menekuk wajah, setelah mendengar jawaban darinya.

Syarif tahu, Syafa bukan orang yang suka berdiam diri. Karena itu, dia meminta ibunya untuk mengajak Syafa ikut kegiatan sosial di panti asuhan milik keluarga mereka, dan mengikuti kajian rutin bersama ustad ibunya.

Selain untuk mengisi waktu, Syarif juga ingin agar ibunya dan Syafa bisa lebih akrab.

Namun, Syafa justru merasa tidak nyaman dan canggung.

"Kita bicarakan semua itu, setelah aku pulang," ucap Syarif, tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.

Sebenarnya melihat Syarif sibuk dan mengacuhkannya, sedikit membuat Syafa kesal.

Sang CEO terlalu memfokuskan diri pada pekerjaan, sehingga tidak punya waktu, untuk membencinya. Padahal Syafa ingin sekali banyak berulah, untuk membuat suaminya kesal.

Syarif bahkan tidak berminat dengan kekacauan yang dilakukannya di dapur tiga hari yang lalu.

Syafa sengaja membuat semua masakan buatannya gosong dan terlalu asin. Metika ibu mertuanya, memintanya memasak makan siang untuk mereka.

Tidak seorang pun, memarahi atau menyinggungnya. Mereka justru tertawa dan menganggap kejadian itu lucu.

Bahkan saat dia sengaja memecahkan vas bunga antik milik ibu mertuanya. Syarif hanya diam, semua orang kembali tidak menghiraukan hal itu.

Padahal mereka bilang itu vas kesayangan sang ibu mertua. Namun, ketika dia berhasil memecahkan benda itu, semua orang bersikap seolah benda itu tidak penting sama sekali.

"Kita boleh menyukai sesuatu, Nak. Tetapi kita tidak boleh merasa memilikinya," ucap Ny. Annisa ketika dia berpura-pura meminta maaf.

"Semua yang ada di dunia hanya milik Allah, yang dititipkan pada kita. bahkan nyawa kita sendiri, bukanlah hak kita."

Perkataan ibu mertuanya saat itu, masih terngiang jelas di telinga Syafa.

Dia pikir, Ny. Annisa akan marah dan kecewa pada kecerobohannya. Syafa sampai hampir frustasi, karena telah mencoba berbagai cara untuk membuat ulah di rumah keluarga suaminya.

Namun, tidak satu pun, yang berhasil membuatnya di benci.

Prinsip dan cara hidup salah satu keluarga paling berpengaruh di Asia tersebut, membuatnya semakin tertekan. Sulit sekali memahami pola pikir mereka.

Syafa kembali menatap Syarif yang tengah sibuk dengan ponselnya, setelah dia selesai dengan lamunannya.

"Pasti ada cara," gumam Syafa dalam hati. "Bukankah setiap orang pasti memiliki kelemahan?" pikir Syafa dalam hati.

"Boleh aku ikut?" tanya Syafa secara spontan.

Tiba-tiba saja ide gila muncul di kepala gadis itu.

"Kau serius?" Syarif menatap istrinya dengan pandangan ragu.

"Tentu saja, lagi pula pasti menyenangkan bisa jalan-jalan ke Eropa," jawab Syafa sekenanya, dia berencana mengacau pekerjaan Syarif saat di benua biru nanti.

"Kali ini aku pasti berhasil mengusikmu, Mr. Workaholic!" bisik Syafa dalam hati.

###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status