Di panggung kehormatan yang menjulang di atas arena perburuan, angin berembus lembut, membawa aroma teh dan arak yang disajikan dalam poci giok. Cahaya matahari yang menyaring dari sela-sela tirai sutra tipis menerangi wajah para tamu kehormatan—para ketua sekte, pemimpin klan, tetua berpengaruh, serta pejabat kekaisaran. Dan tentu saja, di pusat segala perhatian, duduk dengan tenang Kaisar Jìng Yǔhàn, mengenakan jubah kebesaran berwarna hitam keemasan yang memancarkan wibawa.
Sementara para peserta perburuan bergegas ke zona pelacakan, para tamu berbincang dengan santai, sesekali menyesap teh atau arak hangat dari cawan mereka."Yīnlǜ Shengzhe, sudah lama dirimu tidak menghadiri Perburuan Roh. Apakah ada sesuatu yang membuatmu tertarik kali ini?" tanya seorang ketua klan dengan nada penuh rasa ingin tahu.Pria yang dipanggil Yīnlǜ Shengzhe itu hanya tersenyum tipis. Garis ketampanannya jelas menurun pada kedua putranya, tetapi ekspresi tenangnya membuatnyHuànyǐng berjalan dengan langkah santai di sepanjang jalan desa yang dipaving batu, diikuti oleh dua pemuda yang dia juluki dalam hati sebagai "bebek Yuè" . Maksudnya tentu saja bukan Hòu Jūn, Shengyuan saja. Tetapi juga beberapa murid yunior Sekte Musik Abadi lainnya yang selalu berjalan berbaris rapi seperti anak bebek mengikuti induknya."Hòu Jūn!" panggilnya dengan nada agak malas, tangan kanannya dengan santai memutar-mutar seruling giok hijau miliknya. "Kemana perginya Dàoyì Zhenjun kalian?"Hòu Jūn yang berjalan tepat di belakangnya segera menjawab dengan sopan, "Tuan Ma hanya mengatakan bahwa Dàoyì Zhenjun dan para yunior lainnya pergi ke Qīng Mù Zhúlín."Huànyǐng tiba-tiba berhenti berjalan, memaksa rombongan di belakangnya ikut berhenti. Dia berbalik menatap kedua pemuda itu dengan pandangan yang sulit ditebak. "Hutan bambu makam Qing?""Benar!" sahut Shengyuan dengan yakin."Nama yang aneh," gumam Huànyǐng sambil kembali melan
Sementara itu, Tiānyin sudah menemui Tuan Ma yang sedang menikmati teh di taman belakang rumahnya. Pria paruh baya itu tampak terkejut melihat Tiānyin sudah bangun sepagi ini."Gōngzǐ, ada yang bisa saya bantu?" tanya Tuan Ma dengan hormat."Saya ingin meminjam kuil leluhur untuk menyucikan pedang yang ditinggalkan roh kemarin," jawab Tiānyin langsung pada intinya.Tuan Ma mengangguk cepat. "Tentu saja, Gōngzǐ. Silakan, saya akan mengantarkan Anda ke sana."Kuil leluhur Yè Níng Cūn terletak di ujung desa, bangunan sederhana namun penuh dengan kesakralan. Di dalamnya terdapat altar yang dihiasi berbagai perlengkapan persembahan dan dupa yang masih menyala.Tiānyin berdoa dengan khidmat di depan altar, tangannya memegang pedang yang telah dibersihkan dari darah roh. Setelah berdoa, dia mulai memantrai pedang itu dengan konsentrasi penuh, energi spiritual mengalir dari tangannya menyelim
Cahaya fajar yang merah keemasan mulai menyusup masuk melalui celah jendela kayu, menandai dimulainya hari baru di Yè Níng Cūn. Tiānyin membuka mata dengan perlahan, tubuhnya bergerak dengan presisi yang telah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun. Seperti dua puluh tahun yang lalu, dia selalu terbangun di pagi buta, saat dunia masih terbungkus keheningan dan udara masih dingin menyentuh kulit.Di sampingnya, Huànyǐng masih tertidur pulas dengan wajah damai. Helai rambut hitamnya tergerai menutupi sebagian pipi, napasnya teratur dan tenang. Pemandangan ini mengingatkan Tiānyin pada masa-masa di Zǐténg Ju dan Zǐténg Lan, ketika mereka masih remaja dan sering tertidur di tempat yang sama setelah berlatih hingga larut malam."Jiàn Yi," panggilnya dengan suara lembut, tangannya bergerak hati-hati menyentuh bahu Huànyǐng.Huànyǐng hanya menggeliat pelan, bibirnya bergumam tidak jelas. "Chénxī... aku masih mengantuk..." keluh
Cahaya bulan yang menyeruak masuk melalui celah jendela kayu memberikan penerangan lembut di dalam ruangan sederhana itu. Keheningan malam hanya dipecah oleh suara napas teratur dari dua kultivator yang tengah bermeditasi.Sudah hampir dua shichen berlalu sejak mereka mulai bermeditasi. Tiānyin duduk bersila dengan postur sempurna, punggungnya tegak lurus seperti bambu yang tidak pernah tunduk pada angin. Energi spiritual mengalir stabil di dalam tubuhnya, mengatur ulang qi yang terganggu akibat pertarungan dengan roh tadi.Di sampingnya, Huànyǐng juga duduk dengan posisi yang sama, namun energi spiritualnya terasa tidak se-stabil milik Tiānyin. Sesekali alis pemuda itu mengerut halus, pertanda dia sedang bergulat dengan sesuatu di dalam dirinya.Lama-kelamaan, tubuh Huànyǐng mulai condong ke samping. Kepalanya yang awalnya tegak perlahan-lahan miring hingga akhirnya terantuk lembut di bahu Tiānyin.Sentuhan ringan itu membuat Tiānyin keluar dari
Ruang tamu yang luas dipenuhi aroma teh melati yang harum. Tiānyin duduk dengan postur tegap di kursi kayu mahoni yang diukir indah, sementara Huànyǐng dengan santai bersandar di sampingnya, sesekali meraih kue kering yang tersaji di atas meja bundar. Tuan Ma, pemilik rumah yang telah memperkenalkan diri sebelumnya, tidak berhenti menuangkan teh hangat ke dalam cangkir porselen putih bermotif naga. Wajahnya masih menampakkan kelegaan yang mendalam setelah roh mengerikan itu berhasil disegel. "Gōngzǐ, hidangan ini mungkin tidak sebanding dengan santapan di Kediaman Aroma Wisteria, tetapi ini adalah yang terbaik yang bisa kami sajikan," ujar Tuan Ma dengan penuh hormat, tangannya sedikit gemetar saat menuangkan teh. Huànyǐng mengangkat cangkirnya dan menyeruput teh dengan perlahan. "Ini sangat enak, Tuan Ma. Terima kasih atas keramahannya." Di sudut ruangan, para yunior duduk dengan sikap kaku dan formal. Mata mereka sesekali
Keheningan yang menyelimuti halaman rumah megah itu tiba-tiba terpecah oleh suara pintu kayu yang berderit. Satu per satu, pintu-pintu di komplek bangunan yang mewah itu terbuka dengan perlahan, seakan pemiliknya masih ragu untuk keluar.Kemudian, seperti air bah yang jebolkan bendungan, orang-orang berhamburan keluar dari berbagai sudut bangunan. Mereka berlarian dengan wajah lega namun masih dipenuhi ketakutan sisa, mata mereka sesekali melirik ke arah tempat roh itu tadi bertarung.Seorang pria paruh baya berpakaian berkualitas tinggi keluar paling depan. Jubah sutra biru tuanya yang meski agak kusut masih menampakkan kemewahan, menandakan bahwa dia adalah pemilik rumah ini. Tanpa ragu, dia langsung berlutut di hadapan Tiānyin dan Huànyǐng dengan penuh hormat."Gōngzǐ, terima kasih telah menyegel roh itu!" serunya dengan suara bergetar karena kelegaan. "Kami sudah terjebak di dalam rumah selama berhari-hari, tidak bera