"Apa kau baik-baik saja?" tanya Syarif dari balik pintu.
Pria itu sejak tadi menunggu istrinya keluar dari kamar mandi.Namun, sudah hampir satu jam, Syafa belum juga keluar. Sehingga membuat Syarif merasa sedikit khawatir, karena tidak biasanya Syafa berlama-lama di kamar mandi."A-aku baik," ucap Syafa gugup."Apa kau masih lama? Aku butuh ke kamar mandi," kata Syarif lagi, setelah yakin istrinya memang baik-baik saja."Sebentar." Syafa kembali berteriak dari dalam.Dia segera menyelesaikan ritual mandinya, dan buru-buru berpakaian.Setelah lima belas menit, gadis itu keluar dengan hanya memakai dress selutut berlengan pendek.Sebenarnya Syafa tidak ingin memakai baju itu, tetapi tadi dia terlalu buru-buru mengambil baju ganti, sehingga tidak teliti.Syarif menatap istrinya, pria itu selalu merasakan getaran aneh tiap kali melihat Syafa tanpa hijab. Sesuatu yang selalu membuat hati dan otaknya sulit untuk dikendalikan.Syarif segera masuk ke kamar mandi, untuk menutupi kegugupannya dari Syafa.Akan sangat memalukan, jika sampai gadis itu tahu, dirinya tengah mati-matian menahan hasrat.Selepas sholat Isyak berjamaah di mushola keluarga, mereka semua berkumpul di gazebo samping. Yang berada di tengah kolam ikan koi.Semua di tata ala warung makan lesehan. Bahkan menunya pun, sengaja di pilih menu-menu tradisional. Yang membuat suasana terasa semakin hangat dan akrab."Selamat datang di keluarga kita, Dek. Aku harap kau kuat menghadapi Mr. Workaholic satu ini," kata Amira tersenyum memeluk adik ipar perempuannya.Wajah wanita 32 tahun itu tampak cantik dan ramah. Dari wajahnya Syafa bisa menebak jika istri dari kakak Syarif itu, memiliki darah Arab juga."Rasanya seperti berada di timur tengah," bisik hati Syafa.Karena hampir semua orang di sini berwajah blasteran Arab-Turki termasuk dirinya."Terima kasih, Mbak." Syafa menjawab dengan wajah malu."Amira, panggil saja, Mbak Mira!" jelas menantu pertama keluarga Al-Ghifary tersebut."Hilangkan sikap dingin dan acuhmu, Rif. " Amira memperingatkan adik suaminya tersebut. "Katakan saja padaku, jika si tuan antisosial ini mengabaikan dan mendiamkanmu," katanya lagi.Syafa hanya tersenyum malu dan menunduk, tidak tahu harus mengatakan apa.Mengingat betapa menyebalkannya sikap Syarif padanya. Syafa tidak menyangka, jika pria itu sangat akrab dan dekat dengan seluruh keluarganya. Bahkan Syarif tampak hangat dan menyayangi kedua keponakannya."Apa kau akan terus mengajak adik iparku mengobrol, Sayang?" Suara Umar memecah fokus mereka. "Cepat kemari kita sudah lapar," sambungnya memanggil sang istri."Baiklah, kami akan segera kesana," jawab Amira tersenyum.Dia menggandeng Syafa dan mengajaknya masuk ke gazebo dan duduk disampingnya.Kehangatan dan kesederhanaan keluarga Syarif, benar-benar membuat Syafa merasa takjub.Bagaimana tidak, dengan status sosial mereka di luar sana. Syafa tidak pernah membayangkan, akan menemukan sebuah definisi keluarga yang sebenarnya. Seluruh penilaian dan kecurigaannya tentang keluarga suaminya itu, seolah terpatahkan dengan semua hal yang saat ini disuguhkan dihadapannya.Semua orang sangat dekat satu sama lain. Mereka saling mengenal dan mengerti sifat dan karakter masing-masing."Mbak Syafa, kok malah bengong? Makan, Mbak," kata Zahra yang sejak tadi memperhatikan kakak ipar barunya itu, hanya diam menatap mereka semua, tanpa menyentuh makanannya."Ah, iya," jawab Syafa tersenyum malu-malu, menyadari dirinya diperhatikan."Makan yang banyak, kau terlalu kurus, Nak. Tubuhmu hampir tidak terlihat disamping Syarif," kata Ny. Annisa tersenyum.Membuat Syafa semakin tersipu, dia hanya mengangguk dan mulai memasukkan makanan ke mulutnya."Bukan tubuhku yang kurus, pria ini saja yang terlalu besar," ujar Syafa dalam hati.Perawakan Syarif memang seperti rata-rata orang Timur Tengah. Tinggi, tegap, dan bongsor, sehingga dirinya yang hanya setinggi 165cm dan berat 48 kg, nampak terlalu kecil. Jika disandingkan dengan sang CEO.***"Jadi kapan, kita pindah dari sini?" tanya Syafa. "Aku juga sudah ingin kembali mengajukan program intership-ku yang tertunda." Dia tidak mau lagi menunggu terlalu lama.Sudah seminggu mereka tinggal di mansion keluarga Abdullah Al-Ghifary. Namun, suaminya itu sudah kembali sibuk bekerja, sehari setelah mereka tinggal disana. Membuat Syafa merasa sangat bosan dan bingung."Tunggu setelah aku selesai dengan Eropa," kata Syarif singkat, sambil mendaratkan bokongnya di sofa."Kapan kau akan ke Eropa, dan berapa lama?" tanya Syafa."Minggu depan. Sekitar dua atau tiga Minggu," jawab Syarif singkat.Pria itu menatap istrinya yang sedang menekuk wajah, setelah mendengar jawaban darinya.Syarif tahu, Syafa bukan orang yang suka berdiam diri. Karena itu, dia meminta ibunya untuk mengajak Syafa ikut kegiatan sosial di panti asuhan milik keluarga mereka, dan mengikuti kajian rutin bersama ustad ibunya.Selain untuk mengisi waktu, Syarif juga ingin agar ibunya dan Syafa bisa lebih akrab.Namun, Syafa justru merasa tidak nyaman dan canggung."Kita bicarakan semua itu, setelah aku pulang," ucap Syarif, tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.Sebenarnya melihat Syarif sibuk dan mengacuhkannya, sedikit membuat Syafa kesal.Sang CEO terlalu memfokuskan diri pada pekerjaan, sehingga tidak punya waktu, untuk membencinya. Padahal Syafa ingin sekali banyak berulah, untuk membuat suaminya kesal.Syarif bahkan tidak berminat dengan kekacauan yang dilakukannya di dapur tiga hari yang lalu.Syafa sengaja membuat semua masakan buatannya gosong dan terlalu asin. Metika ibu mertuanya, memintanya memasak makan siang untuk mereka.Tidak seorang pun, memarahi atau menyinggungnya. Mereka justru tertawa dan menganggap kejadian itu lucu.Bahkan saat dia sengaja memecahkan vas bunga antik milik ibu mertuanya. Syarif hanya diam, semua orang kembali tidak menghiraukan hal itu.Padahal mereka bilang itu vas kesayangan sang ibu mertua. Namun, ketika dia berhasil memecahkan benda itu, semua orang bersikap seolah benda itu tidak penting sama sekali."Kita boleh menyukai sesuatu, Nak. Tetapi kita tidak boleh merasa memilikinya," ucap Ny. Annisa ketika dia berpura-pura meminta maaf."Semua yang ada di dunia hanya milik Allah, yang dititipkan pada kita. bahkan nyawa kita sendiri, bukanlah hak kita."Perkataan ibu mertuanya saat itu, masih terngiang jelas di telinga Syafa.Dia pikir, Ny. Annisa akan marah dan kecewa pada kecerobohannya. Syafa sampai hampir frustasi, karena telah mencoba berbagai cara untuk membuat ulah di rumah keluarga suaminya.Namun, tidak satu pun, yang berhasil membuatnya di benci.Prinsip dan cara hidup salah satu keluarga paling berpengaruh di Asia tersebut, membuatnya semakin tertekan. Sulit sekali memahami pola pikir mereka.Syafa kembali menatap Syarif yang tengah sibuk dengan ponselnya, setelah dia selesai dengan lamunannya."Pasti ada cara," gumam Syafa dalam hati. "Bukankah setiap orang pasti memiliki kelemahan?" pikir Syafa dalam hati."Boleh aku ikut?" tanya Syafa secara spontan.Tiba-tiba saja ide gila muncul di kepala gadis itu."Kau serius?" Syarif menatap istrinya dengan pandangan ragu."Tentu saja, lagi pula pasti menyenangkan bisa jalan-jalan ke Eropa," jawab Syafa sekenanya, dia berencana mengacau pekerjaan Syarif saat di benua biru nanti."Kali ini aku pasti berhasil mengusikmu, Mr. Workaholic!" bisik Syafa dalam hati.###"Kita berangkat lusa," kata Syarif sambil memberikan amplop coklat pada istrinya.Malam itu seperti biasa setelah sholat Isyak berjamaah di kamar, mereka duduk sambil sibuk dengan ponsel masing-masing.Syafa membuka amplop tersebut, yang ternyata berisi visa Schengen untuknya.Syafa sedikit terkejut, karena Syarif bisa mengurus semua ini dengan sangat cepat. Tidak sampai dua hari. Padahal biasanya akan butuh waktu lama untuk seseorang bisa mendapatkan bisa visa tersebut."Ternyata memang benar, uang bisa melancarkan segalanya," ucap Syafa dengan senyum sarkas. "Terima kasih," lanjutnya.Syarif tidak tertarik untuk menjawab perkataan istrinya. Dia hanya fokus di depan laptop, sambil sesekali melihat ponsel. Pria itu tidak akan pernah beralih fokus, ketika sedang bekerja.Sementara Syafa, segera menyimpan mengambil koper besar miliknya, dan bersiap mengepak berbagai barang keperluannya sendiri. Karena Syarif sudah seminggu lebih menyiapkan keperluannya. Syafa memang pernah berkunjung k
Pria itu semakin menarik dagu istrinya mendekat, sampai kedua bibir mereka saling bersentuhan. Tok tok tok,"Tuan Rasyid memanggil anda ke ruang kerjanya sekarang, Tuan,"ucap seseorang yang berada dibalik pintu.Sebuah pesan yang bagaikan malaikat penolong untuk Syafa. Karena setelah mendengar pesan tersebut, Syarif langsung melepaskan cengkeramannya. Pria itu segera berjalan keluar kamar."Alhamdulillah, Ya Allah," gumam Syafa dengan perasaan sangat lega.Dengan gemetaran gafus itu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Tubuhnya masih terasa sangat lemas, dengan detak jantung yang tak beraturan. ***Hujan deras mengguyur kota Balikpapan sore ini. Suasana sedikit suram dan dingin. Syarif berdiri menatap keluar, dari balik jendela kaca besar ruang kerjanya. Pria itu baru saja selesai meeting dengan dewan direksi.Pertemuan yang membahas kerja sama yang akan mereka lakukan dengan pihak Swiss dan Austria. Besok pagi dia, Syafa dan beberapa orang tim dari Al-Hassan Energi & Batubara
"Oslo Gardermoen Airport," gumam Syafa ketika pesawat mereka memasuki area bandara."Kita tidak pulang?" tanya Syafa menatap suaminya."Kau ingin melihat Aurora, 'kan?" Syarif tersenyum menjawab pertanyaan istrinya.Sedangkan Syafa kembali menatap ke bawah. Melihat kesibukan yang berada di area bandara terbesar dan tersibuk di Norwegia tersebut."Dia menganggap ocehanku serius," bisik Syafa dalam hati.Gadis itu sudah curiga ada yang tidak beres, ketika masuk pesawat tadi pagi. Tim Al-Hassan yang berangkat bersama mereka, tidak ada dalam jet milik keluarga suaminya tersebut. Mereka hanya berdua, selain crew dan pilot pesawat."Kita hanya transit selama empat jam, untuk mengisi Avtur dan makan siang." Syarif seolah menjawab rasa penasaran Syafa. "Setelah itu kita langsung menuju Tromso-Langnes Airport," lanjutnya.Syafa hanya diam dan mendengarkan.Tetapi dalam hati gagus itu bersorak gembira, karena akan segera melihat Aurora. Sesuatu yang sejak lama dia inginkan. Syafa hanya terlalu
Lima hari berada di Tromso, Syafa seolah melupakan segala kegalauan dan kesedihannya. Sepanjang waktu dia begitu bersemangat berburu Aurora. Dengan mobil khusus yang di sewa Syarif. Mereka berkeliling desa, mencari spot-spot terbaik untuk menyaksikan keindahan Aurora. Gadis itu mengabadikan hampir setiap momen yang dia lalui di tempat itu. Sementara Syarif hanya tersenyum, memperhatikan dan menuruti semua keinginan istrinya. Karena setiap tour guide mereka bilang ada tempat bagus, Syafa langsung meminta untuk mengunjungi tempat itu. Suhu minus 25 derajat lebih, seolah tidak dihiraukannya. Dagis itu kedinginan, tetapi dia enggan kembali pulang ke cottage, sebelum puas.Sore itu cuaca tampak cukup cerah, sehingga Syafa mengajak Syarif pergi berdua tanpa tour guide. Niat awal mereka hanya untuk jalan-jalan di sekitar cottage dan memotret Aurora. Beberapa orang pengunjung juga melakukan hal yang sama. Mereka menikmati setiap momen di tempat itu. Sampai terdengar sirine tanda bahaya
Syafa perlahan membuka mata, tubuhnya masih terasa sakit dan kaku. Rasa dingin yang menyiksa sudah tidak terlalu ia rasakan, walau belum hilang sama sekali. Gadis itu mengerjab beberapa kali, sebelum benar-benar bisa melihat keadaan di sekitarnya. "Ya Allah," ucap Syafa pelan ketika menyadari sesuatu yang berbeda. Dokter muda itu, sudah tidak ada di cottage mereka. Ruangan hangat dan nyaman itu terasa asing baginya. Perlahan Syafa mencoba duduk dan memperhatikan semuanya lebih jelas lagi. Hal pertama yang dia rasakan adalah nyeri di bagian tubuh bawahnya. Kemudian nyeri di tangan kirinya yang terpasang selang infus. "Rumah sakit?" guman gadis itu pelan, ketika telah seratus persen sadar dimana dirinya saat ini. Manik mata birunya memindai seluruh ruangan. Sampai pandangannya berhenti pada sosok sang suami, yang tengah terlelap di sofa panjang tepat di samping tempat tidurnya. Syafa yang kembali merasakan nyeri dan tidak nyaman di beberapa bagian tubuhnya. Mencoba untuk kemba
"Kalian yakin akan pindah ke Bali? Bagaimana dengan pekerjaanmu, Nak?" Tuan Rasyid menatap putra keduanya dengan lekat. Baru saja satu hari mereka pulang dari Eropa, tetapi putranya sudah mengutarakan niat untuk pindah rumah. "Umar dan Amira dulu tinggal di sini selama dua tahun, sebelum memutuskan tinggal sendiri," ucap Ny. Annisa dengan wajah sedih. "Sekarang, kalian bahkan belum sampai dua bulan," lanjutnya. Syarif terdiam, pria itu tahu orang tuanya kecewa. Mereka sangat mengharapkan cucu pertama mereka lahir di mansion keluarga, sebelum memutuskan hidup mandiri. Namun, dia telah berjanji pada Syafa, dan itu tidak bisa dibatalkan. "Syafa baru saja mengalami hal buruk, Ummi, Abi." Syarif akhirnya mengeluarkan suara, setelah beberapa saat diam mendengarkan pendapat orang tuanya. Mereka berbicara di ruang kerja sang ayah setelah makan malam tadi. Syarif tahu istrinya sedang tidak baik-baik saja. Sehingga sang CEO tidak sampai hati untuk menunda keinginan istrinya. "Dia hampir k
"Syarif Abdullah, sungguh kebetulan yang menyenangkan." Wanita berwajah Arab itu, tersenyum menatap sang CEO. Sementara Syarif tampak acuh dan tidak berniat berbicara dengan wanita tersebut. "Aku dengar kau akhirnya menikah," ucapnya tersenyum, sambil melirik sekilas ke arah Syafa yang sedang duduk diam di kursi kelas bisnis, di samping Syarif."Jadi ini, seleramu?" Pandangan Syarif yang awalnya acuh, mendadak menajam saat mendengar ucapan wanita tersebut. Sang CEO tidak menyukai cara wanita itu meremehkan istrinya. Wanita yang beberapa tahun lalu, dia tolak dalam sebuah rencana perjodohan keluarga. "Aku pikir, kau memiliki selera yang sedikit lebih baik dariku. Ternyata,..." wanita bernama Almeera Hasyim itu, kembali melirik Syafa dengan senyum meremehkan. Dalam hati wanita cantik dengan bibir sensual itu merasa, level Syafa masih jauh dibawah dirinya.Sementara Syafa sama sekali tidak tertarik dengan wanita berparas cantik tersebut. Ia hanya mendengarkan sambil menyamankan pos
"Kau yang menata semua sendiri?" Syarif sedikit takjub, ketika tiba di rumah mereka. Setelah empat hari terakhir dia tinggal di Kalimantan untuk urusan pekerjaan. Tidak bisa dipungkiri, istrinya ternyata punya selera yang bagus. Rumah itu tampak nyaman dan elegan. "Aku hanya mendesain, para tukang yang mengangkat, menata, dan menyusunnya." Syafa tersenyum bangga. Dia melihat suaminya itu menatap takjub hasil kerja kerasnya, selama tiga Minggu terakhir. Rumah dua lantai itu, kini sudah tampak jauh lebih baik dan sangat rapi. "Aku senang kau menikmatinya, besok lusa pemindahan kantorku juga sudah beres. Apa kita perlu mengadakan pesta untuk kepindahan kita?" Syarif tersenyum menatap istrinya. "Tidak, aku tidak suka pesta," sanggah Syafa. "Kita adakan syukuran kecil dan mengundang keluarga saja. Itu akan jauh lebih baik," lanjutnya. "Kau benar, lagi pula kita juga belum mengabari Papa dan Mama, kalau kita pindah ke Bali," kata Syarif mengangguk setuju. Dia sendiri memang bukan